Статті в журналах з теми "Tionghoa Indonesia"

Щоб переглянути інші типи публікацій з цієї теми, перейдіть за посиланням: Tionghoa Indonesia.

Оформте джерело за APA, MLA, Chicago, Harvard та іншими стилями

Оберіть тип джерела:

Ознайомтеся з топ-50 статей у журналах для дослідження на тему "Tionghoa Indonesia".

Біля кожної праці в переліку літератури доступна кнопка «Додати до бібліографії». Скористайтеся нею – і ми автоматично оформимо бібліографічне посилання на обрану працю в потрібному вам стилі цитування: APA, MLA, «Гарвард», «Чикаго», «Ванкувер» тощо.

Також ви можете завантажити повний текст наукової публікації у форматі «.pdf» та прочитати онлайн анотацію до роботи, якщо відповідні параметри наявні в метаданих.

Переглядайте статті в журналах для різних дисциплін та оформлюйте правильно вашу бібліографію.

1

Putri, Risky Ananda, Murni Zaina, and Fadilah Rizki. "Melacak Kebijakan Politik Terhadap Etnis Tionghoa Di Indonesia." Journal of Politics and Democracy 2, no. 1 (August 30, 2022): 1–8. http://dx.doi.org/10.61183/polikrasi.v2i1.15.

Повний текст джерела
Анотація:
Awal kedatangan etnis tionghoa ke Indonesia untuk melakukan perdagangan karena Indonesia sebagai kawasan strategis untuk melakukan perdagangan. Kemudian etnis tiongoa menetap di Indonesia hingga Indonesia merdeka. Dengan ini pemerintah menetapkan kebijakan khusus pada etnis tionghoa yang menetap di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan politik terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan studi kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan dengan menelaah dan mengeksplorasi beberapa jurnal, buku, koran dan dokumen yang berbentuk cetak maupun elektronik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan yang dicetuskan terhadap etnis tionghoa tidak terlepas dari jeratan peristiwa G30S/PKI. Kebijakan yang dikeluarkan pada zaman orde baru cendrung diskriminatif pada etnis tionghoa. Runtuhnya rezim orde baru mulai mendukung perjuangan kesetaraan etnis tionghoa seperti menetapkan kebijakan yang menyangkut status kewarganegaraan etnis tionghoa.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
2

Hapsari, Dyah Eko, and Rosana Hariyanti. "IDEALISME KWEE TEK HOAY TENTANG SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA TIONGHOA DALAM CERITA PENDEK “RUMA SEKOLA YANG SAYA IMPIKEN” (Kwee Tek Hoay’s Idealism in Establishing A Tionghoa-Culture Based System of Education in “Ruma Sekola Yang Saya Impiken”)." METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra 8, no. 1 (March 10, 2016): 1. http://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2015.v8i1.1-16.

Повний текст джерела
Анотація:
Sebagai bagian dari masyarakat multietnis di Indonesia, etnis Tionghoa mengalami berbagai tekanan dan diskriminasi.Secara internal, mereka juga mengalami persoalan identitas terkait dengan jarak budaya antargenerasi yang mengarah pada melemahnya identitas kultural Tionghoa di kalangan kaum mudanya. Kwee Tek Hoay merupakan satu tokoh Tionghoa yang memiliki gagasan pemertahanan dan pelestarian identitas tersebut seperti tercermin dalam karyanya, “Ruma Sekola Yang Saya Impiken”, sebuah cerita pendek mengenai sekolah impian bagi anak-anak Tionghoa. Metode penelitian kualitatif diterapkan dalam penelitian ini. Data literer yang ditemukan dideskripsikan dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologis, terutama yang terkait dengan kajian mengenai etnisitas Melayu- Tionghoa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan ideal bagi anak-anak Tionghoa berupa kurikulum yang komprehensif, dengan ditekankan pada praktik, yang berdasar pada nilai serta falsafah hidup yang berakar pada budaya leluhur. Konsep tersebut merupakan bagian dari resinication.Abstract:As a part of Indonesian multiethnicity in Indonesia, the Tionghoa (Chinese-Indonesian) have undergone various racial discrimination. They also internally have identity problem due to intergenerational gap, which leads to weaken the Tionghoa’s cultural identity among their youths. Kwee Tek Hoay is one of the Tionghoa figures having the idea of the retention and preservation of the identity as reflected in his work, “Ruma Sekola Yang Saya Impiken”, a short story about his utopian school for Tionghoa’s children. The applied method is qualitative research. The literary data is described and analyzed by using sociological approach, especially those connected to the study of Malay-Tionghoa ethnicity. The results show that the concept of ideal education for Tionghoa’s children is in the form of a comprehensive curriculum, emphasizing on the practice, which is based on values and a philosophy of life that is rooted in ancestral cultures. The concept is one of resinications.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
3

Hasanah, Eva Putriya. "Sepak Terjang PITI Jawa Timur di Tengah Pusaran Hubungan Bilateral Indonesia-Tiongkok." SIYAR Journal 1, no. 2 (July 1, 2021): 3–26. http://dx.doi.org/10.15642/siyar.2021.1.2.3-26.

Повний текст джерела
Анотація:
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Timur dalam membantu pemerintah Tiongkok mempererat hubungan bilateral dengan pemerintah Indonesia. Melalui metode kualitatif-deskriptif dan teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara, penulis menemukan empat peran PITI dalam diplomasi publik. Pertama, PITI membantu memperkenalkan budaya Tiongkok kepada masyarakat Indonesia. Selain itu, PITI turut memfasilitasi pengenalan identitas Tionghoa muslim. Ketiga, PITI terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Keempat, PITI menjadi mediator antara pemerintah Tiongkok dengan berbagai pihak di Indonesia. Meskipun berperan penting dalam diplomasi publik yang dapat membantu pemerintah Tiongkok di Indonesia, PITI merupakan organisasi masa Islam yang berdiri sendiri tanpa memiliki keterkaitan dengan pemerintah maupun politik, termasuk hubungan politik dengan pemerintah Tiongkok.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
4

Hidayadi, Taufik, and Henny Saptatia Drajati Nugrahani. "Stereotip Warga Tionghoa Dalam Geopolitik Hubungan Indonesia dengan Tiongkok." Muqoddima Jurnal Pemikiran dan Riset Sosiologi 1, no. 2 (December 9, 2020): 133–44. http://dx.doi.org/10.47776/mjprs.001.02.03.

Повний текст джерела
Анотація:
Perkembangan Tiongkok yang sedemikian pesat memberikan implikasi terhadap hubungan regional di kawasan. Indonesia telah membuat kajian evaluasi dan perhitungan yang sedemikian rupa dari sudut geopolitik dan geostrategi yang dipahami sebagai kepentingan dan ketahanan nasional. Pertimbangan yang paling rasional dari politik luar negeri yang bebas aktif adalah dengan memperkuat hubungan bilateral Indonesia dan Tiongkok, bukan hanya dalam kemitraan biasa tetapi lebih pada hubungan dekat yang mempunyai implikasi ekonomi dan teknologi. Kondisi geopolitik dalam hubungan Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang dinamis dapat dilihat dalam hubungan kerjasama ekonomi investasi dimana Tiongkok adalah salah satu dari empat investor terbesar di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Polemik Laut China Selatan serta terjadinya pandemi Covid-19 yang berasal dari Wuhan juga semakin menambah kedinamisan hubungan tersebut. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok berlaku pasang surut sejak pengakuan berdirinya negara Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949 sejak jaman Orde Lama sampai dengan Orde baru, serta kebijakan negara terhadap etnis Tionghoa setelah itu. Kebijakan seperti asimilasi yang berdasarkan stereotype terhadap kelompok etnis Tionghoa, telah meninggalkan celah yang lebar dalam kaitan hubungan antar negara dengan penduduknya serta sikap masyarakat Indonesia sendiri terhadap etnis Tionghoa dengan jelas terlihat saat kejadian reformasi 1998 dan belum cair sampai saat ini seperti terlihat pada kejadian Pilkada DKI Jakarta 2017.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
5

Lievander, David, Olivia Olivia, and Chun-I. Kuo. "RITUAL PERAYAAN IMLEK ETNIS TIONGHOA DI KOTA TOLI-TOLI." Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture 5, no. 1 (August 31, 2016): 10–17. http://dx.doi.org/10.9744/century.5.1.10-17.

Повний текст джерела
Анотація:
Penduduk Tiongkok telah lama menyebar ke berbagai belahan dunia, dengan membawa berbagai macam kebudayaan serta tradisi, tidak terkecuali di Indonesia. Etnis tionghoa menyebar dengan merata di seluruh Indonesia dengan membawa kebudayaan asal mereka. Hari raya Imlek adalah salah satu contohnya, setiap daerah di Indonesia mempunyai perayaan Imlek mereka sendiri oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti perayaan etnis Tionghoa di kota Toli-toli. Penelitian ini meliputi apa perbedaan Imlek etnis Tionghoa Toli-toli pada masa orde baru dan mengapa terjadi perbedaan itu. Setelah dilakukan penelitian ditemukan bahwa etnis Tionghoa hanya merayakan chuxi, Imlek, hari kedua, hari kesembilan, dan Cap Go Meh. Perayaan Cap Go Meh di kota Toli-toli cenderung sepi dan tidak ada yang spesial. Serta ditemukan faktor yang membuat Imlek di kota Toli-toli saat orde baru dan sekarang berbeda yaitu karena faktor politik dan ekonomi.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
6

Meliana, Helda, and Rudiansyah Rudiansyah. "Legenda dan Makna Festival Pertengahan Musim Gugur Bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan." CHANGLUN: Chinese Language, Literature, Culture and Linguistic 1, no. 1 (December 30, 2022): 52. http://dx.doi.org/10.20884/1.changlun.2022.1.1.7718.

Повний текст джерела
Анотація:
Masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari warisan budaya dan tradisi para leluhurnya. Misalnya sebuah tradisi yang masih terus dilakukan oleh masyarakat Tionghoa sangat beranekaragam di era perkembangan zaman saat ini. Ada banyak jenis perayaan, dari mulai perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan yang lainnya. Salah satu perayaan yang masih terus dilakukan yaitu festival kue bulan. Kegiatan ini merupakan sebuah tradisi turun-temurun bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya masyarakat Tiongoa di kota Medan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pemanfaatan metode ini diharapkan dapat memudahkan peneliti didalam membuat suatu gambaran kompleks serta uraian dari sebuah analisa dan responden. Peneliti memanfaatkan teori makna dari Gustav Blanke. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa festival kue bulan mengandung makna filosofi, seperti rasa kebersamaan dan rasa syukur yang dapat diterapkan didalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperingati festival pertengahan musim gugur ini, diharapkan seseorang dapat selalu mengingat nilai-nilai yang ditanamkan oleh para leluhur terdahulu. Kata Kunci : festival kue bulan; cap go meh; warisan; filosofi; masyarakat Tionghoa
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
7

Burhan, Faika, Rasiah, Nurlailatul Qadriani, Islahuddin, and Fina Amalia Masri. "Identity Crisis of Tionghoa Ethnic in the Novel Naga Kuning by Yusiana Basuki." International Journal of Linguistics, Literature and Translation 6, no. 4 (May 5, 2023): 154–60. http://dx.doi.org/10.32996/ijllt.2023.6.4.21.

