Academic literature on the topic 'Statlig aktör'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the lists of relevant articles, books, theses, conference reports, and other scholarly sources on the topic 'Statlig aktör.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Journal articles on the topic "Statlig aktör"

1

Noreng, Øystein. "Statoil som internasjonal aktør." Samtiden 117, no. 02 (September 16, 2008): 30–39. http://dx.doi.org/10.18261/issn1890-0690-2008-02-05.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Nasution, Abdullah Akhyar, Iromi Ilham, and Teuku Kemal Fasya. "IDENTIFIKASI STAKEHOLDER DAN ANALISIS AKTOR SERTA KELEMBAGAAN TERKAIT ISU PUBLIK PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN KERBAU BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI GAYO LUES." Aceh Anthropological Journal 4, no. 2 (December 30, 2020): 176. http://dx.doi.org/10.29103/aaj.v4i2.3120.

Full text
Abstract:
Tradisi beternak kerbau saat ini masih dapat dijumpai di banyak daerah di nusantara, namun secara kualitas dan kuantitas sudah jauh berkurang, termasuk tradisi uwer (beternak) kerbau yang dipraktekkan oleh masyarakat Gayo Lues. Salah satu penyebab adalah kurangnya perhatian stakeholder setempat terhadap permasalahan ini. Padahal, praktek uwer tidak hanya berpotensi mengembangkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, namun juga sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Jika tidak dilakukan proteksi, tidak menutup kemungkinan kerbau akan hilang dalam budaya kehidupan Gayo. Kondisi ini menjadi dasar bagi peneliti untuk mengkaji tentang identifikasi stakeholder dan analisis aktor serta kelembagaan terkait pengembangan kawasan peternakan yang berbasis keraifan lokal di Gayo Lues. Lebih lanjut, penelitian ini juga membahas tentang bagaimana para aktor dan lembaga terkait dengan pengelolaan dan isu pengembangan peternakan di kawasan tersebut. Penelitian ini menggunakan studi etnografi dan metode analisis jaringan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan Focuss Group Discussion (FGD). Penelitian ini menghasilkan beberapa diskusi, yaitu: Pertama, banyak aktor dan lembaga yang terlibat dalam usaha pengembangan peternakan kerbau di Gayo Lues, namun kurangnya sinergitas dan kerjasama antar aktor berimplikasi pada degradasi kebudayaan peternakan kerbau yang berbasis kearifan lokal; kedua, kurangnya stategi yang dimiliki oleh pemangku kebijakan berimplikasi pada kurang minatnya masyarakat untuk melanjutkan tradisi uwer saban hari. Seharusnya banyak potensi yang bisa dilihat, dikembangkan dan dimanfaatkan terkait praktek peternakan kerbau di Gayo Lues; dan ketiga, sistem sosial yang diperankan oleh pemerintah, peternak kerbau, tokoh adat, juga toke kerbau harus dimaksimalkan sehingga bisa mencegah terjadinya economic inequality dan cultural insecurity.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Schreiber, Trine. "Bibliotekarerne - en profession der former og formes af et aktør-netværk." Nordisk Tidsskrift for Informationsvidenskab og Kulturformidling 7, no. 3 (December 17, 2018): 4–20. http://dx.doi.org/10.7146/ntik.v7i3.111482.

Full text
Abstract:
Using actor network theory (ANT) as a starting point, the aim of the paper is to describe relationships between heterogenous actors in a particular kind of library work and to discuss how these relationships might potentially be part of a preliminary actor-network representing a profession of librarianship. The particular kind of library work involved in the discussion is user teaching and -guidance in libraries affiliated with educational institutions. The paper draws on this particular kind of work to illustrate the use of ANT in a discussion about the profession of librarianship. The data collection procedure has been guided by ethnographic methodology considerations. As an actor-network, a profession is not a static entity organised around fixed connections. It is undergoing shifts in character as new actors or relations are forged and old ones wear out. Regarding the particular kind of library work, the paper has a focus on actors such as librarians, teachers, students, digital technologies, and political paradigms of control. The author examines how librarians in the particular kind of library work create and maintain relationships with teachers and students. The paper provides a description of the ways influential actors such as digital technologies and political paradigms of control intervene in these processes. The paper concludes that through these relationships, new areas of work and new understandings of professions are under way to be established. These processes might lead to an actor-network intertwined with those many other actor-networks that librarians in general are involved in because of other practices and relationships.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Khoiron, Mahbib. "REPRESI YANG GAGAL: RELASI NEGARA DAN JEMAAT AHMADIYAH DI TINGKAT LOKAL." Harmoni 18, no. 1 (June 30, 2019): 408–23. http://dx.doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.351.

Full text
Abstract:
Abstrak Penelitian ini menyoroti hubungan negara dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang sering diasumsikan sebagai dua entitas terpisah yang statis atau bahkan konflik. Melalui studi etnografi pada relasi salah satu cabang JAI dan negara di tingkat lokal, yang menekankan pada analisis para aktor, penelitian kualitatif ini mengungkap bahwa relasi keduanya lebih kompleks dari sekadar dikotomi negara-masyarakat. Kompleksitas tersebut mengacu pada hadirnya identitas yang majemuk dalam diri masing-masing aktor yang membuat batas-batas di antara mereka pun samar dalam interaksi sosial sehari-hari, bahkan cenderung integratif. Kata kunci: Ahmadiyah, interaksi sosial, kegagalan represi, masyarakat, negara, state in society. Abstract This study highlights the relationship between the state and Indonesian Ahmadiyya Community (JAI), which is often assumed as two separate entities that are static or even conflict. Through the ethnographic study on relationship between a branch of JAI and state at the local level, in which emphasizes the actors analysis, it reveals that the relations are more complex than dichotomy of the state and society. This complexity refers to the presence of multiple identities in each actor which causes the boundaries between the two social categories blurred in everyday social interactions, even tend to be integrative. Keywords: Ahmadiyya, social interaction, failed repression, society, state, state in society.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Suparta, Suparta. "Implementasi Manajemen Kepemimpinan Madrasah Aliyah di Bangka Belitung." Edugama: Jurnal Kependidikan dan Sosial Keagamaan 4, no. 2 (December 31, 2018): 45–59. http://dx.doi.org/10.32923/edugama.v4i2.732.

Full text
Abstract:
Abstract Based on the results of observations and interviews of researchers the implementation of leadership management in MAN I Tanjung Pandan can be categorized in two respects. The two categories are: First, leadership management seen from the aspect of leadership style. Second, leadership management is seen from the aspects they lead. The implementation of the first aspect which became the main actor was the Principal while in the second aspect the main actor was the deputy principals, teachers, staff and students of MAN I Tanjung Pandan The leadership style implemented in MAN I Tanjung Pandan is dominated by two leadership styles, namely democratic and charismatic leadership styles. However, from the two styles, the most dominant one carried out daily is the style of democratic leadershipIn other words, the leadership style is flexible based on the interests that must be implemented. Sometimes it uses a paternalistic management style and sometimes also uses open management. This is in accordance with Hasibuan stating that the management style can be divided into first management father (Paternalistic management), both closed management (closed management), third open management (open management), fourth democratic management (democratic management). Abstrak Berdasarkan hasil Observasi dan wawancara peneliti implementasi manajemen kepemimipinan di MAN I Tanjung Pandan dapat dikategorikan dalam dua hal. Adapun kedua kategori itu yaitu: Pertama, manajemen kepemimpinan yang dilihat dari aspek gaya memeimipinnya. Kedua, manajemen kepemimpinan yang dilihat dari aspek yang dipimpinnya. Implementasi pada aspek pertama yang menjadi aktor utamanya adalah Kepala Sekolahsedangkan pada aspek kedua yang menjadi aktor utamanya adalah para wakil kepala sekolah, para guru, para staf dan para siswa MAN I Tanjung Pandan. Gaya kepemimipinan yang dilaksanakan di MAN I Tanjung Pandan didominasi oleh dua gaya kepemimipinan yaitu gaya kepemimpinan demokratis dan kharismatis. Namun demikian dari kedua gaya tersebut yang paling dominan dilaksnakan sehari-hari adalah gaya kepemimpinan demokratis. Dengan kata lain, gaya kepemimipinannya fleksibel berdasarkan kepentingan yang harus dilaksanakan. Kadang-kadang menggunakan gaya paternalistik management dan terkadang juga menggunakan open managamant. Hal ini sesuai dengan Hasibuan menyatakan gaya menejemn dapat dibedakan atas: pertama manjemen bapak ( Paternalistik managamant), kedua manajemen tertutup ( closed managamant), ketiga manajemen terbuka (open managamant), keempat manajemen demokrasi ( democration managamant)
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Aulia, M. Zulfa. "Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo." Undang: Jurnal Hukum 1, no. 1 (June 1, 2018): 159–85. http://dx.doi.org/10.22437/ujh.1.1.159-185.

