To see the other types of publications on this topic, follow the link: Transendence.

Journal articles on the topic 'Transendence'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Transendence.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Ratih, Andita, Ahmad Saalik Hudan Alfariz, Lina Putri Pasaribu, and Hery Wibowo. "Transendensi Diri Pekerja Sosial (Studi kasus tentang transendensi diri pekerja sosial di Unit Pelaksana Tugas Pusat Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Kota Bandung)." Share : Social Work Journal 10, no. 1 (August 9, 2020): 104. http://dx.doi.org/10.24198/share.v10i1.26428.

Full text
Abstract:
Demi terlaksananya tujuan praktik pekerja sosial berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2019, perlu adanya upaya meningkatkan usaha tenaga pekerja sosial untuk menjadi manusia yang berdaya sehingga mampu memberdayakan manusia lain. Dalam konteks ini kita akan melihat pekerja sosial mampu memanajemen diri, mampu meningkatkan keberfungsian, kepedulian, ketahanan, dan terampil dalam menghadapi masalah sosial. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong peningkatan usaha calon tenaga pekerja sosial menjadi manusia yang berdaya adalah dengan meningkatkan target kebutuhan. Pekerja sosial tidak hanya fokus memenuhi kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization) dengan memiliki pengetahuan dan penghargaan, tetapi meningkat ke tahap transendensi diri (self-transcendence). Penelitian ini bertujuan untuk mengenai tingkat transendensi diri pekerja sosial di Unit Pelaksana Tugas Pusat Kesejahteraan Sosial (UPT PUSKESOS) Dinas Sosial Kota Bandung dengan menggunakan metode survey deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan pengambilan data menggunakan Self-Transendence Scale. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling jenuh, di mana terdapat 23 orang pekerja sosial yang diteliti. Penelitian menemukan bahwa hampir seluruh pekerja sosial berada pada tingkat kebutuhan transendensi diri yang terdiri dari aspek interpersonal dan intrapersonal. Hal tersebut menunjukan bahwa pengembangan SDM yang ada perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Wulandari, Juwita Kusuma, and Robi’ah Nugrahani. "Membangun Motivasi (Self Transendence) Pendidik di MI Muhammadiyah Al-Muttaqien Sleman." IQ (Ilmu Al-qur'an): Jurnal Pendidikan Islam 3, no. 02 (January 12, 2021): 215–28. http://dx.doi.org/10.37542/iq.v3i02.134.

Full text
Abstract:
The research, entitled Building Educator Motivation (Self Transcendence) at MI Muhammadiyah Al-Muttaqien aims to determine the role of the institution or the principal as a motivator to optimize teacher performance at MI Muhammadiyah Al-Muttaqien. This research is a research with a qualitative approach that is descriptive. The subjects of this study include principals and teachers who teach at MI Muhammadiyah Al-Muttaqien. The data collection techniques used were interviews and observation. The theory used is Maslow's Hierarchy of Need theory in which there are several levels of needs needed to increase work motivation. In research, this theory is used to determine the achievement of the spiritual needs of teachers who teach at MI Muhammadiyah Al-Muttaqien. Also, whether all the needs contained in Maslow's theory can be met by the institution so that it can increase the work motivation of teachers. The results showed that the role of institutions and school principals in increasing motivation, as well as means of rewarding the performance of teachers is really needed. However, there are shortcomings or limitations in terms of fund allocation and other things that make several things in the level of need not fulfilled. Even though there are deficiencies in this, the enthusiasm of the teachers to continue to teach and be sincere in conveying knowledge are important things that create self-transcendence.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Vakili, Hadi. "Fuzzy Epistemology From View Point of Mystical Theology." Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 2, no. 1 (June 23, 2012): 27. http://dx.doi.org/10.20871/kpjipm.v2i1.23.

Full text
Abstract:
<div><p><strong>Abstrak :</strong> Isu imanensi dan transendensi sangat penting dalam pemikiran keagamaan. Salah satu alasan mengapa masalah ini tidak pernah terselesaikan adalah bahwa ia memiliki banyak makna dan muncul dalam konteks yang berbeda. Pandangan yang menekankan imanensi dalam satu konteks mungkin menekankan transendensi pada konteks lain. Arti keduanya pun sangat tergantung pada asumsi metafisik mereka yang biasanya secara tidak sadar menggunakannya. Dua sisi yang saling terkait dan bergantung satu sama lain ini pasti hadir di konsep pikiran, jika hubungan antara Allah dan alam semesta, Realitas dan penampilan, benar-benar untuk dipahami. Karena ketiadaanlah bahwa Allah digambarkan sebagai transenden (tanzīh), dan karena keberadaan sehingga Ia dikenal sebagai imanen (tashbīh). Dua aspek Tuhan, transenden dan imanen diringkaskan oleh Ibn ‘Arabi melalui pendekatan ayat Qur’an (42:11). Pakar sejarah agama, peneliti dan mistikus berpegang pada prinsip ini juga dan meyakini bahwa apa yang disebut sebagai “logika panggilan” memiliki dua sisi fungsi yang berarti. Menurut logika ini, seseorang harus mengklasifikasikan panggilan nabi pada kesatuan atau pluralitas seperti dalam kategorisasi panggilan transenden, imanen atau transenden-imanen, dan akibatnya adalah agama Ilahiah akan diperspesi dari sisi ini pula. “Fuzzy logic” atau logika fuzzy dipahami berdasarkan preposisi yang paradoks dari berbagai penjelasan dan analisa mistis.<strong></strong></p><p><em>Kata kunci : Logika fuzzy, Transenden, Imanen, Teologi fuzzy, Paradox</em><strong><br /></strong></p><p><strong>Abstract :</strong> The issue of immanence and transcendence is crucial for religious thought. One reason why that is never resolved is that it has so many meanings and turns up in so many different contexts. A view may emphasize immanence in one context and emphasize transcendence in another. What the terms mean depends in part on the metaphysical assumptions, usually unconscious, of those who use them. According to Ibn al-Arabī, these two mutually dependent sides must constantly be borne in mind, if the relationship between God and universe, Reality and appearance, is to be truly understood. It is because of nonexistence that God is described as transcendent (tanzīh), and because of existence that He is known as immanent (tashbīh). The two aspects of God, transcendence and immanence, are summarized for Ibn al-‘Arabī by the Qur’anic verse “There is nothing like Him, and He is the Hearer, the Seer” (42.11). The religious-historians and researchers and alongside them some mystics insist on it and according to it they consider the logic of the call as a function of the two-valued logic (transcendence or immanence). According to this logic one must classify the call of the divine prophets based on their emphasis upon the unity or plurality in three categories of Transcendental calls, Similar calls and Transcendent-Imminent (T-I) calls and as a result consider the face of divine religions necessarily either Transcendental or Similar or T-I. Fuzzy logic and thought has in understanding of propositions approaches paradoxes and also, in general of any mystical explanation and analysis.</p><p><em>Keywords : Fuzzy logic, transcendence, immanence, fuzzy theology, paradox</em></p></div>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Heatubun, Fabianus Sebastian. "Gelak-Tawa sebagai Sinyal Transendensi Manusia." MELINTAS 30, no. 3 (July 22, 2015): 346. http://dx.doi.org/10.26593/mel.v30i3.1450.346-359.

Full text
Abstract:
Comic dimension, on the one hand, is a human condition. It is a basic precondition for a human being called to be <em>humanum</em>, to be authentic, complete and true human being. ‘Comic’ (laughter) can be seen as a cultural product that has become nurtural. On the other hand, essentially comic or laughter is innate by origin. The nature of human can be conceived as a mammal that is able of distinguishing itself from other mammals. Thus human as <em>mangel wesen</em> (incomplete and weak being) by laughter has a capacity to transcend herself or himself, her or his body and whole life. It might even further to be said that that comic dimension has a capability to save humankind. In a mystical sense, when we laugh, we live through our most fundamental life. Laughter makes life more alive. Laughter becomes a sacred moment, for it is a blending event of the human with the divine, and in turn it brings back men and women to their original nature as a human being.<br /><br />
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Heriyanto, Husain. "SPIRITUALITAS, TRANSENDENSI FAKTISITAS, DAN INTEGRASI SOSIAL." Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora 16, no. 2 (January 7, 2019): 145. http://dx.doi.org/10.18592/khazanah.v16i2.2384.

Full text
Abstract:
Abstract: This article is aimed to provide an epistemological framework to arrange the account for the importance and relevance of Islamic spirituality along with its Sufism tradition in relation to keep social integration in contemporary global society particularly in Indonesia. One of the reasons of this effort is driven by a fact that the rising influence of extrimism among young Muslim generation as well as students has led the growing emergence of social disintegration forces in Muslim communities and countries. Another concern of this article is the decline of knowledge related to the Islamic intellectual and spiritual tradition among Muslim academicians. Due to intellectual capitulation of liberal modernist Muslim scholars on one side and shallow interpretation of Muslim puritanical fundamentalism on the other side, many Muslim people have been in a complete break with traditional Islamic teachings including Sufism. The core thesis of this article is that Sufism as well as Islamic intellectual tradion in general can be elaborated in a such profound way that it has tremendous capacity to provide Muslim society with vision and insight for recovering and flourishing social integration. Its rationale is that the best way to integrate human society is first of all to integrate oneself. Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk memberikan kerangka kerja epistemologis yang akan menjabarkan pentingnya dan relevansi spiritualitas Islam bersama dengan tradisi tasawufnya dalam kaitannya untuk menjaga integrasi sosial dalam masyarakat global kontemporer khususnya di Indonesia. Signifikansi penjabaran ini karena adanya fakta meningkatnya pengaruh ekstrimisme di kalangan generasi muda Muslim dan juga mahasiswa yang telah menyebabkan meningkatnya kekuatan disintegrasi sosial di komunitas dan negara Muslim. Fokus lain dari artikel ini adalah berkurangnya kajian-kajian terkait dengan tradisi intelektual dan spiritualitas Islam di kalangan akademisi Muslim. Karena kapitulasi intelektual para sarjana Muslim modernis liberal di satu sisi dan di sisi lain kedangkalan interpretasi dari fundamentalisme Muslim puritan, banyak kaum Muslim mengalami kesenjangan dengan ajaran Islam tradisional, termasuk tasawuf. Tesis inti dari artikel ini adalah bahwa tasawuf dan tradisi intelektual keislaman dapat dielaborasi secara mendalam sehingga dapat memberikan pandangan maupun pencerahan yang dapat memulihkan dan menumbuhkembangkan integrasi sosial kepada masyarakat Muslim. Dasar pemikirannya adalah bahwa cara terbaik untuk mengintegrasikan masyarakat manusia adalah dimulai dengan mengintegrasikan diri sendiri.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Lestari, Sri Ayu, U’um Qomariyah, and Sumartini Sumartini. "Bentuk Etika Transendensi dalam Cerita Rakyat di Kabupaten Tegal." Jurnal Sastra Indonesia 7, no. 2 (April 15, 2019): 117–24. http://dx.doi.org/10.15294/jsi.v7i2.29832.

Full text
Abstract:
Transendensi merupakan salah satu aspek yang ada dalam sastra profetik. Sastra profetik merupakan sastra yang menekankan pada sastra keagamaan yang mendalam sebagai wahana bertemunya dimensi sosial dan transendensi yang ada dalam cerita rakyat. Cerita rakyat mengandung bentuk, nilai dan etika transendensi. Tulisan ini mengupas tentang bentuk etika transendensi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya etika transendensi. Adapun bentuk etika transendensi adalah raja’, qonaah, syukur, ikhlas, khauf, melakukan upaya mendekatkan diri pada Tuhan (tirakat, taat beribadah), mengakui adanya kekuatan supranatural, mengaitkan perilaku, tindakan, dan kejadian dengan ajaran kitab suci. Adapun faktor yang melatarbelakangi adalah faktor internal yang berhubungan dengan kejiwaan atau kepribadian tokoh. Sementara faktor eksternal yang ada meliputi keluarga, lingkungan, pendidikan, dan kondisi sosial kultural. Transcendence is one of the aspects of prophetic literature. Prophetic literature is a literature that emphasizes deep religious literature as a means of the social dimensions and transcendence meeting that exist in folklore. Folklore contains transcendental forms, values, and ethics. This paper explores the form of transcendental ethics and the factors behind the formation of transcendental ethics. The purpose of this research is to determine the form and factors that underlie the occurrence of transcendental ethics. The forms of transcendent ethics are raja', qonaah, gratitude, sincere, khauf, making efforts to draw closer to God (tirakat, obedient worship), acknowledge the existence of supernatural powers, linking behavior, actions, and events with the teachings of scripture. The underlying factors are internal factors related to the psychological or personality of the figure, while the external factors that include family, environment, education, and cultural social conditions.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Siswanto, dkk, Joko. "Bereksistensi Dalam Transendensi Menurut Pemikiran Karl Jaspers." DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA 16, no. 2 (December 20, 2017): 158–87. http://dx.doi.org/10.26551/diskursus.v16i2.61.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Thadi, Robeet. "KOMUNIKASI TRANSENDENTAL: SHALAT SEBAGAI BENTUK KOMUNIKASI TRANSENDENT." Jurnal Ilmiah Syi'ar 17, no. 2 (August 15, 2017): 43. http://dx.doi.org/10.29300/syr.v17i2.894.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Fuad, Ah Zakki. "Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam Berbasis Taksonomi Transenden." ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 9, no. 2 (March 15, 2016): 424. http://dx.doi.org/10.15642/islamica.2015.9.2.424-446.

Full text
Abstract:
<p>This article focuses on the reconstruction of the objective of Islamic education based on transcendent taxonomy. This study is based on the idea that “the objective of Islamic education is to make students good”. The word “good” becomes the key as well as the entrance to formulate the objective of Islamic education by examining the concept of “good” in the Qur’ân. The concept is studied using a model of thematic tafsir (<em>mawdû‘î</em>) approach. Using this approach, the word “good” is sought through three stems, i.e., the words <em>ahsan-yuhsin</em>, <em>saluh-yasluh</em>, and <em>khayr</em> with their various forms and changes in the Qur’ân. The classification of verses uses the theory of taxonomy. This article reveals that the objectives of Islamic education taxonomy can be called the ‘transcendent taxonomy.’ The objectives of Islamic education based on the Qur’an can be classified into three dimensions: <em>ilâhîyah</em> (theocentrism; divinity), <em>insânîyah</em> (anthro-pocentrism; humanity), and <em>kawnîyah</em> (cosmocentrism; naturality).</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Fuad, Ah Zakki. "TAKSONOMI TRANSENDEN (PARADIGMA BARU TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM)." Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) 2, no. 1 (February 4, 2016): 1. http://dx.doi.org/10.15642/jpai.2014.2.1.1-25.

Full text
Abstract:
<em>The Taxonomy of the Objectives of Islamic Education in the Qur'anic Perspective. This study is initiated from a thought that "the objective of Islamic education is to make students good". The word "good" becomes the key as well as the entrance to formulate the objective of Islamic education in this study, namely by examining the concept of "good" in the Qur’an. The concept studied by using a model of thematic tafsir (mawdhu’iy) approach. With this approach the word "good" was sought through three stems, i.e., the words ahsana-yuhsinu, saluha-yasluhu and khairun with their various shapes and changes in al-Qur’an. Then the classification arranged using the theory of taxonomy. The focus of this research conducted is: How is the taxonomy of the objectives of Islamic education in the Qur’an perspective. The finding this research of the objectives of Islamic education taxonomy is called the Trancendent Taxonomy. Namely the classification of the objectives of Islamic education which is divided into three dimensions based on the Holy Qur’an, these are ilahiyyah (divinity), insaniyyah (humanity) and kauniyyah (naturality) dimensions.</em>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Fuad, Ah Zakki. "TAKSONOMI TRANSENDEN (PARADIGMA BARU TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM)." Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) 2, no. 1 (February 4, 2016): 1. http://dx.doi.org/10.15642/pai.2014.2.1.1-25.

Full text
Abstract:
<em>The Taxonomy of the Objectives of Islamic Education in the Qur'anic Perspective. This study is initiated from a thought that "the objective of Islamic education is to make students good". The word "good" becomes the key as well as the entrance to formulate the objective of Islamic education in this study, namely by examining the concept of "good" in the Qur’an. The concept studied by using a model of thematic tafsir (mawdhu’iy) approach. With this approach the word "good" was sought through three stems, i.e., the words ahsana-yuhsinu, saluha-yasluhu and khairun with their various shapes and changes in al-Qur’an. Then the classification arranged using the theory of taxonomy. The focus of this research conducted is: How is the taxonomy of the objectives of Islamic education in the Qur’an perspective. The finding this research of the objectives of Islamic education taxonomy is called the Trancendent Taxonomy. Namely the classification of the objectives of Islamic education which is divided into three dimensions based on the Holy Qur’an, these are ilahiyyah (divinity), insaniyyah (humanity) and kauniyyah (naturality) dimensions.</em>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Pranowo, Yogie. "Transendensi dalam Pemikiran Simone de Beauvoir dan Emmanuel Levinas." MELINTAS 32, no. 1 (May 19, 2016): 73. http://dx.doi.org/10.26593/mel.v32i1.1926.73-93.

Full text
Abstract:
<p>Simone de Beauvoir and Emmanuel Levinas are two of the leading philosophers who gave rise to the idea of transcendence. While for Beauvoir transcendence is a fully human effort (particularly among women) to come out of the shackles of patriarchal culture, for Levinas transcendence extends to a broader scope, that is, to humanism as well as to the relationships among people. Beauvoir would see transcendence as women’s efforts to break out of the structures of patriarchy through the three strategies it offers, viz., that women must work, engage in intellectual activities, and become perpetrators of action for the sake of social transformation. As for Levinas, transcendence is closely associated with human face. The face is not merely an object of intentional consciousness, but representing the significance of human transcendence. Through the face, one might recognise the presence of others. On the other hand, it shows the face of infinite dimensions in such a way that it cannot be subdued by the attempts of human consciousness willing to master it.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Yulia, Aris. "Profesi Notaris di Era Industrialisasi Dalam Perspektif Transendensi Pancasila." Law and Justice 4, no. 1 (July 29, 2019): 56–67. http://dx.doi.org/10.23917/laj.v4i1.8045.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Fikri, Abdullah. "Konseptualisasi dan Internalisasi Nilai Profetik: Upaya Membangun Demokrasi Inklusif bagi Kaum Difabel di Indonesia." INKLUSI 3, no. 1 (June 1, 2016): 41. http://dx.doi.org/10.14421/ijds.030107.

Full text
Abstract:
This paper focuses on the disability in the context of inclusive democracy that is based on the prophetic values. There are two terms used in this paper. First, inclusive democracy; this term asserts that the people with disability are not the object in a social and political system, conversely, the people with disability are positioned as the subject in citizenship. The people with disability are part of the political system and society and they have the rights to engage and compete in the political practices. Second, “prophetic values” that refers to the elaboration of disability studies and Islamic studies, where the later is related to the earlier. Disability studies with the prophetic social science are prominent as a social transformation in order to get a better humanist and transcendence understanding of disability in the local context of Indonesia. The result of this study shows that the inclusive democracy, in terms of Indonesian local context, is constructed by four prophetic values: humanism, liberation, transcendence and inclusive society.[Tulisan ini akan membahas difabilitas dalam konteks demokrasi inklusif berbasis nilai-nilai profetik. Ada dua term yang digunakan dalam tulisan ini. Pertama, “demokrasi inklusif”; term ini ingin menegaskan bahwa difabel bukan lagi sebagai orang yang hanya dijadikan objek saja, akan tetapi kaum difabel diposisikan sebagai subjek warganegara. Dengan kata lain, kaum difabel merupakan bagian dari entitas sistem politik dan sistem masyarakat, yang memiliki hak untuk ikut serta dalam kompetisi politik praktis. Kedua, “nilai-nilai profetik”; sebagai elaborasi kajian difabilitas dan studi Islam, maka penting melakukan interelasi antara difabilitas dengan nilai-nilai profetik. Kajian disabilitas dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP), sebagai upaya melakukan transformasi sosial, agar didapatkan sebuah pemahaman yang lebih humanis-transenden terhadap kaum difabel dalam konteks ke-Indonesiaan. Adapun hasil dari kajian ini adalah bahwa demokrasi inklusif berbasis paradigma profetik dalam konteks ke-Indonesiaan, dikonstruksi atas empat pilar, yaitu nilai humanisasi, liberasi, transendensi, dan masyarakat inklusif.]
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Cinu, Surahman. "KELUAR DARI ALIENASI ALAM TERHADAP MANUSIA Perspektif Teosofi Transenden." Jurnal Ushuluddin 23, no. 2 (November 8, 2015): 209. http://dx.doi.org/10.24014/jush.v23i2.2493.

Full text
Abstract:
Alam yang dihuni oleh manusia makin rusak parah, akibat ulah manusia, apakah ini yang dikhawatirkan malaikat saat mereka berdialog dengan Tuhan,“ tidak cukupkan kami (malaikat) ya Tuhan sebagai pengabdi kepadaMu, sehingga engkau akan menciptakan manusia yang kerjanya akan membuat kerusakan dimuka bumi”. Sekali lagi Tuhan menampakkan substansi absolutnya, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui daripada kalian”’ Mereka selanjutnya tunduk pada perintah Tuhan dengan cara “sujud” (kecuali Iblis) dihadapan Adam, dimana keturunannya, atas dasar ketidak puasan mengeksploitas sekaligus merusak alam semesta
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Yasser, Muhammad. "Etika Lingkungan dalam Perspektif Teori Kesatuan Wujud Teosofi Transenden." Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 4, no. 1 (June 25, 2014): 47. http://dx.doi.org/10.20871/kpjipm.v4i1.54.

Full text
Abstract:
<div><p><strong>Abstract :</strong> The study of environmental ethics based on the theory of oneness of being of Transcendent Theosophy has frontally criticizes modern scientific paradigm which is anthropocentric in character. This particular perspective believes that only man who posses value in itself (intrinsic value), while other being posses only instrumental value in relation to man interests. On the other hand, it also criticizes the ecocentric perspective which considers nature to posses her own value independently from man. The principle of oneness of being (wahdat al-wujūd) is the main (ontological) argumentation used by muslim philosophers, including Mulla Sadra as the founder of Transcendent Theosophy, in answering all cosmological questions and concerns throughout the ages. The Transcendent Theosophy itself is a (relatively) new perspective in the tradition of Islamic philosophy, which is based on a creative synthesis and harmonization of nearly all the earlier schools.</p><p><em>Keywords : oneness of being, transcendent theosophy, anthropocentrism, ecocentrism, theocentrism, ontocentrism</em></p><p><strong>Abstrak :</strong> Etika lingkungan berdasarkan pada kesatuan wujud Teosofi Transenden merupakan kritik terhadap paradigma modern yang bercorak antroposentris. Perspektif ini memiliki keyakinan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai di dalam dirinya (nilai intrinsik) sedang nilai yang terdapat pada alam semata instrumental dalam kaitannya dengan kepentingan manusia. Di sisi lain ia juga mengkritik pandangan ekosentrisme yang memandang alam memiliki nilainya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Prinsip kesatuan wujud (oneness of being, waḥdat al-wujūd) merupakan argumentasi ontologis para filsuf Muslim, termasuk di dalamnya Mulla Sadra sebagai pendiri aliran Teosofi Transenden. Teosofi Transenden sendiri merupakan perspektif yang relatif baru dalam tradisi filsafat Islam yang mendasarkan dirinya pada sintesis-kreatif dan harmonisasi semua aliran filsafat.</p><p><em>Kata-kata Kunci : kesatuan wujud, teosofi transenden, antroposentrisme, ekosentrisme, teosentrisme, ontosentrisme<strong>.</strong></em></p></div>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Ahmad, Ahmad, and Gamal Abdul Nasir. "DESAIN HUKUM INDUSTRI INDONESIA: Membangun Sumber Daya Industri Bernilai Transendensi Pancasila." Jurnal Jurisprudence 9, no. 1 (September 18, 2019): 81–89. http://dx.doi.org/10.23917/jjr.v9i1.8095.

Full text
Abstract:
Tujuan: Artikel ini bertujuan untuk merumuskan konsep pembangunan sumber daya industri bernilai transendensi Pancasila Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dengan pendekatan perundang-undangan. Temuan: membangun industri (sumber daya) membutuhkan adanya sumber daya manusia, memanfaatkan sumber daya alam, mengembangkan dan memanfaatkan teknologi, mengembangkan dan memanfaatkan kreatifitas dan inovasi juga tersedianya biaya serta penyediaan sumber pembiayaan dengan memperhatikan nilai Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sehingga dapat membawa kemaslahatan bagi manusia dan lingkungan berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Kegunaan: Industrialisasi ekonomi harus sejalan dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjadi kesenjangan/ketimpangan dalam memenuhi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui industrialisasi maka peran negara harus kuat dan berpihak kepada kepentingan umum. Kebaruan/Orisinalitas: Pembangunan sumber daya industri merupakan usaha bersama untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama maka peran negara harus hadir untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan dapat mencapai tujuan bersama dan seluruh rangkaian proses industrialisasi harus sejalan dengan nilai Pancasila
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Ahmad, Ahmad, and Gamal Abdul Nasir. "DESAIN HUKUM INDUSTRI INDONESIA: Membangun Sumber Daya Industri Bernilai Transendensi Pancasila." Jurnal Jurisprudence 9, no. 1 (September 18, 2019): 81–89. http://dx.doi.org/10.23917/jurisprudence.v9i1.8095.

Full text
Abstract:
Tujuan: Artikel ini bertujuan untuk merumuskan konsep pembangunan sumber daya industri bernilai transendensi Pancasila Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dengan pendekatan perundang-undangan. Temuan: membangun industri (sumber daya) membutuhkan adanya sumber daya manusia, memanfaatkan sumber daya alam, mengembangkan dan memanfaatkan teknologi, mengembangkan dan memanfaatkan kreatifitas dan inovasi juga tersedianya biaya serta penyediaan sumber pembiayaan dengan memperhatikan nilai Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sehingga dapat membawa kemaslahatan bagi manusia dan lingkungan berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Kegunaan: Industrialisasi ekonomi harus sejalan dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjadi kesenjangan/ketimpangan dalam memenuhi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui industrialisasi maka peran negara harus kuat dan berpihak kepada kepentingan umum. Kebaruan/Orisinalitas: Pembangunan sumber daya industri merupakan usaha bersama untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama maka peran negara harus hadir untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan dapat mencapai tujuan bersama dan seluruh rangkaian proses industrialisasi harus sejalan dengan nilai Pancasila
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Aslam, Dhena Maysar, Hazbini Hazbini, and Lina Meilinawati Rahayu. "ETIKA SASTRA PROFETIK DALAM BUKU KUMPULAN PUISI TULISAN PADA TEMBOK KARYA ACEP ZAMZAM NOOR." Metahumaniora 10, no. 1 (May 8, 2020): 90. http://dx.doi.org/10.24198/metahumaniora.v10i1.26041.

Full text
Abstract:
Kuntowijoyo merumuskan etika sastra profetik yang terdiri dari nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi. Sementara ini sastra profetik selalu identik dengan karya-karya Kuntowijoyo. Acep Zamzam Noor (AZN) dalam konstelasi sastra Indonesia modern patut diperhitungkan sebagai penyair yang bernafaskan religi dalam karya-karyanya. Tesis ini akan meneliti mengenai kemungkinan-kemungkinan etika sastra profetik dalam buku kumpulan puisi Tulisan Pada Tembok karya Acep Zamzam Noor dengan metode penelitian kualitatif serta pendekatan hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer untuk mendeskripsikan nilai-nilai profetik dalam puisi-puisi AZN. Sebagai objek penelitian, peneliti memilih 35 puisi dalam buku kumpulan puisi Tulisan Pada Tembok karya AZN untuk kemudian menjadi objek penelitan utama dalam tesis ini atas dasar kecenderungan atau hipotesis sementara terdapat nilai-nilai profetik dalam ke-35 puisi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AZN merepresentasikan etika sastra profetik Kuntowijoyo secara benar sesuai apa yang dikonsepkan oleh Kuntowijoyo mengenai nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi sebagai etika sastra profetik. Nilai-nilai tersebut merupakan kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dari konsep sastra profetik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Aslam, Dhena Maysar, Hazbini Hazbini, and Lina Meilinawati Rahayu. "ETIKA SASTRA PROFETIK DALAM BUKU KUMPULAN PUISI TULISAN PADA TEMBOK KARYA ACEP ZAMZAM NOOR." Metahumaniora 10, no. 1 (May 8, 2020): 90. http://dx.doi.org/10.24198/mh.v10i1.26041.

Full text
Abstract:
Kuntowijoyo merumuskan etika sastra profetik yang terdiri dari nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi. Sementara ini sastra profetik selalu identik dengan karya-karya Kuntowijoyo. Acep Zamzam Noor (AZN) dalam konstelasi sastra Indonesia modern patut diperhitungkan sebagai penyair yang bernafaskan religi dalam karya-karyanya. Tesis ini akan meneliti mengenai kemungkinan-kemungkinan etika sastra profetik dalam buku kumpulan puisi Tulisan Pada Tembok karya Acep Zamzam Noor dengan metode penelitian kualitatif serta pendekatan hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer untuk mendeskripsikan nilai-nilai profetik dalam puisi-puisi AZN. Sebagai objek penelitian, peneliti memilih 35 puisi dalam buku kumpulan puisi Tulisan Pada Tembok karya AZN untuk kemudian menjadi objek penelitan utama dalam tesis ini atas dasar kecenderungan atau hipotesis sementara terdapat nilai-nilai profetik dalam ke-35 puisi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AZN merepresentasikan etika sastra profetik Kuntowijoyo secara benar sesuai apa yang dikonsepkan oleh Kuntowijoyo mengenai nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi sebagai etika sastra profetik. Nilai-nilai tersebut merupakan kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dari konsep sastra profetik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Komalasari, Ida. "Nilai Profetik Transendensi dalam Novel Semua Ikan di Langit Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie." STILISTIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya 4, no. 1 (April 1, 2019): 110–21. http://dx.doi.org/10.33654/sti.v4i1.972.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai profetik trasendensi dalam novel Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Penelitian dan pembahasan ini menggunakan pendekatan strukturalisme-dinamik dengan menggunakan teknik analisis data hermeneutik. Adapun hasil penelitian yang diperoleh yaitu mengungkapkan dan mendeskrispikan aspek transendesi sebagai berikut. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan tampak melalui perasaan dan keyakinan tang terdapat dalam diri manusia. Kedua, ada perbedaan mutlak antara Tuhan dan manusia yang ditandai dengan pengakuan keterbatasan diri manusia serta kesempurnaan yang dimiliki Tuhan. Ketiga, pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia melalui kepatuhan dan ketaatan manusia terhadap ketetapan dari Tuhan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Baharudin, M., and Muhammad Aqil Luthfan. "The Transcendent Unity Behind the Diversity of Religions and Religiosity in the Perspective of Perennial Philosophy and Its Relevance to the Indonesian Context." Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 25, no. 2 (December 3, 2017): 325. http://dx.doi.org/10.21580/ws.25.2.2025.

Full text
Abstract:
<p>This study is conducted to answer an important question: is there any transcendent unity behind the diversity or plurality of religions and religiosity? This question will be answered through perennial philosophy approach. The study found that, according to perennial philosophers, there is a transcendent unity behind the diversity or plurality of religions and religiosity. This transcendent unity is seen in ‘the common vision’, or what in Islam is called the ‘basic message of religion’, namely ‘submission’ to always fear God and live His presence in everyday life. Further, the perennial philosophers argue that the True God is one; therefore, all religions emerging from the One are in principle the same for they come from the same source. In other words, the diversity of religions and religiosity lies only in the exoteric level, and all religions actually have a transcendent unity in the esoteric level. However, in this case, the perennial philosophers do not mean to unify or equate all religions. In fact, they try to open a way to a spiritual ascent through the reviving of the religious traditions in every religion.</p><p>Penelitian ini dilakukan untuk menjawab sebuah pertanyaan penting: adakah kesatuan transenden di balik keragaman atau pluralitas agama dengan religiusitas? Pertanyaan ini akan dijawab melalui pendekatan filsafat perennial. Penelitian ini menemukan bahwa, menurut para filsuf perennial, ada kesatuan transenden di balik keragaman atau pluralitas agama dan religiusitas. Kesatuan transenden ini terlihat dalam pandangan bersama, atau apa yang di dalam Islam disebut pesan dasar agama, yaitu tunduk untuk selalu takut kepada Tuhan dan menjalani kehadiran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, para filsuf perennial berpendapat bahwa Tuhan yang Sejati adalah satu. Oleh karena itu, semua agama yang muncul dari Yang Satu pada prinsipnya sama karena mereka berasal dari sumber yang sama. Dengan kata lain, keragaman agama dan religiusitas hanya terletak pada tingkat eksoteris, dan semua agama benar-benar memiliki kesatuan transenden di tingkat esoteris. Namun, dalam kasus ini, filsuf perennial tidak bermaksud menyatukan atau menyamakan semua agama. Sebenarnya, mereka mencoba membuka jalan menuju pendakian spiritual melalui kebangkitan kembali tradisi keagamaan di setiap agama.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Akhwanudin, Afith. "Sains Modern dan Urgensi Sentralitas Nilai Transenden dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan." Farabi 16, no. 2 (December 31, 2019): 105–26. http://dx.doi.org/10.30603/jf.v16i2.1083.

Full text
Abstract:
Originally the Western sciences and civilization rooted in Oriental traditions. Nevertheless, Western renaissance, the Scientific Revolution has indicated a contrary paradigm in the sciences of nature. A new and alien paradigm which is totally different in its perspective and Weltanschauung from the sciences of the great Oriental traditions. The West arose with the materialistic paradigm resulted in the secularization of the cosmos. It was regarded as the beginning of the Enlightenment dissolved Dark Age scientific stagnation. Modern people have been hollowed, isolated from others by individualism then self-separated from God by egocentrism. Western objectivity negated transcendental aspects; thus, non-observable means no exist. Metaphysics, Cosmology, Epistemology, Psychology, and Ethics are not elaborated anymore to convince the Real. Such a paradigm would put worldly benefits before humanity for the sake of growth and progress. These profane sciences result in radical separation of philosophy and theology, knowledge and faith, religion and science, as well as theology and all aspects of human life. Desecration of contemporary sciences is the product of modern worldview which negated transcendent values ​​in scientific activity. This desecration became the turning point of traditionalist thinkers’ criticism with a theistic worldview to restore spiritual values ​​in sciences. Thus, worldview could produce tawhid based scientific epistemology creates unity between religion and science, knowledge and values ​​as well as the material and metaphysical then makes the humanity before the science
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Rizal Maulana, Abdullah Muslich. "Kesatuan Transenden Agama-Agama dalam Perspektif Tasawuf (Kritik atas Pemikiran Frithjof Schuon)." KALIMAH 12, no. 2 (September 15, 2014): 197. http://dx.doi.org/10.21111/klm.v12i2.236.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Alif, Muhammad. "Tauhid dalam Tasawuf." Aqlania 8, no. 2 (December 31, 2017): 97. http://dx.doi.org/10.32678/aqlania.v8i02.1027.

Full text
Abstract:
Konsep bersatunya manusia dengan Tuhan (ittiĥād) dan berkomunikasinya manusia dengan Tuhan (ittişāl) telah tertanam dalam pemikiran kaum sufi sejak dulu, walaupun sebagian orang yang anti taşawwuf menggugat dan menyangkal kedua ajaran tersebut sebagai ajaran Islam. Bagi mereka kedua ajaran itu sering dipandang sebagai perbuatan syirik, karena dianggap sebagai ajaran yang memandang Tuhan sebagai imanen tidak transenden serta mengabaikan dualitas antara Tuhan dan makhluk-Nya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

S.A.P., Rangga Sa'adillah. "Formulasi Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Refleksi Filosofis Kebijakan Permendikbud No. 22 Tahun 2016 pada PAI." EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 10, no. 1 (June 19, 2020): 74–90. http://dx.doi.org/10.54180/elbanat.2020.10.1.74-90.

Full text
Abstract:
Artikel ini memformulasi kebijakan standar proses pendidikan dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 agar kompatibel dengan karakteristik PAI dengan membedah epistemologi pembelajaran dan taksonomi pembelajaran melalui kajian filosofis. Epistemologi PAI bertumpu pada pemikiran bahwa ilmu adalah milik Allah, maka pendidikan juga berasal dari Allah. Dengan demikian, Allah merupakan pendidik yang pertama dan utama dan juga pengajar pertama. Sebagai peserta didiknya adalah manusia. Manusia diberi bekal berupa akal (penalaran) untuk merumuskan teori-teori. Ini merupakan anugerah agar akal digunakan untuk melakukan perenungan disertai dengan konfirmasi pengalaman dari panca indera –disinergikan dengan intuisi agar jalan berpikir yang digunakan manusia tidak terlepas dari rel yang diatur Allah. Tujuan PAI adalah membuat peserta didik menjadi baik. Kata baik adalah kunci dalam merumuskan tujuan PAI (taksonomi transenden). Dengan metode mawdhu’I, akar kata “baik” dalam Alquran mengacu pada ahsana-yuhsinu, shaluha-yasluhu, dan khayrun. Kemudian data-data tersebut dikorelasikan, dan direduksi –diklasifikasikan (taksonomi) menjadi tiga domain. Pertama “baik” kaitannya antara manusia dengan Tuhan (Illahiyyah/ketuhanan/ teosentris). Kedua “baik” kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan manusia dan interaksi sosial di masyarakat (insaniyyah/kemanusiaan/ antroposentris). Dan ketiga, “baik” dalam kaitan hubungan manusia dengan alam semesta (kauniyah/alam semesta/ekosentris). Taksonomi transenden untuk mengatasi krisis spiritual, kemanusiaan, dan kerusakan alam.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Masturin, Masturin. "NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA ISLAM Upaya Merajut Kembali “Spiritualitas” Yang Hilang." KALAM 6, no. 1 (February 24, 2017): 197. http://dx.doi.org/10.24042/klm.v6i1.381.

Full text
Abstract:
Spiritualitas Islam sebagai respon terhadap persoalan sosial-budaya kontemporer bukan saja menjadi keharusan, namun sekaligus menjadi kebutuhan dan keharusan sejarah, baik masa dulu, kini maupun pada abad mendatang. Modernitas dengan segala dampaknya telah menimbulkan kesadaran kultural berupa kerinduan orang untuk kembali pada nilai-nilai spiritual atau terjadi semacam romantisisme sejarah. Spiritualitas Islam yang dibutuhkan ke depan adalah menggabungkan antara kesalehan simbolik-individual dan kesalehan aktual-struktural. Spiritualitas Islam yang menggabungkan sikap kesalehan simbolik dan aktual tersebut harus berfungsi dalam tiga hal yaitu fungsi emansipasi, liberasi dan transendensi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Leliak, Aprilia Stefany. "Pembangunan Hukum Nasional Era Industrialisasi dalam Perspektif Transendensi Pancasila Implementasi Kesejateraan Umum Pada masalah Lingkungan." Law and Justice 4, no. 1 (July 29, 2019): 39–45. http://dx.doi.org/10.23917/laj.v4i1.8067.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Triwahyuningsih, Triwahyuningsih. "Emancipatory Of Legal Transendency In Indonesia: Study Of Moral Aspects In The Making Of Laws And Regulations In Indonesia." Journal of Transcendental Law 1, no. 2 (December 14, 2019): 124–46. http://dx.doi.org/10.23917/jtl.v1i2.9132.

Full text
Abstract:
ABSTRACT Objectives: This paper aims to answer the question of how the relationship between law and moralism, as well as how to internalize moral principles in making laws and regulations in Indonesia. Methodology: This study used a philosophical approach that aimed to explore the relationship between law and morals from the perspective of John Austin, Kelsen, and H. L. A Hart. It also used the transcendental perspectives in exploring the importance of internalizing moral principles in making laws and regulations in Indonesia. The research method in the article used descriptive normative research methods, with interpretative data processing techniques regarding the importance of moral aspects in making laws and regulations in Indonesia. Findings: The dominance of the philosophy of positivism has broad implications. The closure of the law to morality raised by adherents of legalism, legal positivism, or reinerechtslehre does not only raise injustice everywhere but also appear with a face of totalitarian or repressive law. Law and moral relations, according to John Austin (1790-1859), are diametrically separated and tend to favor the law (the law negates morals), while Hans Kelsen and Austin place religious and moral inferiority while favoring positive law. According to Kelsen, the law deals with the form (formal), not the content (material); then, Hart tries to offer the principle of morality as a minimum legal requirement in which the pattern of the relationship is cooperative or independent dialogue. Whereas in the transcendent perspective, law and morals are in a dialogue-integrative relationship. The legislators should have spiritual intelligence; that is, they do not want to be bound and limited by existing standards but want to go beyond and transcend the existing situations (transcendental). With spirituality, the legislators, who are in accordance with the principle, can produce laws that show the emancipatory of legal transcendency. The laws do not only humanize humans but are also oriented to moral values that originate from God. Benefit: The benefit of this paper is to be the basis for guarding moral values in making the Law, starting from the preparation and initiative for the submission of the draft law, discussion of the draft law, and approval of the draft law. Originality/novelty: Internalization of moral principles in law can produce laws that can make people happy and answer the problems of human life. At least three elements are fulfilled, namely justice, efficacy, and legal certainty. Keywords: transcendency, morals, the formation of laws
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Muzakka, Moh. "Nilai-Nilai Profetik dalam Dua Lirik Lagu Karya Rhoma Irama Kajian terhadap Lirik Lagu “Akhlak” dan “Virus Corona”." Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra 15, no. 1 (February 27, 2020): 13–22. http://dx.doi.org/10.14710/nusa.15.1.13-22.

Full text
Abstract:
The purpose of this study is to describe the prophetic values of the lyrics to the song "Akhlak" (2019) and "Virus Corona" (2020) by Rhoma Irama. To study the prophetic values in the two song lyrics, the sociology of literature approach is used, especially in the social aspects of literary works, because the prophetic values are one of the social aspects of literary works. The concept of prophetic values used to analyze the two lyrics of the song, refers to the concept of Kuntowijoyo, namely humanization, liberation, and transcendence. The results of the analysis of the lyrics to the song "Akhlak" and "Virus Corona" both clearly contain an invitation to do good (humanization) and prevent bad deeds (liberation). Although the lyrics of the song highlight the value of humanization and liberation, but both lead to human servitude to God (transcendence).Keywords: Prophetic values; song lyrics; social aspects; and transcendence. IntisariTujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai profetik lirik lagu “Akhlak” (2019) dan “Virus Corona” (2020) karya Rhoma Irama. Untuk mengkaji nilai-nilai profetik dalam kedua lirik lagu tersebut digunakan pendekatan sosiologi sastra, khususnya pada aspek-aspek sosial karya sastra, sebab nilai-nilai profetik itu merupakan salah satu aspek sosial karya sastra. Adapun konsep nilai-nilai profetik yang digunakan untuk menganalisis kedua lirik lagu tersebut, mengacu pada konsep Kuntowijoyo, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Hasil analisis terhadap lirik lagu “Akhlak” dan “Virus Corona” tampak jelas keduanya berisi ajakan untuk berbuat baik (humanisasi) dan mencegah perbuatan yang tidak baik (liberasi). Meskipun lirik lagu itu menonjolkan nilai humanisasi dan liberasi, tetapi keduanya bermuara pada penghambaan manusia pada Tuhan (transendensi).Kata kunci: Nilai profetik; lirik lagu; aspek social; dan transcendental.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Bakar MS, Abu. "PSIKOLOGI TRANSPERSONAL; Mengenal Konsep Kebahagiaan dalam Psikologi." Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 8, no. 2 (February 21, 2019): 162. http://dx.doi.org/10.24014/jiik.v8i2.5700.

Full text
Abstract:
Kehadiran psikologi transpersonal memberikan arti yang cukup penting dalam menjawab problem-problem kemanusiaan masa kini dan juga dalam upaya menafsirkan serta mengevaluasi gejala-gejala keagamaan secara psikologis. Psikologi transpersonal menempatkan agama dalam susunan pengalaman manusia yang bersifat pribadi, yang memiliki akar dalam kehidupan psikis. Oleh karena itu, gejala agama bukanlah sekadar luapan konflik dan ketegangan di saat masa kanak-kanak yang tidak terpecahkan, akan tetapi agama merupakan wujud transendensi diri dengan kekuatannya sendiri. Agama bagi seseorang, dalam pandangan psikologi transpersonal, merupakan urusan pribadinya dengan Tuhan. Di sisi lain, tasawuf Islam tetap mengakui adanya aspek metafisika yang menjadi bahan telaah psikologi transpersonal. Sehingga, kebahagiaan dalam psikologi ini, adalah aktualisasi dari penghambaan kepada Tuhan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Widana, I. Gusti Ketut. "FILOSOFI RITUAL HINDU, PERGESERAN ANTARA KONSEP DAN KONTEKS." Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan 10, no. 2 (October 14, 2019): 28–34. http://dx.doi.org/10.32795/ds.v19i2.435.

Full text
Abstract:
Mayadnya adalah kewajiban (mutlak) bagi umat Hindu. Landasan teologi Hindu mendoktrin bahwa dunia beserta segenap isinya diciptakan Tuhan (Prajapati) melalui yadnya. Sehingga sebagai salah satu wujud bhakti umat Hindu kehadapan Tuhan adalah dengan melaksanakan yadnya. Sebenarnya ada beberapa pengertian yadnya, di antaranya pengorbanan, pemberian, pengabdian, pelayanan, namun yang lumrah dipahami dan dilaksanakan umat Hindu adalah dalam bentuk ritual. Aktivitas ritual itu sendiri dikemas dalam pelaksanaan upacara lengkap dengan sarana upakara bebantennya (sesaji). Sampai pada titik ini, pengertian yadnya mengalami penyempitan makna, seolah sebatas atau terbatas pada kegiatan ritual semata. Terjadi kemudian pergeseran antara konsep dalam konteks pelaksanaannya, dimana filosofi mayadnya cenderung berkembang lebih ke arah materialisasi ide-ide ketuhanan, dibandingkan dengan transendensi ke arah penguatan sikap dan perilaku berketuhanannya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Kariyadi, Dodi, and Wasis Suprapto. "MEMBANGUN KEPEMIMPINAN BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT MULTIKULTURAL." Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan 5, no. 2 (October 30, 2017): 86. http://dx.doi.org/10.25273/citizenship.v5i2.1560.

Full text
Abstract:
Pemimpin organisasi di Indonesia apapun jenisnya harus dilandasi pada nilai-nilai pancasila sebagai landasan falsafah negera. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai luhur pancasila. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi literatur dengan menganalisis dan menggali data dari berbagai sumber relevan. Nilai pancasila jika dikaitkan dengan organisasi harus didasarkan pada (1) nilai dasar, (2) nilai instrumental, dan (3) nilai praktis. Nilai kepemimpinan juga dapat dilakukan pada lembaga dengan mengembangkan nilai (1) transendensi, (2) humanisasi, (3) kebhinekaan, liberasi, dan (5) keadilan. Kelima pilar nilai pancasila tersebut sejatinya dapat menjadi ruh kepemimipinan yang ditampilkan oleh ketua suatu organisasi dalam memimpin.<br />Kata Kunci: Kepemimpinan, Nilai, Multikultural
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Nilawati, Nilawati. "PENGARUH PEMBAYARAN ZAKAT TERHADAP KEBERKAHAN USAHA (Studi Kasus Pedagang Kain Songket di Pasar Kito Ilir Barat Palembang)." I-ECONOMICS: A Research Journal on Islamic Economics 4, no. 1 (July 2, 2018): 1–17. http://dx.doi.org/10.19109/ieconomics.v4i1.1922.

Full text
Abstract:
Konsep berkah sangat abstrak dan secara relatif tidak dapat diukur, melainkan hal itu mesti dipertanggungjawabkan secara epistimologis. Akan tetapi sebagai agama yang transenden dan sekaligus imanen, Islam tidak saja harus ma`qul (sensible), tetapi sekaligus juga mesti ma`mul (applicable). Berkait kelindannya dimensi ma`qul dan ma`mul tersebut, masih harus dibuktikan secara empirik, apakah adanya rasa “keberkahan” dari zakat mal yang dikeluarkan oleh muzakki setelah mereka mengeluarkan zakat mal benar-benar terbukti, baik secara transenden mereka merasakan kedamaian dan ketentraman jauh lebih intensif dari apa yang mereka rasakan sebelumnya, ataupun secara imanen (ekonomis), misalnya berupa peningkatan omzet usaha dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam kerangka tersebut penelitian ini akan melihat pengaruh kesadaran membayar zakat mal terhadap keberkahan usaha. Untuk lebih memfokuskan kajian, peneliti akan melakukan studi kasus terhadap padagang songket di Pasar Kito Ilir Barat. Dipilihnya pedagang songket di Pasar Kito tersebut, karena mayoritas pedagang beragama Islam. Metodologi yang digunakan pada kajian ini adalah menggunakan data primer yaitu dengan menyebarkan questioner kepada pedagang songket di Pasar Kito. Kemudian data yang ada dianalisis dengan uji Asumsi Klasik, uji hipotesis dan uji Regresi linier. Dari hasil Penelitian bahawasanya pembayaran zakat memiliki pengaruh terhadap keberkahan usaha. Variabel Pembayaran zakat pedagang berpengaruh signifikan terhadap produk Keberkahan Usaha. Hal ini ditunjukkan dengan thitung sebesar 3,383 sementara t tabelnya 1,676, yang artinya thitung> ttabel(3,384 >1,676) dengan signifikansi 0,000 < 0,05. maka, Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya pembayaran zakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberkahan usaha Palembang. Serta kontribusi variabel bebas (Pembayaran zakat) terhadap produk Keberkahan Usaha sebesar 52,5%, sedangkan sisanya 47,5% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Supraja, Muhammad. "Alfred Schutz : Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber." Jurnal Pemikiran Sosiologi 1, no. 2 (December 14, 2015): 81. http://dx.doi.org/10.22146/jps.v1i2.23447.

Full text
Abstract:
“ Artikel ini mencoba menjelaskan mengenai rekonstruksi teori tindakan Weber yang dilakukan oleh Alfred Schutz. Menurut Schutz, teori tindakan Weber cenderung tidak jelas, kabur dan inkonsisten. Bagi Weber, tindakan adalah perilaku yang bermakna, tindakan sosial adalah tindakan, yakni perilaku bermakna yang diarahkan pada orang lain. Sedangkan Schutz merekonstruksi dengan mendefinisikan tindakan sebagai durasi yang berlangsung di dalam perbuatan. Dengan kata lain, tindakan merupakan durasi transenden dalam perbuatan. Suatu tindakan secara independen dapat dianggap sebagai subjek yang melakukan tindakan, namun demikian tindakan merupakan serangkaian pengalaman yang terbentuk melalui kesadaran nyata dan kesadaran individual aktor. Dengan kata lain, tindakan menunjukkan adanya ikatan subjek. “Kata Kunci : Tindakan, Rekonstruksi, Makna
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Supriyadi, Supriyadi. "KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19 DARI PERSPEKTIF HUKUM PROFETIK." Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 8, no. 2 (November 9, 2020): 91. http://dx.doi.org/10.29103/sjp.v8i2.3069.

Full text
Abstract:
Penelitian ini akan melihat kebijakan penanganan Covid-19 oleh pemerintah dari sudut pandang hukum profetik dengan berbasis pada tiga pilar utama yakni humanisasi, liberasi dan transenden. Dalam penelitian ini penulis mengunakan penelitian normatif dengan mengunakan pendekatan peraturan perundang - undangan, pendekatan konsep hukum profetik dan pendekatan kasus. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah masih terdapat data penerima bantuan yang tidak akura, penyaluran bantuan kebutuhan dasar yang tidak dilakukan secara bertahap dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Daerah melainkan dilakukan secara bersamaan, terdapat landasan hukum yang membuka ruang penyalagunaan wewenang karena adanya kekebalan hukum bagi pejabat.Kata Kunci: Kebijakan, penagananan covid-19, hukum profetik
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Luluk Maktumah and Minhaji Minhaji. "Prophetic Leadership dan Implementasinya dalam Lembaga Pendidikan Islam." Jurnal Pendidikan Islam Indonesia 4, no. 2 (April 15, 2020): 133–48. http://dx.doi.org/10.35316/jpii.v4i2.196.

Full text
Abstract:
Manusia secara kodrati telah mendapatkan legitimasi untuk menjalankan perannya sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi, tanpa mengabaikan tugas penghambaannya kepada Allah sebagai tujuan yang esensial. Esensi kepemimpinan telah dipraktikkan oleh para nabi terutama nabi Muhammad Saw yang dilandasi dengan sifat-sifat kenabiannya, yaitu; shiddiq, amanah, tablig, fathanah. Secara konseptual dikenal dengan kepemimpinan profetik. Nilai-nilai kepemimpinan profetik telah diterapkan secara paripurna oleh Rasulullah Saw sejak membangun peradaban penduduk Mekkah pada saat itu. Ada tiga hal pokok yang menjadi legacy kepemipinan profetik Rasulullah saat membangun kota Mekah yaitu : tauhidul illah, tauhidul ummah dan tauhidul hukumah. Oleh karena itu, sebagai institusi pendidikan yang mengemban misi profetik humanisasi, liberasi dan transendensi, lembaga Pendidikan Islam sepatutnya mampu mengimplementasikan nilai-nilai kepemimpinan profetik dan menjadikannya sebagai prinsip utama dalam menjalankan proses pendidikan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Suyanta, Sri. "KISAH IBRAHIM MENCARI TUHAN DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN." Jurnal Ilmiah Islam Futura 6, no. 2 (April 25, 2018): 100. http://dx.doi.org/10.22373/jiif.v6i2.3051.

Full text
Abstract:
Dari segi pendidikan, pada kisah Ibrahim mencari Tuhan kita dapat menghubungkannya dengan tiga ranah yang lazim dikembangkan, yaitu aspek jasmani (ranah psikomotorik), aspek akal (ranah cognitif) dan aspek hati (ranah affektif). Dari pengembangan yang seimbang ketiga aspek inilah diharapkan terbentuk manusia sempurna (insan kamil) dan paripurna (syamil). Di antara nilai yang mampu ditangkap dari tema utama, Ibrahim mencari Tuhan dapat diklasifikasi kepada dua, yaitu secara vertikal dan secara horisontal, Secara vertikal kita mendapatkan adanya gerak transendensi manusia kepada Tuhan penciptanya. Hal ini tergambar jelas dalam perjalanan spiritual Ibrahim dalam mencari dan menemukan Allah sebaga Yang Maha Benar. Sedangkan secara horinsontal kita mendapati hikmah dalam sosialisasi kebenaran kepada sesama manusia. Hal ini juga jelas terlihat bagaimana etika dan strategi Nabi Ibrahim dalam menjalankan dakwahnya
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Wibowo, Sugeng. "INTEGRASI EPISTIMOLOGI HUKUM TRANSENDENTAL SEBAGAI PARADIGMA HUKUM INDONESIA." Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 1 (August 2, 2017): 61. http://dx.doi.org/10.24269/ls.v1i1.570.

Full text
Abstract:
Tulisan ini akan mengkaji persoalan epistimologi hukum transendental sebagai reaksi dominasi positivisme hukum beserta variabel pemicu untuk mempercepat kontraksi paradigma hukum Indonesian. Refleksi atas perjalanan pemikiran filsafat hokum sudah lama dimulai dan tampaknya telah mencapai titik nadir sehingga diperlukan rekonstruksi epistimologi yang lebih radikal. Akar masalah yang sedang terjadi sekarang ini adalah ketidakpercayaan terhadap konsep modernisme dalam segala aspek kehidupan. Kehadiran pendekatan pistimologi hukum transendental menjadi titik balik dari hegemoni positivisme yang selama ini banyak dipersoalkan karena dampaknya yang destruktif bagi kehidupan umat manusia. Positivisme telah berkembang menjadi pemikiran mainstream hukum modern yang pada kenyataanya telah mengantar persoalan hukum menjadi salah satu penyumbang terbesar hancurnya peradaban manusia. Posisi positivisme melahirkan manusia modern tidak memiliki horizon spiritual, bukan karena horizon spiritual itu tidak ada tetapi karena manusia modern berdiri di pinggir lingkaran eksistensi yang melahirkan keterasingan pada diri sendiri. Epistimologi hukum transendental diyakini akan banyak mendapat respon posisitif karena hadir bersamaan dengan semangat kebangkitan nilainilai spiritual serta diharapkan mampu menjadi rintisan bagi terbentuknya system hokum Indonesia yang lebih berperadaban. Bangunan epistimologi hukum transendental merupakan keniscayaan yang harus dikembangkan untuk mengangkat harkat dan martabat hukum ditengah arus pusaran perubahan paradigma ilmu pengetahuan. Beberapa pemikiran kritis memberikan peluang yang sangat memungkinkan untuk merekonstruksi paradigma hukum agar dapat berdialog dengan disiplin ilmu pengetahuan lain untuk saling memberikan penguatan karena titik persamaan pada semangat mengembangkan nilai transendensi sebagai fitrah manusia. Kemungkinan lain adalah momen penting munculnya kesadaran pengetahuan kontemporer yang memiliki keinginan yang sama untuk mengeksplore transendensi menjadi paradigma baru. Ilmu pengetahuan eksakta telah memulai dan hasilnya menggembirakan seperti pada kedokteran, psikologi dan neorosains. Integrasi hukum transendental sebagai paradigma hukum Indonesia dapat diletakkan dalam kerangka menjaga kepercayaan dan ekspektasi masyarakat agar tetap pada keyakinannya tentang keutuhan Indonesia. Posisi epistimologi hukum transcendental sebagai paradigma hukum Indonesia merupakan keniscayaan yang dapat diujudkan. Hal pertama yang perlu perjelas adalah mendudukan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm harus dilihat sebagai bentuk pemahaman filosofi yang masih terbuka ruang untuk dialog.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Jatmiko, Bakhoh. "Inkarnasi Sebagai Penyataan Allah (Eksegesa 1 Yohanes 1: 1-4)." SANCTUM DOMINE: JURNAL TEOLOGI 1, no. 2 (May 13, 2020): 108–20. http://dx.doi.org/10.46495/sdjt.v1i2.60.

Full text
Abstract:
Konsep inkarnasi adalah ajaran sentral di dalam doktrin Kristologi. Topik ini juga menjadi konsep yang kompleks untuk di jelaskan. Selama berbabad-abad topik ini telah diperdebatkan oleh para sarjana di dalam sejarah Kekristenan. Apologetika inkarnasi Kristus menjadi topik yang penting bagi gereja di sepanjang masa. Tulisan ini membahas tentang konsep logos (Firman) yang hadir sebagai manusia atau dikenal dengan inkarnasi. Metodologi yang digunakan adalah kajian literatur mengenai topik terkait, maupun juga pendekatan eksegesa serta prinsip-prinsip penafsiran hermeneutika. Dari kajian yang dilakukan, inkarnasi adalah “jalan” yang dipilih Allah untuk mewujudkan karya keselamatan bagi manusia. Inkarnasi adalah penyataan diri Allah yang transenden menjadi imanen. Karya Allah ini dilakukan untuk menghadirkan persekutuan dan pendamaian bagi umat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Sarnoto, Ahmad Zain, and Sri Tuti Rahmawati. "KECERDASAN SPIRITUAL PERSPEKTIF AL-QUR’AN." Madani Institute : Jurnal Politik, Hukum, Ekonomi, Pendidikan dan Sosial-Budaya 9, no. 2 (August 25, 2020): 62–73. http://dx.doi.org/10.53976/jmi.v9i2.209.

Full text
Abstract:
Kecerdasan spiritual juga merupakan kecerdasan yang timbul ketika kita berada pada puncak masalah yang tidak ada jalan lain untuk keluar dari puncak masalah tersebut. Dalam teori chaos (kekacauan), “ujung” adalah perbatasan antara keteraturan dan kekacauan, antara mengetahui diri kita atau kehilangan diri kita. “ujung” adalah tempat bagi kita untuk menjadi kreatif, sehingga peran kecerdasan spiritual dalam mencari makna dan nilai sangat dibutuhkan. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai yang positif.Kecerdasan spiritual memiliki beberapa karakteristik, diantara-nya; kapasitas transendensi, kemampuan untuk masuk ke dalam kondisi spritual yang tinggi dari hati Nurani, kemampuan untuk menginvestasi-kan kegiatan sehari-hari, acara dan hubungan dengan rasa sacral, kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya spritual untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Anwar, M. Shoim. "Novel Siddhartha Karya Hermann Hesse: Pencarian Chiffer-chiffer Transendensi (Siddhartha Novel by Hermann Hesse: The search of chiffers transcendency)." METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra 9, no. 1 (August 18, 2016): 37. http://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2016.v9i1.37-52.

Full text
Abstract:
Setelah Perang Dunia I, manusia modern mengalami kegelisahan spiritual. Novel Siddhartha karya Hermann Hesse merepresentasikan kegelisahan tersebut dalam menemukan kebahagiaan. Fokus permasalahan dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan usaha manusia untuk menemukan kebahagiaan abadi dalam kerangka filosofis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sumber datanya adalah teks novel yang dianalisis secara interaktif-dialogis, serta menggunakan eksistensialisme sebagai basis teorinya. Tampak pada hasil penelitian bahwa dogma agama yang secara formal telah dipelajari, bahkan dilakukan, dirasakan oleh tokoh utama Siddhartha belum mampu memberi kepuasan dan kedamaian batin. Tokoh utama, sebagai subjek yang bebas atas dirinya sendiri, dari perspektif eksistensialisme, berusaha keras untuk menawar kenyataan dan ingin mengubahnya sesuai dengan peran kehendak. Pencarian spiritualitas secara personal dilakukan sang tokoh untuk menemukan dimensi baru dari hakikat kehidupan. Alam dengan segenap isinya menjadi bagian penting dalam menemukan chiffer-chiffer atau tanda-tanda kebesaran transendensi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Jalil, Mat. "SINERGITAS FILSAFAT DAN AGAMA BAGI MASYARAKAT DI ERA KONTEMPORER." Ath Thariq Jurnal Dakwah dan Komunikasi 3, no. 2 (July 8, 2020): 215. http://dx.doi.org/10.32332/ath_thariq.v3i2.1903.

Full text
Abstract:
Sinergitas filsafat dan agama dua hal prinsip hidup setiap orang untuk bersungguh sunguh Berfilsafat bukanlah merupakan pekerjaan yang setiap saat dapat saja dimulai dan yang semauanya dapat dihentikan,berfilsafat lebih merupakan suatu mentalitas berpikir suatu sikap dan penyesuaian pribadi yang dibiasakan secara perlahan-lahan dan dengan susah payah sehingga oleh karena itu menjadi milik kita secara tetap,belajar berfilsafat belajar membuka diri dan bersedia untuk itu (membuka diri), sedamgkanberagama atau berkeyakinan adalah suatu fitrah bagi manusia. Hal ini bertolak dari kesadaran manusia akan ketidak-berdayaan dirinya dan adanya sesuatu yang transenden yang patut diunggulkan. Agama, sebagai pegangan hidup manusia, tentu tidak hanya berhenti sebagai pemikiran ideal belaka, melainkan, seiring perjalanan waktu, harus diterjemahkan dalam bingkai realitas kehidupan manusia. Agama kemudian mencari posisinya yang apresiatif terhadap realitas, namun tanpa mereduksi prinsip-prinsipnya
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Precilia, Monita. "MEMBANGUN KARAKTER ANAK MELALUI TEATER: PERTUNJUKAN TEATER LARI KE BULAN DAN DONGENG ANAK KARYA/SUTRADARA SYUHENDRI." Titian: Jurnal Ilmu Humaniora 3, no. 1 (June 26, 2019): 93–109. http://dx.doi.org/10.22437/titian.v3i1.7014.

Full text
Abstract:
Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan pertunjukan teater Lari ke Bulan dan Dongeng Anak karya/sutradara Syuhendri merubah karakter anak yang tergabung dalam komunitas Tanah Ombak di Kampung Purus Padang. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif bercorak reflektif yang terbagi ke dalam tiga bentuk yaitu (1) pendidikan seni, (2) fenomenologi refleksi, dan (3) penelitian heuristik. Hasil penelitian ini karya teater Lari ke Bulan dan Dongeng Anak mengandung suatu elemen atau paradoksal atau dialektika teater yang juga dinamakan sebagai dialektika ambiguitas. Pertunjukan Lari ke Bulan dan Dongeng Anak dapat dikatakan pertunjukan yang melihat dirinya sendiri (cermin). Cerita-cerita yang tercermin di dalamnya membuat orang-orang memberikan perhatian, membuat penonton menangis, tertawa atau mencapai suatu keputusan revolusi yang meningkat. Karya teater Lari ke Bulan dan Dongeng Anak memberikan transendensi dan relaksasi sedemikian rupa sehingga pertunjukan tersebut merupakan integral dari anak-anak tersebut. Pertunjukan Lari ke Bulan dan Dongeng Anak merupakan suatu ekspresi dari anak-anak yang mampu membangun karakter.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Kusnita, Sri. "Realita Profetik dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A Navis dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra." Jurnal Pendidikan Bahasa 9, no. 2 (December 22, 2020): 217. http://dx.doi.org/10.31571/bahasa.v9i2.2028.

Full text
Abstract:
<p>Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud realita profetik dalam cerpen <em>Robohnya Surau Kami </em>Karya A.A Navis. Metode dalam penelitian ini adalah deskrpsi dengan teknik studi dokumenter. Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen <em>Robohnya Surau Kami </em>karya A.A Navis. Dengan demikian data penelitian ini berupa data yang menyangkut fokus penelitian yaitu realita profetik dalam cerpen tersebut. Deskripsi verbal simbol-simbol kebahasaan yang menjelaskan adanya pemaparan realita profetik yang dijadikan data penelitian. Berdasarkan hasil analisis data yang dilaku­kan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, realitas profetik pada asepk humanisasi mencakup aspek (a) manusia yang merasa telah menjadi Tuhan, (b)manusia yang merasa telah menyerahkan nasibnya kepada Tuhan (Tuhan Manusia). Kedua, realitas pro­fetik pada aspek liberasi meliputi aspek, (a) relasi kehidupan spiritual dan realitas sosial, (b) relasi iman, ilmu, dan amal. Ketiga, realitas profetik pada aspek transendensi meliputi aspek pengakuan tentang ketergantungan manusia pada Tuhan.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Sunarto. "FILSAFAT SENI NUSANTARA." Imaji 14, no. 1 (June 8, 2016): 81–89. http://dx.doi.org/10.21831/imaji.v14i1.9537.

Full text
Abstract:
Elemen-elemen dalam filsafat, meliputi: Ada (Being) (Metafisika dan Ontologi); Pengetahuan (Knowledge) (Epistemologi, Metodologi, Logika, dan Filsafat Ilmu); Nilai/Aksiologi (Value) (Etika dan Estetika). Filsafar seni Nusantara mempunyai 3 elemen: Being, Knowledge, Value. Seni Nusantara tersebar mulai dari Sabang sampai Papua, yang jumlahnya mencapai ribuan. Filsafat seni Nusantara merupakan rangkuman dari dari eksistensi seni dari Sabang sampai Papua. Konteks seni Nusantara, walaupun ada beratus jenis seni namun, seperti konsep ontologisnya Plotinus, tetap berpegang pada yang Transenden. Alam raya (empiris) Nusantara telah memberikan dasar ontologis penciptaan bagi seniman Nusantara (Aristoteles). Secara epistemologis, seni Nusantara mempunyai: sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan pengetahuan. Dalam konteks aksiologi, seni Nusantara terdiri dari 4 jenis nilai, yaitu: kekudusan (holiness), kebaikan (goodness), kebenaran (truth), dan keindahan (beauty). Ketiga elemen dalam filsafat membentuk rajutan dalam seni Nusantara. Elemen-elemen tersebut saling menjalin kesinambungan dan harmoni.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Chairunnisa, Alfira, and Endang Fourianalistyawati. "Peran self-compassion dan spiritualitas terhadap depresi pada ibu hamil." Jurnal Psikologi Ulayat 6, no. 1 (June 16, 2020): 14–36. http://dx.doi.org/10.24854/jpu83.

Full text
Abstract:
Kehamilan merupakan peristiwa penting yang menyebabkan adanya perubahan fisik dan psikologis pada ibu hamil, sehingga dapat menimbulkan gejala depresi selama masa kehamilan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa self-compassionberkorelasi negatif secara signifikan dengan depresi, begitu pula pada spiritualitas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji peran self-compassion dan spiritualitas secara bersama-sama terhadap depresi pada ibu hamil. Penelitian ini melibatkan 125 ibu hamil yang melengkapi kuesioner Edinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS), Self-Compassion Scale (SCS), dan Daily Spiritual Experience Scale (DSES). Hasil uji regresi ganda menunjukkan bahwa self-compassion dan spiritualitas memiliki peran yang signifikan secara bersama-sama dalam memprediksi depresi pada ibu hamil. Ibu hamil dengan skor self-compassion yang lebih tinggi mampu memprediksi skor depresi yang lebih rendah meskipun skor spiritualitasnya dibuat tetap, dan sebaliknya. Aspek self-judgement dan persepsi terhadap peristiwa transenden diketahui memiliki kontribusi yang signifikan terhadap depresi pada ibu hamil. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengatasi prevalensi depresi pada ibu hamil yang semakin meningkat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Saad, Suadi. "MENGGEMPUR TASAWUF HETERODOKS." ALQALAM 23, no. 2 (August 31, 2006): 188. http://dx.doi.org/10.32678/alqalam.v23i2.1492.

Full text
Abstract:
Ajaran wahdat al-wujud (yang dibawa oleh Ibn 'Arabi) membawa konsekwensi bahwa subyek dari semua predikat adalah Tuhan, bahkan sekalipun subyek itu nyata-nyata berbeda, manusia atau non-manusia. Tuhan adalah imanen sekaligus transenden. Sekalipun demikian, doktrin tersebut terus mendominasi spekulasi sufi selama empat ratus tahun sehingga Ahmad Sirhindi menjadikan konsep-konsep dasar serta konsekuensi moral dan keagamaannya sebagai sasaran kritik tajam, dan memunculkan teosofi yang sejajar, yakni, yang dikenal dengan Wahdat al-suhud.Sirhindi melihat bahwa keyakinan akan Wujud Tunggal tidaklah obyektif. Ia adalah sebuah fenomena subyektif Bukti kesubyektifannya terletak pada munculnya ide itu sendiri. Sirhindi bersikap kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari ajaran Ibn 'Arabi, tetapi kritik tersebut tidak menghalanginya untuk mengapresiasi kontribusi Ibn 'Arabi terhadap tasawuf secara keseluruhan.Berbagai ''gempuran" yang dilancarkan terhadap Wahdatul Wujud - corak tasawuf yang oleh sebagian ulama dianggap heterodoks - tidak lain adalah upaya purifikasi tasawuf yang ontologis-filosofis menuju kepada tasawuf yang lebih sufistik dan yang tidak mengabaikan syariat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Hady, Soufian. "Transcendence and Immanence: Teacher Professionalism in Islamic Religious Perspectives." Nadwa 13, no. 2 (March 1, 2020): 205. http://dx.doi.org/10.21580/nw.2019.13.2.4918.

Full text
Abstract:
<p>The purpose of this research is to describe what is essence of professionalism teacher in Islamic perspective. This research uses library research. The results showed that the professionalism of teachers in Islam is based on two basic criteria, namely a call of life (Abdullah<em>; </em>transcendence) and expertise (<em>khalifatullah;</em> immanence). Therefore, the Professional teachers in Islam have the dual task of being carriers of religious (trancendence) and scientific missions (immanence). The first mission of professional teacher is to convey the da'wah and values of religious teachings to students, so students can live their lives in accordance with religious norms and have an awareness that all their actions are worthy of pure worship only for their Lord. While the second mission (immanence) of a teacher is to bring students to be intelligent student and master the latest knowledge according to students' interests. Hopefully this idea can be the spirit of future teacher professional development such as the implementation of Teacher Professional Education (TPE / PPG).</p><p><strong>Keywords: t</strong>ranscendence; immanence: teacher professionalism; Islamic religious; Teacher Professional Education; TPE</p><p><strong> </strong><strong>Abstrak</strong></p><p>Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan esensi profesionalisme dalam perspektif Islam. Metode penelitian menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme guru dalam Islam pada dasarnya didasarkan pada dua kriteria dasar, yaitu panggilan hidup (transendensi Abdillah) dan keahlian (khalifatullah immanence). Oleh karena itu, para guru profesional dalam Islam memiliki tugas ganda yaitu menjadi pembawa misi keagamaan (trancendence) dan misi ilmiah (imanensi). Misi pertama guru profesional adalah untuk menyampaikan dakwah dan nilai-nilai ajaran agama kepada siswa, sehingga siswa dapat menjalani kehidupan mereka sesuai dengan norma-norma agama dan memiliki kesadaran bahwa semua tindakan mereka layak ibadah murni hanya untuk Tuhan mereka. Sedangkan misi kedua (imanensi) seorang guru adalah membawa siswa menjadi siswa yang cerdas dan menguasai pengetahuan terbaru sesuai dengan minat siswa.</p><p>Kiranya hal ini bisa menjadi semangat pengembangan profesi guru mendatang seperti pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG).</p><strong>Kata Kunci: </strong>transendensi; imanensi: profesionalisme guru; agam Islam; Pendidikan Profesi Guru (PPG)<br /><p><em><br /></em><em></em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Jalalludin, Muhammad, Zuriyati Zuriyati, and Ninuk Lustyantie. "NILAI PROFETIK DALAM NOVEL MUHAMMAD: LELAKI PENGGENGGAM HUJAN KARYA TASARO GK (STRUKTURAL SEMIOTIK) (The Prophetic Value in the Novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan by Tasaro G.K. [Structural Semiotic])." Sirok Bastra 9, no. 1 (August 30, 2021): 105–12. http://dx.doi.org/10.37671/sb.v9i1.277.

Full text
Abstract:
Novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro G.K. menceritakan dua kisah, yakni kisah Nabi Muhammad saw. dan kisah seorang lelaki Persia bernama Kashva. Dikisahkah bahwa Kashva pergi mencari lelaki yang kelahirannya telah dijanjikan oleh banyak kitab suci sebagai nabi baru yang akan membawa rahmat manusia dan semesta alam. Di tengah-tengah kisah pencarian itulah terselip kisah Nabi Muhammad Saw. Dari kisah-kisah tersebutlah tersimpan pesan profetik berupa nilai humanisasi (amar ma’ruf), nilai liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minu billah). Penelitian ini membahas ketiga nilai profetik tersebut dengan tinjauan struktural semiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai profetik dalam novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro G.K. ditinjau dari struktur novel dan semiotik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi model Philipp Mayring kategori deduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya nilai profetik yakni nilai humanisasi, nilai liberasi, dan nilai transendensi yang begitu melekat sesuai dengan realitas Al Quran sebagai sumber utama ilmu pengetahuan. Selain itu, banyak sekali pengetahuan adab dan karakter yang tercermin dari ketiga nilai profetik yang baik diterapkan di sekolah sebagai suatu bentuk ekspresi dari upaya penanaman karakter pada siswa. The novel of Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan by Tasaro G.K. tells two stories, the story of the Prophet Muhammad and the story of a Persian man named Kashva. It is said that Kashva went to find a man whose birth was promised by many scriptures as a new prophet who would bring grace to mankind and all the universe. In the middle of the search story, the story of the Prophet Muhammad was tucked. From these stories, prophetic messages are stored in the form of the value of humanization (amar ma'ruf), the value of liberation (nahi munkar), and transcendence (tu'minu billah). This study discusses the three prophetic values with a semiotic structural review. This study aims to determine the prophetic value in the novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan by Tasaro G.K. in terms of the novel and semiotic structure. This study used a qualitative approach with the content analysis method of the deductive Philipp Mayring model. The results of this study indicate that there are three prophetic values namely, the value of humanization, the value of liberation, and the value of transcendence which is so inherent in accordance with the reality of the Al-Quran as the main source of knowledge. In addition, there is a lot of knowledge of manners and character which is reflected in the three good prophetic values applied in schools as a form of expression of efforts to cultivate character in students.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography