To see the other types of publications on this topic, follow the link: Modern demokrati.

Journal articles on the topic 'Modern demokrati'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Modern demokrati.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Suryawati, Nany, and Ika Widiastuti. "Pematangan Demokrasi Melalui Transformasi Demokrasi." Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal 7, no. 1 (January 10, 2021): 143. http://dx.doi.org/10.37905/aksara.7.1.143-152.2021.

Full text
Abstract:
Kosakata ‘demokrasi’ menjadi bagian dari banyak bahasa besar didunia, padahal kata ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani: ‘ demokratia’; akar maknanya ‘demos’ yang berarti rakyat; dan ‘kratos’ yang berarti memerintah. Pada awalnya demokrasi dimaknai sebagai bentuk pemerintahan yang merupakan kebalikan dari bentuk monarkhi dan aristokrasi. Pada susunan masyarakat Yunani, Athena-lah yang memulai dan mngembangkan benih demokrasi modern dengan susunan polis-nya. Polis ini menjadi dasar tumbuhnya demokrasi modern, dan juga masyarakat negara. Para pendukung demokrasi memandang bahwa apa yang baik untuk individu, adalah juga yang baik untuk warga negara. Kedaulatan Rakyat sebagai sumber tertinggi dalam sistem pemerintahan negara, dan pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakukan secara demokratis, dengan memperhatikan keseimbangan antara perlindungan hukum dan law enforcement (pemaksaan hukum) menjadi hak yang penting, terutama pada saat warga masyarakat berhadapan dengan institusi negara. Constitutional Reform ini mengandung legislation reform dan judicial reform. Legislation reform tidak hanya untuk pengaturan hal-hal baru, tetapi juga penyesuaian dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Hukum yang di reformasi harus dibuat dengan cara aspiratif, lebih menjamin hak-hak rakyat, transparan, sehingga dapat mewujudkan keadilan. Adanya Constitutional Reform ini untuk mematangkan demokrasi yang masih belum menampakkan wujud sebenarnya dalam negara Indonesia yang negara hukum demokratis ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

AYTUĞ, H. Kutay. "TÜRKİ YE’DE DEMOKRATİ KLEŞME İ Çİ N KURUMSAL DÖNÜŞÜM: KAMU DENETÇİ Lİ ĞI KURUMU." “Küresel siyaset: Türkiye’den bakış”, Spring,2021 (April 30, 2021): 130–47. http://dx.doi.org/10.30546/2616-4418.bitd.2021.130.

Full text
Abstract:
Günümüzde birçok gelişmiş ülkede bulunan Kamu Denetçiliği Kurumu’nun tarihsel kökleri on sekizinci yüzyıl İsveç’ine dayanmaktadır. Bununla birlikte modern dünyaya yayılması yirminci yüzyılda gerçekleşmiştir. Kamu Denetçiliği Kurumu genel olarak idarenin haksız 􀏐iil ve usulleri karşısında bireylerin yanında olmayı amaçlamakta, bireylerin hak ve özgürlüklerini koruyarak iyi idare hede􀏐ine hizmet etmektedir. 1970’li yıllardan beri oluşturulması tartışılan kurum Avrupa Birliği (AB) ile müzakere sürecinde 2012 yılında kurulmuştur. Kamu Denetçiliği Kurumu’nun her ne kadar günümüzde etkinliği bir tartışma konusu olsa da, göreve başlamasından sonra nicel olarak iş yükünün arttığı ve aldığı kararlara idarenin uyum düzeyinin yükseldiği görülmektedir. Bu bağlamda Kamu Denetçiliği Kurumu, Türkiye’nin demokratik bir hukuk devleti olma idealine ulaşması için yeni fırsatlar sunan bir yapıdır. Bilimsel yazın taraması ve yayımlanan kurumsal raporlar çerçevesinde ikincil verilerin kullanılarak yapıldığı bu çalışma, öncelikle bir kavramsal çerçeve çizmek için Kamu Denetçiliği Kurumu’nun gelişimini ve işlevlerini tarihsel bir çerçevede sunacaktır. Daha sonra çalışma Kurumun Türkiye’deki kuruluşunu ve gelişimini 1970’lerden beri devam eden tartışmaları da dikkate alarak inceleyecektir. İzleyen bölümde öncelikle Türk Kamu Denetçiliği Kurumunun yapısı, işleyişi ortaya konulacak ve aldığı kararlar ile etkililiği tartışılacaktır. Son olarak da ortaya konulan tüm bu veriler ve değerlendirmeler ışığında Kurumun başarı verimlilik ve etkinliğinin arttırılması için öneriler getirilecektir.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Apurines, Muh Ide, Muradi Muradi, and Dede Sri Kartini. "PRAKTIK PEMERINTAHAN PADA KESULTANAN BUTON TAHUN 1540-1960 MASEHI." Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam 14, no. 2 (October 29, 2018): 20–47. http://dx.doi.org/10.24042/tps.v14i2.3164.

Full text
Abstract:
Abstrak Penelitian ini berfokus pada praktik pemerintahan Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi. Penelitian dilakukan di Pulau Buton Kota BauBau Sulawesi Tenggara dengan menggunakan jenis penelitian sejarah-kualitatif. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui proses pemerintahan yang berjalan di Kesultanan Buton dari tahun 1540-1960 serta untuk mengetahui adanya praktik demokrasi yang terdapat di Kesultanan Buton. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori demokrasi yang digagas oleh Robert A. Dahl. Teori tersebut menawarkan kriteria untuk mencapai pemerintahan demokratis untuk menilai sejauh mana demokrasi berjalan di Kesultanan Buton. Selain teori tersebut, peneliti juga menggunakan metode pengumpulan data heuristik yang terdiri dari studi pustaka dan dokumen serta wawancara. Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Kesultanan Buton mempunyai bentuk pemerintahan yang berubah-ubah dikarenakan proses transisi kerajaan menuju kesultanan; (2) adanya praktik demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kesultanan Buton; (3) struktur pemerintahan yang berbeda dengan kerajaan/kesultanan pada umumnya, yang telah mempraktekkan struktur pemerintahan modern; (4) konstitusi tertulis Murtabat Tujuh menjadi dasar bernegara di Kesultanan Buton
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Muhammaddiah, Muhammad Rusdi. "ISLAM DEMOKRATIS PERSPEKTIF RACHID GHANNOUCHI." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 16, no. 1 (June 17, 2021): 19–36. http://dx.doi.org/10.33059/jhsk.v16i1.3205.