Full text
Abstract:
This article attempts at discussing the so called Hukum Progresif (the Progressive Law), a legal thought indtroduced by Satjipto Rahardjo. The idea was beckgrounded with the concerns about the macro application of law in Indonesia, including after the 1998 reforms, which seemed to have failed to meet its ideal direction, namely to make people prosper and happy. What happens with law-enforcement is a downturn and decline, among others seen in the judicial mafia, commercialization, and commodification of the law. To overcome such circumstances, according to Satjipto Rahardjo with hukum progresif, the punishment method must dare to break out of conventional ways and the status quo. The legal texts that have been prioritized should be regarded as being destined for humans and humanity. Law actors must dare to interpret legal texts by freeing themselves from the logic of the law alone, making the leap, so that problems in a dynamic society can be answered and resolved by “containers of static law”. This article shows that the hukum progresif can be a panacea in solving corruptive legal problems due to the limitations and attachments of legal texts, with the requirements of law actors behaving well. However, the mention of hukum progresif in the judgment or the determination of the law of a particular case is also very vulnerable to cause its own problems because it can be pinned speakers arbitrarily to identify the punishment which (as long as it is) out of the text of the law. Abstrak Artikel ini mendiskusikan Hukum Progresif, sebuah gagasan atau pemikiran hukum yang diperkenalkan Satjipto Rahardjo. Gagasan tersebut bermula dari keprihatinan terhadap kehidupan berhukum secara makro di Indonesia termasuk setelah reformasi 1998 yang tidak beranjak ke arah yang ideal, yaitu menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya. Apa yang terjadi dengan kehidupan berhukum justru suatu keterpurukan dan kemunduruan, antara lain terlihat pada mafia peradilan, komersialisasi, dan komodifikasi hukum. Untuk mengatasi keadaan demikian, menurut Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya, maka berhukum harus berani keluar dari cara-cara konvensional dan status quo. Teks hukum yang selama ini didewakan harus dianggap sebagai sesuatu yang diperuntukkan untuk manusia dan kemanusiaan. Para pelaku atau aktor hukum harus berani menafsirkan teks hukum dengan membebaskan diri dari logika hukum semata, melakukan lompatan, agar persoalan di masyarakat yang bergerak secara dinamis dapat dijawab dan diselesaikan dengan “wadah hukum yang statis”. Artikel ini menunjukkan, hukum progresif bisa menjawab persoalan hukum yang karut-marut disebabkan keterbatasan dan keterikatan teks hukum, dengan catatan para aktor hukumnya berperilaku baik. Namun begitu, labelisasi berhukum sebagai hukum progresif rentan menimbulkan persoalan tersendiri disebabkan bisa disematkan penuturnya secara mudah dan sembarangan untuk mengidentifikasi putusan atau penetapan hukum kasus tertentu yang (asalkan saja) keluar dari teks hukum.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Yudono, Raden Maisa, Wiwiek Rukmi Dwi Astuti, and M. Chairil Akbar Setiawan. "Respon ASEAN Terhadap Mundurnya India Dari Kerja Sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)." Jurnal Mandala Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, December 30, 2020, 183–202. http://dx.doi.org/10.33822/mjihi.v3i2.2298.

Full text
Abstract:
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) is a cooperation framework formulated by ASEAN and 6 strategic partner countries and is the first proposal in ASEAN history to discuss comprehensive economic cooperation. RCEP is ASEAN's effort to strengthen its position as regional aktor in the Southeast Asian. RCEP negotiations underwent changes during India's decision to withdraw from the RCEP negotiations, which prompted ASEAN to respond to these developments. This study fokuses on response taken by ASEAN to India's decision to withdraw from the RCEP negotiations. The concept used is soft regionalism which emphasizes geographic proximity, historical relations and the comparative advantage of the region. Soft regionalism is driven by not only by economic and business interests, but also market interests that become the energy of soft regionalism in Asia. This concept is functioning well because it conforms to the pragmatic Asian political conditions. The findings of this study is that ASEAN cannot be separated from the concept of soft regionalism in which it has been running, and still sees all changes through static point of view. ASEAN needs to make new breakthroughs in realizing comprehensive cooperation in the region.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Dissertations / Theses on the topic "Statlig aktör"

1

Perlaky, Andreas. "Russia's intervention in the modern Syrian conflict : A small contribution to understand Russian warfare in Syria through the lense of hybrid warfare theory." Thesis, Försvarshögskolan, 2021. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:fhs:diva-10056.