Повний текст джерела
Анотація:
The "descent" label has created a distance between the Tionghoa ethnic and the indigenous people in Indonesia. The "descent" label creates the impression that the Tionghoa ethnic are ethically and morally different from the natives. The 1998 May riots in Jakarta further exacerbated ethnic Tionghoa sentiment in Indonesia. The Tionghoa community is considered as "others" in terms of physical and cultural attributes, so they are not considered part of Indonesian society, even though they are Chinese Indonesians. This has caused the Chinese community in Indonesia to experience an identity crisis. Ethnic Tionghoa are faced with two identities between, Indonesian and Chinese, to blend into Indonesian society. This research seeks to describe the identity crisis of ethnic Tionghoa through female characters in the novel Naga Kuning by Yusiana Basuki. The intersection of gender theory and identity theory is used to analyze the phenomenon of the Tionghoa ethnic identity crisis in Indonesia. The method used in this research was descriptive qualitative. Data collection was done through literary studies. The results showed that Yusiana Basuki, through the novel Naga Kuning depicts discrimination and violence against Tionghoa women in Indonesia during the 1998 riots. The discrimination and violence caused an identity crisis in Tionghoa women. The identity that is built is a blurred identity caused by socio-political conditions. The form of identity crisis described in this novel is the downturn, fear, and alienation of women from the social life they live. Despite being a victim of harassment and violence, the character Lily is a Chinese woman who survives and tries to continue to rise in the face of various conflicts as a discriminated ethnicity.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
8

Tri Rizki, Nurul, Imam Hadi Sutrisno, and Ramazan Ramazan. "ETNIS TIONGHOA LANGSA." SEUNEUBOK LADA: Jurnal ilmu-ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan Kependidikan 7, no. 1 (April 21, 2020): 44–52. http://dx.doi.org/10.33059/jsnbl.v7i1.2244.

Повний текст джерела
Анотація:
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) merupakan salah satu organisasi masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Langsa. Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) ini terbentuk di Kota Langsa pada tanggal 19 januari 2012 dan di ketuai oleh pak Samsu. Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) ini dibentuk agar masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Langsa menjadikan organisasi ini sebagai wadah silaturahmi bagi mereka yang sesama masyarakat Tionghoa. Organisasi ini hanya salah satu organisasi yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia dan salah satu nya di Kota Langsa. Paguyuban sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) merupakan organisasi yang sering di bentuk dengan sekelompok orang atau sesama etnis. Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) juga sudah banyak membuat kegiatan sosial. Pada saat ini Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kota Langsa telah mengalami regenerasi kepengurusan sebanyak tiga kali.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
9

Averina, Jennifer. "Tanggapan Terhadap Stereotip “Tionghoa Punya Toko”." Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture 12, no. 1 (February 26, 2024): 1–12. http://dx.doi.org/10.9744/century.12.1.1-12.

Повний текст джерела
Анотація:
Eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia sejak awal sudah dari berabad-abad yang lalu. Dalam menjalankan kehidupan di Indonesia, etnis Tionghoa khususnya di Indonesia bekerja dalam berbagai macam bidang. Bidang-bidang tersebut antara lain adalah sebagai pedagang, petani, pengrajin maupun yang lainnya. Di zaman Orde Baru juga terjadi beberapa hal yang membatasi etnis Tionghoa-Indonesia, hingga di era saat ini orang Tionghoa di stereotipkan sebagai “Tionghoa punya toko”. Meskipun bertahun-tahun telah berlalu, namun stereotip itu masih terus ditujukan kepada etnis Tionghoa. Penulis berfokus meneliti stereotip ini yang bersumber pada masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia, khususnya kota Surabaya. Dengan tujuan untuk meneliti lebih lanjut apakah stereotip “Tionghoa Punya Toko” ini masih relevan di era saat ini. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Stereotype Content Model, untuk dapat melihat kedudukan stereotip terhadap orang Tionghoa yang ada di Indonesia ini dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil wawancara terhadap para informan yang telah penulis analisis menunjukkan bahwa stereotip terhadap etnis Tionghoa masih ada hingga saat ini, namun sudah mulai berkurang.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
10

Wen, Yuhao. "Negotiating Between Identities: Indonesia’s Chinese-Language Newspapers in the Post-New Order Era." Verity: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (International Relations Journal) 10, no. 19 (November 13, 2018): 25. http://dx.doi.org/10.19166/verity.v10i19.1308.

Повний текст джерела
Анотація:
<p>This study aims to provide a description of Chinese-Indonesian identity in the post-New Order era. Under the previous authoritarian regime, public expression of Chinese identity in all social fields, such as culture, language and politics, was officially suppressed by the government through its assimilation policy. A person could be Chinese or Indonesian, but not both. Since the collapse of the New Order government in 1998, Indonesia has begun the process of democratization, and the old Indonesian identity and cultural heritage of Indonesia has been "liberated". Now there is an urgent need to re-examine the identity of the Chinese. One channel for expressing Chinese ethnic identity is through ethnic media, such as Chinese newspapers which this paper will focus on. Based on this context, this paper aims to see what Chinese-Indonesian identities are presented in Chinese-language Indonesian newspapers in the post-New Order era by analyzing their reporting and discussion regarding main domestic political events.</p><p><strong>Bahasa Abstrak:</strong> Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penggambaran identitas orang Tionghoa-Indonesia di era pasca-Orde Baru. Di bawah rezim otoriter, ekspresi publik dengan identitas Tionghoa di semua bidang sosial, seperti budaya, bahasa dan politik, ditekan secara resmi oleh pemerintah seiring dengan kebijakan asimilasi. Seseorang bisa menjadi orang Tionghoa atau orang Indonesia, tetapi tidak keduanya. Sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia telah memulai proses demokratisasi, dan identitas lama serta warisan budaya Tionghoa-Indonesia telah "dibebaskan". Sekarang ada kebutuhan mendesak untuk memeriksa kembali identitas orang Tionghoa. Satu saluran untuk mengekspresikan identitas etnis Tionghoa adalah melalui media etnis, seperti surat kabar berbahasa Mandarin - sebagaimana yang akan difokuskan oleh makalah ini. Berdasarkan konteks ini, makalah ini bertujuan untuk melihat apa identitas orang Tionghoa-Indonesia yang disajikan dalam surat kabar Indonesia berbahasa Mandarin di masa pasca-Orde Baru, dengan menganalisa pelaporan dan diskusi mereka mengenai peristiwa politik domestik yang utama.</p>
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
11

Rahmayuni, Dewi, та Helmi Hidayat. "Hierarki Pengaruh Isu-Isu Moderasi Beragama pada Media Guo Ji Ri Bao 国际日报 Studi Kasus Berita Konflik Etnis Uighur di Xinjiang". Jurnal Studi Jurnalistik 2, № 1 (14 лютого 2020): 1–24. http://dx.doi.org/10.15408/jsj.v1i2.14568.

Повний текст джерела
Анотація:
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia terjadi sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yang berlanjut hingga saat ini. Strategi politik devide et impera pada masa penjajahan tersebut menghasilkan warisan stigma negatif dan cenderung rasis dari pihak pribumi kepada etnis Tionghoa, dan atau sebaliknya. Kini, muncul isu baru dimana rezim pemerintahan Tiongkok melakukan persekusi terhadap etnis Uighur, mayoritas Muslim di Xinjiang, yang diberitakan oleh hampir seluruh media mainstream nasional dan internasional. Isu tersebut diduga semakin memperkeruh hubungan antara penduduk lokal dengan etnis Tionghoa di Indonesia. Di tengah kondisi demikian, secara mengejutkan didapati koran berbahasa Mandarin yang bernama Guo Ji RI Bao membantah isu tersebut. Media dari kalangan Tionghoa yang tumbuh kembang di Indonesia ini mengusung isu keragaman agama dan moderasi beragama dalam pemberitaannya, termasuk dalam hal pemberitaan mengenai konflik tersebut. Hadirnya koran ini tentu saja menjadi ‘opini pembanding’ bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia. Koran ini mengklarifikasi bahwa kasus persekusi yang dialami oleh warga Uighur adalah berita yang tidak benar dan dilebih-lebihkan. Dan hemat penulis, isu yang disampaikan oleh media Guo Ji Ri Bao tentu saja dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab “bagaimana media Guo Ji Ri Bao mengonstruksi isu keragaman agama dan moderasi beragama dalam pemberitaan konflik etnis Uighur di Xinjiang?” dan “Apa saja faktor dominan yang paling berpengaruh dalam pemberitaan konfilik etnis Uyghur di Xinjiang pada media ini?”
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
12

Rahmayuni, Dewi, та Helmi Hidayat. "Hierarki Pengaruh Isu-Isu Moderasi Beragama pada Media Guo Ji Ri Bao 国际日报 Studi Kasus Berita Konflik Etnis Uighur di Xinjiang". Jurnal Studi Jurnalistik 2, № 1 (14 лютого 2020): 1–24. http://dx.doi.org/10.15408/jsj.v1i2.14568.

Повний текст джерела
Анотація:
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia terjadi sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yang berlanjut hingga saat ini. Strategi politik devide et impera pada masa penjajahan tersebut menghasilkan warisan stigma negatif dan cenderung rasis dari pihak pribumi kepada etnis Tionghoa, dan atau sebaliknya. Kini, muncul isu baru dimana rezim pemerintahan Tiongkok melakukan persekusi terhadap etnis Uighur, mayoritas Muslim di Xinjiang, yang diberitakan oleh hampir seluruh media mainstream nasional dan internasional. Isu tersebut diduga semakin memperkeruh hubungan antara penduduk lokal dengan etnis Tionghoa di Indonesia. Di tengah kondisi demikian, secara mengejutkan didapati koran berbahasa Mandarin yang bernama Guo Ji RI Bao membantah isu tersebut. Media dari kalangan Tionghoa yang tumbuh kembang di Indonesia ini mengusung isu keragaman agama dan moderasi beragama dalam pemberitaannya, termasuk dalam hal pemberitaan mengenai konflik tersebut. Hadirnya koran ini tentu saja menjadi ‘opini pembanding’ bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia. Koran ini mengklarifikasi bahwa kasus persekusi yang dialami oleh warga Uighur adalah berita yang tidak benar dan dilebih-lebihkan. Dan hemat penulis, isu yang disampaikan oleh media Guo Ji Ri Bao tentu saja dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab “bagaimana media Guo Ji Ri Bao mengonstruksi isu keragaman agama dan moderasi beragama dalam pemberitaan konflik etnis Uighur di Xinjiang?” dan “Apa saja faktor dominan yang paling berpengaruh dalam pemberitaan konfilik etnis Uyghur di Xinjiang pada media ini?”
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
13

Ubaedillah, Achmad. "The Minority and the State: Chinese Muslims in the Modern History of Indonesia." Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies 61, no. 1 (June 30, 2023): 107–36. http://dx.doi.org/10.14421/ajis.2023.611.107-136.

Повний текст джерела
Анотація:
Despite their long existence in Nusantara, the Chinese ethnic groups remain less represented or even misrepresented in the history of Indonesia, resulting in negative stereotypes and attitudes towards the community. Sejarah Nasional Indonesia (SNI) and history textbooks for schools and universities, for instance, do not provide adequate narratives about Chinese contributions to Indonesian politics and economy during the pre- and post-independence era. This study aims to critically analyse the representation of Chinese ethnicities in the modern history of Indonesia, more specifically, the SNI and history textbooks for Islamic schools and universities. The findings of the study suggest that there was an unwritten history of Chinese and Chinese Muslims, especially during the Sukarno and Suharto regimes, which then Abdurrahman Wahid began to include. The study recommends new narratives of Chinese Muslims in modern Indonesian history by proposing some notable scholars who extensively worked on the History of Islam in Java, to which Chinese Muslims had contributed. [Kendati sudah berada di Indonesia berabad-abad lamanya, etnis Tionghoa tidak banyak tercatat dalam narasi sejarah Indonesia. Misrepresentasi etnis Tionghoa di Nusantara bahkan menyebabkan adanya stereotip dan sikap negatif terhadap etnis tersebut. Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dan buku teks sejarah di sekolah dan universitas, misalnya, tidak banyak menyebutkan kontribusi etnis Tionghoa secara politik maupun ekonomi selama masa pra dan pasca kemerdekaan. Studi ini merupakan analisis kritis terhadap representasi etnis Tionghoa dalam sejarah modern Indonesia, khususnya dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dan buku teks sejarah di sekolah dan kampus Islam. Temuan kajian menunjukkan adanya sejarah yang tidak tercatat tentang peran Muslim Tionghoa selama rezim Sukarno dan Suharto, yang kemudian mulai diubah oleh rezim Gus Dur. Studi ini merekomendasikan adanya penulisan ulang sejarah Muslim Tionghoa di Indonesia dengan mengintegrasikan temuan studi beberapa sarjana ternama yang banyak meneliti mengenai Islam di Jawa dan peran etnis Tionghoa di dalamnya.]
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
14

Hidayatulloh, Dedi. "STRATEGI PEMBINAAN DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI RELIGIUS PADA MUALAF ETNIS TIONGHOA DI ORGANISASI PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI) SURABAYA." JURNAL AL-IJTIMAIYYAH 7, no. 2 (December 31, 2021): 259. http://dx.doi.org/10.22373/al-ijtimaiyyah.v7i2.10534.

Повний текст джерела
Анотація:
Abstract: This research is based on religious phenomena that occur in Indonesia, especially regarding religious conversion. The religious conversion is dominated by other religions who want to embrace Islam, where the majority of religious conversions occur in the ethnic Chinese environment. The Indonesian Chinese Islamic Association (PITI) in Surabaya is one of the institutions that oversees the development of converts to Islam and has a special strategy in fostering converts, especially the Chinese. This research is a qualitative research with a case study approach to determine the strategy of converting converts in the Indonesian Chinese Islamic Association Organization (PITI) Surabaya. Collecting data in this research is observation, interview and documentation. This study aims to answer, describe and analyze the problem of general description regarding the strategy of fostering ethnic Chinese converts at the Indonesian Chinese Islamic Association (PITI) Surabaya. The results showed that the general description of the strategies applied in instilling religious values in fostering ethnic Chinese converts to the Chinese Indonesian Islamic Association Organization (PITI) Surabaya included: 1) teaching; 2) habituation; 3) exemplary; 4) motivation; and 5) regulations.Keywords: Development Strategy; Chinese Ethnic Converts; PITI Surabaya.Abstrak: Penelitian ini didasarkan pada fenomena agama yang terjadi di Indonesia terkhusus perihal konversi agama. Konversi agama tersebut didominasi oleh agama lain yang ingin memeluk agama Islam, di mana perpindahan agama tersebut mayoritas terjadi di lingkungan etnis Tionghoa. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya merupakan salah satu lembaga yang menaungi pembinaan mualaf dan memiliki strategi khusus dalam membina mualaf terkhusus etnis Tionghoa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk mengetahui strategi pembinaan mualaf di Organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab, mendeskripsikan serta menganalisis permasalahan gambaran umum mengenai strategi pembinaan mualaf etnis Tionghoa di Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan temuan bahwa gambaran umum mengenai strategi yang diterapkan dalam menanamkan nilai-nilai religius membina mualaf etnis Tionghoa di Organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya meliputi: 1) pengajaran; 2) pembiasaan; 3) keteladanan; 4) motivasi; dan 5) peraturan.Kata Kunci: Strategi Pembinaan; Mualaf Etnis Tionghoa; PITI Surabaya.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
15

Tanuwijaya, Cecilia. "ANALISIS BUDAYA TIONGHOA INDONESIA PADA VIDEO IKLAN IMLEK BCA 2022 "PESAN SINGKAT SINCIA WARRIOR"." Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture 11, no. 2 (August 29, 2023): 130–41. http://dx.doi.org/10.9744/century.11.2.130-141.

Повний текст джерела
Анотація:
Penulis menemukan banyak hal menarik dalam video iklan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Tionghoa Indonesia ketika menyambut tahun baru Imlek. Selain itu, ada juga beberapa ciri khas yang dapat disimpulkan sebagai karakteristik yang melekat pada kalangan tertentu etnis Tionghoa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnis Tionghoa Indonesia masih memegang erat kebudayaan leluhur dan melestarikan perayaan Imlek dengan baik. Selain itu, ada beberapa ciri Tionghoa Indonesia yang menjadi stereotip di benak masyarakat seperti pekerja keras, ulet, pandai berbisnis dan suka mencari keuntungan. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pijakan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan kebudayaan Tionghoa Indonesia. Penulis juga ingin mengajak pembaca untuk melestarikan identitas budaya sebagai Indonesia Tionghoa dimanapun kita berada, serta saling bertoleransi. Kata kunci: Video iklan, Budaya, Imlek, Tionghoa Indonesia
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
16

Susanto, Dwi. "Pernyaian Dalam Masyarakat Tionghoa: Refleksi Dalam Sastra Peranakan Tionghoa." ATAVISME 15, no. 1 (June 28, 2012): 15–24. http://dx.doi.org/10.24257/atavisme.v15i1.44.15-24.

Повний текст джерела
Анотація:
Tulisan ini bertujuan melihat dinamika pemikiran atau pandangan pengarang peranakan Tionghoa tentang pernyaian. Pernyaian telah menjadi kebiasaan atau budaya pada masa kolo­nial di Indonesia. Baik golongan Eropa maupun Tionghoa menerima praktik budaya ini. Para intelektual peranakan Tionghoa memiliki perbedaan pandangan dan pemikiran terhadap praktik ini. Mereka menulis banyak buku seperti karya sastra dalam menghadapi realitas ini. Menurut pandangan Dilthey, karya sastra adalah pemikiran yang diobjektifkan. Pandangan pragmatisme mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil tindakan berpikir para pengarangnya. Pernyaian dalam masyarakat Tionghoa mengalami perubahan makna dari praktik yang “dilegalkan” menja­ di praktik yang “tidak bermoral” karena terjadi perubahan dalam memandang hubungan dalam keluarga dan nilai­nilai sosial yang baru. Abstract: This paper aims to see the dynamics of mind or worldview of Indonesian Chinese author on concubinage. The concubinage had become a habit or culture in the Indonesia colonial era. Both European and Indonesian Chinese people considered accepting this practices. Many Indonesian Chinese intellectual had different impression or opinion about this immoral practices. They wrote many books, e.g. literary works, about this corrupt attitude. Their ideas had given evidence about their intellectual history which based on mind. According to Dilthey, literary works can be considered as the objective mind. Based on pragmatic tradition, literary works result from the author’s action of thinking. Concubinage exercised by Indonesian Chinese had developed into a new worldview. It is influenced by the new paradigm which considers the family relationship and creating new social value. Key Words: literary works, objective mind, concubinage.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
17

Rokhani, Umilia, Aprinus Salam, and Ida Rochani-Adi. "Rekonstruksi Identitas Ke-“Tionghoa”-an dalam Film Indie Pasca-Suharto." REKAM: Jurnal Fotografi, Televisi, dan Animasi 12, no. 1 (November 21, 2016): 55. http://dx.doi.org/10.24821/rekam.v12i1.1380.

Повний текст джерела
Анотація:
AbstrakKe-“tionghoa”-an senantiasa menjadi hal yang dipermasalahkan di Indonesia. Hal ini mengacu pada identitas ke-“tionghoa”-an yang selalu diformulasikan oleh masyarakat Indonesia, baik oleh masyarakat Tionghoa itu sendiri maupun masyarakat non-Tionghoa. Upaya formulasi tersebut dimunculkan melalui berbagai wacana yang muncul baik perdebatan publik maupun berbagai karya mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia seperti dalam film. Metode yang dipakai mempergunakan pendekatan konstruktivisme sosial. Dalam hal ini, makna-makna subjektif dikaji atas pengalaman-pengalaman kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia melalui representasi film indie. Representasi tersebut dikaji tidak hanya melalui makna karya semata, tetapi juga mempertimbangkan unsur sejarah sebagai salah satu penentu alat produksi dan reproduksi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar diperoleh gambaran latar belakang yang kompleks mengenai kondisi historikal dan kultural kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Gambaran yang kompleks tersebut akan membantu dalam menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam karya film indie sebagai suatu hasil produksi dan reproduksi dari gambaran kehidupan masyarakat Tionghoa sebenarnya. Identitas masyarakat Tionghoa di Indonesia terbentuk baik dari pandangan eksternal maupun internal, sudut pandang formal maupun informal. Sudut pandang eksternal dilihat dari sisi luar masyarakat Tionghoa, sedangkan sudut pandang internal merupakan sudut pandang masyarakat Tionghoa membentuk jati dirinya sendiri. Identitas yang dibentuk secara formal terkait dengan peraturan perundangan yang diberlakukan di Indonesia sedangkan secara informal merupakan identitas yang dikembangkan melalui kolaborasi budaya bersifat mana suka (arbitrerness) yang pada akhirnya membentuk identitas baru yang tumbuh dari konteks ruang-antara masyarakat Tionghoa di Indonesia. Abstract The Reconstruction of Tionghoaness Identity in Indonesian Indie Movies in the Era of Post-Suharto. ‘Being a Chinese’ has always been an issue in Indonesia. It refers to the identities of ‘being a Chinese’ that were formulated by Indonesian people, both by the half-Chinese Indonesians and non half-Chinese Indonesians. The efforts in formulating those identities were mediated by various discourses found in public debates and works of arts represented the Chinese society life in Indonesia, such as in films. In this research, the social constructivism approach was applied. The experiences in life traversed by the Chinese society in Indonesia depicted in indie movies were studied to get the subjective meanings. The representations were not scrutinized merely from the meaning, but also by considering the historical aspects as, among others, the determinant factor of the means of production and reproduction. It was carried out to get the full picture of complicated background about the historical and cultural conditions of the Chinese people in Indonesia. The complicated depiction will be very beneficial in interpreting the meanings of the indie movies as a result of production and reproduction of the real life experienced by the Chinese society. The identity of Chinese people in Indonesia was shaped by the internal and external perspectives, by the formal and non formal point of views. The external point of view was the one given by the non Chinese people, whereas the internal was how the Chinese view themselves. The formally built identity was related to the laws applied in Indonesia. Arbitrary cultural collaborations informally developed the new Chinese identity that grew from the spatial contexts between the Chinese people in Indonesia.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
18

Pertiwi, Mirah. "Perkembangan Sentimen anti-Tionghoa di Indonesia." KAGANGA KOMUNIKA: Journal of Communication Science 3, no. 1 (June 1, 2021): 82–93. http://dx.doi.org/10.36761/kagangakomunika.v3i1.1062.

Повний текст джерела
Анотація:
Runtuhnya Orde Baru di Indonesia ditandai dengan kerusuhan yang meresahkan kemanusiaan. Kerusuhan Mei 1998 mencerminkan stereotip dan sentimen anti-Cina di antara masyarakat Indonesia. Setelah 23 tahun sejak tragedi tersebut, isu rasisme masih mewarnai Indonesia sampai sekarang. Artikel ini membahas mengenai penyebab sentimen anti-Tionghoa, dilihat dari sisi sejarah. Metode yang digunakan adalah literature review dengan pendekatan kualitatif. Temuan dari artikel ini menunjukkan sentimen terhadap keturunan Tionghoa mengakar sejak penjajahan belanda yang terjadi berabad-abad lalu. Sentimen tersebut diperkuat dengan regulasi-regulasi diskriminatif di era Orde Baru. Pasca tragedi Mei 1998, ditambah dengan runtuhnya rezim Orde Baru, sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa berubah, diiringi dengan regulasi-regulasi yang memastikan kesempatan setara bagi seluruh warga Indonesia tanpa memandang etnis, agama, atau ras. Meski begitu, isu bernuansa rasisme masih terjadi sampai sekarang. Keywords: Sentimen anti-Tionghoa, Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Diskriminasi Tionghoa.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
19

Astuty, Sekar Nur, Muhamad Shoheh, and Angga Pusaka Hidayat. "Upaya Abdul Karim Oey dalam Pembauran Orang Tionghoa di Indonesia, 1926-1988." Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities 4, no. 02 (December 29, 2023): 81–100. http://dx.doi.org/10.22515/isnad.v4i02.7668.

Повний текст джерела
Анотація:
Etnis Tionghoa adalah etnis yang telah lama menjadi bagian dari penduduk Nusantara. Orang Tionghoa menjalin interaksi dengan etnis lainnya sejak lama. Salah satu isu terkait etnis Tionghoa di Indonesia yang masih perlu diteliti adalah isu pembauran. Penelitian ini bermaksud untuk membahas upaya pembauran etnis Tionghoa yang dilakukan oleh Abdul Karim Oey pada 1926-1988. Abdul Karim Oey (Oey Tjeng Hien) adalah seorang Tionghoa peranakan yang muslim dan terlibat dalam upaya pembauran etnis Tionghoa di Indonesia sejak masa kolonial hingga Orde Baru. Metode sejarah digunakan dalam penelitian ini. Data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Penelitian ini menemukan bahwa Abdul Karim Oey berupaya membuka jalan pembauran bagi etnis Tionghoa di Indonesia melalui beberapa cara, yakni: Pertama, Abdul Karim Oey bergabung dengan organisasi Islam, Muhammadiyah. Kedua, dia terlibat dalam Penolong Korban Perang (PEKOPE) ketika terjadinya Perang Dunia II. Ketiga, dia mengambil peran dalam dunia politik dengan bergabung dalam partai Masyumi dan terlibat dalam pemerintahan. Keempat, dia berdakwah melalui organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Kata Kunci: Abdul Karim Oey; Etnis Tionghoa; Islam; Pembauran.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
20

Berliani, Syasmi Aisyah, and Raziq Hasan. "KAJIAN SEMIOTIKA ELEMEN ARSITEKTUR CINA PADA PERANCANGAN MUSEUM BUDAYA CINA DI BOGOR." Jurnal Ilmiah Desain & Konstruksi 22, no. 2 (2023): 239–57. http://dx.doi.org/10.35760/dk.2023.v22i2.9387.

Повний текст джерела
Анотація:
Semiotika adalah sebuah teori yang di dalamnya menjelaskan tentang tanda-tanda yang berisi makna dan pesan. Dengan menganalisis teori notasi arsitektur, proses penentuan ciri fisik dan makna dari objek bangunan yang akan dikaji dapat tersampaikan lebih mudah. Arsitektur Cina adalah salah satu budaya yang berasal dari luar yang saat ini sedang berkembang di Indonesia dan tentunya perlu terus dilestarikan agar budaya cina terus berkembang dan tidak hilang ditelan zaman serta mengajak pengunjung lebih mengenali dari beragam elemen yang terdapat pada Arsietktur Cina. Dalam konteks ini tema kajian unsur arsitektur Tionghoa adalah terdapat berbagai macam unsur arsitektur dalam arsitektur Tionghoa yang dapat diidentifikasi secara fisik dan sesuai maknanya, sehingga perlu diterapkan semiotika arsitektur dalam proses identifikasinya. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mendalam mengenai aspek fisik dan makna (tanda dan petanda) arsitektur Tiongkok melalui penelitian literatur atau pernyataan para ahli/budaya. Sementara itu, penguraian dan pembentukan elemen arsitektur elemen arsitektur Tiongkok dilakukan dengan metode Decoding dan Coding, yang bertujuan untuk memudahkan penerapan semiotika arsitektur dalam pemahaman elemen arsitektur Tiongkok. Hasil penelitian ini mengungkap konsep arsitektur Tionghoa yang telah ditransformasikan ke dalam perwujudan dan makna fisik, sehingga nilai-nilai Tionghoa dalam desain dapat diterapkan pada berbagai aspek dan bentuk baru tanpa menghilangkan esensi makna dan fisik aslinya.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
21

Hartadi, Yohanes. "CAU-BAU-KAN : A STORY OF THE CONTRIBUTION OF TIONGHOA TO THE NATION-BUILDING OF INDONESIA." Celt: A Journal of Culture, English Language Teaching & Literature 2, no. 2 (August 21, 2017): 94. http://dx.doi.org/10.24167/celt.v2i2.759.

Повний текст джерела
Анотація:
Ethnic and racial riots still happen in Indonesia. There must be a deeply-rooted reason for that. Remy Sylado's Cau-Bau-Kan concerns with a racial enmity between the pribumi and the Tionghoa (Indonesian Chinese). The enmity is growing from the old times when the Dutch and the Japanese colonizrd the country. They spreaded falses ideas against the Tionghoa among the pribumi. The Dutch also had the TIonghoa live in a particular area so that they were isolated from the interraction with the pribumi. Most pribumi do not understand these causes, they even produce stereotypes for generations. Cau-Bau-Kan tries to counter the stereotypes saying that the Tionghoa did not contribute anything for the nation-building of Indonesia
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
22

Wiratikusuma, Fransiska. "STUDI PERBANDINGAN KATA WARNA “MERAH” DALAM BAHASA INDONESIA DAN TIONGHOA." Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture 11, no. 1 (February 17, 2023): 54–63. http://dx.doi.org/10.9744/century.11.1.54-63.

Повний текст джерела
Анотація:
Pembelajaran bahasa tidak terlepas dari pembelajaran kosakata yang mencakup makna dan pembentukan kata. Gambaran dari klasifikasi kata berdasar makna dan pembentukan kata dapat digali melalui analisa kelompok kata dalam dua bahasa. Artikel ini menggunakan kelompok kata warna ‘merah’ dalam bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa dengan menggunakan referensi utama dari tesaurus kedua bahasa dan sumber terkait seperti kamus warna maupun kamus definisi bahasa penutur jati. Dari hasil pengklasifikasian kelompok kata warna merah, penelitian ini menunjukkan bahwa kata-kata dalam bahasa Tionghoa didominasi oleh kata majemuk. Pembentuk kata majemuk dalam bahasa Tionghoa mengandung kesatuan dari pembentukan aksara Han yang memiliki arti yang dapat memudahkan pemelajar bahasa Tionghoa dapat memahasi arti dari kata majemuk tersebut. Selain itu, dengan menguasai klasifikasi makna dalam sebuah kelompok kata dan pembentukan kata, pemelajar bahasa Tionghoa dapat secara efektif mempelajari bahasa Tionghoa.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
23

Gunawan, Esther. "Menuju Liturgi yang Kontekstual : Suatu Tinjauan terhadap Liturgi Gereja-Gereja Tionghoa Indonesia." Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 15, no. 1 (April 1, 2014): 107–32. http://dx.doi.org/10.36421/veritas.v15i1.288.

Повний текст джерела
Анотація:
Era reformasi serta kesempatan pekabaran Injik yang seluas-luasnya di kalangan komunitas Tionghoa di Indonesia, seharusnya menjadi peluang emas bagi perwujudan pelayanan penginjilan yang lebih kontekstual dan efektif. Implementasi praktis yang bisa dikerkjakan gereja-gereja Tionghoa di Indonesia adalah dengan melakukan kontekstualisasi liturgi melalui suatu pendekatan teologi yang kontekstual dan Alkitabiah. Melalui kontekstualisasi liturgi, gereja-gereja Tionghoa di Indonesia ditantang untuk kreatif dan arif dalam menyikapi relasi antara Injil dan budaya. Tujuannya adalah menciptakan suatu liturgi, yang secara budaya sesuai dengan konteks Tionghoa, sehingga komunitas Tionghoa di dalam gereja dapat mengklaim bahwa ibadah itu adalah milik mereka, bukan suatu imitasi atau akomodasi semata.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
24

Christian, Symphony Akelba. "Identitas Budaya Orang Tionghoa Indonesia." Jurnal Cakrawala Mandarin 1, no. 1 (April 11, 2017): 11. http://dx.doi.org/10.36279/apsmi.v1i1.11.

Повний текст джерела
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
25

Ibrahim, Ibrahim. "TIONGHOA INDONESIA: Dari Dikotomi Ke Mono-Identitas?" Society 1, no. 1 (June 1, 2013): 46–55. http://dx.doi.org/10.33019/society.v1i1.41.

Повний текст джерела
Анотація:
Yang paling umum digunakan oleh berbagai elemen dalam mendefinisikan identitas Tionghoa adalah dengan membaginya menjadi dikotomi utama, yaitu totok dan peranakan. Namun demikian, definisi totok dan peranakan sendiri memiliki batasan yang terus diperdebatkan. Totok umumnya dipahami dari sisi kelahirannya dan Puritanisme Tionghoa, sementara peranakan dipahami sebagai identitas yang saling memadukan satu sama lain dengan lokalitas. Seiring berjalannya waktu, dikotomi totok dan peranakan tidak relevan lagi. Perkembangan politik baru-baru ini telah menyebabkan opsi identitas Tionghoa diukur sendiri-sendiri dengan tingkat fleksibilitas yang lebih likuid.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
26

Kadri, Kadri, and Abdul Wahid. "Install identitas pribumi dalam praktik komunikasi etnik Tionghoa di Bima, Indonesia." Jurnal Kajian Komunikasi 9, no. 1 (June 28, 2021): 12. http://dx.doi.org/10.24198/jkk.v9i1.32423.

Повний текст джерела
Анотація:
Fenomena interaksi komunitas Tionghoa di Bima menarik untuk dipelajari karena kenyataan minimnya konflik antara etnik Tionghoa dengan masyarakat lokal. Studi ini bertujuan untuk mengungkap fenomena installing identitas etnik yang dilakukan warga Tionghoa dalam komunikasinya dengan masyarakat pribumi Bima, Nusa Tenggara Barat sebagai upaya untuk menjadi orang Bima secara sosial dan psikis. Riset ini menggunakan metode kualitatif, dengan tradisi fenomenologi ini menjadikan 20 orang etnik Tionghoa dan 15 orang etnik Bima sebagai informan untuk diwawancarai dan diamati sejak Oktober 2019 hingga Juli 2020. Hasil riset menunjukkan bahwa etnik Tionghoa di Bima melakukan installing identitas etnik dengan cara menginternalisasi nilai-nilai budaya Bima, terlibat dalam kegiatan sosial dan budaya, mengambil bagian dalam hobi komunal etnik Bima, dan menggunakan bahasa daerah di ruang publik secara intens. Meskipun proses installing identitas etnik telah mengefektifkan komunikasi warga Tionghoa dengan masyarakat Bima, namun bukan berarti etnik Tionghoa serius meng-install dirinya menjadi orang Bima karena hal tersebut hanya mereka lakukan di ruang publik sebagai bentuk pengelolaan kesan dengan motif subjektif dan pragmatis agar mereka sukses berbisnis dan bisa diterima di kalangan masyarakat lokal tanpa resistensi. Secara teoretis, studi ini turut memperkaya kajian komunikasi antarbudaya dengan model pengelolaan kesan etnik Cina yang ditemukannya. Secara pragmatis, studi ini penting sebagai referensi bagi etnik Tionghoa dalam membangun komunikasi yang efektif dengan komunitas lokal di Indonesia.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
27

Nufus, Achmad Busrotun, Elly Malihah, Cecep Darmawan, Leni Anggraeni, Dasim Budimansyah, and Fransiskus Sehadun. "Cultural Diversity and Harmony of Tionghoa Good Character: Towards Unity with Incremental Change of Citizenship." Jurnal Moral Kemasyarakatan 9, no. 1 (June 30, 2024): 41–52. http://dx.doi.org/10.21067/jmk.v9i1.10212.

Повний текст джерела
Анотація:
Indonesia, as a country with rich cultural diversity, shows a strong commitment to developing social dynamics to care for and maintain this diversity. This research explores the role of ethnic Tionghoa in their contribution to national diversity and unity. Through qualitative methods with an ethnographic approach and literature study, with a total of 30 ethnic Tionghoa informants, this research found that the values ​​of tolerance, respect for differences and mutual cooperation implemented by the Tionghoa community play an important role in maintaining social harmony in Indonesia. Research results have shown that Indonesian people, including ethnic Tionghoa, view cultural diversity as a wealth that enriches national identity and strengthens national unity. Ethnic Tionghoa actively participate in preserving and advancing their cultural traditions, as well as demonstrating the values ​​of tolerance, respect for differences and mutual cooperation in everyday life. These values ​​have proven effective in maintaining social harmony and overcoming potential inter-ethnic conflicts. In addition, the policy of incremental change in citizenship has helped integrate various ethnic groups, including ethnic Tionghoa, within an inclusive national framework, thereby strengthening national unity gradually and sustainably.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
28

Aprillia, Fajrina. "MENAKAR METAMORFOSIS NASIONALISME PERANAKAN TIONGHOA DI KELURAHAN KUTO PANJI DAN DESA LUMUT SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI." Scripta: Jurnal Ilmiah Mahasiswa 2, no. 2 (December 29, 2020): 245–57. http://dx.doi.org/10.33019/scripta.v2i2.87.

Повний текст джерела
Анотація:
Nasionalisme Indonesia dikontruksi berdasarkan konsep kepribumian, etnis Tionghoa dianggap bukan bagian dari Indonesia selama tidak mengasimilasikan diri secara total. Perubahan kebijakan dan kepemimpinan turut merubah posisi identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Bangka Belitung salah satu wilayah dengan sebaran penduduk etnis Tionghoa yang cukup banyak. Desa Lumut dan Kelurahan Kuto Panji adalah wilayah dengan banyaknya penduduk Tionghoa di Bangka. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perubahan nasionalisme dan bentuk nasionalisme peranakan Tionghoa terkini. Penelitian ini menggunakan konsep nasionalisme dari Anthony D Smith yang menjelaskan bahwa nasionalisme berdasarkan 2 aspek yaitu berdasarkan wilayah teritorial (sosiologis) dan berdasarkan etnis (psikologis), yang kemudian menurut Smith nasionalisme menekankan penjelasan historis dan sosiologis namun karena pemahaman tentang penjelasan hal tersebut telah abstrak sehingga mencakup unsur emosi, simbol, kenangan, kehendak, sosial dan sosial psikologis. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method). Sumber data primernya dari observasi, wawancara dan kuesioner dengan jumlah responden sebanyak 40 orang yang terbagi menjadi 20 responden di Desa Lumut dan 20 responden di Kelurahan Kuto Panji. Temuan utama pada penelitian ini adalah perubahan nasionalisme peranakan Tionghoa mengalami beberapa fase yaitu mengakui bukan asli darah Indonesia, penerimaan diri, dan mengakui sebagai orang Indonesia dengan bentuk nasionalisme kenegaraan. Selain itu juga ditemukan bahwa usia dan pendidikan berpengaruh pada nasionalisme peranakan Tionghoa.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
29

Tanggok, M. Ikhsan. "Perayaan Tahun Baru Imlek Dalam Masyarakat Tionghoa Di Indonesia." Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin 1, no. 1 (April 12, 2020): 40–57. http://dx.doi.org/10.15408/ushuluna.v1i1.15150.

Повний текст джерела
Анотація:
Hari raya Imlek adalah hari raya orang Tionghoa. Hari raya ini berdasarkan perhitungan lunar (bulan). Pada masa Orde Baru berkuasa, hari raya Imlek ini dilarang oleh pemerintah untuk dirayakan oleh orang-orang Indonesia peranakan Tionghoa, karena pemerintah merasa khawatir dapat mengganggu program assimilasi yang dicanagkan oleh pemerintah Orde Baru. Tulisan ini berusaha menjelaskan hari raya Imlek orang Tionghoa dan apa saja yang dilakukan orang Tionghoa dalam merayakan hari raya tersebut. Dalam tulisan ini juga menjelaskan tentang apakah hari raya Imlek itu sebagai hari raya agama atau bukan. Agama Khonghucu mengaggap hari raya Imlek sebagai hari raya umat Khonghucu, sedangkan umat lain juga merayakannya dan menganggap hari raya Imlek tidak ada kaitan dengan agama
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
30

Dawa, Markus Dominggus L. "Gereja Tionghoa dan Masalah Identitas Ke-Tionghoa-an." Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 6, no. 1 (April 1, 2005): 117–30. http://dx.doi.org/10.36421/veritas.v6i1.139.

Повний текст джерела
Анотація:
Beberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah surat dari seorang kawan yang melayani sebuah jemaat Tionghoa di suatu kota di luar pulau Jawa. Surat itu berisi pertanyaan tentang perayaan tahun baru imlek di gereja. Kawan ini rupanya satu dari sekian banyak orang yang tidak setuju imlek dirayakan oleh orang-orang Kristen Tionghoa. Alasan yang dikemukakannya adalah karena perayaan imlek adalah “perayaan tahun baru Cina” dan pada waktu itu “masyarakat Tionghoa pergi ke vihara-vihara untuk bersembahyang kepada ‘dewa-dewa’ untuk meminta berkat.” Masih dalam lingkungan sinode yang sama dengan gereja kawan saya itu, ada gereja-gereja lain yang merayakan tahun baru imlek di gerejanya. Mereka rupanya terbilang di antara yang setuju imlek dirayakan oleh orang Kristen Tionghoa. Bahkan sampai diadakan kebaktian dan perayaan khusus untuk itu, lengkap dengan berbagai pernik dan atribut yang melekat pada imlek tersebut. Waktu ditanya mengapa mereka merayakannya, temanteman yang merayakan ini berpendapat bahwa imlek merupakan bagian integral dari tradisi budaya orang Tionghoa. Jadi entah orang itu Kristen atau bukan, imlek dapat dirayakan oleh setiap orang Tionghoa. Selain itu ada tujuan lain yang lebih utama yaitu untuk penginjilan. Kawan saya di atas mengirimi saya surat dengan maksud meminta pendapat saya soal perayaan ini. Tetapi, dalam tulisan ini saya tidak ingin masuk ke dalam perdebatan setuju atau tidak setuju tentang imlek. Bagi saya, pro-kontra di kalangan orang Kristen Tionghoa tentang perayaan imlek hanyalah puncak kecil dari sebuah gunung es persoalan yang lebih besar yang selama ini tidak ditangani dengan serius oleh Gereja-gereja Tionghoa sendiri. Persoalan ini bukan hanya dihadapi oleh orang-orang Tionghoa yang Kristen saja, tetapi juga dihadapi oleh semua orang Tionghoa lainnya di negeri ini. Persoalan itu adalah masalah identitas diri orang Tionghoa di Indonesia. Apakah yang membuat seseorang mengenal dan dikenal sebagai orang Tionghoa di negeri ini? Persoalan ini menjadi lebih rumit bagi orang Kristen Tionghoa karena tidak hanya berhadapan dengan konstruksi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang sudah dikondisikan sedemikian rupa, khususnya oleh pemerintahan Orde Baru di masa lalu, sehingga menghasilkan suatu pandangan tersendiri terhadap orang Tionghoa; tetapi juga karena sebagai orang Kristen, ada suatu pandangan teologis tertentu yang mempengaruhi pandangan orang Tionghoa Kristen tentang dirinya sendiri dan khususnya tentang kebudayaan yang diakui berperan penting bagi pembentukan identitas suatu kelompok masyarakat. Saya tidak bermaksud memberikan solusi menyeluruh untuk persoalan ini. Apa yang hendak saya angkat di sini lebih untuk membuat kita paham bahwa ada persoalan berkaitan dengan jati diri ke-Tionghoa-an orang-orang Tionghoa di Indonesia, termasuk juga dengan jati diri ke-Tionghoa-an orangorang Kristen Tionghoa. Selain itu, saya hendak kupas juga apa yang selama ini sudah dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam menghadapi persoalan ini dan bagaimana sebaiknya orang Tionghoa Kristen menghadapinya.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
31

Ratnawati, Devi, Nurhadi Nurhadi, and Abdul Rahman. "Pembentukan Identitas Tionghoa Muslim di Kalangan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Semarang." Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Budaya 8, no. 4 (November 10, 2022): 1237. http://dx.doi.org/10.32884/ideas.v8i4.998.

Повний текст джерела
Анотація:
The New Order government encouraged ethnic Chinese Indonesians as the local population, resulting new identity as Chinese Muslims, then the group formed PITI. This research is analyzing the forming of Chinese Muslim socio-cultural identity among PITI from the perspective of Tajfel and Turner's social identity theory. The descriptive qualitative research method used in this research, and the data obtained from semi-structured in-depth interviews, observations, and documentation and/or literature studies. The results showed that Chinese Muslims tried to maintain and gain a positive social identity. It can be seen from individual and collective efforts to form different socio-cultural identities, some Muslim Chinese identify Chinese socio-cultural, some identify Javanese socio-cultural.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
32

Seda, Joanessa M. J. S. "Dwikenegaraan Etnis Tionghoa di Luar Tiongkok: Suatu Analisis terhadap Perspektif Pemerintah Tiongkok." Paradigma, Jurnal Kajian Budaya 1, no. 2 (February 10, 2016): 168. http://dx.doi.org/10.17510/paradigma.v1i2.12.

Повний текст джерела
Анотація:
<p>The paper is about the historical efforts made by the Chinese Qing dynasty up to the current government to bond the Chinese overseas throughout the world to funnel their financial gain to the homeland. It shows that the policy to take advantage of the Chinese overseas to send their revenues to develop China, was adopted even during the nationalist governments. However, the analysis poses the strong reason of the tie of the Chinese overseas to the homeland, that it was not only given just for its financial support, but that it has been generated by a strong sense of cultural connectedness. On the other hand, although, culturally, the Chinese are attached to their cultural heritage, efforts to force the Chinese overseas to continually support the homeland were not that successful. In the nineteenth century, the Chinese in Indonesia during the colonial time, have been granted by the emperor, a double citizenship.</p><br /> But after the Mao downfall, some of the Southeast Asia countries, including Indonesia, has opposed communism in the region, thus rejected the policy. The republic of Deng finally revoked the doublecitizenship policy and as a result, encouraged promotion of teaching Chinese language overseas and sending scholars to study abroad.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
33

Herwiratno, M. "Kelenteng: Benteng Terakhir Dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa Di Indonesia." Lingua Cultura 1, no. 1 (May 31, 2007): 78. http://dx.doi.org/10.21512/lc.v1i1.264.

Повний текст джерела
Анотація:
This article discussed about the degradation of culture among Tionghoa society in Indonesia due to public pressure during Orde Baru era. It is fortune during the hard time, kelenteng as the place for prayer for Tionghoa society also had became place of protection for many forms of culture, such as life philosophy, ritual, and art. And now after the political pressure removed and the Tionghoa society wanted to know their culture, kelenteng becomes one of the important sources for knowledge about Tionghua’s culture. But, that apparently was not easy because many kelenteng were in sad condition and being pushed away by the Tionghoa society itself.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
34

Firdaus, Yogi Fitra. "PERAN ORANG-ORANG TIONGHOA DALAM PEKABARAN INJIL: KAJIAN HISTORIS TERBENTUKNYA JEMAAT TIONGHOA DI JAWA BARAT." Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Musik Gereja 4, no. 1 (May 17, 2020): 77–97. http://dx.doi.org/10.37368/ja.v4i1.120.

Повний текст джерела
Анотація:
Keberadaan gereja-gereja yang berlatar belakang Tionghoa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan misionaris yang dilakukan oleh penginjil Eropa atau penginjil Tionghoa. Meskipun memiliki peran besar dalam menyebarkan Injil, peran penginjil Tionghoa belum dibahas dengan baik, tidak seperti misionaris Belanda. Artikel ini mencoba menganalisis peran orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa dalam penginjilan kepada sesama kelompok etnis mereka yang nantinya akan menjadi fondasi bagi gereja-gereja Tionghoa di Jawa Barat di era pra-kemerdekaan. Setidaknya ada enam tokoh yang memainkan peranan penting dalam proses pekabaran Injil di Indramayu, Batavia, Bandung, dan Cirebon pada abad ke-19. Mereka bertindak sebagai perintis sekaligus pemimpin jemaat Tionghoa di kota-kota tersebut. Meskipun para pekabar Injil ini pertama kali mendengarkan tentang Yesus Kristus dari para misionaris Belanda, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa kekristenan di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa Barat merupakan warisan zending Barat semata, karena jemaat-jemaat Tionghoa sudah terbentuk sebelum badan misi NZV datang ke Jawa Barat. Melalui artikel ini kita dapat memperoleh kesamaan pola penginjilan, mengetahui proses pertobatan, serta alasan-alasan orang Tionghoa di Jawa Barat beralih menjadi Kristen.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
35

Ariyanti, Ariyanti. "BUDAYA TIONGHOA DI INDONESIA DALAM SEBUAH CERPEN LAN FANG (Chinese-Indonesian’s Culture in Indonesia in a Short Story by Lan Fang)." METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra 4, no. 2 (March 15, 2016): 116. http://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2011.v4i2.116-122.

Повний текст джерела
Анотація:
Lan Fang adalah seorang penulis keturunan Tionghoa. Karya-karyanya banyak menampilkan budaya Tionghoa. Salah satu karya Lan Fang yang cukup menarik adalah sebuah cerpen yang berjudul “Yang Liu”. Dalam cerpen tersebut Lan Fang menggambarkan dengan jelas bagaimana orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia melakukan prosesi pemakaman jenazah. Selain itu, Lan Fang juga menyelipkan beberapa kosakata Mandarin dan menjelaskan kosakata tersebut sebagai upaya memperkenalkan bahasa Mandarin pada pembaca. Tulisan ini mendeskripsikan bagaimana Lan Fang menjadikan budaya Tionghoa di Indonesia sebagai latar belakang cerita, budaya apa saja yang ditampilkan, dan makna simbol-simbol yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Abstract:Lan Fang is a Chinese-Indonesian writer. In her works, she shows Chinese-Indonesian’s culture. One of her interesting works is a short story called Yang Liu. In Yang Liu, Lan Fang clearly describes funeral procession in her culture. Introducing Mandarin Language, Lan Fang gives some Mandarin words with its explanations. This writing desribes how Lan Fang uses the Chinese-Indonesian’s culture as her strory background, which kind of culture that she presented and the meanings of its symbol that she representated s.This research uses descriptiv method with qualitative approach.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
36

Anjani, Ria. "MENGANALISIS PERAN GUS DUR DALAM PERJUANGAN HAK UMAT BERAGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA." Krinok: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Sejarah 1, no. 1 (May 6, 2022): 85–93. http://dx.doi.org/10.22437/krinok.v1i1.17848.

Повний текст джерела
Анотація:
Artikel ini membahas bagaimana peranan Gus Dur dalam perjuangan hak umat beragama Konghucu di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan Gus Dur dalam perjuangan hak umat beragama Khonghucu di indonesia. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan pendekatan studi pustaka. Hasil penlitian Gus Dur adalah tokoh yang memiliki peran yang sangat pentig dalam memperoleh kebebasan umat beragama Khonghucu untuk beragama. Pada masa orde baru kondisi etnis Tionghua mengalami pergolakan, yang mana kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu membuat etnis Tionghua merasa diskriminasi yang mana implementasi kebijakan yang berlaku pada saat itu dinilai tidak sejalan dengan pancasila dan UUD 1945. Naiknya Gus Dur menjadi presiden menjadikan umat beragama Khonghucu mulai diperbolehkan melakukan kegiatan keagamaannya kembali. Melalui dikeluarkanya kepres No 6 tahun 2000 membuat etnis Tionghua dapat melakukan kegiatan keagamaan secara bebas dan mendapat perlindungan resmi dari pihak keamanan negara. Dibuktikan dengan munculnya berbagai macam kebudayaan Tionghua seperti seni budaya barongsai,naga liong dan kebudayaan Tionghua lainya yang dipertunjukan secara publik. Hingga kini kehidupan warga etnis tionghoa di indonesia berangsu angsut membaik.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
37

Khoiri, M., and Irwan Irwan. "Nasionalisme Masyarakat di Perbatasan Indonesia-Singapura: Studi Kasus Masyarakat Tionghoa-Batam." Journal of Moral and Civic Education 4, no. 1 (May 30, 2020): 11–18. http://dx.doi.org/10.24036/8851412412020232.

Повний текст джерела
Анотація:
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nasionalisme masyarakat Tionghoa Batam di dekat perbatasan Indonesia-Singapura, menganalisis sejauh mana mereka memaknai rasa nasionalismenya, serta mengetahui upaya pemeliharaan rasa nasionalisme yang dilakukan negara terhadap masyarakat Tionghoa-Batam. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Lokasi penelitian adalah di wilayah Nongsa Batam. Penelitian ini menemukan bahwa nasionalisme masyarakat di perbatasan tidak begitu terlihat disebabkan oleh beberapa faktor-faktor, di antaranya mobi-litas yang tinggi serta pertukaran informasi dan kamunikasi. Masyarakat Tionghoa-Batam lebih tertarik menggunakan Bahasa Mandarin, Hokkian dibandingkan bahasa Indonesia dalam berinteraksi. Mereka juga lebih tertarik melihat saluran televisi Singapura dan Malay-sia yang menggunakan Bahasa Mandarin. Dengan demikian mereka tidak tertarik dengan isu dan perkembangan nasional. Upaya yang dilakukan pemerintah daerah Kepulau-an Riau untuk memelihara rasa nasionalisme masyarakat Tionghoa-Batam di antaranya yaitu mewajibkan memasang bendera Indonesia saat perayaan HUT RI. Selain itu juga se-ring dilaksanakan berbagai pawai adat dan budaya untuk membangun rasa cinta terhadap adat dan budaya Indonesia, serta kegiatan sosialisasi pentingnya mencintai produk dalam negeri dan melakukan pembinaan terhadap perkumpulan warga masyarakat Tionghoa-Batam.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
38

Meidyana, Veronika, and Sidhi Wiguna Teh. "GALERI SENI KEBUDAYAAN PERANAKAN TIONGHOA INDONESIA." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) 1, no. 1 (September 9, 2019): 695. http://dx.doi.org/10.24912/stupa.v1i1.3808.

Повний текст джерела
Анотація:
Pecinan Jakarta merupakan kawasan yang di mana kaum etnis Tionghoa tinggal, telah mengalami perubahan karena dinamika isu politik, ekonomi dan sosial budaya di Kota Jakarta. Warisan memori, tradisi, kebudayaan, dan nilai-nilai sejarah yang identik dengan kawasan ini menjadi bukti telah terjadinya berbagai rangkaian peristiwa yang bermuara pada industri sektor pariwisata bersejarah. Studi ini berfokus pada Kawasan Pecinan Jakarta sebagai objek pariwisata arsitektur. Dengan mencoba mengkaitkan garis sejarah Kawasan Pecinan dengan fenomena wisata melalui media sosial yang kini tengah merambah ke industri seni budaya. Kegiatan seni budaya dapat dijadikan wadah untuk berwisata dengan memamerkan hasil karya di media sosial dan memicu terjadinya kegiatan baru untuk ditekuni sebagai hobi. Sehingga tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis wisata seni dan sejarah-kebudayaan masa kini sebagai wisata yang terintegrasi dengan Kawasan Pecinan Jakarta dan Kota Tua sebagai elemen pembentuk kota. Hasil investigasi dan analisis menunjukkan bahwa seni budaya khas orang Tionghoa yang dapat dikembangan di Kawasan Pecinan Jakarta adalah kerajinan keramik. Tanah liat digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan alat makan keramik seperti, mangkuk, piring, gelas, sumpit. Proses pembuatan kerajinan keramik dari tanah liat yang dikembangkan pada proyek ini, di mana wisatawan bisa menikmati proses pembuatan dari bahan mentah hingga menghiasnya dengan alat lukis. Selain itu, di bangunan ini, wisatawan dapat juga menikmati taman di tengah bangunan, biasanya ditemui di rumah-rumah orang Tionghoa. Taman ini dipercaya orang Tionghoa sebagai sumur langit dan disebut shi he yuan dalam bahasa mandarin.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
39

Dahana, A. "Kegiatan awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia." Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia 2, no. 1 (February 25, 2015): 54. http://dx.doi.org/10.17510/wjhi.v2i1.271.

Повний текст джерела
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
40

Dawa, Markus Dominggus L. "Orang Tionghoa dalam Negara Indonesia yang Dibayangkan: Analisis Percakapan Para Pendiri Bangsa dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI." Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 10, no. 2 (October 1, 2009): 259–84. http://dx.doi.org/10.36421/veritas.v10i2.215.

Повний текст джерела
Анотація:
Pada 1995, Institut DIAN/Interfidei menerbitkan sebuah buku yang sebagian besar berisi makalah yang didiskusikan dalam seminar bertajuk “Konfusianisme di Indonesia,” yang diadakan pada tahun sebelumnya oleh Institut DIAN/Interfidei juga. Judul buku itu adalah Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Buku ini memang khusus bicara soal Konfusianisme di Indonesia. Namun, percakapan tentang Konfusianisme tidak bisa dilepaskan dari percakapan tentang orang-orang Tionghoa, yang sebagian besar memeluk keyakinan ini. Karena itu, bicara tentang pergulatan Konfusianisme yang mencari jati dirinya di bumi Indonesia tidak bisa tidak juga menyentuh para pemeluknya, orang-orang Tionghoa. Buku itu hanya salah satu dari sekian banyak buku yang pernah ditulis tentang orang-orang Tionghoa. Sejak terbitnya buku itu, persoalan siapa dan di mana orang Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pun tidak pernah selesai dibicarakan. Tiga tahun setelah buku itu diterbitkan, menyusul jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, terjadi kerusuhan hebat di beberapa kota di Indonesia, yang mana salah satu korbannya adalah orang-orang Tionghoa. Terlepas dari pahit-getirnya peristiwa itu, bagi orang-orang Tionghoa, kerusuhan itu hanyalah sekadar letupan di permukaaan dari isu yang sebenarnya belum pernah tuntas diselesaikan, yaitu soal tempat atau posisi orang-orang Tionghoa Indonesia di dalam konfigurasi masyarakat dan negara Indonesia. Siapakah sebenarnya orang Tionghoa ini di mata orang-orang non-Tionghoa di Indonesia? Jauh sebelum negara Indonesia berdiri, siapakah mereka menurut pemahaman Bapak-Bapak Pendiri Bangsa Indonesia? Apakah mereka sungguh bagian integral bangsa ini? Ataukah mereka, memakai ungkapan rasul Paulus dalam Surat Roma, adalah “tunas liar” yang bukan cabang asli dari sebuah pohon yang disebut Indonesia? Kalau jawabannya ya, pertanyaan berikutnya adalah pemahaman-pemahaman macam apakah tentang Indonesia yang telah memberi ruang muncul dan berkembangnya cara pandang semacam itu? Mengapa sampai muncul, setidaknya dalam pemikiran para Bapak Bangsa Indonesia, dikotomi semacam itu? Arikel ini bermaksud menelusuri persoalan-persoalan di atas dengan menggunakan teori Ben Anderson tentang bangsa sebagai the imagined communities sebagai alat bantu untuk menginterogasi pikiran-pikiran para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, yang terungkap dalam pidato-pidato mereka di dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pikiran-pikiran yang terungkap selama sidang-sidang ini dijadikan acuan di sini karena, menurut saya, persidangan itu memiliki nilai historis yang amat penting bagi lahirnya negara Indonesia. Ia amat penting karena menjadi landasan bagi generasi bangsa Indonesia selanjutnya memahami dirinya. Meski waktu yang tersedia untuk merenungkan Indonesia tidak banyak, jika dibaca dari sudut pandang durasi waktu mereka bersidang, namun bukan berarti pikiran-pikiran itu muncul saja secara tiba-tiba. Seperti yang diungkapkan Bung Karno dalam pidatonya tentang dasar negara, ia telah sejak lama sekali merenungkan dan memperjuangkan Pancasila. “[S]aya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu . . . . Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun.” Kalau demikian, maka apa yang terungkap dalam persidangan itu bisa dipakai sebagai deskripsi yang mendekati kenyataan yang selama ini dipikirkan dan dibayangkan tentang Indonesia saat itu dan kemudian.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
41

Aryani, Mima Kharimah. "INPRES NO 14 TAHUN 1967: BENTUK DISKRIMINASI PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA." JEJAK : Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah 2, no. 2 (December 18, 2022): 01–12. http://dx.doi.org/10.22437/jejak.v2i2.21627.

Повний текст джерела
Анотація:
Masa Orde Baru merupakan masa kelam bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Kebebasan mereka direnggut oleh pemerintah Orde Baru yang tentunya tindakan ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap warga negara. Pemerintah Orde Baru dengan tegas membentuk kebijakan untuk mengatur warga etnis Tionghoa baik dalam menjalankan agama, kepercayaan, serta adat istiadatnya di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakannya tertuang pada Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana Inpres ini mengatur etnis Tionghoa sehingga membentuk masa kelam bagi mereka. Latar belakang masalah dalam artikel ini lebih difokuskan pada pelaksanaan Inpres No. 14 Tahun 1967 di masa Orde Baru serta dampaknya bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini yaitu dengan studi literatur yang berpedoman pada langkah-langkah penelitian sejarah yaitu Heuristik, Kritik Sejarah, Interpretasi, dan Historiografi. Adapun hasil dari penelitian ini adalah tindakan diskriminasi pemerintah meliputi berbagai bidang kehidupan etnis Tionghoa selama kurang lebih 30 tahun lamanya dan ini berdampak besar pada pola hidup mereka di masa-masa sesudahnya.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
42

Haryani, Elma. "AKULTURASI BUDAYA KEAGAMAAN DI CINA BENTENG KOTA TANGERANG." Jurnal Lektur Keagamaan 18, no. 2 (December 31, 2020): 399–428. http://dx.doi.org/10.31291/jlka.v18i2.799.

Повний текст джерела
Анотація:
The existence of Chinese ethnic in Indonesia has been going on for centuries. Pro and contra attitudes emerge from other Indonesian societies because of the seriousness of the Chinese ethnic group to integrate with other communities is often doubted. This study tries to discuss the religious culture of the Chinese people in the Indonesian context. Research question is formulated to answer how the Benteng Chinese community built a religious culture to remain united with other ethnic groups in Indonesia. This study is a qualitative research with a case study approach. The case chosen was the Chinese ethnic group in Benteng Chinese Tangerang. The results of the study show that the Benteng Chinese community has succeeded in building religious cultural resilience in such a way that the Benteng Chinese community continues to exist today. The model of religious culture resilience that is built is to build religious and cultural accuracy in a dialogical way. This dialogical model in acculturation of culture and religion is a more peaceful solution compared to the social history of the Chinese ethnic groups in Indonesia which is indicated by conflict and violence. Keywords: acculturation, Cina Benteng, religious culture, Tangerang  Keberadaan suku Tionghoa di Indonesia telah eksis selama berabad-abad. Sikap pro dan kontra muncul dari masyarakat indonesia lainnya, demikian juga kesungguhan suku Tionghoa menyatu dengan masyarakat lainnya juga sering diragukan. Tulisan ini mencoba membahas budaya keagamaan suku Tionghoa dalam konteks keindonesiaan. Permasalahan penelitian dirumuskan untuk menjawab bagaimana masyarakat Cina benteng membangun budaya keagamaan untuk tetap bisa menyatu dengan suku bangsa yang lain di Indonesia. Kajian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang dipilih adalah suku Tionghoa di Cina Benteng Tangerang. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat Cina Benteng berhasil membangun ketahanan budaya keagamaan sedemikian rupa sehingga komunitas Cina Benteng ini tetap eksis hingga sekarang. Model ketahanan budaya keagamaan yang dibangun adalah membangun alkuturasi agama dan budaya secara dialogis. Model dialogis dalam akulturasi budaya dan agama ini menjadi jalan keluar yang lebih damai dibandingkan dengan sejarah sosial suku Tionghoa di Indonesia yang diwarnai gambaran konflik dan kekerasan. Kata Kunci: akulturasi, budaya keagamaan, Cina Benteng, Tangerang
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
43

Candra, Febrianto, and Lina Purnama. "GALERI SENI MUSIK TRADISIONAL TIONGHOA." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) 1, no. 1 (September 9, 2019): 368. http://dx.doi.org/10.24912/stupa.v1i1.4009.

Повний текст джерела
Анотація:
Jakarta merupakan ibukota dan juga salah satu kota metropolis yang ada di Indonesia, yang memiliki berbagai macam budaya seni. Budaya seni di Jakarta seperti budaya seni Betawi terbentuk dikarenakan adanya pengaruh kebudayaan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Salah satu budaya yang memberikan pengaruh pada budaya Betawi adalah seni musik tradisional Tionghoa yang melahirkan seni musik Betawi, Gambang Kromong. Dari sejarah ini dapat dikatakan bahwa keberagaman dan toleransi menjadi salah satu poin penting yang mendukung kekayaan kebudayaan Indonesia. Dengan adanya pengetahuan mengenai sejarah budaya Tionghoa terhadap budaya Betawi di Jakarta bertujuan untuk memberikan sebuah ruang pendekatan masyarakat agar dapat menciptakan toleransi antar masyarakat di Jakarta dan juga memberikan pengetahuan mengenai budaya seni musik tradisional Tionghoa kepada masyarakat lokal hingga mancanegara. Perancangan dari Wisata Galeri Seni Musik Tradisional Tionghoa ini dilakukan dengan melakukan pencarian data dengan melakukan survei di kawasan Pintu Besar Selatan, Kota Tua serta mengkaji literatur. Berdasarkan hasil survei dan wawancara, lokasi pintu besar selatan sering digelar pagelaran seni musik tradisional yang berlokasi di jalan yang mengakibatkan penutupan jalan. Sehingga program wisata yang direncanakan tidak hanya menyajikan wisata galeri seni musik tradisional Tionghoa. Tetapi juga turut ikut serta dalam menyajikan ruang publik yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitar dalam melakukan pagelaran seni musik tradisional dengan menggunakan alat musik tradisional baik Tionghoa maupun alat musik lainnya. Dengan adanya bangunan ini, diharapkan tidak hanya memberikan edukasi tetapi juga dapat menciptakan rasa toleransi antar masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lokal.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
44

Fadiyah, Dina. "PELEMBAGAAN PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDIP) DAN KONSTELASI POLITIK ETNIS TIONGHOA." JURNAL POLINTER : KAJIAN POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL 2, no. 2 (February 20, 2017): 1–19. http://dx.doi.org/10.52447/polinter.v2i2.597.

Повний текст джерела
Анотація:
Tulisan ini ingin melihat bagaimana pelembagaan partai PDIP yang selama ini dikenal sebagai partai besar dan hebat. Banyaknya etnis Tionghoa didalam partai tersebut menjadi tantangan tersendiri karena tidak mudah menjaga kelembagaan suatu partai ketika partai tersebut didominasi oleh etnis tertentu. Dengan menggunakan teori pelembagaan partai dan dipadukan dengan metode kualitatif analisis wacana, hipotesanya adalah bahwa dengan banyaknya etnis Tionghoa di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membuat partai tersebut menjadi tidak otonom dengan adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh partai PDIP yang pro-China dan sangat menguntungkan etnis Tionghoa.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
45

Dewojati, Cahyaningrum, and Nadhilah Nurtalia. "Konsep Habitus Bourdieu dan Dinamika Masyarakat Tionghoa dalam Pendidikan Jang Kliroe dan Korban Dari Peroentoengan." Arif: Jurnal Sastra dan Kearifan Lokal 3, no. 1 (August 31, 2023): 1–23. http://dx.doi.org/10.21009/arif.031.01.

Повний текст джерела
Анотація:
Sastra peranakan Tionghoa sebelum Indonesia merdeka adalah pioneer sastra modern Indonesia. Karya-karya yang dihasilkan oleh pengarang Tionghoa banyak merefleksikan dinamika sosial dan budaya masyarakat pada masa itu. Sebagian dari mereka berhasil memasuki kelas sosial baru sekaligus membangun kultur yang baru pula. Penelitian ini bertujuan mengkaji habitus, modal, serta kritik pengarang terhadap aspek gaya hidup dan pendidikan kalangan Tionghoa dalam Pendidikan Jang Kliroe karya Lauw Giok Lan dan Korban dari Peroentoengan karya Gan Tjian Lie. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat habitus tertentu yang menarik yang muncul melalui tokoh dalam novel PJK dan KDP, sementara modal yang dimiliki antara lain modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya. Lauw dan Gan menggunakan karya mereka sebagai sarana kritik terhadap permasalahan yang menjangkiti masyarakat kelas atas Tionghoa di Hindia Belanda, seperti perilaku konsumerisme kalangan hartawan Tionghoa dan efek-efek negatif dari pendidikan ala Barat yang diterima oleh anak-anak muda Tionghoa.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
46

Manungkalit, Nurhaini. "AKTIVITAS PEREKONOMIAN ETNIS TIONGHOA DI SIAK SRI INDRAPURA PADA MASA ORDE BARU (1966-1998)." Jurnal Dinamika Sosial Budaya 25, no. 1 (June 9, 2023): 1. http://dx.doi.org/10.26623/jdsb.v25i2.3821.

Повний текст джерела
Анотація:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di Siak Sri Indrapura pada masa Orde Baru (1966-1998), dimana ruang gerak masyarakat Tionghoa di seluruh wilayah Indonesia pada saat itu sangat terbatas, secara kombinasi. dengan dikeluarkannya peraturan yang terus mempersempit ruang gerak masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari pengumpulan sumber sejarah yang relevan (heuristik), kemudian sumber data yang terkumpul diperiksa atau diteliti keaslian sumbernya, baik dalam bentuk maupun isi (verifikasi), kemudian tahap interpretasi fakta sejarah. ditemukan (interpretasi) dilakukan.) kemudian sejarah ditulis dari semua fakta sejarah yang diurutkan berdasarkan waktu terjadinya (historiografi). Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi kedatangan masyarakat etnis Tionghoa ke Siak, (2) untuk mengetahui bagaimana kegiatan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde Baru di Siak Sri Indrapura, dan (3) untuk mengetahui bagaimana pedagang etnis Tionghoa di Siak Sri Indrapura beradaptasi dengan kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
47

Manungkalit, Nurhaini. "AKTIVITAS PEREKONOMIAN ETNIS TIONGHOA DI SIAK SRI INDRAPURA PADA MASA ORDE BARU (1966-1998)." Jurnal Dinamika Sosial Budaya 25, no. 1 (June 9, 2023): 1. http://dx.doi.org/10.26623/jdsb.v25i1.3821.

Повний текст джерела
Анотація:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di Siak Sri Indrapura pada masa Orde Baru (1966-1998), dimana ruang gerak masyarakat Tionghoa di seluruh wilayah Indonesia pada saat itu sangat terbatas, secara kombinasi. dengan dikeluarkannya peraturan yang terus mempersempit ruang gerak masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari pengumpulan sumber sejarah yang relevan (heuristik), kemudian sumber data yang terkumpul diperiksa atau diteliti keaslian sumbernya, baik dalam bentuk maupun isi (verifikasi), kemudian tahap interpretasi fakta sejarah. ditemukan (interpretasi) dilakukan.) kemudian sejarah ditulis dari semua fakta sejarah yang diurutkan berdasarkan waktu terjadinya (historiografi). Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi kedatangan masyarakat etnis Tionghoa ke Siak, (2) untuk mengetahui bagaimana kegiatan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde Baru di Siak Sri Indrapura, dan (3) untuk mengetahui bagaimana pedagang etnis Tionghoa di Siak Sri Indrapura beradaptasi dengan kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
48

Dawa, Markus Dominggus L. "Menjadi Jemaat Multikultural : Suatu Visi untuk Gereja-Gereja Tionghoa Injili Indonesia yang Hidup di Tengah Konflik Etnis dan Diskriminasi Rasial." Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 7, no. 1 (April 1, 2006): 127–44. http://dx.doi.org/10.36421/veritas.v7i1.157.

Повний текст джерела
Анотація:
Etnis Tionghoa adalah bagian dari keanekaragaman bangsa ini. Meski berkali-kali hal ini coba disangkali dan mungkin hendak dihapuskan dari kenyataan bangsa ini, etnis Tionghoa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari negeri ini. Etnis Tionghoa bukan orang asing di negeri ini. Etnis Tionghoa juga adalah salah satu pemilik sah sekaligus pendiri bangsa ini. Gereja-gereja Kristen Tionghoa harus menyadari benar kenyataan tersebut. Sebagai bagian dari keseluruhan etnis Tionghoa di Indonesia, gereja-gereja Kristen Tionghoa adalah juga pemilik sah dan sekaligus pendiri bangsa ini. Kesadaran ini perlu dipupuk dan diperkuat dalam ingatan orang-orang Kristen Tionghoa agar di tengah-tengah berbagai luka sejarah yang dipikulnya, gereja-gereja Kristen Tionghoa dapat menjadi alat Tuhan menyembuhkan keutuhan hidup bangsa yang terus bergumul dengan keanekaragamannya ini. Di tengah bangsa yang terus berjuang untuk menjadi bangsa yang menerima etnis Tionghoa sebagai pemilik sah dan pendiri bangsa ini, gereja-gereja Tionghoa mendapat kesempatan istimewa untuk menjadi zona rekonsiliasi antar-etnis, khususnya di antara etnis Tionghoa dan non-Tionghoa. Kalau demikian maka pertanyaan selanjutnya yang penting untuk didiskusikan adalah: Bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya gereja-gereja Kristen Tionghoa dapat berperan menjadi alat Tuhan yang membawa kesembuhan kepada hidup bangsa ini? Dalam bagian ini saya akan mendiskusikan apa yang saya sebut jemaat multikultural. Untuk maksud itu, saya akan mengajak kita melihat terlebih dahulu apa yang dikatakan Alkitab mengenai jemaat multikultural, selanjutnya kita akan melihat beberapa gagasan sejenis yang telah diungkapkan oleh beberapa orang. Pertama-tama saya akan mengangkat pemikiran Andrew Sung Park, profesor teologi di United Theological Seminary, Dayton, Ohio, dalam bukunya Racial Conflict & Healing: An Asian-American Theological Perspective. Selanjutnya saya akan mengangkat hasil penelitian gereja-gereja di AS yang dilakukan oleh sebuah tim dari Emory University, yang dipimpin oleh Charles R. Foster dan Theodore Brelsford dan dibukukan dalam buku We Are the Church Together: Cultural Diversity in Congregational Life. Terakhir saya akan membahas sedikit salah satu dokumen penting Presbyterian Church in the United States (PCUSA) tentang visi mereka menjadi gereja multikultural dan dibukukan dalam buklet yang berjudul “Living the Vision: Becoming A Multicultural Church.” Di bagian akhir, berangkat dari diskusi di bagian sebelumnya, saya akan coba tunjukkan bagaimana jemaat multikultural dapat menjadi alat yang sangat efektif membawa kesembuhan kepada luka-luka disintegrasi bangsa ini dan selanjutnya beberapa gagasan tentatif tentang bagaimana jemaat multikultural dapat diwujudkan dalam gereja-gereja Tionghoa masa kini.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
49

Rokhani, Umilia. "PRODUKSI KULTURAL FILM INDIE KE-“TIONGHOA”-AN DI INDONESIA*." REKAM: Jurnal Fotografi, Televisi, dan Animasi 13, no. 1 (September 14, 2017): 1. http://dx.doi.org/10.24821/rekam.v13i1.1705.

Повний текст джерела
Анотація:
Produksi kultural film indie ke-“tionghoa”-an berada pada struktur ruang yang membangunrelasi antarposisi dengan produksi karya lainnya. Keberadaan masyarakat Tionghoa yangsenantiasa dipermasalahkan menyebabkan agen-agen sosial berupaya membuka ruangkemungkinan melalui produksi karya. Metode yang dipergunakan adalah konstruktivismesosial yang melibatkan agen melalui production activity sehingga agen akan terlibat dalamdunianya sendiri. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan dalam struktur ruang tersebut adalahberusaha mencapai legitimasi dalam suatu struktur kuasa. Hal tersebutdiupayakan oleh agenpemroduksi film indie ke-“tionghoa”-an yang kapital modalnya lebih rendah bila dibandingkandengan produksi film komersial atau layar lebar. Strategi yang dipergunakan untuk memperolehlegitimasi film indie ke-“tionghoa-“an adalah dengan mengikuti festival film di luar negerisebagai tataran legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan legitimasi yang terbangundi Indonesia melalui habitus. Dengan menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakatdunia, dominasi struktur kuasa akan mengecil. Melalui karya film indie tersebut dibanguneksistensi dan prestise melalui ekspresi karya sebagai suatu kesempatan untuk mendapatkanpengakuan dan kepercayaan masyarakat dunia mengenai ke-“tionghoa”-an di Indonesia. Cultural Production of Indie Movies With Chineseness Theme in Indonesia. Culturalproduction in indie movies telling story about chineseness exists within a space structure thatestablishes a relation between the position and the production of other movies. The existenceof Chinese society that always inflicts polemic drives the social agents to try to open roomsof possibility by producing opuses. The method employed is social constructivism involvingagents through production activities so that those agents will get involved in their own world.In this case, the effort carried out is struggling to gain legitimation in a power structure. It ispracticed by indie movie producer agents who have lower production budget compared to thecommercial movie producers. In doing this, the strategy employed is joining movie festivalsabroad, considered as a higher level of legitimation, legitimation built in Indonesia via habitus.By posing Indonesian society as a part of the international society, the domination of powerstructure will lessen. Acknowledged through indie movies, existence and prestige are built bythe expression of their works in the form of movies as an opportunity to get recognition andtrust from the world society regarding the chineseness in Indonesia.
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
50

Rusli, Rismawidiawati. "THE ASSIMILATION OF TIONGHOA IN PALOPO CITY (1917 - 1966)." Al-Qalam 27, no. 1 (July 21, 2021): 73. http://dx.doi.org/10.31969/alq.v27i1.917.

Повний текст джерела
Анотація:
<div class="page" title="Page 1"><div class="layoutArea"><div class="column"><p><span>Many stereotypes related to Tionghoa people have been around for a long time, such as their being exclusive and unsociable. Worsened off by the native and non-native issues, at the same time create a fission between the Tionghoa and the locals. Nevertheless, the Tionghoa in Palopo managed to blend in with the local community. This paper departs from the considerable concern to write about ethnic assimilation in Palopo City. The assimilation between Tionghoa and the locals in Palopo can hopefully serve a meaningful lesson for the religious moderation. Taking all those into account, this paper aims to find out the assimilation process of Tionghoa in Palopo, South Sulawesi Province. The Unitary State of the Republic of Indonesia is nothing to bargain. However, it would all mean nothing as the minority and majority groups of ethnics prevail in which migrants and native do not integrate. The data of this paper were collected through literature and field methods. The results showed that the myth of I La Galigo served as much of the base of Tionghoa’s interaction with the locals. There emerged a new frame of thinking on the part of the Tionghoa migrants that their identities basically had the same cultural and historical roots as those of the locals’. The Luwu Embassy welcomed the arrival of Tionghoa migrants by preparing a shelter house, a Tionghoa school and other facilities. These migrants chose to make a living in Palopo City and had marriages with locals. They adapted local languages and customs. In the end, they had descendants whose parts of their Tionghoa identities left were their physical features and faith. Their language and culture have become both integrated with those of the local community.</span></p></div></div></div>
Стилі APA, Harvard, Vancouver, ISO та ін.
Ми пропонуємо знижки на всі преміум-плани для авторів, чиї праці увійшли до тематичних добірок літератури. Зв'яжіться з нами, щоб отримати унікальний промокод!

До бібліографії