Artykuły w czasopismach na temat „House of Hamengku Buwono”

Kliknij ten link, aby zobaczyć inne rodzaje publikacji na ten temat: House of Hamengku Buwono.

Utwórz poprawne odniesienie w stylach APA, MLA, Chicago, Harvard i wielu innych

Wybierz rodzaj źródła:

Sprawdź 50 najlepszych artykułów w czasopismach naukowych na temat „House of Hamengku Buwono”.

Przycisk „Dodaj do bibliografii” jest dostępny obok każdej pracy w bibliografii. Użyj go – a my automatycznie utworzymy odniesienie bibliograficzne do wybranej pracy w stylu cytowania, którego potrzebujesz: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver itp.

Możesz również pobrać pełny tekst publikacji naukowej w formacie „.pdf” i przeczytać adnotację do pracy online, jeśli odpowiednie parametry są dostępne w metadanych.

Przeglądaj artykuły w czasopismach z różnych dziedzin i twórz odpowiednie bibliografie.

1

Untung, Sulistiani. "TRANSIT, TRANSISI, DAN TRANSFORMASI TARI SRIMPI PANDHÈLORI GAYA YOGYAKARTA". Kebudayaan 16, nr 1 (31.07.2021): 71–88. http://dx.doi.org/10.24832/jk.v16i1.388.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
ABSTRAK Tari Srimpi Pandhèlori merupakan tari klasik yang berasal dari Yogyakarta. Tari Srimpi Pandhèlori merupakan salah satu bentuk tari Srimpi yang cukup dikenal di kalangan masyarakat. Tari Srimpi Pandhèlori dari masa ke masa diduga mengalami perubahan kepemilikan. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI. Kemudian berkembang kembali di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono selanjutnya. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII, tari Srimpi Pandhèlori diberi tema berupa peperangan antara Dewi Kadarwati dan Umyum Madikin, yang diambil dari cerita ménak. Tari Srimpi Pandhèlori mengalami perubahan besar-besaran pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Kemudian di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX sempat terjadi kevakuman pelembagaan tari di lingkungan kraton Yogyakarta. Banyak perubahan yang terjadi pada tari Srimpi Pandhèlori masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga Sultan Hamengku Buwono X. Proses transit terjadi di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Akhir pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX adalah proses transisi tari Srimpi Pandhèlori .
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
2

Priambodo, Marcelinus Justian. "MODEL KEPENGAYOMAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X SAAT PANDEMI MELALUI TUTURAN “TIDHA-TIDHA” DALAM SAPA ARUH". Widyaparwa 49, nr 2 (31.12.2021): 376–86. http://dx.doi.org/10.26499/wdprw.v49i2.847.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This research aims to describeconcept from 'tidha-tidha’ and analyze the affect of the concept of 'tidha-tidha' made by Sri Sultan Hamengku Buwono X with the conceptual metaphor of the coronavirus in the society of Yogyakarta. Data in this research is internal because it is only based on the reading of Serat Kalatidha and the transcript of Sri Sultan Hamengku Buwono X's speech. This research method uses the theory ofconceptual errors in cognitive linguistic. Sri Sultan Hamengku Buwono X interprets ‘tidha-tidha’ as contemplation with ourselves, others, and God. This new disaster has made people aware of the importanceof health as a form of gratitude that must be attempted. The results reveal that perspective and frame affect the meaning of 'tidha-tidha’ made by Sri Sultan Hamengku Buwono X. The creation of this meaning has three functions consisting representative, directive, and declaration to change the conceptual metaphor of society. In his role as governor, Sri Hamengku Buwono X must change the way og communication as the leadership model and at the same time to respond that new disaster. The leadership model can be seen from the directions and instructions in the speech that are easy to understand through the intentional conceptual errors.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna ‘tidha-tidha’ dan menganalisis pengaruh makna ‘tidha-tidha’ ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan metafora konseptual pandemi corona masyarakat DIY. Data penelitian bersifat data internal karena hanya berdasarkan pembacaan Serat Kalatidha dan hasil transkrip pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis yang menggunakan teori erata konseptual linguistik kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perspektif dan frame dan memengaruhi pembentukan makna ‘tidha-tidha’ ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sri Sultan Hamengku Buwono X memaknai ‘tidha-tidha’ sebagai kontemplasi dengan diri sendiri, sesama, dan Sang Pencipta.Bencana baru ini menyadarkan manusia pentingnya kesehatan sebagai rasa syukur yang harus diusahakan. Penciptaan makna ini memiliki tiga fungsi yaitu representatif, direktif, dan deklarasi dalam upaya mengubah metafora konseptual masyarakat. Dalam perannya sebagai gubernur, Sri Sultan Hamengku Buwono X harus mengubah cara komunikasisebagai bentuk pengayoman sekaligus menyikapi keadaan baru tersebut. Model pengayoman terlihat dari arahan dan petunjuk dalam pidato yang mudah dipahami melalui erata konseptual kesengajaan.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
3

Agustin, Ruli, Atik Winanti i Imas Novita Juaningsih. "POLEMIK SABDA RAJA SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X DALAM LITERATUR HUKUM TATANEGARA INDONESIA". IBLAM LAW REVIEW 4, nr 1 (31.01.2024): 388–96. http://dx.doi.org/10.52249/ilr.v4i1.258.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Sabda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah sebuah putusan yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 2015 yang berisi tentang penetapan anaknya yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja sekaligus sebagai gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (D.I.Y) setelah Undang-undang mengenai Otonomi Daerah Istimewa Jogjakarta di open legal policy oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam peneletian ini pada akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan apakah bisa Sabda Raja mengubah Undang-undang Daerah Iistimewa Jogjakarta? Lalu yang kedua, apakah putusan Sabda Raja Sri Hamengku Buwono X ini berdampak langsung terhadap Literatur Hukum Tata Negara di Inonesia ini, menilai siapapun yang menjadi sultan di Daerah Istimewa Jogjakarta, juga akan otomatis menjadi Gubernur di daerah tersebut
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
4

Nuraeni, Fitri. "Busana Sultan Hamengku Buwono IX dalam Perspektif Integrasi Struktural". Ars: Jurnal Seni Rupa dan Desain 21, nr 3 (1.09.2018): 169–76. http://dx.doi.org/10.24821/ars.v21i3.2904.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Sultan Hamengku Buwana IX merupakan seorang raja keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang melewati tiga zaman, antara lain: masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, masa pemerintahan Jepang, dan setelah Indonesia merdeka. Ia juga ikut andil dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia, salah satunya menjadi Wakil Presiden pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Selain itu sejak usia empat tahun ia (Dorodjatun) telah tinggal bersama keluarga Belanda dan kemudian melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda. GRM. Dorodjatun memiliki latar belakang kehidupan dan perjalanan hidup yang menarik, sehingga penulis tertarik untuk menjadikannya objek material dalam penelitian kualitatif ini. Rumusan masalah akan dibatasi pada busana Sultan Hamengku Buwana IX, sehingga dapat mengetahui busana apa saja yang dikenakan oleh Sultan Hamengku Buwana IX dan wujud dari busana tersebut.Objek formal dalam penelitian ini adalah perspektif Integrasi Struktural. Perspektif tersebut digunakan untuk mengurai busana Sultan Hamengku Buwono IX hingga bagian terkecil. Integrasi Struktural biasa diwujudkan dalam bentuk skematika yang penerapannya berisi alur berpikir penulis. Skema tersebut membantu dalam pembatasan masalah, pengumpulan data, dan pengelompokkan data. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dengan mencari data baik dari buku, foto, maupun jurnal. Adapun studi lapangan dengan observasi dan wawancara.Segala sesuatu mengenai busana Sultan Hamengku Buwono IX akan dikaji menggunakan perspektif Integrasi Struktural.Penerapan perspektif Integrasi Struktural membuat kategorisasi busana Sultan Hamengku Buwono IX menjadi terstruktur. Kategorisasi mengenai jenis-jenis busana dan wujudnya dapat menjadi lebih mudah diselesaikan. Secara garis besar, busana Sultan Hamengku Buwono IX diklasifikasikan menjadi busana keraton dan busana nonkeraton.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
5

Wijanarko, Fajar. "PISTHA AGENG: PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN YOGYAKARTA TAHUN 1855-1939". Prajnaparamita 10, nr 1 (30.08.2021): 41–57. http://dx.doi.org/10.54519/prj.v10i1.36.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Meski pola jamuan bergaya Eropa telah dikenal sejak awal abad ke-19, tetapi secara terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VI memilih untuk mengadaptasinya sebagai pola baru dalam jamuan di Keraton Yogyakarta. Perubahan tersebut secara nyata terjadi antara rentang waktu 1855-1921 yang merupakan periode pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Ketiga sultan kemudian merangsang setiap perubahan dalam pola jamuan dengan kebijakannya masing-masing. Mengamati data sejarah tersebut, kajian ini selanjutnya mengedepankan paparan historiografi multidimensi. Dalam hal ini, tidak hanya perubahan pola jamuan yang disoroti tetapi juga penyebab dan akibat yang ditimbulkan. Melalui metode pembacaan heuristik, kritik sumber, intepretasi, dan historiografi, berbagai data sejarah dibedah serta disusun secara kronologis sebagai modal penulisan. Hasil dari tulisan ini selanjutnya dapat digunakan untuk membaca pengaruh Eropa dalam perjamuan di Keraton Yogyakarta. Di sisi lain, kajian ini mampu menjadi pijakan untuk menelusuri munculnya menu-menu Jawa bercitarasa Eropa yang saat ini terus dipertahankan sebagai warisan kekayaan kuliner bangsawan keraton.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
6