Full text
Abstract:
Russian warfare is one of the most currently debated topics between military experts. Some define it as something wholly new and name it hybrid warfare. Others say that hybrid warfare is nothing but an old method brought back to life. Some experts also argue that any nation at war will use any method to win, regardless of being a defender or aggressor. One thing, however, binds these experts together—the will to understand Russian warfare.  Hybrid warfare uses both state and non-state actors together to achieve a common goal. Because of mixing these actors, it becomes hard to define further. Because of that, experts still struggle to understand Russian warfare and the use of hybrid warfare. Thus allowing Russia to continue to act within the grey area between a state of neither peace nor war.  By analysing Russia’s intervention in the ongoing conflict in Syria with Lewickis military and non-military dimensions. This study shows that Russian warfare and its actions in Syria are based more on international reputation. When there is a risk for tarnished reputation, they act through non-state actors. When there is a chance for improved reputation, they act through state actors. This study also shows that there are fundamental differences in what Russia does officially and unofficially, which is also based on international reputation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Fahlin, Amanda. "Terrorism och självförsvar : En folkrättslig studie i staters rätt till självförsvar mot icke-statlig aktör på annan stats territorium." Thesis, Örebro universitet, Institutionen för juridik, psykologi och socialt arbete, 2017. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:oru:diva-61264.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Norkvist, Johansson Stina. "Verksamhetspresentationer på den nya apoteksmarknaden : En funktionell textanalys." Thesis, Södertörns högskola, Institutionen för kultur och lärande, 2013. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:sh:diva-21877.

Full text
Abstract:
Uppsatsens syfte är att redogöra för hur de två apoteksaktörerna, Apoteket AB (statligt) och Apotek Hjärtat AB (privat) realiserar sina respektive verksamheter språkligt i de verksamhetspresentationer som återfinns på deras webbplatser. Med hjälp av den systemisk-funktionella grammatiken, SFG, undersöks dels relationsskapandet mellan apoteksaktörerna och konsumenten samt dels hur de konstruerar den egna verksamheten språkligt. Genom en kritisk diskursanalys vidgas perspektivet och resultaten av textanalyserna fördjupas. Den kritiska diskursanalysen bidrar till att ge förståelse för hur och varför texterna ser ut som de gör och kopplar det till aktuella samhällsförändringar som skett de senaste årtiondena. Resultatet av analyserna visar att de två apoteksaktörerna konstruerar relationen till konsumenten såväl som den egna verksamheten på olika sätt. Apoteket AB upprätthåller en auktoritär roll och en distans till konsumenten. Apotek Hjärtat har ett tydligt konsumentfokus där de själva såväl som konsumenten konstrueras som centrala. Slutsatser som kan dras av analysen är att Apoteket AB upprätthåller den ”traditionella” synen på apoteksverksamhet, så som vi är vana att se apoteksverksamheten. Apotek Hjärtat, med sitt konsumentorienterade angreppsätt, visar en ny sida av apoteksverksamheten, präglad av drag som vi är vana att se i övrig detaljhandel.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles

Books on the topic "Statlig aktör"

1

Wahyudhi, Nostalgiawan, ed. Many Faces of Political Islam in the Middle East: Arah Baru Gerakan Politik Islam Pasca-Arab Spring. LIPI PRESS, 2020. http://dx.doi.org/10.14203/press.294.

Full text
Abstract:
Arab spring membawa perubahan besar pada politik Timur Tengah. Banyak yang berharap bahwa Arab spring bukan hanya revolusi Arab jilid dua setelah revolusi Iran pada tahun 1979, tetapi merupakan era baru kebangkitan demokratisasi di Timur Tengah yang akan memberi ruang bagi gerakan politik Islam berpartisipasi secara terbuka di ranah publik. Sarjana-sarjana studi Islam beranggapan bahwa Arab spring merupakan jembatan menuju “Islamist winter”. Islamist winter diartikan dengan ketakutan dunia akan tumbuhnya kalangan Islamis menguasai kekuasaan di dunia Arab.[1] Hal ini mengarah pada notasi apakah radikalisme Islam akan tumbuh di Timur Tengah? Gerakan Arab spring bukanlah gelombang statis. Politik Timur Tengah senantiasa bergerak secara dinamis. Kemenangan Muhammad Mursi di Mesir, kekuasaan Receep Tayyep Erdogan yang semakin kuat di Turki, kemenangan Ennahda di Tunisia, dan bangkitnya Ikhwanul Muslimin secara terbuka hampir di semua negara yang dilanda Arab spring tidaklah secara linier di konotasikan sebagai kebangkitan radikalisme Islam di Timur Tengah. Sebagaimana Asef Bayat mengatakan bahwa Arab spring merupakan momentum baru bagi transformasi menuju post-Islamism, dimana sebuah gejala baru yang merupakan the fusion of religiousity and rights, faithy and freedom, Islam and liberty, as an attempt to trancend Islamism by building a pious society within non-religious state.[2] Pada posisi ini Asef Bayat memiliki standing position yang berbeda dengan Olivier Roy, dimana Roy mempercayai gerakan politik Islam di dunia Islam tidak akan pernah berhasil karena konsep yang diajukan bersifat utopia. Dalam bukunya tentang The Failure of Political Islam, Roy menggambarkan berakhirnya suatu periode dan dimulainya babak baru dari periode lain, bahwa politik Islam tidak diterima bahkan oleh masyarakat Islam itu sendiri.[3] Over generalisasi yang dilakukan oleh Roy mendapatkan kritikan akademis yang luas, dan bagi Asef Bayat hal ini bentuk simplifikasi Roy terhadap dinamisnya perkembangan politik Islam dari masa ke masa. Konsep yang diajukan oleh Asef Bayat tentang post-Islamism memberikan makna bahwa politik Islam secara substansial tidak mati tetapi bertransformasi secara lebih terbuka untuk membangun masyarakat yang relijius ditengah sistem politik yang lebih demokratis dan sekuler. Namun demikian, temuan di buku ini tidak membenarkan semua klaim tentang gejala post-Islamism. Kudeta militer terhadap Muhammad Mursi memunculkan kekuasaan militer yang otoritarian di Mesir, runtuhnya Moammar Khadafi memunculkan perang dua pemerintahan (dawn dan tripoli) di Libya, perpecahan di Irak dan Suriah yang tak kunjung selesai, Yaman yang bergejolak, negara-negara Teluk yang semakin memproteksi diri dari Ikhwanul Muslimin yang dianggap organisasi teroris, hingga blockade Arab Saudi terhadap Qatar. Arab spring berujung pada harapan kosong akan harapan Timur Tengah yang lebih demokratis, karena Arab spring berhasil menumbuhkan demokrasi hanya di satu negara, Tunisia, tempat dimana gelombang demokratisasi itu dimulai. Fenomena ini kami namakan dengan backward bending. Arab spring secara umum tidak menumbuhkan demokrasi (kecuali di Tunisia), justru menjadi arus balik bagi tumbuhnya otoritarianisme baru di Timur Tengah. Kegagalan Arab spring dalam menumbuhkan iklim demokrasi di Timur Tengah merupakan fenomena Arab exceptionalism, dimana dunia Arab secara politik dan kultural lebih sulit untuk menerima demokrasi. Praktik-praktik politik dan kekuasaan otoriter (dinasti) yang telah mengakar di Timur Tengah, tidak bisa diubah serta merta dengan jalur revolusi atau regime change. Jika negara tersebut memiliki kekuatan elit tunggal yang kuat maka re-enforcement politik secara top-down akan terjadi untuk menguasai masyarakat; atau jika tidak polarisasi kekuatan politik bersifat lebih merata maka aktor-aktor politik akan saling menguasai satu sama lain dalam konflik sipil yang panjang dan berdarah. Tunisia berhasil menumbuhkan demokrasi setelah revolusi dan regime change karena transformasi nilai-nilai demokrasi di negara bekas jajahan perancis itu sudah tumbuh sejak sebelum terjadinya Arab spring. Struktur politik, sosial dan budaya masyarakat di negara francophone tersebut lebih siap menerima perubahan ke arah yang demokratis. Demokratisasi ini mengubah satu wajah politik Islam di Tunisia menjadi lebih terbuka dan moderat. Gerakan politik Islam terbesar di Tunisia, Ennahda, melakukan transformasi dari gerakan radikal menjadi partai politik dengan menjadikan Turki sebagai prototype dibandingkan apa yang dilakukan Mursi di Mesir. Hal ini tidak hanya berlaku di Tunisia. Perubahan sosial dan politik di Timur Tengah yang terjadi paska Arab spring berkorelasi dengan munculnya berbagai wajah-wajah baru gerakan politik Islam. Keniscayaan ini tumbuh karena politik Islam bersifat responsif terhadap perubahan sosial dan politik di lingkungannya. Selamat membaca.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography