Gotowa bibliografia na temat „Mitologi Wayang”

Utwórz poprawne odniesienie w stylach APA, MLA, Chicago, Harvard i wielu innych

Wybierz rodzaj źródła:

Zobacz listy aktualnych artykułów, książek, rozpraw, streszczeń i innych źródeł naukowych na temat „Mitologi Wayang”.

Przycisk „Dodaj do bibliografii” jest dostępny obok każdej pracy w bibliografii. Użyj go – a my automatycznie utworzymy odniesienie bibliograficzne do wybranej pracy w stylu cytowania, którego potrzebujesz: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver itp.

Możesz również pobrać pełny tekst publikacji naukowej w formacie „.pdf” i przeczytać adnotację do pracy online, jeśli odpowiednie parametry są dostępne w metadanych.

Artykuły w czasopismach na temat "Mitologi Wayang"

1

Kurniyawan, Andika Wahyu, i Usrek Tani Utina. "Makna dan Fungsi Ricikan pada Busana Wayang Wong Gaya Surakarta". Jurnal Seni Tari 8, nr 2 (28.11.2019): 176–85. http://dx.doi.org/10.15294/jst.v8i2.32477.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Bentuk ricikan pada busana Wayang Wong memiliki banyak kesamaan motif yaitu diambil dari motif tumbuhan dan hewan yang masing-masing memiliki makna dan fungsi. Fenomena yang terjadi pada beberapa penari yang kurang paham terhadap bentuk, makna dan fungsi ricikan pada busana Wayang Wong. Ricikan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi sumping, kelatbahu, dan uncal, karena keseluruhan ricikan tersebut sering digunakan pada semua tokoh dalam Wayang Wong. Tujuan penelitian adalah untuk memvisualisasikan bentuk ricikan pada busana Wayang Wong gaya Surakarta, mendiskripsikan makna dan fungsi ricikan pada busana Wayang Wong gaya Surakarta. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Peneliti menggunakan pendekatan semiotik dalam menganalisa simbol dan tanda-tanda pada ricikan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu: observasi, wawancara, dan dokumentasi di Sanggar Gimo Pengrajin Busana Tari dan Wayang Wong. Hasil penelitian yaitu bentuk ricikan pada busana Wayang Wong gaya Surakarta diambil dari motif tumbuhan dan hewan. Motif tumbuhan meliputi: bunga, akar-akaran, lung-lungan, buah, dan daun. Motif hewan meliputi: hewan besar, hewan bersayap, dan hewan mitologi. Makna simbolis ricikan dapat dilihat dari nama dan motif yang terdapat dalam ricikan. Ricikan busana Wayang Wong gaya Surakarta sebagian besar berfungsi sebagai accessories atau pelengkap.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
2

Rahyuda, I. Nyoman Darma, I. Made Sidia i I. Bagus Wijna Bratanatyam. "Penciptaan Karya Wayang Goni Tiga Dimensi “Quarter Life Crisis”". JURNAL DAMAR PEDALANGAN 4, nr 1 (30.04.2024): 11–18. http://dx.doi.org/10.59997/dmr.v4i1.3721.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Pada dasarnya konsep dari Wayang Goni Tiga Dimensi ini adalah terapan dan pengembangan dari pertunjukan wayang konvensional. Dimana pesan atau tetuek yang disampaikan oleh dalang dapat diterapkan dikehidupan manusia. Akan tetapi, berkembangnya jaman dan tingkatan umur manusia yang cenderung menyukai sesuatu hal yang baru, disini penulis ingin menyampaikan pesan atau tetuek tersebut dengan media dan pertunjukan yang sedikit modern. Penciptaan karya seni Wayang Goni Tiga Dimensi ini mengangkat konflik permasalahan yang terjadi pada anak muda dengan rentang usia 20-30 tahun, yang biasa disebut dengan quarter life crisis. Dalam fenomena ini akan merasakan sebuah kecemasan atau kekhawatiran terhadap masa depan mereka sendiri karena banyaknya tingkatan ekonomi sosial masyarakat yang berbeda-beda. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Teori Kawi Dalang yang digagas oleh Prof. I Nyoman Sedana, yaitu Pandulame (Alam Imajinasi Keindahan), Adicita Adirasa ( Ide dan Rasa ), Sranasasmaya ( Media atau Sarana ), Gunatama ( Skill dan Bakat Keterampilan Khusus). Dalam garapan Wayang Goni Tiga Dimensi Quarter Life Crisis mengandung nilai-nilai estetika didalamnya, dapat dilihat pada pengkarakteran sebuah Wayang Goni Tiga Dimensi yang menganalogikan dua perbedaan sifat manusia yang bersifat kontras dan tidak bisa bersatu, hal ini tercantum dalam mitologi hindu yaitu Rwa Bhineda. Serta penggunaan media motions graphic yang dikombinasi dalam seni pertunjukan teater Wayang Goni Tiga Dimensi, yang menambah nilai visual yang cukup tinggi dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan penulis. Komposisi musik yang digunakan dalam wayang ini menggunakan konsep film dengan bentuk musik yang cenderung melankolis dari piano dan memunculkan visual musik dari setiap adegannya.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
3

Chair, Badrul Munir. "Perlawanan Perempuan Melalui Rekonstruksi Mitologi: Kajian atas Puisi-puisi Gunawan Maryanto". Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 4, nr 2 (31.03.2022): 130–38. http://dx.doi.org/10.22236/imajeri.v4i2.8780.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Mitos yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat mempengaruhi karya sastra, termasuk juga puisi. Salah satu penyair Indonesia yang memanfaatkan mitos sebagai sumber penciptaan adalah Gunawan Maryanto. Dalam puisi-puisinya, Gunawan tak sekadar terpengaruh dengan mitos-mitos seputar wayang, namun secara sadar merujuk lakon-lakon dan tokoh-tokoh dunia pewayangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rekontruksi mitologi yang dilakukan oleh Gunawan atas tokoh perempuan di dalam puisinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini berasal dari puisi-puisi Gunawan Maryanto, yaitu puisi berjudul "Gandari Memasuki Kegelapan", dan "Gandari di Puncak Kegelapan". Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan mitos asal mengenai tokoh perempuan dalam pewayangan tersebut dengan pemaknaan ulang yang dilakukan oleh Gunawan dalam puisi-puisinya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Gunawan merekontruksi mitos-mitos tokoh perempuan dalam pewayangan sebagai upaya untuk mengakomodasi suara perempuan yang tidak terlalu mendapat tempat dalam mitos asal. Suara-suara tokoh perempuan dalam puisi-puisi Gunawan merupakan pembelaan, gugatan, bahkan perlawanan terhadap narasi mitos yang telah mainstream dalam kisah pewayangan.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
4

Purnomo, Agus Dody, i Yasmin Adila Ramdan. "KAJIAN ELEMEN ESTETIS DAN SIMBOLIS CANDRASENGAKALA PADA TAMANSARI GUA SUNYARAGI DI CIREBON". Naditira Widya 16, nr 2 (27.12.2022): 123–34. http://dx.doi.org/10.24832/nw.v16i2.494.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Candrasengkala atau kronogram sudah dikenal oleh masyarakat di Jawa sejak zaman Hindu di Nusantara. Candrasengkala merupakan tetenger atau pengingat suatu peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian, dan sebagainya. Dalam candrasengkala digunakan bentuk visual figur binatang yang diambil dari cerita pewayangan atau mitologi India. Binatang-binatang ditampilkan dengan pengolahan visual berupa gambar, relief, dan patung. Masing-masing figur binatang tersebut mengandung watak angka tahun dan makna simbolis. Hingga sekarang masih sedikit penelitian yang mengkaji candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi di Cirebon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui elemen estetis dan simbolis figur binatang pada candrasengkala yang terdapat di Tamansari Gua Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan kajian deskriptif terhadap aspek tangible Tamansari Gua Sunyaragi berupa figur-figur binatang yang dilandasi mitologi India. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa material batu dan batu karang diolah menjadi karakter-karakter figur gajah, burung garuda, dan ular, sehingga tampilan visualnya membentuk “candrasengkala”, sekaligus sebagai cuplikan kisah dari cerita pewayangan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa candrasengkala merupakan salah satu bentuk seni rupa Nusantara dan kreativitas kearifan lokal. Keberadaanya dapat menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan karya seni rupa, desain, dan kriya Nusantara ke depan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang kajian binatang-binatang mitologis dalam candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi.The Javanese are familiar with “candrasengkala” or chronogram which developed in Nusantara since the Hindu era. The “candrasengkala” is a “tetenger” or a reminder of important occurrences, such as birth, death, etc. “Candrasengkala” often uses visual forms of animal figures drawn from “wayang” stories or Indian mythology. Animals are featured with visual processing into depictions of figures, reliefs, and sculptures. Each animal figure contains disposition number of years and bears symbolic meanings. Until today there is little research that focuses on “candrasengkala” in Tamansari Gua Sunyaragi in Cirebon. This study aims to determine the aesthetic and symbolic elements of animal figures in “candrasengkala” at Tamansari Gua Sunyaragi, in Cirebon, West Java. This research is a descriptive study of the tangible aspects of Tamansari Gua Sunyaragi in the form of animal figures based on Indian mythology. The study resulted that stone and coral materials are processed into figures of elephants, eagles, and snakes, thus the visual appearance forms a "candrasengkala", as well as snippets of “wayang” stories. Therefore, it is understood that “candrasengkala” is a form of Nusantara art and creativity of local wisdom. Its existence can be a source of inspiration in the future development of Nusantara fine arts, designs and crafts. This research may be used as a reference for further studies of mythological animals in “candrasengkala” at Tamansari Gua Sunyaragi.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
5

Burhan, M. Agus. "KELAHIRAN GAYA UBUD DAN GAYA BATUAN DALAM SENI LUKIS BALI PADA MASA KOLONIAL BELANDA". Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain 10, nr 1 (1.02.2013): 97–118. http://dx.doi.org/10.25105/dim.v10i1.937.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Abstract This research reveal the changing of Balinese traditional painting in 1930's era. The consequence of their interaction with European painters and the influence of tourism, Balinese painting that have been bound to their traditions show the significant changing. Form and function is not any longer sacred and bound to the puppetries mythology ot their mythology, but they shift into profane function and express daily life world. The expert in that era called this a modern balinese painting or new design Balinese painting. Balinese painting developed became a genuinese expresion with many personal style and group style of painters. This development certainly could not be separate form social stucture and the society that support it. AbstrakPenelitian ini mengungkapkan tentang perubahan seni lukis Bali tradisional pada tahun 1930-an. Akibat interaksi dengan pelukis-pelukis Eropa dan pengaruh pariwisata, seni lukis Bali yang berabad-abad terikat denga tardisi, pada masa itu menunjukkan perubahan sangat signifikan. Bentuk dan fungsinya tidak lagi bersifat sakral dan terikat mitologi wayang atau mitologi lainnya, tetapi telah beralih pada fungsi profan dan mengungkapkan dunia kehidupan sehai-hari. Para ahli pada masa iti menyebutnya sebagai seni Bali modern atau seni lukis Bali corak bru. Seni lukis Bali itu memang telah berkembang menjadi ungkapan jati dengan berbagai gaya pribadi pelukis maupun dalam gaya kelompok. Perkembangan yang demiian tentu tidak lepas dari struktur sosial dan masyarakat yang menyangganya pula.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
6

Dewi, Ketut Sri Gangga. "SAPUH LEGER SIFAT KELAHITAN PADA WUKU WAYANG". DESKOVI : Art and Design Journal 3, nr 2 (3.12.2020): 116. http://dx.doi.org/10.51804/deskovi.v3i2.806.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Penciptaan karya tari Sapuh Leger merupakan pencapaian ide serta kreativitas yang di latar belakangi oleh kelahiran seseorang. Menurut masyarakat Hindu sifat baik buruknya seseorang sangat dipengaruhi oleh hari kelahiran. Kelahiran seseorang pada Wuku Wayang merupakan kelahiran yang dianggap tidak tepat, karena dapat mempengaruhi sifat dan tingkah lakunya sehingga terlihat berbeda ketika seseroang yang lahir dihari biasa. Masyarakat Hindu Bali sangat meyakini adanya mitologi kelahiran Wuku Wayang yang berhubungan dengan kelahiran Bhatara Kala. Konon katanya Bhatara Kala memiliki sifat dan watak yang tidak baik, untuk itu setiap kelahiran pada Wuku Wayang wajib diupacarai yang disebut dengan upacara Bayuh Oton Sapuh Leger.Karya ini mengungkapkan beberapa sifat anak yang dilahirkan pada Wuku Wayang menurut umat Hindu Bali. Sifat-sifat tersebut diantaranya pemarah, egois, dan selalu menolak nasetan orang tua. Selain sifar-safatnya karya sapuh Leger juga menampilkan elemen-elemen yang digunakan dalam upacara Bayuh Oton Sapuh Leger seperti membuat Banten, meminta air suci, memercikkan air suci, dan sembayang (berdoa). Penciptaan karya tari Sapuh Leger adalah sebagai cerminan diri pada anak dan orang dewasa yang beberapa tidak dapat mengendalikan amarah dan emosionalnya terhadap orang tua. Karya ini diharapkan dapat menjadi intropeksi dan menjadi kesadaran agar menjahui sifat yang kurang baik.Penari dalam karya ini berjumlah sembilan orang penari putri dengan menampilkan lima adegan yang menegaskan pada sifat anak yang lahir pada Wuku Wayang dan proses upacara pembersihan diri.The creation of Sapuh Leger dance works is the achievement of ideas and creativity that is based on one's birth. According to Hindu society, the merits of a person are greatly influenced by the day of birth. Someone's birth in Wuku Wayang is a birth that is considered inappropriate, because it can affect the nature and behavior of that person so that it looks different when someone is born on an ordinary day. The Balinese Hindu community strongly believes in the mythology of the birth of Wuku Wayang which is related to the birth of Bhatara Kala. It is said that Bhatara Kala has bad character, for that every birth in Wuku Wayang must be celebrated which is called the Bayuh Oton Sapuh Leger ceremony.This work reveals some of the characteristics of children born in Wuku Wayang according to Balinese Hindus. These traits include being angry, selfish, and always rejecting parents' advice. Besides that, the work of Sapuh Leger also displays elements used in the Bayuh Oton Sapuh Leger ceremony such as making Banten, asking for Tirta or holy water, sprinkling holy water, and Sembahyang (praying). The creation of Sapuh Leger dance works is a reflection of children and adults who some cannot control their anger and emotional toward their parents. This work is expected to be introspective and become awareness in order to find out the nature that is not good.The dancers in this work number nine female dancers by presenting five scenes that emphasize the nature of the child born in Wuku Wayang and the process of self-cleansing ceremony.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
7

., Putu Rendhi Kusuma Artha, Ni Nyoman Sri Witari, S. Sn . i I. Wayan Sudiarta, S. Pd,M Si . "PERBANDINGAN VISUAL FIGUR WAYANG KULIT TUALEN GAYA BALI SELATAN DENGAN FIGUR TUALEN BALI UTARA". Jurnal Pendidikan Seni Rupa Undiksha 7, nr 2 (1.11.2017): 154. http://dx.doi.org/10.23887/jjpsp.v7i3.11341.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) Struktur rupa figur Tualen pada Wayang Kulit Bali Selatan dan Struktur rupa figur Tualen Bali Utara, (2) Penyebab perbedaan bentuk Tualen Bali Utara dengan bentuk Tualen Bali Selatan. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriftif kualitatif. Data yang diperoleh dalam penelitian dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan gambar. Subjek penelitian ini adalah dalang wayang kulit Jro Dalang Gede Sudarma dari Desa Bungkulan dan Jro Dalang Nyoman Warisa dari Desa Tamblang sementara objek penelitian adalah figur wayang Tualen.Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan metode dokumentasi kepustakaan. metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis domain dan taksonomi Hasil Penelitian menunjukan (1) Struktur rupa figur Tualen Bali Selatan dan figur Tualen bali Utara dari kepala, badan, kaki memang memiliki beberapa perbedaan pada bentuk dan ornamen (hiasan) yang digunakan, (2) Perbedaan Tualen Bali Utara dengan Tualen Bali Selatan terjadi karena adanya (a) pengaruh Ki Barak terhadap perkembangan kebudayaan di kerajaan Panji, Buleleng; (b) secara mitologi perbedaan visual Tualen Bali Selatan dan Utara mengacu pada asal usul tokoh Tualen yang mengalami hukuman terbakar api oleh Dewa Siwa karena mengganggu semedinya, sehinggaTualen Bali Utara digambarkantanpa jambot atau tak berambut. Kata Kunci : perbandingan visual, figur wayang kulit bali, tualen This study aims to describe (1) Tualen figure structure in Wayang Kulit Bali Selatan and Tualen Balinese Figure Structure of North Bali, (2) Cause difference of Tualen North Bali shape with Tualen form South Bali. This research uses qualitative descriptive design. The data obtained in the study are described in terms of words and images. The subject of this research is puppeteer Jro Dalang Gede Sudarma puppeteer from Bungkulan Village and Jro Dalang Nyoman Warisa from Tamblang Village while research object is Tualen puppet figure. Data collection is done by observation method, interview, and library documentation method. The method of analysis used in this study is the method of domain analysis and taxonomy The research shows (1) The structure of the figure of Tualen Bali Selatan and the northern Balinese Tualen figure from the head, body, legs do have some differences on the shape and ornaments used (2) The difference between Tualen Bali Utara and Tualen Bali Selatan is due to the fact that the structure of the Tualen figure in South Bali and the northern Balinese Tualen figure from head, body, legs have some differences in the shape and ornament, The existence of (a) the influence of Ki Barak on the development of culture in the kingdom of Panji, Buleleng; (b) mythologically, the visual difference between Tualen Bali Selatan and Utara refers to the origin of the Tualen figure who suffered a fire burning by Lord Shiva for interrupting his semed, so that Bali's North Bali is depicted without jambot or hairlessness. keyword : visual comparison, Balinese wayang kulit figure, Tualen
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
8

Wahyudi, Aris. "Bima-Drona dalam Lakon Dewa Ruci sebagai Vayu-Vata, Transformasi Prana dalam Pertunjukan Wayang". Wayang Nusantara: Journal of Puppetry 4, nr 2 (26.05.2021): 85–98. http://dx.doi.org/10.24821/wayang.v4i2.5172.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
AbstrackRelationship of Bima and Drona in Dewa Ruci story is unique. Eventhough Drona puts Bima into danger, Bima chooses Drona as a teacher. It is because Bima has not obtained a very good spiritual knowledge about life yet since a hero is supposed to have high spiritual qualities and good prayers. The wayang tradition describes Bima as a cruel hero who is not religious, and Drona does not have good brahman qualifications, either. This leads to an assumption that their relationship must be important and meaningful. The question is what does the relationship between Bima-Drona mean, namely Bima as the learner who becomes the recipient of spiritual knowledge of welfare and Drona as his teacher? With structural mythological analysis, it can be concluded that the relationshp between Bima-Drona is an identification of Vãyu-Vãta as the transformation of prana in the Syiwapuja rituals. AbstrakBima dan Drona dalam cerita Dewa Ruci adalah hubungan yang unik. Meski Drona menjerumuskan Bima, namun Bima memilih Drona sebagai guru. Apalagi hal yang berhubungan dengan pengetahuan spiritual yang sangat baik tentang kehidupan, di mana dapat ditemukan oleh pahlawan yang memiliki kualitas spiritual yang tinggi, doa yang baik, tetapi Bima belum. Tradisi wayang memaparkan bahwa Bima adalah pahlawan yang kejam, tidak berkarakter religius dan Drona belum memiliki kualifikasi brahmana yang baik. Fenomena itu memunculkan asumsi bahwa hubungan tersebut pasti bermakna. Pertanyaannya adalah apa arti Bima-Drona, yaitu Bima sebagai penerima pengetahuan spiritual tentang kesejahteraan dan Drona sebagai gurunya? Dengan analisis mitologi struktural dapat disimpulkan bahwa Bima-Drona adalah identifikasi Vãyu-Vãta sebagai transformasi prãna dalam upacara ritual Syiwapuja.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
9

Widayat, Rahmanu. "Wangun Visual Concept In Pawukon Figures And Interior Design Contexts". Mudra Jurnal Seni Budaya 33, nr 3 (30.09.2018): 421. http://dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i3.546.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Many of cultural heritages of the past are detting less known by the present generation. One of which is a pawukon figures and their aesthetic values. Pawukon is a Javanese prediction or calculation based on Hindu mythology regarding time and its association with the prediction of human life based on their wuku (time characteristics). There are 30 pawukon figures, from the Wuku Sinta figure to Wuku Watugunung figure accompanied by a picture of their respective deities. Pawukon figures can be found in primbon books or enlarged and displayed in the interiors of Javanese houses. Pawukon figures such as wayang purwa are equipped with figures of buildings or gedhong, figures of weapons, figures of various types of trees, birds and other figures which each have a certain purpose and meaning. The composition of the various elements makes the overall visuals very interesting to be explored regarding the concept of visual, visual aesthetics and meaning. The pawukon figures also needs to be studied aesthetically regarding to their placement in the Javanese home interior and how to develop them to be better known by the present generation. To explore the aesthetics and development of Pawukon figures, the concept of wangun (aesthetic) derived from the Javanese culture was used. The research findings were interesting because the pawukon figures have the wangun elements and wangun visual arrangenments, wangun placement, and the development of the pawukon figures which is related to the concept of wangun and ora wangun (not aesthetic) or aèng (strange). Pawukon figures were made to remind people to be cautious, and their applications and development into interior design were meant to present the atmosphere of Java.Banyak warisan budaya masa lalu yang kurang dikenal oleh generasi sekarang. Salah satunya adalah angka-angka pawukon dan nilai-nilai estetika mereka. Pawukon adalah prediksi atau perhitungan Jawa berdasarkan mitologi Hindu tentang waktu dan hubungannya dengan prediksi kehidupan manusia berdasarkan wuku mereka (karakteristik waktu). Ada 30 tokoh pawukon, mulai dari tokoh Wuku Sinta hingga tokoh Wuku Watugunung yang disertai gambar dewa masing-masing. Tokoh-tokoh Pawukon dapat ditemukan di buku-buku primbon atau diperbesar dan dipajang di interior rumah-rumah Jawa. Tokoh Pawukon seperti wayang purwa dilengkapi dengan tokoh-tokoh bangunan atau gedhong, tokoh-tokoh senjata, tokoh berbagai jenis pohon, burung dan tokoh-tokoh lain yang masing-masing memiliki tujuan dan makna tertentu. Komposisi dari berbagai elemen membuat keseluruhan visual sangat menarik untuk dieksplorasi mengenai konsep visual, estetika visual dan makna. Tokoh-tokoh pawukon juga perlu dipelajari secara estetis mengenai penempatannya di interior rumah Jawa dan bagaimana mengembangkannya agar lebih dikenal oleh generasi sekarang. Untuk mengeksplorasi estetika dan perkembangan tokoh Pawukon, konsep wangun (estetika) yang berasal dari budaya Jawa digunakan. Temuan penelitian ini menarik karena tokoh pawukon memiliki unsur-unsur wangun dan wangun pengaturan visual, penempatan wangun, dan pengembangan tokoh-tokoh pawukon yang terkait dengan konsep wangun dan ora wangun (bukan estetika) atau aèng (aneh). Sosok-sosok Pawukon dibuat untuk mengingatkan orang agar berhati-hati, dan aplikasi serta pengembangan mereka ke dalam desain interior dimaksudkan untuk menghadirkan suasana Jawa.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
10

I Dewa Ayu Ketut Ning Sastriyani, Ida Bagus Ketut Sudiasa i Tuteng Suwandi. "Visual dan Audio Mitologi Barong Landung sebagai Tema dalam Penciptaan Tari yang Berpijak pada Gerak Tari Legong Kang Cing". Jurnal Pendidikan Tari 3, nr 1 (31.10.2022): 1–14. http://dx.doi.org/10.21009/jpt.311.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Barong Landung merupakan sebuah mitologi yang dipercayai oleh masyarakat Bali. Mitologi Barong Landung ini akan direpresentasikan melalui bentuk visualisasi tari yang mengulas tentang kisah cinta dari Raja Jayapangus, Dewi Danu dan Kang Cing Wie. Karya tari ini dibuat untuk menjawab permasalahan cerita yang aslinya dari kebanyakan cerita yang beredar di kalangan masyarakat dan menjawab permasalahan tentang bagaimana menciptakan karya tari dengan menggunakan tema mitologi Barong Landung yang berpijak pada gerak tari Legong Kang Cing Wie. Metode penciptaan yang digunakan dalam penciptaan karya tari ini adalah metode penciptaan dari Prof. Dr. I Wayan Dibia dalam bukunya yang berjudul “Panca Sthiti Ngawi Sani”.Karya tari ini dikemas dengan format video dance film yang memudahkan penonton untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Karya tari ini akan ditayangkan secara daring melalui kanal YouTube. Karya tari ini menggunakan 3 orang penari yang memerankan Raja Jayapangus, Dewi Danu yang sekaligus berperan sebagai Kang Cing Wie serta Wanita Cantik.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.

Rozprawy doktorskie na temat "Mitologi Wayang"

1

Marques, Joana Duarte Pereira Sá. "Exploração e desconstrução do mundo Steampunk: a construção do steamlandic". Master's thesis, 2020. http://hdl.handle.net/10451/40898.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
During this research assignment, I will, by means of creating drawings and illustrations, address the processes of developing a new concept: Steamlandic. To do so, it is necessary to call for the use of a deconstruction procedure, followed by the fusion of the key elements present in two completely distinct universes, which will constitute the Steamlandic. The treatment of this theme implies the frequent use of the Steampunk subgenre, not only for its diffusion and referencing, but also for being the basis of several new ideas, presented in the form of drawings and illustrations, in which methods of Concept Art and Illustration were applied. Essentially this research assignment is divided into two major parts: The Steampunk drawing and the Steamlandic drawing. The latter having its roots from the former style. Despite its popularity, especially in the creative field, few of its elements are explored, eventually falling into the monotonous and rampant exacerbation, as the latter is a feature of Steampunk. It will therefore be imperative to work on the elements that define the stereotypes present in this genre. The treatment of these various aspects of Steampunk generates a new concept of “world” in which the significant elements that define it intertwine with the real world. The permeability that comes about from this subgenre allows for a multitude of options during the fusion of both metallic and vapour elements with the organic ones, belonging to a diametrically opposite world. In this new reality, various mythological elements of Iceland are used, dating back to the time of its settlement. A time in which mythology played a very prominent role. This new world is brought to life in the various original drawings and illustrations created by the author. Note that the many characteristic components of the time and culture, came about as a result of a very comprehensive research and survey of Iceland. The use of Icelandic mythology and its huge diversity, creates a stark contrast to Steampunk, giving rise to a futuristic retro genre and presenting a more organic and natural world – Steamlandic.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.

Książki na temat "Mitologi Wayang"

1

Santosa, Puji. Sastra dan mitologis: Telaah dunia wayang dalam sastra Indonesia. Maguwoharjo, Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2010.

Znajdź pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
2

Duta Pandhawa Dalam Lakon Kresna Duta Gaya Yogyakarta. ISI Press, 2023.

Znajdź pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
Oferujemy zniżki na wszystkie plany premium dla autorów, których prace zostały uwzględnione w tematycznych zestawieniach literatury. Skontaktuj się z nami, aby uzyskać unikalny kod promocyjny!

Do bibliografii