Pradana, Cerry Surya, i R. Setyastama. "Pendidikan Tata Krama dan Sopan Santun dalam Pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta di Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta". Jurnal Gama Societa 1, nr 1 (20.03.2018): 53. http://dx.doi.org/10.22146/jgs.34049.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Yogyakarta merupakan satu di antara beberapa destinasi wisata unggulan di Indonesia. Keunikan dan kelebihankegiatan pariwisata di Yogyakarta, terletak pada budaya lokal yang ada di dalamnya. Di antara budaya lokal tersebut,Tari Klasik Gaya Yogyakarta atau Joged Mataram adalah salah satu daya tariknya. Tarian ini diciptakan oleh SriSultan Hamengku Buwono I, sebagai tarian sakral di Keraton Yogyakarta. Dulunya, tarian ini eksklusif menjadimilik Keraton Yogyakarta, namun sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, masyarakat umum dapat berlatihdan mementasankannya. Bahkan sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, tarian ini dijadikanpertunjukan wisata bagi para wisatawan yang datang ke Keraton Yogyakarta. Tarian ini juga mengandung nilai tatakrama dan sopan santun serta etika, baik sebelum, ketika, maupun setelah pementasan. Hingga saat ini, nilai-nilaitersebut tidak hilang bahkan jika hanya digunakan untuk berlatih. Penelitian ini menggunakan metode penelitiandeskriptif dan analisis menggunakan beberapa variabel terkait penelitian. Data diperoleh melalui observasi danwawancara secara mendalam, di samping menggunakan pustaka terkait. Hasil dari penelitian ini, Tari Klasik GayaYogyakarta merupakan kesenian yang sarat nilai dan memiliki nilai di dalamnya. Nilai tersebut berkaitan denganpendidikan tata krama, sopan santun, dan etika. Nilai-nilai ini secara spesifik terkandung pada cara berbicara, caramenempatkan diri, dan cara menghormati orang lain.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
7

Nur'aini, Fitria, Sumarwati Sumarwati i Djoko Sulaksono. "Symbolic Meaning in the Commemoration Ceremony of Sultan Hamengku Buwono X Coronation in COVID-19 Pandemic". Humaniora 13, nr 3 (2.11.2022): 205–15. http://dx.doi.org/10.21512/humaniora.v13i3.7812.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
The research aimed to (1) describe the procession and ubarampe offerings in the commemoration ceremony of Sultan Hamengku Buwono X’s coronation during the COVID-19 pandemic, and (2) analyze the symbolic meaning of it. The research applied a qualitative research that used an ethnographic approach. Data collection techniques used were passive participant observation techniques and in-depth interviews with abdi dalem (courtier) of Yogyakarta palace and cultural experts. So, the selection of research subjects used the snowball sampling technique. The data obtained were validated by the source triangulation method, and it was then analyzed using the Spradley model research method, which included domain analysis, taxonomic analysis, compensatory analysis, and analysis of cultural themes. The research result show that (1) the procession of the commemoration of the coronation of Sultan Hamengku Buwono X consists of a series of ceremonies, including ngebluk, ngapem, sugengan, and labuhan. The ceremony is organized well during the COVID-19 pandemic by wearing a mask when carrying out daily activities, washing hands often, especially after outdoor activities, social distancing, avoiding crowds, and restricting mobilization and interaction, (2) the symbolic meaning of the procession and ubarampe offerings Sultan Hamengku Buwono X is asking God for the safety and welfare of the Sultan and his family in particular and Yogyakarta people in general.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
8

Iswantoro, Iswantoro. "Peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam Menegakkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia". JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam) 3, nr 2 (16.01.2020): 158. http://dx.doi.org/10.30829/juspi.v3i2.5601.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
<p>Tulisan ini menjelaskan tentang peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam menegakkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Di masa kemerdekaan Sultan dengan pemerintahan di Yogyakarta senantiasa mendukung Pemerintahan RI seperti mengirim surat ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta sehari setelah proklamasi kemerdekaan dan tahun 1946 ibukota Negara di pindah ke Yogyakarta karena suasana yang tidak menentu di Jakarta akibat serbuan tentara Belanda. Kantor dan gedung milik kesultanan dipinjamkan untuk kantor Pemerintahan RI tempat tinggal jawatan pemerintahan. Sultan juga membuka kas kerajaan untuk membiayai Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta itu. Pada tanggal 1 Maret 1949 Sultan menjadi salah satu tokoh sehingga serangan tersebut bisa terwujud menguasai ibukota RI di Yogyakarta sehingga membuktikan bahwa pemerintah RI masih efektif.</p>Kata Kunci: Hamengku Buwono IX, peranan, kemerdekaan.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
9

Hartanto, Doni Dwi, Endang Nurhayati i Sulis Triyono. "Javanese Pitutur in the Speech of Sri Sultan Hamengku Buwono X on Hardship Caused by the Corona Virus". Ranah: Jurnal Kajian Bahasa 12, nr 2 (28.12.2023): 405. http://dx.doi.org/10.26499/rnh.v12i2.4593.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Expressions of culture in a region can be seen as a discourse that represents the cultural activities of people, and it may show the nature and characters of the society in dealing with problems. This research aims to interpret the Javanese pitutur delivered by Sri Sultan Hamengku Buwono X as the King of Yogyakarta to people living in his realm during the coronavirus pandemic. This descriptive qualitative research used a recording of Sri Sultan Hamengku Buwono’s speech entitled “Cobaning Gusti Allah Awujud Virus Corona”. Data were collected through a note-checking technique and were analyzed by using content analysis. The validity was maintained through expert judgment, while the reliability was through intrarrater and interrater. The results show that Javanese pitutur or advice found in Sri Sultan Hamengku Buwono X’s speech were in four Javanese quotes, namely: a) patient people earn the greatest fortune, and surrendering their life in faith shall result in more blessings; b) God gives way to anyone who wants to obey; c) Be wise and careful; and d) Do not be jealous if you get a trial, and do not feel bad if you lose something. The Javanese pituturs as the noble expressions of Javanese culture likely represent the nature and character of Javanese society in the face of various obstacles and problems, in this case facing the COVID-19 virus pandemic in the Yogyakarta region. The messages conveyed in the pitutur are expected to be a reminder to the people of Yogyakarta that in the face of all problems they should always hold fast to their cultural values and humbly surrender and submit themselves to God the Almighty. AbstrakUngkapan budaya suatu daerah merupakan suatu wacana yang merepresentasikan aktivitas budaya masyarakat, dan menunjukkan sifat dan karakter suatu masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menginterpretasikan pitutur Jawa dalam pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Raja Yogyakarta kepada masyarakat selama masa pandemik virus corona. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan data berupa rekaman pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X berjudul “Cobaning Gusti Allah Awujud Virus Corona”. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak-catat dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis konten. Validitas data dilakukan dengan expert judgement, sedangkan reliabilitas yang digunakan ialah reliabilitas intra dan interrater. Berdasarkan penelitian, pitutur Jawa dalam pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X terbagi dalam empat ungkapan, yaitu: a) wong sabar rejekine jembar, ngalah urip luwih berkah; b) Gusti paring dalan kanggo sapa wae kang gelem ndalan; c) eling lan waspada; dan d) datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan. Pitutur Jawa yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan luhur budaya Jawa tersebut merepresentasikan sifat dan karakter masyarakat Jawa dalam menghadapi berbagai macam halangan dan permasalahan, dalam hal ini ketika menghadapi pandemik virus COVID-19 di wilayah Yogyakarta. Pesan yang disampaikan dalam pitutur tersebut diharapkan dapat menjadi pengingat bagi masyarakat Yogyakarta bahwa dalam menghadapi segala permasalahan hendaknya selalu berpegang teguh pada nilai-nilai budaya dan berserah pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
10

Yuana Tri Utomo. "MENGUNGKAP MOTIVASI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX MEMBANGUN SELOKAN MATARAM". Imanensi: Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi Islam 6, nr 2 (10.09.2021): 65–76. http://dx.doi.org/10.34202/imanensi.6.2.2021.65-76.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Abstrak Abstrak: Mengungkap Motivasi Sultan Hamengku Buwono IX Membangun Selokan Mataram. Tujuan penelitian untuk mengetahui motivasi Sultan Hamengku Buwono IX membangun Selokan Mataram. Metode penelitian yang digunakan bersifat kualitatif dengan sumber data dari beberapa artikel dan literatur. Data dianalisis dengan pendekatan sejarah menggunakan metode interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga motivasi Sultan HB IX, yaitu kebijakan filosofis, ekonomis, dan nasionalisme. Motivasi filosofisnya adalah berasal dari ajaran Sunan Kalijaga bahwa kasultanan Yogyakarta bisa makmur jika dua sungai yang mengapit Yogyakarta dipertemukan dalam satu aliran. Motivasi ekonominya berhubungan dengan cara pandang penguasa dalam menyejahterakan petani untuk irigasi sawah. Pembangunan Selokan Mataram merupakan cermin nasionalisme Sultan dalam membela rakyat dari tuntutan Rhomusa Jepang. Abstract The purpose of the study was to determine the motivation of Sultan Hamengku Buwono IX to build the Mataram Sewer. The research method used is qualitative with data sources from several articles and literature. Data were analyzed by historical approach using interpretation method. The results showed that the three motivations of Sultan HB IX, namely philosophical policy, economics, and nationalism. The philosophical motivation is derived from the teachings of Sunan Kalijaga that the Sultanate of Yogyakarta can prosper if the two rivers flanking Yogyakarta are brought together in one stream. The economic motivation is related to the perspective of the authorities in the welfare of farmers for irrigating rice fields. The construction of the Mataram Sewer is a reflection of the Sultan's nationalism in defending the people from the demands of the Japanese Rhomusa.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
11

Raharja, Timbul Haryono, R. M. Soedarsono i Adhi Susanto. "Pengaruh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada Seni Karawitan Kraton Yogyakarta". Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 15, nr 1 (10.11.2014): 43–51. http://dx.doi.org/10.24821/resital.v15i1.799.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Gamelan sebagai alat musik atau karawitan sebagai produk musikal dari Kraton Yogyakartamempunyai beberapa karakter yang sangat khas. Karawitan masih dipergunakan sebagai suatu identitasdan diakui oleh masyarakat hingga saat ini. Pengembangan musikal ini bermula dari Sri SultanHamengku Buwono I. Ada dua alasan penting yang mendorong gagasan penciptaan karaktergamelan. Pertama, konsepsi kedudukan raja telah mendudukkan gamelan sebagai salah satu pusakapenting. Kedua, kepribadian Sultan yang maskulin, heroik, dan patriotik menjadi model pengembangan,memberi ciri khas pada masing-masing ricikan gamelan dan musikalitasnya. Gamelan KratonYogyakarta mempunyai kesan rasa musikal: agung, gagah, tegas, mantap, berwibawa, mrabu (sepertiraja), dan ngratoni (seperti suasana di kraton). The Effect of Sri Sultan Hamengku Buwono I on Kraton Yogyakarta Karawitan. Gamelan asmusical instrument or karawitan as a musical product of Kraton Yogyakarta has some specific characters. Itis still used as an identity and is recognized by karawitan society until now. This musical development wasfirstly introduced by Sri Sultan Hamengku Buwono I. There are two important reasons which stimulatethe ideas of creating gamelan characters. First, the king’s authority conception puts the gamelan as one ofthe important heirloom. Second, Sultan’s personalities which are masculine, heroic, and patriotic becomethe influencing model of its development, and give some specific characters on each gamelan instrument andits musicality as well. Kraton Yogyakarta gamelan has many musical rasa(s)/feelings: glorious, strong, clear,steady, prestigious, ‘mrabu’ (like a king), and ‘ngratoni’ (such an atmosphere of Kraton).
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
12

Marihandono, Djoko. "SULTAN HAMENGKU BUWONO II: PEMBELA TRADISI DAN KEKUASAAN JAWA". Makara Human Behavior Studies in Asia 12, nr 1 (1.07.2008): 27. http://dx.doi.org/10.7454/mssh.v12i1.134.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
13

Purwanto, Bambang. "Nasionalis Pembaru Tanpa Kegaduhan: Biografi Manusiawi Sultan Hamengku Buwono IX". SASDAYA: Gadjah Mada Journal of Humanities 2, nr 2 (24.06.2018): 471. http://dx.doi.org/10.22146/sasdayajournal.36456.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Ada satu hal yang selalu membekas setiap kali selesai membaca biografi, yaitu muncul kesan betapa pentingnya setiap figur itu di dalam proses sejarah yang dijalaninya. Setiap tokoh yang ada di dalam biografi itu selalu dihadirkan sebagai keutuhan diri yang sempurna, seseorang yang seakan-akan tidak pernah memiliki kekurangan layaknya seperti malaikat. Masing-masing tokoh hadir dengan kebesaran diri yang luar biasa, dan bahkan dalam banyak hal cenderung digambarkan melampaui kenyataan diri sebagai manusia, atau paling tidak seperti manusia super. Akibatnya, intersubjektivitas dalam penulisan sejarah dan mitologisasi atas figur yang menjadi objek tulisan tidak dapat dihindari. Perbedaan antara sejarah sebagai historiografi yang merupakan konstruksi atas kenyataan yang terjadi di masa lalu dengaan mitos yang dipenuhi oleh subjektivitas normatif dan sarat dengan kepentingan legitimatif, menjadi sangat tipis. Dalam banyak kasus bahkan sejarah dan mitos bercampur aduk menjadi satu, namun di dalam memori kolektif dipercaya benar-benar sebagai kenyataan masa lalu oleh masyarakatnya. Terlepas dari berbagai tinjauan kritis yang ada di dalam biografi ini, kebesaran Sultan Hamengku Buwono IX sebagai nasionalis dan pembaru baik dalam konteks sejarah Yogyakarta maupun sejarah Indonesia tetap lebih menonjol dan tidak tergantikan, harimau mati meninggalkan belang gajah mati meninggalkan gading manusia mati meninggalkan nama. Nama besar Sultan Hamengku Buwono IX sebagai nasionalis Indonesia sejati yang tidak pernah melupakan asal usul kejawamataramannya tidak akan hilang oleh tinjau kritis atas tindakan-tindakan politik dalam konteks masanya.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
14

Monfries, John. "Hamengku Buwono IX of Jogjakarta: From Sultan to Vice President". Life Writing 4, nr 2 (październik 2007): 165–80. http://dx.doi.org/10.1080/14484520701559653.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
15

Purnomo, Heru. "PENGAKUAN HAK MILIK ATAS TANAH KASULTANAN DAN TANAH KADIPATEN". WICARANA 1, nr 1 (31.03.2022): 71–92. http://dx.doi.org/10.57123/wicarana.v1i1.17.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Tanah Kasultanan atau yang lebih dikenal dengan istilah Sultanaat Grond (SG) dan tanah Kadipaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pakualamanaat Grond (PAG) sebelum sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara hukum administrasi pertanahan untuk pendaftaran tidak dapat dilakukan karena belum adanya kepastian hukum terhadap pelaksanaan pendaftaran tanahnya. Kajian terhadap pengakuan hak atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan hak atas tanah milik Kadipaten Pakualaman diberikan oleh Negara melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, yang penjabarannya diikuti dengan pengaturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyatakan bahwa “Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat”. Pengakuan negara atas kepemilikan tanah Kasultanan dan kepemilikan tanah Kadipaten tidak terlepas didasari dari sejarah bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah memiliki wilayah (bumi) kekuasaan sebagai negeri yang dijalankan oleh kerajaannya secara sendiri-sendiri sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kekuasaan atas wilayah (bumi) kekuasaan tersebut diselenggarakan oleh Sultan Hamengku Buwono terhadap wilayah (bumi) kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam terhadap wilayah (bumi) kekuasaan Kadipaten Pakualaman dan rekognisi Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII, yang secara politik memutuskan untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
16

Wulan, Roro Retno, Catur Nugroho i M. Nastain. "MEDIA DISCOURSE AND INTERNAL CONFLICT OF JAVANESE POWER IN YOGYAKARTA". JWP (Jurnal Wacana Politik) 8, nr 2 (10.10.2023): 166. http://dx.doi.org/10.24198/jwp.v8i2.46698.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This paper attempts to reveal how the local media, Kedaulatan Rakyat, produces discourse on the Yogyakarta palace’s internal conflict involving Sri Sultan Hamengku Buwono X and his siblings. The Special Region of Yogyakarta as a province in Indonesia has a special government system that is different from other regions. The governor of Yogyakarta is not elected by the people like in other regions in Indonesia but is determined by the DPRD based on who serves as the King of the Yogyakarta Palace. This phenomenon becomes interesting when there are differences of opinion among the people and within the Yogyakarta Palace regarding the acceptance of women leaders. The conflict began to arise when Sultan Hamengku Buwono X issued the Sabda Tama and Sabda Raja (Sabda Raja) which were interpreted as the Sultan’s way to pave the way for his daughter to become heir to the throne. The Sultan’s younger siblings opposed the female king to rule in Yogyakarta, so an internal conflict arose. The research method used is a qualitative method with a critical discourse analysis approach using the Norman Fairclough model to analyze news texts related to the Yogyakarta Palace’s internal conflict from the Kedaulatan Rakyat Daily. From the results of the research, it was found that the Kedaulatan Rakyat Daily produced discourses on internal conflict in the Yogyakarta palace by representing the ideology and interests of Sultan HB X’s younger siblings. This local daily newspaper also commodified internal conflict in the Yogyakarta palace as events that were produced and disseminated to the public for the benefits media economy.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
17

Albiladiyah, Samrotul Ilmi. "Tipe Huruf Prasasti Masjid Girilaya". Berkala Arkeologi 14, nr 2 (30.05.1994): 191–96. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v14i2.722.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Girilaya, salah satu dari ke-16 pedukuhan di Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri. Di bukit Girilaya terdapat masjid makam kuna. Pembangunan makam di bukit Girilaya atas prakarsa Sultan Agung. Di bawah makam, terdapat sebuah masjid kuna. Di masjid, tepatnya di dekat mimbar terdapat prasasti pendek yang ditulis di atas potongan batu putih berukuran 40 x 41 cm, tergeletak di antara mimbar dan tembok dinding. Prasasti masjid Girilaya yang ditulis dalam huruf maupun bahasa Jawa Baru, mempunyai variasi tipe huruf tersendiri tetapi masih menunjukkan kekunaan pada beberapa hurufnya. Berdasarkan prasasti yang ada, Masjid Girilaya ini dibangun tidak sejaman dengan makam Girilaya, melainkan dibangun semasa Sultan Hamengku Buwono I.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
18

Zamzami, Rizal. "Sultan Hamengku Buwono IX: Manuver Stabilisasi dan Rehabilitasi Perekonomian Indonesia Awal Orde Baru". heritage 2, nr 2 (31.12.2021): 205–15. http://dx.doi.org/10.35719/hrtg.v2i2.54.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Abstract The purpose of this paper is to describe the strategic steps for completing the stabilization and rehabilitation of the early New Order economy. The method used is a qualitative method using a historical approach and economic theory to examine the economic maneuvers of Sultan HB IX. The research method used is a historical research method in which there are 5 stages: topic selection, heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The result of this research is that after Sultan HB IX occupied strategic positions, namely Waperdam Ekubang, Menutama EKKU, and Minister of EKUIN in the government. Sultan HB IX issued his political-economic statement which also became a maneuver to solve problems in the economic field. From the results of these studies, it can be concluded that the solution to economic problems at the beginning of the new order was by taking actions at home and abroad which would provide a positive stimulus for the Indonesian economy.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
19

Suneko, Anon, Trustho Trustho i Salsa Bila. "GATI LAMBANGSIH LARAS SLENDRO PATHET MANYURA SEBAGAI KARYA INOVASI KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: KAJIAN MUSIKALITAS DAN KARAKTER GENDING". Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi 21, nr 2 (1.03.2022): 216–24. http://dx.doi.org/10.33153/keteg.v21i2.4100.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Gati Lambangsih laras slendro pathet manyura is one of the Yogyakarta musical styles which was created during the reign of Sri Sultan Hamengku Buwono X. This new creation in the ladrang format complements Beksan Bedaya's aesthetic Lambangsari, which was held at the Uyon-Uyon Hadiluhung event on December 28, 2020, at Kagungan Dalem Ward Srimanganti. Unlike other gending Gati, Gati This symbol is presented with a slendro-barreled gamelan in collaboration with brass section western wind music. Of course, the new taste of Gending Gati cannot be separated from the motivation and concept of its creation. However, musically, working and blending Gamelan and brass sections require carefulness in achieving harmony in the musical presentation.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
20

Indrasari, Rahma. "ESTETIKA TARI SRIMPI RANGGA JANUR PADA MASA SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII DI KRATON YOGYAKARTA". Joged 16, nr 2 (3.12.2020): 141–58. http://dx.doi.org/10.24821/joged.v16i2.4678.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Srimpi atau Serimpi merupakan suatu komposisi tari putri gaya Yogyakarta yang pada umumnya didukung oleh empat orang penari. Srimpi Rangga Janur merupakan tari klasik gaya Yogyakarta yang terdapat pada Manuskrip mulai masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengungkap, dan mendeskripsikan estetika tari Srimpi Rangga Janur pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Kredibilitas data dilakukan dengan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa estetika tari Srimpi Rangga Janur dapat diketahui melalui: unity (keutuhan) jika dikaitkan dengan konsep Jawa tentang sêlirang sêtangkêp dan loro-loroning atunggal. Variety (variasi) dapat disejajarkan dengan wilêd dalam Hasta Sawanda. Repetisi (pengulangan) dapat diketahui dari perhitungan beberapa motif yang sering diulang. Contrast (kontras) dapat diketahui dari motif gerak yang berlawanan. Transtition (transisi) dapat disejajarkan dengan pancad dalam Hasta Sawanda. Sequence (urutan) dapat diketahui dari struktur koreografi dan struktur iringan serta dapat diejajarkan dengan konsep mandhêg milir. Climax (klimaks) dapat diketahui dari struktur koreografi dan struktur gendhing. Proportion (proporsi) dapat diketahui dari besar kecilnya kuantitas antara gerak, tempat pertunjukan dan penari. Balance (keseimbangan) dapat dikaitkan dengan konsep Jawa tentang sangkan paraning dumadi (mulih mula mulanira). Harmony (selaras) dapat diketahui dari keselarasan dari gendhing pengiring dengan gerak-gerak yang lembut, runtut, patut, luruh – jêtmika, dengan tata krama, teratur, terkendali, mbanyu mili, serta tempo yang ajêg. ABSTRACT Srimpi or serimpi is Yogyakarta classical dance composition commonly perform by four dancers. Srimpi Rangga Janur is a Yogyakarta-style classical dance found in manuscripts from the Sri Sultan Hamengku Buwono VII. This research was conducted to determine, uncover and describe the aesthetics of Srimpi Rangga Janur dance. Method with aesthetic approach was used for this research. The data collecting techniques were observation, interview, and document study. The data analyzing technique was qualitive method. The data credibility proved by triangulation method and triangulation source. The result of the research showed that the Srimpi Rangga Janur’s aesthetics known from: the unity related to the Javanese concept about sêlirang sêtangkêp and loro-loroning atunggal. Variety equal to the wilêd in Hasta Sawanda. Repetition can be known from the calculation several motif which often repeated. Contrast can be known from the opposite movement motif. Transition can be equaled with pancad in Hasta Sawanda. Sequence can be known from the structure of the choreography and the music and can be equaled with mandhêg milir concept. Climax can be known from the structure of the choreography and gendhing. Proportion can be known from the quantity between movement, venue, the dancers. Balance related with the Javanese concept about sangkan paraning dumadi (mulih mula mulanira). Harmony can be known from the gendhing’s harmony with the soft, coherent, patut, luruh – jetmika, movement with the manners, organized, controlled, mbayu mili and contantly tempo (ajeg).
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
21

Anna Zakiah Derajat, Toni Kurniawan. "LARANGAN DEMO OLEH SULTAN HAMENGKU BUWONO X PASCA DEMO 8 OKTOBER 2020 DI YOGYAKARTA". Politica: Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam 8, nr 1 (8.07.2021): 23–42. http://dx.doi.org/10.32505/politica.v8i1.3072.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This paper aims to explain the implementation of Article 5 of Law Number 9 of 1998 concerning Freedom to Express Opinions after the demonstration on October 8, 2020 in Yogyakarta, thus giving birth to Sri Sultan Hamengku Buwono X's appeal regarding demonstrations in the perspective of mas}lah}ah. This type of research is literature research by conducting various studies that are considered credible with the primary source studied. This research results in a conclusion that freedom to express opinions in public is part of the basis of democracy, which has a role in eradicating corruption, gaps in government, and a last resort in conveying an aspiration. In implementing Article 5 of Law Number 9 of 1998 at the demonstration that took place on October 8, 2020 in Yogyakarta, restrictions are still needed so as not to conflict with Islamic law and laws. The demonstration in Yogyakarta led to anarchism, which led to a response from Sultan HB X. The appeal issued by Sultan HB X can be justified because it considers many things, one of which is security, safeguarding public facilities, and order. This appeal also does not mean to limit, eliminate people's rights, and prohibit them from expressing their aspirations.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
22

Cut, Mita. "Mixing Religious Rituals and Mystical Experience with Modern Democracy: Indonesia's Sultan Hamengku Buwono IX". Political Theology 10, nr 4 (11.12.2009): 607–19. http://dx.doi.org/10.1558/poth.v10i4.607.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
23

Hughes-Freeland, Felicia. "A Throne for the People: Observations on the Jumenengen of Sultan Hamengku Buwono X". Indonesia 51 (kwiecień 1991): 129. http://dx.doi.org/10.2307/3351068.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
24

Ingleson, John. "A prince in a republic: the life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta". Asian Studies Review 41, nr 1 (3.07.2016): 165–66. http://dx.doi.org/10.1080/10357823.2016.1202170.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
25

Satriawan, Iwan, i Faishal Aji Prakosa. "INSTITUTIONAL DISPUTES SETTLEMENT MECHANISM OF SUCCESSION IN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT SULTANATE". PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH 5, nr 1 (1.04.2020): 65–83. http://dx.doi.org/10.22373/petita.v5i1.94.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
The Constitutional Court Decision No. 88/PUU-XIV/2016 grants a possibility for a woman to be a candidate for Governor and Vice-Governor in the Special Region of Yogyakarta. As the only province in Indonesia where the executive leaders are only able from the royal family of the Ngayogyakarta Hadiningrat, the decision then triggers a polemic among people in the region. This is due to the current governor, Sri Sultan Hamengku Buwono X, does not have a son as his successor to the throne. Thus, this paper reveals institutional disputes’ settlement mechanism in the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate if any disputes ever appear. The outcome finds that the Sultanate has yet clear mechanism of dispute settlement among the royal family and no official institution which possesses authority to settle royal disputes. Insofar, the Sultanate has had a customary law or paugeran adat in which a female figure might taking the throne to be the Sultanah and the governor of the province. Nevertheless, the authors recommend to establish an institution to settle royal disputes for the continuation of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate. Abstrak: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 88/PUU-XIV/2016 meniscayakan adanya kemungkinan untuk seorang perempuan menjadi kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai satu-satunya pronvisi di Indonesia dimana pemegang kekuasaan eksekutif daerah hanya boleh berasal dari keturunan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, keputusan tersebut nyatanya memicu polemic diantara masyarakat di daerah. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya keturunan laki-laki dari gubernur atau sultan yang sedang menjabat saat ini, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk melanjutkan tahta kepemimpinan. Oleh sebab itu, artikel ini bertujuan untuk melihat mekanisme penyelesaian sengketa institusi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat jika terjadi sengketa. Hasil yang ditemukan adalah tidak adanya mekanisme penyelesaian sengketa di dalam Keraton serta tidak adanya institusi resmi yang dapat memutus dan menyelesaikan sengketa tersebut. Hingga saat ini, Keraton hanya menerapkan hukum adat atau paugeran adat dimana mengizinkan untuk seorang perempuan mengambil alih tahta dan menjadi seorang Sultanah sekaligus gubernur. Namun demikian, penulis menyarankan untuk tetap dibentuknya sebuah lembaga yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan sengketa antar anggota Keraton guna keberlanjutan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kedepannya. Kata Kunci: Sengketa Institusi, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultanah
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
26

Subuh, Subuh. "Garap Gending Sekaten Keraton Yogyakarta". Resital: Jurnal Seni Pertunjukan 17, nr 3 (15.12.2016): 178–88. http://dx.doi.org/10.24821/resital.v17i3.2227.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi garap gending sekaten keraton Yogyakarta. Metode deskriptif analitis digunakan untuk menganalisis unsur-unsur musikal gending melalui transkripsi notasi dan analisis garap. Gending Sekaten Keraton Yogyakarta merupakan salah satu jenis gending tradisi pakurmatan yang memiliki keunikan garap dan fungsi penting dalam upacara ritual. Gending Sekaten menjadi bagian integral dalam tata upacara Keraton Yogyakarta. Dalam sebuah catatan dari masa Sultan Hamengku Buwono VIII, ditulis 63 titi laras gending, 16 di antaranya adalah gending khusus untuk sekaten yang ditulis lengkap dengan racikan yang digunakan dalam penyajian gending tersebut. Selebihnya adalah gending-gending mares (mars) atau gending gati. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa bahwa faktor yang mempengaruhi garap gending sekaten adalah keharmonisan antar unsur garap yang didominasi oleh pembonang sebagai pimpinan penggarap, karena bonang berfungsi sebagai pamurba lagu dan pamurba wirama, sedang pengrawit lainnya merupakan pendukung yang berkontribusi dalam suatu kerja kolektif untuk mewujudkan sajian yang ideal.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
27

Safitri, Ilmiawati. "Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana “Raja Perempuan”". Indonesian Historical Studies 3, nr 1 (7.07.2019): 44. http://dx.doi.org/10.14710/ihis.v3i1.4850.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This article presents the dynamics of the succession of the king's regime in the Yogyakarta palace, which entered the crisis period because of the absence of successors to the male king. The emergence of the queen discourse that echoed at the Yogyakarta palace since 2010. It has sparked new tensions for the relatives of the palace. This discussion continues to grow. The words of the king echoed by Sultan Hamengku Buwono X under the pretext of gender became political ambition to perpetuate power. This study used the historical method to answer the problems that in every change of regimes in the Sultan Palace, Yogyakarta was always followed by conflicts over the throne and tug of war which affected the people outside the palace, such as when Islamic Mataram broke into four kingdoms. At that time, the community took part in regional warfare. This impact arose because of the desires of every descendant of the king, who feels entitled to become the next king.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
28

Robuan, Rahmat. "Kajian Sosio-Yuridis Keistimewaan Yogyakarta Ditinjau Dari Status Daerah Khusus dan Isitimewa Dalam Teori Negara Kesatuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia". Jurnal Fakta Hukum (JFH) 1, nr 1 (1.09.2022): 86–100. http://dx.doi.org/10.58819/jurnalfaktahukum(jfh).v1i1.30.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Penulisan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa terkait kajian sosio-yuridis keistimewaan Yogyakarta ditinjau dari status daerah khusus dan istimewa dalam teori negara kesatuan di negara republik Indonesia. Jenis penulisan dalam penelitian ini dengan menggunakan jenis penelitian normatif. Adapun isu hukum permasalahan yang diangkat dalam penulisan jurnal ini yakni, pertama, Apa landasan filosofi masyarakat Yogyakarta terkait keistimewaan Yogyakarta yang menjadikan Yogyakarta sebagai pelopor demokrasi budaya. Kedua, Bagaimana pandangan sosio-yuridis mengenai keistimewaan Yogyakarta. Adapun hasil dari penelitian ini yakni status keistimewaan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dibedakan pada aspek keistimewaan yang mengacu pada aspek sosio-historis, sosio-politik, sosiokultural, dan sosio-spiritual. Status istimewa mengacu pada aturan hukum atas dasar perubahan tata pemerintahan yang awalnya adalah sebuah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi tata pemerintahan demokrasi yang berbentuk provinsi. Kemudian mengenai keistimewaan terletak pada pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan Paku Alam VIII yang memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
29

Federspiel, Howard. "A Prince in a Republic—The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta by John Monfries". Indonesia 100, nr 1 (2015): 121–23. http://dx.doi.org/10.1353/ind.2015.0020.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
30

Tutik, Titik Triwulan. "ANALISIS HUKUM TATA NEGARA: SISTEM PENETAPAN GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN PASAL 18 AYAT (4) UUD 1945". Jurnal Hukum & Pembangunan 41, nr 1 (3.03.2011): 67. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol41.no1.242.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
AbstrakPemerintahan keistimewaan pada suatu daerah pada dasarnya merujuk pada: (1) nilaihistoris, (2) nilai-nilai genekologis; (3) nilai sosial-budaya, selain juga nilai yuridis. DaerahIstimewa Yogyakarta, baik secara historis maupun yuridis memiliki legitimasi yang kuatsebagai daerah istimewa. Secara historis, Pertama, status keistimewaan Yogyakartamerupakan pilihan politik sadar yang diambil penguasa Yogyakarta, yakni Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, dan bukan pemberian dari entitas politik nasional. Kedua, Yogyakartamemberikan rang wilayah dan penduduk yang kongkrit bagi Indonesia awal. Ketiga,Yogyakarta menjadi kekuatan penyelamat ketika Indonesia berada dalam situasi krisis untukmempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sedangkan secara yuridisyaitu Pertama, adanya konsistensi pada level yuridis yang mengakui keberadaan suatudaerah yang bersifat istimewa. Kedua, konsistensi pengakuan atas status keistimewaansebuah daerah, tidak diikuti oleh pengaturan yang bersifat komprehensif mengenai substansikeistimewaan sebuah daerah. Keistimewaan DIY juga tercermin dalam mekanisme pengisianjabatan Gubernur Kepada Daerah dan Wakil Gubernur, dengan sistem pengangkatan/penetapan Sri Sultan dan Sri Pakualam secara langsung oleh Presiden. Secarakonstitusional sistem penetapan Hamengku Buwono X dan Sri Pakualam, sebagai Gubernurdan Wakil Gubernur DIY tidaklah bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusionai) selamapenetapan tersebut memperoleh legitimasi dari masyarakat (masyarakat menghendakinya).
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
31

Suharno, YE, i Nur Iskandar. "MAPPING PERUMAHAN LAYAK HUNI DI DALEM KANEMAN BERDASARKAN INDIKATOR DARI PROGRAM KOTAKU". Jurnal Arsitektur Kolaborasi 2, nr 1 (1.04.2022): 1–9. http://dx.doi.org/10.54325/kolaborasi.v2i1.14.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Kompleks Dalem Kaneman sebagai bagian konsep kewilayahan merupakan salah satu bentuk perumahan milik Kraton yang ditempati oleh Bangsawan atau Pangeran, putra-putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dan saat ini juga sebagai tempat tinggal abdi dalem dan masyarakat biasa. Sesuai amanat UU. No. 1/2011 diharapkan kompleks Dalem Kaneman sebagai perumahan memiliki prasarana, sarana dan utilitas umum untuk upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Amanat Permen PUPR No. 15 Th. 2015 disebutkan bahwa penyelenggaraan perumahan di perkotaan juga terkait dengan pengembangan kawasan permukiman di perkotaan yaitu sesuai dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Untuk mengetahui pemenuhan rumah layak huni di kompleks Dalem Kaneman diperlukan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan mapping prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada di dalamnya. Mapping yang dilakukan dengan metode kualitatif eksplorasi dari aspek arsitektural antara lain seperti kecukupan luasan rumah terhadap penghuni, kondisi bangunan, ketersediaan MCK, jalan lingkungan dan sebagainya. Hasil mapping selain dapat mengetahui kelayakan huni kompleks Dalem Kaneman juga berguna sebagai masukan kajian teoritis bagi pemerintah kota terkait dengan program Kota Tanpa Kumuh. Kata kunci : Dalem Kaneman, perumahan layak huni, Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
32

Faihaan, Muhammad Pranasik. "PERSEPSI PEMUDA TENTANG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA BAGI KETAHANAN POLITIK WILAYAH (Studi Pada Pengurus Karang Taruna Kabupaten Bantul Pariode 2014-2019)". Jurnal Ketahanan Nasional 21, nr 3 (29.12.2015): 175. http://dx.doi.org/10.22146/jkn.15661.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi pemuda tentang keistimewaan Yogyakarta dan implikasinya bagi ketahanan politik Daerah Istimewaan Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field study research) dengan menggunakan metode penelitian diskriptif (descriptive research). Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, dan pengumpulan berbagai dokumentasi yang terkait dengan subjek maupun objek penelitian..Dampak dari persepsi pemuda terhadap status keistimewaan Yogyakarta bisa dilihat dengan program kerja Karang Taruna Kabupaten Bantul yang banyak melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan agenda keistimewan Yogyakarta. Pemuda yang duduk sebagai pengurus Karang Taruna Kabupaten Bantul mendukung, setuju dan siap melaksanakan penetapan Sri Sultan dan Pakualam sebagai gubernur. Dukungan lain yakni dilakukan dengan memasukkan agenda keistimewaan dalam program-program Karang Taruna Kabupaten Bantul seperti ikut mensosialisasikan UU serta peraturan turunan tentang keistimewaan kepada masyarakat luas. Perbedaan persepsi pemuda terihat jelas pada pandangan tentang suksesi kepemimpinan pasca Sri Sultan Hamengku Buwono X. Meskipun terjadi perbedaan persepsi tentang ketahanan politik wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta tetap relatif tangguh dengan adanya legitimasi dari rakyat Yogyakarta dan pemerintah pusat
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
33

Putra, Gratianus Prikasetya, Sulistyowati Irianto i E. Fernando M. Manullang. "LEGAL PLURALISM IN THE SPECIAL DISTRICT PROVINCE OF YOGYAKARTA, INDONESIA". International Journal of Asia Pacific Studies 19, nr 1 (18.01.2023): 1–22. http://dx.doi.org/10.21315/ijaps2023.19.1.1.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This study analyses the implementation of legal pluralism theory in a unitary state, such as the Republic of Indonesia, for historical and political purposes. The Special District Province of Yogyakarta, formally known as Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate, is one of the provinces whose territory and government have existed before Indonesia’s independence. When Sultan Hamengku Buwono led this province as the king, it significantly enjoyed many privileges within the Unitary State of the Republic of Indonesia, which apply to date. However, it is still possible to find discriminatory policies, especially in the agrarian sector, aimed explicitly at the Indonesian Chinese community due to the implementation of the Governor Instruction of 1975. As a result of this policy, the Indonesian Chinese are not entitled to land ownership rights in this region. This discriminatory policy serves as a window to explain how the social, cultural, political, and historical structures of Yogyakarta impact the implementation of the legal pluralism concept within the Republic of Indonesia. Historical and legal approaches within the socio-legal framework are used in this research.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
34

Hägerdal, Hans. "A Prince in a Republic. The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta, written by John Monfries". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 171, nr 4 (1.01.2015): 590–92. http://dx.doi.org/10.1163/22134379-17104016.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
35

Octastefani, Theresia. "The Dynamics of Women and Political Heritage in Yogyakarta: A Critical Reflection in Welcoming the Next Leader". MUWAZAH 10, nr 2 (25.12.2018): 116. http://dx.doi.org/10.28918/muwazah.v10i2.1783.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Yogyakarta Special Region (DIY) is an area still retains a strong cultural heritage, ranging from customs of Javanese-Islamic culture and Mataram Sultanate system. DIY becomes the only province that has a special authority to institutionalize the administration of government by placing the roles and responsibilities of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate and Kadipaten Pakualaman in filling the positions of provincial leaders. This process was legitimized by Indonesian Law No. 13 of 2012 about Special Administrative Status for Yogyakarta. But over time, polemics have emerged since Sri Sultan Hamengku Buwono X issued Sabda Raja and Dawuh Raja who reaped pros-cons and were clashed with the royal tradition’s values from generation to generation. Based on these realities, it becomes interesting to discuss about the dynamics of women and politics of heritage in DIY as a critical reflection in welcoming the next leader. On the one side, the system of the Javanese-Islamic Mataram Sultanate as a cultural heritage must be maintained. But on the other side, the aspect of modernity through the struggle for gender equality also opens the opportunity for Indonesian women are also capable of being and have become capable democratic leaders in the 21st Century.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
36

Laksono, Fajar, Helmi Kasim, Nallom Kurniawan, Nuzul Qur’aini Mardiya, Ajie Ramdan i Siswantana Putri Rachmatika. "Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Bingkai Demokrasi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Studi Kasus Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)". Jurnal Konstitusi 8, nr 6 (20.05.2016): 1059. http://dx.doi.org/10.31078/jk868.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Status keistimewaan Provinsi DIY dalam kurun waktu sekian lama lebih sering diinterpretasikan sebagai istimewa dalam hal wilayah yang dulunya berbentuk kerajaan, istimewa dalam pemimpin yaitu dipimpin dwi tunggal dari lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, dan istimewa dalam sistem pemerintahannya yang hierarkis patrimonial. Apabila dikelompokkan, pemaknaan keistimewaan Provinsi DIY setidaknya terbelah menjadi 2 (dua) yakni pihak yang pro-pemilihan dan pro-penetapan. Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Provinsi DIY tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi menurut UUD 1945 karena dalam Pembukaan UUD 1945, para penyusun UUD 1945 sepakat untuk mengadaptasikan bentuk dan model demokrasi yang sesuai dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yakni demokrasi permusyawaratan berdasar kekeluargaan. Artinya, masyarakat DIY berhak bermufakat secara kekeluargaan mengenai mekanisme yang ingin dipraktikkan, sepanjang mekanisme tersebut dipandang demokratis, dalam arti tidak bertentangan dengan gagasan demokrasi permusyawaratan serta tidak mengabaikan hakikat keistimewaan DIY, termasuk melalui mekanisme penetapan. Dalam hal menentukan kepala daerah DIY, para pengubah UUD 1945 tidak memaknai demokrasi hanya melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat atau oleh DPRD, melainkan membuka mekanisme lain di luar itu sepanjang mekanisme tersebut dianggap demokratis dan mendapatkan payung hukum dari undang- undang.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
37

Octastefani, Theresia, i Nur Azizah. "The Dynamics of Women and Political Heritage in Yogyakarta: A Critical Reflection in Welcoming the Next Leader". Muwazah 11, nr 2 (2.12.2019): 141–62. http://dx.doi.org/10.28918/muwazah.v11i2.2241.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Yogyakarta Special Region (DIY) is an area still retains a strong cultural heritage, ranging from customs of Javanese-Islamic culture and Mataram Sultanate system. DIY becomes the only province that has a special authority to institutionalize the administration of government by placing the roles and responsibilities of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate and Kadipaten Pakualaman in filling the positions of provincial leaders. This process was legitimized by Indonesian Law No. 13 of 2012 about Special Administrative Status for Yogyakarta. But over time, polemics have emerged since Sri Sultan Hamengku Buwono X issued Sabda Raja and Dawuh Raja who reaped pros-cons and were clashed with the royal tradition’s values from generation to generation. Based on these realities, it becomes interesting to discuss about the dynamics of women and politics of heritage in DIY as a critical reflection in welcoming the next leader. On the one side, the system of the Javanese-Islamic Mataram Sultanate as a cultural heritage must be maintained. But on the other side, the aspect of modernity through the struggle for gender equality also opens the opportunity for Indonesian women are also capable of being and have become capable democratic leaders in the 21st Century.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
38

Maulana, Luthfi, Syamsul Arifin, Imam Nawawi, Ahmad Wahyu Sudrajad i Annisa Cahyaningsih. "Prenuptial Agreement in Manuscript Serat Ambiya Pelemgadung, Sragen, Jawa Tengah". HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies 7, nr 1 (28.06.2021): 79–90. http://dx.doi.org/10.28918/hikmatuna.v7i1.2957.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This study examines the prenuptial agreement in Serat Ambiya Pelemgadung, Sragen, Central Java, Indonesia. The agreement is a special power considering that some of the existing serat texts are used in photographing husband-wife relationships when they are legal. Therefore, the purpose of this article is to compare the characteristics of Serat Ambiya Pelemgadung with others. In addition, what is the framework and meaning of the prenuptial agreement in Serat Ambiya Pelemgadung. This goal is expected to be achieved by selecting philological, hermeneutical and literature studies methods. There are several things that need to be underlined in this study, in the end, that Serat Ambiya Pelemgadung differs from the content of Serat Ambiya' Pelemgadung produced by Hamengku Buwono V's scriptorium. The philosophical framework and meaning of pre-nuptial agreements are inclined to matrilineal cultural values, such as; a) a commitment to love and provide for his wife, b) provide a business field for his wife, to prepare for the children's old age. the husband, c) bear all the debts of the wife before the marriage, and forbid his wife from debts in the future, and d) the husband promises not to use and demand all of his wife's property
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
39

Atiq, Diana Sitatul. "Sabda Raja Sultan Hamengku Buwono X Menurut Aktivis PWNU Yogyakarta Dan Aktivis PWM Yogyakarta: Studi Analisis Terhadap Penghapusan Gelar Khalifatullah". Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum 4, nr 1 (15.12.2022): 1. http://dx.doi.org/10.14421/al-mazaahib.v4i1.2844.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
The Sultanate of Yogyakarta is the legal heir to the Islamic Mataram kingdom with a royal government system that still exists today. In the system of royal government, a Sultan (king) has the highest absolute authority, both in the form of prohibitions and orders. This research is a field research using the interview method with Nahdlatul Ulama activists (PWNU Yogyakarta) and Muhammadiyah activists (PWM Yogyakarta). This research is descriptive analytic in nature, namely an attempt to describe and collect data related to the removal of the title Khalifatullah, then an analysis of the data is carried out based on existing theories in Islamic law. The results showed that Nahdlatul Ulama activists refused to abolish the Khalifatullah title on the grounds that the Khalifatullah title contains al-'urf, and the Khalifatullah title has become a legitimacy and recognition that the line of power in the Palace is based on male offspring. Whereas Muhammadiyah activists refused to abolish the title on the grounds that they were in the leadership of the Keraton, the tradition of changing power was to adhere to a patriarchal system, and the title Khalifatullah was an affirmation that men were the ones who had the right to inherit the leadership of the Keraton. According to the author's analysis, Nahdlatul Ulama activists use the Ijtihad Jamâ'i method, namely in extracting and making decisions related to their rejection of the abolition of the Khalifatullah title by practicing qawa'id ushuliyyâh and qawa'id fiqhiyyâh and through deliberations and in-depth discussions by gathering people who understand the the problems, namely the clergy, government experts and the royal family of the palace. Whereas Muhammadiyah activists use the Al-Ijtihâd al-Istislahi method, which is more based on the illat or benefits obtained.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
40

Isdarmanto, Isdarmanto, Christantius Dwiatmaja, John J. O. I. Ihalauw, Hari Sunarto i Antonius Suryo Abdi. "THE UNIQUENESS OF THE WARUNGBOTO HERITAGE SITE AS AN INTERESTING SELFIES PLACE IN YOGYAKARTA". Pringgitan 1, nr 1 (31.03.2020): 48–55. http://dx.doi.org/10.47256/pringgitan.v1i1.11.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
The development of tourism in various regions in Indonesia has been able to encourage all aspects of people's lives, to be able to work, to fill the opportunities and challenges of globalization in information technology that has been running very fast now. In its development, tourism excellence from the aspect of local wisdom, especially natural resource assets, culture, history, has become the main attraction of tourism destinations of special interest today. Warungboto historical building site is one of the historical tourism assets of Sri Sultan Hamengku Buwono II, which has an exotic and unique value that is widely used by millennial teenagers to take selfie. So it is very strategic role in promoting Warungboto site in Yogyakarta city branding. The existence of Warungboto site as a cultural preservation and provides more information about the history of the royal family of the Palace of Jogjakarta in the era of Sri Sultan Hamengkubuwono II. This study uses qualitative research so that it can be more in-depth and able to increase the philosophical value of the history of Warungboto site more broadly in the competitive aspects of Yogyakarta Tourism marketing in the millennium era. Keywords: warungboto site, philosophical value, jogja’s branding
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
41

Fadhilah, Rifa Nur, i Taufan Hidayatullah. "The Role of Ornaments for the Gedhe Kauman Mosque". ARTic 4, nr 2 (30.06.2022): 413–24. http://dx.doi.org/10.34010/artic.v4i2.8593.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This study aims to describe the role of the ornaments found in the Gedhe Kauman Mosque by having various forms with different meanings. The Gedhe Kauman Mosque building is a place of worship whose history is still attached to the local community, especially in Yogyakarta. The Gedhe Kauman Mosque was built during the Sultanate of Hamengku Buwono with an architect Ki Wiyukusumo with the aim of forming an Islamic state which at that time, the city of Yogyakarta was still in the process of Islamization and the spread of Islam was still being moved. This research is descriptive qualitative by discussing some of the history of the Gedhe Kauman Mosque building as well as some parts of the ornaments printed on the Gedhe Kauman Mosque building. The research data was obtained by means of literature study, observation, documentation and interviews with sources who know about the Gedhe Kauman Mosque building and its contents. There are several ornaments that will be discussed with each having a different meaning. The conclusion of this study is to add insight into works of art that are applied to buildings of worship with a very important meaning in them. Keywords: Art and Ornament Mosque; Design; Islam; Moslem; Yogyakarta Indonesia
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
42

Sekarsih, Fitria Nuraini, i Vidyana Arsanti. "TOPONIMI SEBAGAI PELESTARI BUDAYA LOKAL DI KELURAHAN BENER, KECAMATAN TEGALREJO, KOTA YOGYAKARTA". Jurnal Graha Pengabdian 2, nr 4 (18.12.2020): 272. http://dx.doi.org/10.17977/um078v2i42020p272-282.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Abstrak: Kelurahan Bener merupakan salah satu perkampungan yang berkembang di sekitar Kota Yogyakarta. Penamaan Bener tidak dapat lepas dari berdirinya kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Hamengku Buwono (HB) 1. Pembukaan hutan untuk mencari sumber mata air kebutuhan kraton menjadi latar belakang penamaan Bener dan nama daerah di sekitarnya. Metode yang digunakan untuk mencari latar belakang penamaan tersebut adalah snowballing sampling dengan mencari informasi dari tokoh sesepuh Bener. Melalui wawancara ini, dilakukan pemetaan partisipatori untuk menelusur peristiwa secara berurutan. Cerita dari para narasumber disusun menjadi cerita sejarah yang berurutan dan logis. Melalui proses ini, penggunaan peta mempermudah narasumber untuk menandai beberapa lokasi penting. Dari peristiwa tersebut, muncullah 18 nama kampung, dusun, desa, bahkan kecamatan, termasuk Bener itu sendiri. Tokoh yang muncul dari peristiwa tersebut adalah sosok Kyai Bener yang ternyata tidak banyak diketahui warga Kelurahan Bener. Survey singkat menunjukkan sedikit saja yang mengetahuinya, selebihnya masyarakat tidak tahu siapa itu Kiayi Bener. Oleh sebab itu, toponimi dapat dijadikan sebagai media pelestari budaya lokal. Melalui sebuah nama, cerita asal mula sebuah daerah dapat dijadikan warisan budaya yang patut untuk dilestarikan khususnya di Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta.Abstract: Bener Village is one of the villages that has developed around the city of Yogyakarta. The naming of Bener cannot be separated from the establishment of the Ngayogyakarta Hadiningrat kingdom which was led by Hamengku Buwono (HB) 1. Forest clearing to find water sources for the palace needs became the background for the naming of Bener and the names of the surrounding areas. The method used to find the background of the naming is snowballing sampling by seeking information from the elder figures of Bener. Through these interviews, participatory mapping was carried out to track events sequentially. The stories of the speakers are organized into sequential and logical historical stories. Through this process, the use of maps makes it easier for informants to mark several important locations. From this incident, 18 names emerged from the village, hamlet, village, even the district, including Bener itself. The figure who emerged from the incident was the figure of Kyai Bener, who was not widely known by the residents of Bener Village. A short survey shows that few people know about it, the rest people don't know who Kiayi Bener is. Therefore, toponymy can be used as a medium for preserving local culture. Through a name, the story of the origin of an area can be used as a cultural heritage that deserves to be preserved, especially in Bener Village, Tegalrejo District, Yogyakarta City. toponymy can be used as a medium for preserving local culture. Through a name, the story of the origin of an area can be used as a cultural heritage that deserves to be preserved, especially in Bener Village, Tegalrejo District, Yogyakarta City. toponymy can be used as a medium for preserving local culture. Through a name, the story of the origin of an area can be used as a cultural heritage that deserves to be preserved, especially in Bener Village, Tegalrejo District, Yogyakarta City.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
43

Handayani, Frida Anis, i Arina Pramusita. "Pengembangan Paket Wisata Berbasis Sejarah di Kampung Ketandan Yogyakarta". Jurnal Pariwisata Terapan 7, nr 1 (29.02.2024): 16. http://dx.doi.org/10.22146/jpt.79288.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Kampung Ketandan adalah sebuah yang Pecinan yang terletak di Jalan Malioboro, kampung yang mayoritas warganya merupakan peranakan Tionghoa tersebut memiliki latarbelakang sejarah yang berhubungan dengan seorang Kapiten Tionghoa sekaligus menjadi seorang Bupati di Yogyakarta. Pada dasarnya, Kapiten Tionghoa merupakan seorang anak keturunan Jawa yang diangkat anak oleh seorang saudagar Tionghoa, oleh ayah angkatnya ia diajarkan banyak hal dan dikenalkan banyak relasi bisnis. Sang Kapiten menjadi seorang kepercayaan Sultan Hamengku Buwono III dan diberi penghargaan menjadi seorang Bupati Yogyakarta juga beberapa petak tanah di Yogyakarta. Beberapa waktu sebelum pengangkatanya sebagai Bupati Yogyakarta, sang Kapiten mendapatkan nama Jawa dan diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung. Hingga saat ini nama Jawanya masih dikenal khalayak umum, bahkan nama tersebut pernah menjadi nama suatu jalan di kota Yogyakarta. Dalam perkembangannya, arsitektur bangunan dan sosial budayanya di Kampung Ketandan telah banyak berubah, satu-satunya hal yang tidak berubah adalah sisi sejarahnya berdirinya kampung tersebut. Sejarah mengenai KRT Secodiningrat masih menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti hingga kini. Dalam artikel yang berjudul “Pengembangan Paket Wisata Berbasis Sejarah Di Kampung Ketandan Yogyakarta” ini penulis ingin memaparkan potensi sejarah dari Kampung Ketandan sebagai latarbelakang dibuatnya Paket Wisata. Penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dalam penulisan artikel ini, dari data yang dikumpulkan kemudian diolah dan didapatkan suatu permasalahan sekaligus solusi yang dapat membantu masyarakat setempat dalam mengembangkan Kampung Ketandan menuju Kampung Wisata berbasis sejarah.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
44

Nasionalita, Kharisma, i Catur Nugroho. "Media Agenda on Yogyakarta Sultanate Succession". Jurnal Kajian Jurnalisme 4, nr 1 (30.07.2020): 61. http://dx.doi.org/10.24198/jkj.v4i1.24071.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Yogyakarta is a province with special status in Indonesia, bound by unique local political rules. According to The Mandate of Law Number 13 of 2012 concerning the Privileges of Yogyakarta, the position of Governor and Deputy Governor must be filled by the determined leaders of the palace. Yogyakarta's local politics went under the spotlight when Sultan Hamengku Buwono crowned his eldest daughter to be the successor to the palace's leadership in his Sabdatama (Kings Order). National regulation does not mention the gender of the Governor and Deputy Governor while in the internal court of the Yogyakarta palace, the position of a leader must be occupied by men. The issue gained intensive national media attention throughout March-May 2015, particularly by Kompas, Republika, and Kedaulatan Rakyat. This research aims to measure the media agenda related to the issue of the Sultanate succession on three selected newspapers. Through the quantitative content analysis method, this research dissects how the media places and emphasizes this issue. The purpose of this research is to identify how issues are prioritized through news content. There are 62 news articles selected from the period March-May 2015. The result of the research shows that all media emphasizes the Sultanate issue in different ways. There is a distinction between the local newspaper Kedaulatan Rakyat and the national newspaper (KOMPAS and Republika). The local newspaper put monarchy issue in the second rank while the national newspaper set constitutional issues such as the polemic prerequisite of Yogyakarta Governor and Deputy Governor in second place.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
45

Triwahyuningsih, Triwahyuningsih. "The Legal History Analysis of Filling the Position of Asymmetric Regional Head in the Special Region of Yogyakarta". Jurnal Daulat Hukum 5, nr 3 (17.10.2022): 253. http://dx.doi.org/10.30659/jdh.v5i3.24289.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This study aims to describe aspects of the legal history of filling the position of asymmetric Regional Head in the Special Region of Yogyakarta. This research is a normative legal research with a statute approach using primary and secondary legal materials and analyzed qualitatively descriptively. The results of the study indicate that the study of legal history shows that filling the position of Governor of DIY through a (asymmetric) determination does not conflict with Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution and Article 18 B paragraph (1). The filling of the positions of Governor and Deputy Governor can be traced in various regional government laws that have been in force in Indonesia. In Act No. 22 of 1948 concerning the Principles of Regional Government: Article 18 paragraph (5) and (6) states: "Heads of special regions are appointed by the President from the descendants of families who ruled in the area before the Republic of Indonesia and who still control the area, with the conditions of skill, honesty and loyalty and keeping in mind the customs of that area. Act No. 1 of 1957, Act No. 18 of 1965, the Basic Law on Regional Government has changed due to adapting to the latest political developments, but with regard to filling the positions of Governor and Deputy Governor of DIY, it remains through appointment and is not bound by time (for life). During the New Order, Act No. 5 of 1974. Finally, based on Act No. 13 of 2012 concerning the Privileges of the Special Region of Yogyakarta Article 24, DPRD DIY stipulates Sultan Hamengku Buwono who reigns as Governor.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
46

Suwarto, Suwarto. "KELEMBAGAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PADA USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL". Agro Ekonomi 12, nr 2 (30.12.2005): 55. http://dx.doi.org/10.22146/agroekonomi.16978.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
This research aims to find out the effect of land and labour institution on land productivity, cost of production, and farm income.The research was conducted at Candisari, Hargosari Village, Kecamatan Tanjungsari, and at Widoro, Balong Village, Kecamatan Giri Subo, Gunung Kidul. The primary data was taken during Septembe to December 2004.The result of this research found that the household labour, head of household education and age, the use of nitrogen and phosphat fertilizer increases the land productivity. On the contrary , farmer’s asset value and size of farm decrease land productivity. The self-owned land productivity is higher than the rented one belonging to Hamengku Buwono (HB), land productivity of forestation department lan is lower than the rented one belonging to HB.Land productivity, age and education of the household head, and the use of input (nitrogen, phosphate, and organic fertilizer, and seed) increase the production cost of food crop farming. Similarly, the uses of tenaga kerja upahan, royongan, and Rtan or arisan increase the production cost of food crop farming. The farm production cost in Lungguh-Kas Desa-milik Perseorangan (LKP) rented land is greater than the one in HB-rented land.The size of farm, the use of household labour, and education of household head increases the food crop farm income. On the contrary, the use of non household labour decrease the farm income. The food crop farm income of the workr-owner-farmer is higher than the one of farmer renting HB land. The income of farmer renting LKP land is lower than the one of the farmer renting the HB land, and farm income of the farmer easily accesing market is higher than that one who is relatively difficult to acces market.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
47

Jannatur Rahmah, Putri, i Yusdani Yusdani. "KONSEP GENDER EQUALITY PERSPEKTIF ISLAM : STUDI KASUS PENGANGKATAN PUTRI MAHKOTA SRI SULTAN HAMENGKUBUWANA X DI YOGYAKARTA". At-Thullab : Jurnal Mahasiswa Studi Islam 2, nr 1 (14.09.2020): 362–80. http://dx.doi.org/10.20885/tullab.vol2.iss1.art13.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Isu mengenai perempuan selalu menjadi topik yang memukau untuk diperdebatkan, spesifiknya mengenai perbincangan dalam hal kepimimpinan perempuan. Sejalan dengan hal tersebut, peneliti menemukan kasus menarik dimana Sultan Hamengkubuwa X mengangkat putri sulungnya GKR Mangkubumi untuk menggantikan posisinya sebagai raja. Isu tersebut menimbulkan pro dan kontra baik dari internal maupun eksternal keraton. Peneliti tertarik untuk mengeksplor tanggapan masyarakat terkait penunjukan Putri Mahkota sebagai bukti perjuangan wanita untuk mencapai kesetaraan hak dan derajat khususnya dalam ranah isu kepemimpinan dan relasinya terhadap gender equality perspektif Islam. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, oleh karena itu, metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah library research yakni mengandalkan dan memakai sumber kepustakaan, kemudian membaca dan menelaah jurnal dan artikel yang relevan dengan topik penelitian. Selain library research, metode pengambilan data lainnya dilakukan melalui wawancara dengan pihak yang berkaitan perihal topik penelitian. Hasil dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa Islam sangat meluhurkan praktik kesetaraan gender, Pada dasarnya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut tidak ditafsirkan sama halnya dengan pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung Ruh al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan yang hangat (mawaddah wa rahmah) di dalam lingkungan sosial QS. al-Rum: 21, sebagai cikal bakal terwujudnya tatanan masyarakat unggul dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan (BaldatunThayyibatun wa rabbun ghafûr) QS. Saba: 15. Pengangkatan putri sulung Sultan Hamengku Buwono X yang disinyalir akan menggantikan tahta kerajaan ayahnya memicu adanya respond masyarakat yang pro dan juga kontra. Perbedaan perspektif masyarakat tersebut dipengaruhi oleh sebuah pemikiran sebagian masyarakat yang masih mengagungkan dan memegang teguh lestarinya budaya patriarki yang ada pada Kesultanan Yogyakarta dan disisi lain terdapat masyarakat yang menyadari akan isu kesetaraan gender dampak dari arus demokrasi Indonesia.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
48

Anwar, Dede Saepul. "Pengembangan Pendidikan Islam dengan Strategi Teungku Chiek di Rundeng Aceh Indonesia". ALSYS 3, nr 1 (1.01.2023): 1–9. http://dx.doi.org/10.58578/alsys.v3i1.707.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
Aceh was under Dutch rule for decades. During this time, the public couldn’t access education due to restrictions put in place by the Dutch empire. Access to quality schools is limited to children from the upper class, as most children have difficulty getting an education. As a result, many kids struggle to get an education that includes Islamic education— even if they are from the upper class. Understanding Aceh’s only province with Islamic syari’ah is the main goal of this paper. After that, solutions provided by Teungku Chiek Dirundeng for building Islamic education are sought out. Through his efforts, he helped the Aceh community come together and find solutions to their problems. The story of Teungku Chiek Dirundeng is recorded in Aceh’s saga and written directly into Dutch history books. It’s one of the religious leaders in Aceh who contributed to building the civilization of human life by educating people. This research uses qualitative methods to examine the history and strategies of Teungku Chiek Dirundeng to develop an Islamic-based education system in Aceh. Researchers reviewed every public document published between 1960 and the present day for their research. These documents showed that Teungku Chiek Dirundeng believed building Islamic schools was the best way to promote Islamic education. Pesantren, pronounced Dayah in Indonesian, is an educational institution founded by Muslim scholars. It's based in Meukek, Labuhan Haji and Rundeng areas and is known for its ability to mobilize the community to work together. Only a few researchers have studied the history of Islamic leaders. One of these people is Aceh’s Sultan Hamengku Buwono II. He led the community to create dayah, which is the first step in forming an Islamic education system. Before that point, he helped people establish basics like religion and its rituals in Aceh.
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
49

Triwahyuningsih, Triwahyuningsih, Siti Zuliyah, Uni Tsulasi Putri, Hanifah Febriani i Zulfiani Ayu Astutik. "Constitutional Perspective of Human Rights Values in Local Wisdom in the Special Region of Yogyakarta (Study of Constitutional Court Decision No. 88/PUU-XIV/2016)". Jurnal Jurisprudence 13, nr 1 (28.07.2023): 147–71. http://dx.doi.org/10.23917/jurisprudence.v13i1.1846.

Pełny tekst źródła
Streszczenie:
ABSTRACT Purpose: This research aims to (1) explore the local wisdom values of the Special Region of Yogyakarta (DIY), which can constitutionally strengthen human rights values in Indonesia, and (2) analyze the judge's consideration of the Constitutional Court Decision No. 88/PUU-XIV/2016 from the perspective of universalism versus particularism of human rights in Indonesia. Methodology: This normative legal research employed a philosophical and statutory approach. This research used only secondary data consisting of primary and secondary legal materials refined through Focus Group Discussion. The data were then analyzed by descriptive qualitative philosophy to find the meaning behind the object under study through data reduction, classification, interpretation, display, and drawing conclusions. Results: The study revealed that (1) constitutional human rights values in DIY’s local wisdom are explicitly stated in the DIY Regional Regulations (Perda) and Special Regional Regulations (Perdais). DIY’s local wisdom can philosophically strengthen human rights values in Indonesia based on Pancasila, confirming that Pancasila as a constitutional identity crystallizes cultural customs and religious values throughout Indonesia. (2) The judges’ opinion for the Constitutional Court Decision No. 88/PUU-XIV/2016 is relative-particular; other than human rights is universal as there is no differentiation between the male and female to be the Governor of Yogyakarta Special Region, in the particular case of Yogyakarta, it remains upholding the local wisdom values as the requirement to be the Governor of Yogyakarta Special Region, where he shall be the reigning monarch of Sultan Hamengku Buwono, and the requirement to be the Sultan relies on the hereditary internal law of the Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta Palace) since 1755. Applications of the study: This study is applied (1) to maintain and preserve the local wisdom values of the Special Region of Yogyakarta (DIY) for the upholding of human rights in Indonesia as mandated by the 1945 Constitution and (2) to support the government’s program in the 2019-2024 RANHAM so that every Indonesian’s human rights receive perfect protection, in which the administrators of state power uphold human rights values in carrying out their duties to serve the community. Novelty/Originality: This research explored the local wisdom values of the DIY which can strengthen human rights values in Indonesia from various existing regulations in DIY with a broader approach, including raising local wisdom from human rights enforcement cases in Indonesia. Keywords: Constitutional Perspective, Human Rights, DIY’s Local Wisdom, Constitutional Court Decision No. 88/PUU-XIV/2016 ABSTRAK Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk (1) menggali nilai-nilai kearifan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang secara konstitusional dapat memperkuat nilai-nilai HAM di Indonesia dan (2) menganalisis pertimbangan hakim terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-XIV/2016 dari perspektif universalisme versus partikularisme hak asasi manusia di Indonesia. Metodologi: Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan filosofis dan perundang-undangan. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder yang disempurnakan melalui Focus Group Discussion. Data tersebut kemudian dianalisis dengan filosofi kualitatif deskriptif untuk menemukan makna dibalik objek yang diteliti melalui reduksi data, klasifikasi, interpretasi, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Temuan: Kajian menunjukkan bahwa (1) nilai-nilai konstitusional HAM dalam kearifan lokal DIY dinyatakan secara eksplisit dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdais) DIY. Kearifan lokal DIY dapat memperkuat nilai-nilai hak asasi manusia di Indonesia secara filosofis berdasarkan Pancasila dan menegaskan bahwa Pancasila sebagai identitas konstitusional merupakan kristalisasi adat budaya dan nilai-nilai agama di seluruh nusantara. (2) Pendapat hakim terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-XIV/2016 bersifat relatif-khusus; selain hak asasi manusia bersifat universal karena tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, khusus Yogyakarta, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal sebagai syarat untuk menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana beliau akan menjadi raja yang bertahta Sultan Hamengku Buwono dan syarat menjadi Sultan didasarkan pada hukum internal turun temurun dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Istana Yogyakarta) sejak tahun 1755. Kegunaan kajian: Penelitian ini diterapkan untuk (1) menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk penegakan hak asasi manusia di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan (2) untuk mendukung program pemerintah dalam RANHAM 2019-2024 agar hak asasi manusia setiap orang di Indonesia mendapat perlindungan yang sempurna, di mana penyelenggara kekuasaan negara menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat. Kebaruan/Orisinalitas: Penelitian ini menggali nilai-nilai kearifan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dapat memperkuat nilai-nilai HAM di Indonesia dari berbagai regulasi yang ada di DIY dengan pendekatan yang lebih luas, termasuk mengangkat kearifan lokal dari kasus-kasus penegakan HAM di Indonesia. Kata Kunci: Perspektif Konstitusi, Hak Asasi Manusia, Kearifan Lokal DIY, Putusan MK No. 88/PUU-XIV/2016
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
50

Miksic, John N. "Javanese Literature in Surakarta Manuscripts, Volume 1: Introduction and Manuscripts of the Karaton Surakarta. By Nancy K. Florida. Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program, 1993. Pp. 410. Bibliography, Indexes. - Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara. Jilid I. Museum Sonobudoyo Yogyakarta [Comprehensive Catalogue of Manuscripts of the Archipelago. Vol. I. Museum Sonobudoyo, Yogyakarta]. Edited by T.E. Behrend. Jakarta: Djambatan, 1990. Pp. xx, 804. Appendices, Bibliography, Indexes. [In Indonesian.] - Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara. Jilid II. Kraton Yogyakarta [Comprehensive Catalogue of Manuscripts of the Archipelago. Vol. II. Yogyakarta Palace]. Edited by J. Lindsay, R.M. Soetanto and A. Feinstein. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Pp. xv, 330. Introduction (by Sultan Hamengku Buwono X), Appendices, Bibliography, Indexes. [In Indonesian.]". Journal of Southeast Asian Studies 26, nr 2 (wrzesień 1995): 422–24. http://dx.doi.org/10.1017/s0022463400007177.

Pełny tekst źródła
Style APA, Harvard, Vancouver, ISO itp.
Oferujemy zniżki na wszystkie plany premium dla autorów, których prace zostały uwzględnione w tematycznych zestawieniach literatury. Skontaktuj się z nami, aby uzyskać unikalny kod promocyjny!

Do bibliografii