Full text
Abstract:
Rachid Ghannouchi merupakan salah satu tokoh politik Islam terkemuka di Tunisia. Berbagai ide dan gagasannya terangkum dalam Partai politik yang telah didirikannya yang berhaluan kepada nilai dan ajaran Islam yang diberi nama Partai en-Nahda. Belum lama ini, partai yang dipimpin oleh Rachid Ghannouchi tersebut telah mengumumkan fase baru dalam perpolitikannya yaitu dengan mengusung konsep Islam Demokratis (al-Islam al-Dimuqra|tiyah) yang sejatinya belum dikenal di negara tersebut dan diklaim merupakan bagian dari ideologi partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tulisan ini bertujuan untuk melihat langkah yang telah diambil oleh Ghannouchi melalui konsep Islam demokratis (al-Islam al-Dimuqra|tiyah), bagi umat Islam ide non-konvensional Ghannouchi ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan tepat untuk zaman demokrasi modern, khususnya dari epistimologi ‘Islam Politik’ konvensional ke paradigma yang lebih ekslusif dan sesuai dengan realita perpolitikan modern.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Altmeyer, Martin. "Das Unbehagen in der Moderne." Beziehung und Beziehungsgestaltung in der Psychoanalyse 42, no. 1 (April 2019): 84–95. http://dx.doi.org/10.30820/0171-3434-2019-1-84.

Full text
Abstract:
Untersucht wird der wachsende Populismus in westlichen Demokratien. Er verdankt sich einem tiefen Unbehagen am globalisierten Kapitalismus. Im Bewusstsein revolutionären Widerstands proben populistische Bewegungen den vergeblichen Aufstand gegen das Zusammenwachsen der Welt. In den unvermeidlich entstehenden kulturellen, weltanschaulichen und religiösen Nähekonflikten verteidigen sie die eigene Identität. Unter diesem relationalen Blickwinkel zeigen sich überraschende Seelenverwandtschaften zwischen Rechtsradikalismus, Linksradikalismus und radikalem Islamismus, der sich als besonders exzentrische »orientalische« Spielart des Populismus betrachten lässt. Am Fallbeispiel Donald Trump werden Gefährlichkeit und Verführungskraft des gegenmodernen Ressentiments demonstriert. Am Ende einige Vorschläge zur Eindämmung des Populismus im Rahmen der liberalen Demokratie.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Goker, Zeynep Gulru. "Özenli Vatandaşlık: Feminist Özen Etiğini Yeniden Politikleştirmek." Kadın/Woman 2000, Journal for Women's Studies 21, no. 1 (July 4, 2020): 89–106. http://dx.doi.org/10.33831/jws.v21i1.142.

Full text
Abstract:
Makale, özen etiği yaklaşımının politik öznelik ve aktif vatandaşlık anlayışlarına katkısını feminist siyaset felsefesi çerçevesinde incelemektedir. Bunu yaparken feminist siyaset kuramcılarının modern evrensel ahlaki akıl yürütme teorilerine getirdiği eleştiriyi ciddiye alarak, kısmi bakış açısı ve özen ilişkilerinin esas alındığı vatandaşlık ilişki ve pratiklerinin altını çizmekte ancak kadınların farklı ahlaki bir bakış açısı olduğu ya da annelin yüceltildiği bir takım özcü yaklaşımlardan ve özenin apolitikleştirildiği bireyci yaklaşımlardan ayrılmaktadır. Makale, özen etiğinin toplumsal cinsiyet ekseninde barış ve çevre tartışmaları ve hareketleri bağlamındaki yansımalarını irdelemekte, özen ve bakıma değer verirken ataerkil toplumsal cinsiyet rollerini yeniden üretmeyen bir eşitlikçi, demokratik ve özenli vatandaşlık anlayışının deneyime dayalı bir demokrasi ve vatandaşlık eğitimini yolu ile geliştirilebileceğini öne sürmektedir.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Novák, Miroslav. "Aristotle's Political Sociology and Modern Representative Democracy." Czech Sociological Review 37, no. 4 (August 1, 2001): 405–24. http://dx.doi.org/10.13060/00380288.2001.37.4.02.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Soetrisnaadisendjaja, Denny. "Local Indegenous Dalam Demokrasi Modern." Hermeneutika : Jurnal Hermeneutika 3, no. 1 (May 31, 2017): 32. http://dx.doi.org/10.30870/hermeneutika.v3i1.3080.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Meyer, Rolf. "Moderne Biotechnologie und Demokratie." TATuP - Zeitschrift für Technikfolgenabschätzung in Theorie und Praxis 16, no. 2 (August 1, 2007): 107–8. http://dx.doi.org/10.14512/tatup.16.2.107.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Prajna-Nugroho, Ito. "Pierre Rosanvallon, Democratic Legitimacy: Impartiality, Reflexivity, Proximity, Translated by Arthur Goldhammer, Princeton: Princeton University Press, (2011), 2015, 235 hlm." DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA 16, no. 1 (April 3, 2017): 98. http://dx.doi.org/10.26551/diskursus.v16i1.40.

Full text
Abstract:
Sejak 2001 Collége de France, lembaga pendidikan tinggi Prancis paling bergengsi yang berisi para filsuf dan pemikir terkenal dari berbagai bidang, menginisiasi munculnya sebuah fakultas baru. Modern and Contemporary History of the Political adalah nama fakultas baru tersebut. Pierre Rossanvallon, seorang ahli filsafat politik dan penulis buku yang produktif, didaulat sebagai Guru Besar untuk yang pertama kali dan masih menjabat hingga saat ini. Nama fakultas tersebut rupanya sejalan dengan perkembangan termutakhir dalam kajian filsafat politik, yaitu penelaahan kembali asas-asas politik demokratis dalam masyarakat yang heterogen dan plural, bangsa-bangsa yang semakin melintas batas, negara yang tidak lagi digerakkan oleh ideologi-ideologi besar, dunia yang semakin terhubung, serta kecenderungan konflik yang semakin acak menyebar. Perkembangan dalam kajian filsafat politik ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru sebab telah dimulai sejak periode 1980-an oleh beberapa tokoh kunci dalam filsafat politik, seperti Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Claude Lefort, dan Leo Strauss. Pada umumnya, para ahli filsafat politik tersebut menghidupkan kembali pemikiran Carl Schmitt, seorang pakar hukum dan ahli politik di Republik Weimar, Jerman mengenai Das Politische (Yang Politis/The Political) sebagai dasar penggerak politik yang selalu konfrontatif, konfliktual, agonistik, dan senantiasa mengelak dari prosedur-prosedur rasional demokratis. Pierre Rosanvallon berada di dalam satu barisan para pemikir kontemporer tersebut, barisan yang kini dikenal dengan nama para pemikir post-foundational. Sebelum menerbitkan buku Democratic Legitimacy, Rosanvallon telah menerbitkan beberapa karya monumental dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti L’âge de l’autogestion (1976), Le capitalisme utopique (1979), Le nouvel âge des inégalités (1996), dan La contre-democratie (2006). Buku Democratic Legitimacy: Impartiality, Reflexivity, Proximity, merupakan kelanjutan dari karya-karya awalnya sekaligus pendalaman dari buku terakhirnya Counter-Democracy: Politics in an Age of Distrust (2008). ..... Sebagai sebuah karya filsafat politik, Democratic Legitimacy memiliki tujuan praktis yang dirumuskan secara jelas. Maka buku ini juga memuat beberapa kemungkinan solusi dan resolusi atas kontradiksi-kontradiksi internal demokrasi seperti misalnya re-institusionalisasi lembaga-lembaga demokrasi. Untuk Indonesia yang sedang bergumul dengan demokrasi, sistem kepartaian, otonomi daerah, serta munculnya persoalan-persoalan seperti fundamentalisme agama, korupsi, inefisiensi birokrasi, dan sebagainya, buku Democratic Legitimacy merupakan buku yang wajib dibaca oleh para ahli filsafat, para politisi, para penasihat penguasa, dan penyelenggara negara serta pengambil kebijakan. Democratic Legitimacy mampu menjelaskan dengan kalem berbagai persoalan yang acapkali dipeributkan dalam politik nasional/lokal kita, sekaligus memberikan kerangka pemahaman yang solid dan jelas mengenai arah demokrasi untuk 50 tahun ke depan. (Ito Prajna-Nugroho, Alumnus Program Sarjana dan Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta)
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Ibnu Redjo, Samugyo. "DINAMIKA MANAJEMEN PEMERINTAHAN DI INDONESIA." Jurnal Academia Praja 1, no. 02 (August 16, 2018): 1–20. http://dx.doi.org/10.36859/jap.v1i02.62.

Full text
Abstract:
Manajemen pemerintahan sebagaimana tuntutan keberadaannya dan tuntutan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, seyogyanya berubah sejalan dengan tuntutan globalisasi, pola-pola manajemen tradisional feodal diganti dengan pola modern yang demokratis. Hal itu paling tidak karena manajemen pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari kepolitikan global, kepentingan nasional dan tentunya kepentingan regional serta kepentingan lokal. Pemahaman ini perlu ditekankan bagi manajemen pemerintahan di Daerah karena era global berarti pasar global, ekonomi global dan nilai-nilai global. Dalam perkembangannya muncul pendapat bahwa pemerintah seharusnya berubah mengikuti perubahan ekonomi yang ada dan menjadikan pemerintahan yang memiliki kemampuan entrepreneur, sehingga gerak ekonomi dapat diikuti oleh pemerintah dan menyarankan agar pemerintah menerapkan sepuluh prinsip pemerintahan wirausaha (Osborne dan Gaebler 1992, juga Guillart dan Kelly, 1995). Selanjutnya Osborne dan Plastrik (1996) mengemukakan lima strategi (5 C�s Strategy) sebagai implementasi lebih lanjut dari prinsip ?reinventing government? yang diajukan Osborne dan Gaebler. Oleh karena itu, demokratisasi manajemen pemerintahan di Daerah merupakan faktor yang menentukan untuk keberlangsungan otonomi, sehingga partisipasi efektif dari seluruh lapisan masyarakat dapat berlangsung tanpa perbedaan prinsip satu dengan lainnya. Terselenggaranya manajemen pemerintahan yang demokratis menunjukkan bahwa elit politik pemerintahan memahami dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi sebagaimana adanya, baik pada tataran kebijakan, tataran implementasi maupun pada tataran kultural yang mensyaratkan adanya mekanisme check and balances (saling kontrol dan saling mengimbangi) antara pemerintah dengan yang diperintah
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Federhofer, Hellmuth. "Neue Musik und Moderne Demokratie." International Review of the Aesthetics and Sociology of Music 30, no. 1 (June 1999): 3. http://dx.doi.org/10.2307/3108376.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Mulyono, Hardi. "SOSIALISASI INNOVASI MANAJEMEN GAYA KEPEMIMPINAN BERBASIS KARAKTER." AMALIAH: JURNAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT 2, no. 1 (May 30, 2018): 114–21. http://dx.doi.org/10.32696/ajpkm.v2i1.102.

Full text
Abstract:
Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari orang-orang dalam kelompok. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau karyawan yang dipimpin. Ada 5 (lima) kategori gaya kepemimpinan yang dapat digunakan seorang pemimpin, yaitu: Tipe Otokratik, Tipe Paternalistik, Tipe Kharismatik, Tipe Laissez-faire, dan Tipe Demokratik. pendidikan al wasliyah lembaga pendidikan Al-washliyah menjadi wadah pendidikan modern yang mampu menabur butir butir nilai rahmatan lil alamin dalam rangka menghasilkan manusia yang berkwalitas berbasis Islam Di dalam mewujudkan ini diperlukan gaya manajemen kepemimpinan yang mengintegrasikan 18 nilai-nilai charakter building ke dalam gaya kepimpinan pengelolaan PT dilingkungan aw sehinggga tercapai visi dan misi aw negara Baldatun Toibatun Warobun gofur. Ada 18 (delapan belas) nilai karakter bangsa sebagaimana yang dikeluarkan oleh Kemediknas yaitu: Nilai Religius, Kejujuran, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial dan Tanggung Jawab
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Ismanu, Muhammad Nuh, and Chusnul Mar’iyah. "Faktor-Faktor Internal Kemenangan Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilihan Anggota DPRD Kota Depok Tahun 2019." Politicon : Jurnal Ilmu Politik 3, no. 1 (March 31, 2021): 34–59. http://dx.doi.org/10.15575/politicon.v3i1.9507.

Full text
Abstract:
Sebagai suatu sistem politik di alam demokrasi keberadaan partai politik merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Partai politik mampu mengantarkan warga negara untuk duduk di kursi pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif. Dengan menggunakan teori strategi politik serta metode penelitian kualitatif, penelitian ini ingin melihat bagaimana faktor internal berpengaruh terhadap kemenangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di pemilihan DPRD Kota Depok. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa keberhasilan PKS dalam Pemilu 2019, khususnya pada pemilihan DPRD Kota Depok tidak lepas dari adanya pengaruh internal partai, yaitu ideologi Islam konservatif serta peran kader dan pengurus PKS Kota Depok. Ideologi Islam konservatif yang kurang diminati di Indonesia pasca reformasi kini mulai diminati seiring dengan menguatnya isu agama jelang pemilu serentak tahun 2019. Selain itu, faktor kader serta pengurus PKS Kota Depok juga menjadi salah satu kunci kemenangan PKS dalam pemilihan DPRD Kota Depok tahun 2019. Hal ini terlihat dari persiapan yang matang jelang pemilu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Economou, Catarina. "Litteraturarbete i ett svenska som andraspråksklassrum." Acta Didactica Norge 9, no. 1 (June 8, 2015): 9. http://dx.doi.org/10.5617/adno.1704.

Full text
Abstract:
AbstractThis article considers the role of reading fiction in Swedish as a second language instruction. The study examines how a group of advanced second language learners in a Swedish upper secondary school read, interpret and discuss a contemporary Swedish novel, how they interact with the text and with each other in relation to the text. Furthermore, it analyses which forms of reading the students use. It is a qualitative, empirical study based on field studies, transcriptions of tape recorded interaction and of written texts. The results indicate that second language learners in this context have a positive attitude towards reading and discussing what they read using several forms of reading. They often compare the content of the text to their own lives. One conclusion is that literature teaching and literature can be integrated into one Swedish subject in order to create even more meaningful interactions between students from different backgrounds. Another is that literature can be a means of language development as well as personal development.Keywords: Second language learners, literature pedagogy and didactics, forms of reading, democracy. SammandragDenna artikel handlar om skönlitteraturens roll i skolämnet svenska som andraspråk. Studien undersöker hur en grupp avancerade andraspråksinlärare i en svensk gymnasieskola läser, tolkar och diskuterar en modern svensk roman och hur de interagerar med texten och med varandra i relation till texten. Dessutom analyseras vilka läsarter som eleverna använde sig av. Den är en kvalitativ, empirisk studie som baseras på fältstudier, transkriptioner av inspelade boksamtal och elevtexter. Resultaten visar att andraspråkseleverna hade en positiv attityd till boksamtal och de använde sig av flera läsarter. De jämförde ofta texten till sina egna liv och erfarenheter. En slutsats är att litteraturundervisning och litteraturarbete skulle kunna integreras i ett gemensamt ämne så att ännu mer meningsfulla samtal mellan elever från olika bakgrund. Dessutom kan litteratur bli ett medel för personlighetsutveckling liksom för språkutveckling.Nyckelord: Andraspråkselever, litteraturpedagogik och didaktik, läsarter, demokrati.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

DEMİR, Nesrin. "DEMOKRASİNİN TEMEL İLKELERİ VE MODERN DEMOKRASİ KURAMLARI." Ege Akademik Bakis (Ege Academic Review) 10, no. 2 (April 1, 2010): 597. http://dx.doi.org/10.21121/eab.2010219638.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Ra'is, Dekki Umamur. "PEMBANGUNAN DEMOKRASASI DESA BERBASIS KEARIFAN LOKAL (KAJIAN DARI SUDUT PANDANG UU NOMOR 6 TAHUN 2014)." JISIP : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 9, no. 1 (April 27, 2020): 31–42. http://dx.doi.org/10.33366/jisip.v9i1.2213.

Full text
Abstract:
Demokrasi memiliki kemampuan dalam hal partisipasi politik dan mampu memfasilitasi pilihan manusia secara bebas dan lebih baik. Demokrasi adalah komponen yang diperlukan dalam mengembangkan kemampuan individu untuk hidup bebas, mandiri, dan sejahtera. Demokrasi merupakan jaminan institusional bahwa kebijakan dan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah akan sesuai dengan kepentingan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana demokrasi modern bisa berkolaborasi dengang nilai-nilai lokal (genuine) yang dimiliki oleh desa – desa di Indonesia. Sehingga kita bisa memahami bagaimana cara merancang Pembangunan Demokrasasi Desa Berbasis Kearifan Lokal. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research). Lahirnya Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014, menjadi peluang bagi wujudnya kemandirian desa. Desa tidak lagi sebagai objek pembangunan negara, tetapi juga menjadi pelaku pembangunan negara. Pengakuan terhadap desa melalui Undang-undang tersebut, memberikan peluang bagi desa untuk mengamalkan kembali kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-masing desa. Semangat yang diusung oleh Undang-undang desa adalah kemandirian dan kesejahteraan desa melalui demokrasi desa. UU desa menjadikan desa sebagai arena demokrasi yang sesungguhnya. Desa bisa mengkombinasikan nilai-nilai kearifan lokal dengan praktik demokrasi modern.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Pranadji, Tri. "Aksi Unjuk Rasa (dan Radikalisme) serta Penanganannya dalam Alam ”Demokrasi” di Indonesia." Forum penelitian Agro Ekonomi 26, no. 2 (August 12, 2016): 132. http://dx.doi.org/10.21082/fae.v26n2.2008.132-143.

Full text
Abstract:
<strong>English</strong><br />Currently, almost every single ‘conflict’ in the society is followed by demonstration. It seems that the demonstration is a popular trend after the New Order era and more specifically such fenomenon has been reflected in the modern democracy life of the society. Understanding about democracy is heavily depending on the eliteness maturity of someone (politic, economy, and government) In the present ‘transitional situation’ and the absence of the ideal socio-culture-politic level, understanding about democracy will invite pros and cons among the concerned people. To express disagreement on certain public policies through demonstration could be accepted because it is in lione with “democracy”. However, such protest along with anarchy actions and radicalism should create undesirable situation.affecting the public. Traditionally, protest (by the people) which is responded wisely (by the government) has been long time exist within the old society (such as Java’s kingdom in the past, 16-19 century), long before the “westernization” of Indonesian community. Coping with demonstration is no less than good attitude responses, and far from enemy impression. Good communication and compromise based on respectful between the two sides will open an elegant solution and parallel with the constitution objectives. <br /><br /> <br /><strong>Indonesian</strong><br />Dewasa ini hampir setiap terjadi “perselisihan” di masyarakat diikuti dengan aksi unjuk rasa dari pihak yang merasa dikalahkan. Aksi unjuk rasa setelah tumbangnya Orde Baru seakan-akan telah menjadi hal yang trendy dan dinilai sebagai cerminan kehidupan peradaban masyarakat modern yang demokratis. Pemaknaan terhadap istilah demokrasi sangat tergantung pada kematangan elit (politik, ekonomi dan pemerintah) dalam memahami demokrasi. Dalam situasi “transisional” dan belum ditemukannya bentuk ideal tatanan sosio-budaya-politik sesuai amanat konstitusi pemaknaan terhadap istilah demokrasi akan mengundang pro dan kontra. Sebagai bagian dari ekpresi tidak setuju dan protes terhadap kebijakan publik, di satu sisi aksi unjuk rasa merupakan hal yang dapat diterima dan sejalan dengan tuntutan “demokrasi”; namun di sisi lain tidak jarang aksi ini diikuti dengan tindakan anarkhis dan radikalisme yang menimbulkan suasana mencekam di ruang publik. Aksi unjuk rasa secara santun (oleh rakyat) dan disikapi secara arif (oleh penguasa) telah dikenal dalam tatanan masyarakat tradisi (misalnya dalam masyarakat kerajaan di Jawa pada abad 16-19), jauh sebelum peradaban demokrasi barat (“westernisasi”) merasuki kehidupan masyarakat Indonesia. Penanganan aksi unjuk rasa yang baik adalah dengan dilandaskan pada sikap yang jauh dari saling bermusuhan, antara pengunjuk rasa dan sasaran atau yang menangani pengunjuk rasa. Melalui musyawarah yang dilandaskan pada sikap saling menghormati akan membuka jalan penyelesaian yang elegan (dan sejalan dengan tujuan konstitusi) terhadap aksi unjuk rasa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Csáky, Moritz. "Die mehrdeutige Wiener Moderne. Laudatio für Edward Timms." Demokratie und Geschichte 6, no. 1 (December 2003): 201–8. http://dx.doi.org/10.7767/demokratie.2003.6.1.201.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Yun, Bee, and Fischer Karsten. "Respect and Consent in the Medieval Political Discourse. What the Modern Democrac created and removed." Zeitschrift der Koreanisch-Deutschen Gesellschaft für Sozialwissenschaften 28, no. 4 (December 31, 2018): 3–26. http://dx.doi.org/10.19032/zkdgs.2018.12.28.4.3.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Sarbaini, Sarbaini. "Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratis Sebagai Bentuk Perwujudan Hak Asasi Politik Masyarakat di Indonesia." Legalitas: Jurnal Hukum 12, no. 1 (June 25, 2020): 107. http://dx.doi.org/10.33087/legalitas.v12i1.197.

Full text
Abstract:
Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Menurut UUD secara tersurat dan tersirat, warga negara berhak memilih diantaranya Kepala Daerah. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langung, umum, bebas dan rahasia oleh mayarakat setempat maka pemilukada secara langsung sangat erat kaitannya dengan demokrasi di mana kedaulatan terletak ditangan rakyat. Seharusnya rakyat adalah subyek yang menentukan, bukan obyek yang ditentukan, baik dalarn lingkup perpolitikan nasional maupun lokal (daerah). Masyarakatpun telah sangat paham banhwa Indonesia bukan Negara kerajaan (monarki), tetapi Negara modern yang mendasarkan politiknya adalah sistern demokrasi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia upaya pemilihan kepala daerah secara langsung ini telah berlangsung atau telah dilakukan sejak tahun 2005, yang didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini, nuansa yang paling menonjol adalah maraknya sengketa pemilihan kepala daerah yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu juga maraknya kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah secara langsung yang terjerat kasus korupsi. Kabar tentang kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tak pernah berhenti mengalir. Ironisnya, setiap minggu selalu ada kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Umumnya, terjeratnya para kepala daerah itu terkait erat dengan proses pemilihan kepala daerah yang sudah menelan biaya cukup banyak. Pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki korelasi yang sangat erat dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat dapat menentukan sendiri pemimpin di daerahnya, sehingga terjalin hubungan yang erat antara kepala daerah dengan rakyat yang dapat mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatif.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Christensen, Tina Dransfeldt. "Forord." Tidsskrift for Islamforskning 11, no. 1 (December 19, 2017): 4. http://dx.doi.org/10.7146/tifo.v11i1.102864.

Full text
Abstract:
Vi er i redaktionen på Tidsskrift for Islamforskning glade for at kunne præsentere dette temanummer om islam, modernitet og subjektivitetsdannelse. Det kollektive forskningsprojekt “Modern Muslim Subjectivities” (2013-2018) indskriver sig i en langstrakt, men til stadighed aktuel postkolonial diskussion om brugen af såkaldt vestlig videnskabsteori i studiet af islam og den muslimske verden. Er moderne muslimsk subjektivitetsdannelse fundamentalt forskellig fra vestlig subjektivitetsdannelse, og kalder studier af islam og muslimer derfor på andre metoder og teorier end såkaldt vestlig videnskabsteori? Det er et af det kollektive forskningsprojekts hovedspørgsmål, som artiklerne i dette temanummer går kritisk til.Som Homi K. Bhabha allerede i 1984 argumenterede, er ideen om en universel og neutral videnskabsteori stærkt eurocentrisk, og den er sjældent kritisk bevidst om egne grundantagelser og blinde vinkler. Men modargumentet, at historisk og ideologisk bestemt vestlig modernitet, herunder individualisme, liberal humanisme, autonomi, fremskridt osv., ikke adækvat kan beskrive det “koloniale subjekts” (her: muslimers) erfaringer, indskriver sig, ifølge Bhabha, i det samme epistemologiske system, hvor modsætningen til vestlig videnskabsteori bliver blind imitation af en “autentisk” og “eviggyldig” tradition.I stedet for at lade kanoniske tekster og autoritative fortolkninger af disse være målestok for moderne muslimsk subjektivitetsdannelse – en metode, som har karakteriseret den orientalistiske forskningstradition – analyserer de delprojekter, som præsenteres i temasektionen, sociale praksisser og religiøse diskurser med udgangspunkt i såkaldt vestlig socialteori. Formålet er at udfordre den antagelse, at muslimsk subjektivitetsdannelse skulle være fundamentalt anderledes end vestlig subjektivitetsdannelse og at diskutere moderne subjektivitetsdannelse som en flertydig størrelse. Det vil sige, at delprojekterne opererer ud fra den antagelse, at man uden at universalisere kan anvende vestlig socialteori i studiet af islam og muslimer, og at ny empiri omvendt kan bidrage til en kritisk udvikling af eksisterende teorier om modernitet og subjektivitetsdannelse.Sociolog Abdelkébir Khatibi har i denne sammenhæng bl.a. peget på nødvendigheden af en dobbeltkritik. Det vil sige, en samtidig kritik af ideen om, at alene vestlig videnskabsteori er universaliserbar, mens ikke-vestlig teori altid er kulturspecifik og kun anvendelig i den kontekst, den er udtænkt. Khatibis dobbeltkritik har i den forstand til formål at dekonstruere det hierarkiske forhold mellem vestlig tænkning og arabisk tænkning og forestillingen om, at modernitet er et vestligt fænomen, som muslimer enten kan imitere på bekostning af deres egen kulturelle og religiøse tradition eller afvise for at beskytte sidstnævnte. I denne forstand hænger Mounir Ainouz’ artikel “Reformbevægelsen: Liberal salafiyya i Marokko” i den åbne sektion af dette nummer fint sammen med temanummerets artikler. Som et hybridfænomen er den marokkanske liberale salafisme netop et udtryk for, at modernitet kan antage mange former, og at ny empiri kan udfordre vores forståelse af forholdet mellem tradition og modernitet. Samtidig viser Ainouz, at arabiske kritikere som Muhammad ‘Ābed al-Jābrī kan bidrage med kritiske perspektiver på aktuel forskning i salafisme, som i høj grad har fokuseret på terror, militant aktivisme og ekstremisme på bekostning af salafistiske bevægelser, der udfordrer vores forståelse af salafisme og demokrati som hinandens modsætninge.Ph.d. og lektor ved Center for Mellemøststudier på Syddansk Universitet, Kirstine Sinclair, er gæsteredaktør på temasektionen, og artiklerne heri er præsenteret i hendes indledning.God læselyst!
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

ÇELİK, Fikret. "Modern Demokratik Toplum Tasavvurunun Oluşmasında, "Siyasal Kültür" ve "Demokras." International Journal of Academic Value Studies (Javstudies JAVS) 2, no. 4 (January 1, 2016): 46–58. http://dx.doi.org/10.23929/javs.32.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Shobahah, Nurush. "PIAGAM MADINAH DAN KONSEP DEMOKRASI MODERN ISLAM MASA KLASIK." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 7, no. 1 (July 1, 2019): 195–214. http://dx.doi.org/10.21274/ahkam.2019.7.1.195-214.

Full text
Abstract:
ABSTRACTAt present, the state system is increasingly advanced as the result of the adaptation to the world changes. The concept of democracy as one of the current democratic systems is also increasingly sophisticated compared to the practice of democracy in Greek civilization. However, people in developing countries, believes that a good state system which must be implemented in their country is constitutional systems originating from the West which are identical to non-Muslims system. The golden discourses of Islamic civilization in the state are still minimal. Therefore, this article seeks to present a new perspective on the concept of modern democracy which has long been practiced in the classical Islam by the Prophet Muhammad. This current study is a qualitative study which is explaining the concept of Islamic democracy in the classical era compared to the concept of democracy. The data are obtained from examining various books. The results suggest that the Medina charter was an outward proof of the practice of modern democracy that had been carried out by Islam in the classical period.Keywords: Medina Charter, Democracy, Modern,Islamic, Classical
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Fajri, Hidayatul, Nila Wahyuni, Boni Saputra, and Karjuni Dt Maani. "DEMOKRASI PINCANG: ANALISIS TERHADAP INDEKS DEMOKRASI PROVINSI SUMATERA BARAT PASCA REFORMASI." Jurnal EL-RIYASAH 12, no. 1 (July 28, 2021): 108. http://dx.doi.org/10.24014/jel.v12i1.13303.

Full text
Abstract:
Demokrasi dipercaya sebagai sebuah pilihan terbaik dari sistem politik modern. Namun begitu di dalam prakteknya, demokrasi seringkali dimaknai dalam posisi yang berbeda dari normatifnya dan seringkali dipengaruhi oleh lingkungan politik praktis. Oleh sebab itu perlu suatu ukuran yang dilakukan secara terus menerus untuk melihat apakah demokrasi tersebut bergerak maju. Indonesia memiliki Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang bertujuan untuk memotret kondisi demokrasi Indonesia yang berbasis pada data di tingkat provinsi. Pekerjaan kami dalam artikel ini adalah menganalisis kondisi demokrasi di Provinsi Sumatera Barat yang belakangan sering mendapat sorotan publik akibat dianggap memiliki aturan-aturan yang kurang plural. Dengan mengolah data IDI dari tahun 2009 sampai 2019 secara statistik deskriptif, kami berupaya melihat lebih dalam tentang kondisi demokrasi di Sumatera Barat dan mendapati bahwa penyebab rendahnya indeks demokrasi Sumatera Barat bukan saja diakibatkan oleh adanya aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat dalam menjalankan agamanya yang menjadi sorotan publik namun juga diakibatkan oleh dominasi eksekutif dan lemahnya peran legislatif terutama dalam hal menginisiasi kebijakan yang kemudian ditetapkan menjadi peraturan. Dan kami berhipotesis jika eksekutif sering memanfaatkan kondisi itu untuk membuat kebijakan-kebijakan populis yang salah satunya adalah dengan kebijakan-kebijakan berbau “agamis” tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Sunarko, Andreas Sese. "Keadilan, Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Pentakosta." HARVESTER: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 4, no. 1 (June 27, 2019): 64–73. http://dx.doi.org/10.52104/harvester.v4i1.7.

Full text
Abstract:
Justice, democracy and human right are crucial instruments of a modern country where the implementation should consider the equity and run together as unity. Modern country that is able to implement those instruments consistenly will become a souvereint authority, gain economically prosperity and have a humanly dignity. However, in the real practice of those instruments, a dichotomy occured with arguing about Western and Eastern democracy. Due to the unsolved differentiation problems for the practice of democracy, there are some chlases in law enforcement, which bring a negative impact such asa human right violation. Despite of the existence of many concepts of justice, democracy and human right, the author are intending to analyse from another persepective, Pentacostal perspective. This analysis aims to a fresh point of view that will bring a positive impact for the implementation of justice, democracy and human rights.Abstrak: Keadilan, Demokrasi dan HAM adalah merupakan instrumen-instrumen penting dari sebuah negara modern, dimana dalam pelaksanaannya secara ideal harus berjalan bersama-sama dan tidak boleh berjalan secara parsial.a Negara modern yang mampu menjalankan instrumen-instrumen ini secara konsisten akan menjadi negara yang berwibawa secara kedaulatan dan sejahtera secara ekonomi dan bermartabat dari sisi kemanusiaan. Dalam prakteknya seringkali terjadi benturan-benturan kepentingan dari para pemangku pentingan yang pada akhirnya membuat kurang efektifnya penegakan hukum yang melahirkan ketidakadilan dan ketidakadilan ini berimplikasi pada terjadinya pelanggaran HAM. Terlepas dari adanya banyak konsep tentang Keadilan, Demokrasi dan HAM maka penulis akan mengkajinya dalam perspektif yang berbeda yaitu dari perspektif Pentakosta. Harapannya adalah dari perspektif Pentakosta ini nantinya akan memberikan dampak bagi pelaksanaan Keadilan, Demokrasi dan HAM secara universal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Saputra Adiwijaya. "Perempuan dan Partai Politik Peserta Pemilu." Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan 1, no. 2 (January 16, 2021): 1–9. http://dx.doi.org/10.37304/jispar.v1i2.349.

Full text
Abstract:
Sejak era reformasi tahun 1998, kondisi politik di Indonesia mengalami perubahan yang begitu drastis. Hal yang paling mudah dilihat adalah banyaknya jumlah partai politik dengan berbagai azas, prinsip dan sudut pandang, ditambah lagi dengan sistem pemilihan umum juga mengalamiperubahan. Hal ini tentunya menjadi hal yang menarik, karena ternyata arus reformasi memberikan kesempatan, kepada sebuah bangsa untuk menata ulang arah hidup bersama supaya bisa lebih demokratis. Namun, di sisi lain, terdapat pula tantangan, karena ternyata dalam menata ulang sebuah bangsa tidaklah mudah, banyak sekali pengorbanan-perngorbanan yangterjadi. Hal itu dijelaskan sebagai berikut bahwa tantangan dalam menata bangsa khususnya bidang politik juga merupakan tantangan tersendiri bagi perempuan. Sebab sebagai anak bangsa yang ikut serta dalam mengisi pembangunan maka sudah seharusnya era reformasi ini, kesempatan perempuan untuk mengukuhkan diri sebagai warga bukanterpinggirkan. Sementara itu, di tengah berbagai diskriminasi maupun stereotipe terhadap perempuan yang berkembang di masyarakat, kesempatan ini ternyata cukup berat untuk disandang. Betapa tidak jumlah perempuan yang menjadi aktivis partai politik saat ini mengalami peningkatan yang cukup berarti, namun pada sisi lain tidak diimbangi dengan anggapan positif masyarakat. Peningkatan partisipasi perempuan dalam partai politik ini, boleh jadi membuat kita berbangga, hal ini mengindikasikan bahwa perempuan mulai berani tampil dan mendalami dunia politik, yang selama ini dianggap?dunialaki-laki?. Sementara itu sebagaimana dalam sebuah sistem politik yang demokratis partai politik mempunyai andil dalam menyambung aspirasi masyarakat, karena berfungsi sebagai saluran aspirasi masyarakat yang paling mapan. Urgensi partai politik semakin bermakna ketika dihubungkan dengan kepentingan publik yang perlu di dengar oleh pemerintah terlebih lagi melalui wakil-wakilnya yang duduk di parlemen(DPR). Selain itu juga partai politik pada dasarnya merupakan salah pilar dalam sebuah negara demokratis moderen selain lembaga lain seperti : eksekutif, legislatif, yudikatif, pemilihan umum, dan pers yang independen, dalam membangun politik yang berkualitas dan beradab. Hal itu dimaksudkan bahwa partai politik diupayakan mampu meredam atau menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat moderen. Maka pendapat Samuel P. Huntington (Agustino, 2007) menyebutkan bahwa partai-partai yang kuat dan terinstitusionalisasi (melembaga dalam masyarakat) akan menjanjikan terbangunnya sistem demokrasi yang lebih baik. Pengalaman perpolitikan di Indonesia dapat menggambarkan fenomena tentang peran dan fungsi partai politik yang mengalami dinamika. Misalnya sejak awal kemerdekaan Pemilu 1955 dan 1971perpolitikan Indonesia dianggap sangat demokratis, namun pada masa era 1977 – 1997 pemilu yang diikuti partai politik menjadi sangat minim yakni tiga partai politik : PPP, Golkar, dan PDI. Inilah kondisi pasang surut partai politik dalam sistem politikIndonesia. Pada era setelah Soeharto (Orde Baru) jumlah partai politik menjadi sangat banyak, karena kemudahan dalam mendirikan partai di dukung juga penghapusan azas tunggal Pancasila, dan yang utama adalah ada semacam euphoria politik untuk menjadi bagian penyelamatan bangsa melalui partai politik. Maka berlomba-lomba lah orang mendirikan partai politik dengan berbagai macam azas misalnya nasionalis, agama, atauPancasila.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Mihajlović, Vladan. "The scope of modern democracy in affirmation (or negation) of ideas and values of justice and fairness." Zbornik radova Pravnog fakulteta Nis 57, no. 80 (2018): 117–34. http://dx.doi.org/10.5937/zrpfni1880117m.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Karalius, Gintas. "AR MODERNI DEMOKRATIJA YRA POLITINĖ SANTVARKA?" Politologija 85, no. 1 (May 12, 2017): 102. http://dx.doi.org/10.15388/polit.2017.1.10671.

Full text
Abstract:
Straipsnio tikslas yra pateikti modernios demokratijos sampratos kri­tiką menkai politinės filosofijos išnaudotu būdu, keliant tokį klausimą: ar liaudies suverenumo ir piliečių socialinės lygybės principais grįsta moderni demokratija gali būti vadinama politine santvarka? Abejonė dėl demokrati­jos priskyrimo politinių santvarkų šeimai yra gana naujas būdas pažvelgti į paskutinių kelių amžių politinėje filosofijoje nagrinėjamus atstovaujamo­sios demokratijos vidinius prieštaravimus. Straipsnyje, daugiausia remiantis Apšvietos epochos ir XIX a. prancūzų demokratijos mąstytojų mintimis, na­grinėjamos priežastys, kodėl moderni demokratijos samprata yra pasmerkta blaškytis tarp socialinių mokslų skatinamo redukcinio požiūrio į politiką ir kone sakralią formą įgavusio, tačiau turinio prasme tuščio jos idealizavimo. Mėginama išsiaiškinti, kokie galėtų būti politinės filosofijos uždaviniai, sie­kiant išgryninti modernios demokratijos sąvoką nuo dogmatiškai suprantamų jos atributų. Straipsnyje plėtojama mintis, kad moderni demokratija reiškia nebe politinę santvarką, o veikiau valdžios legitimacijos principą, kuris struktūriškai primena religijos imitaciją – t. y. pseudoreligiją.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Henrik Haahr, Jens. "Demokratiet og moderne samfunds gensidige afhængighed." Politica 26, no. 3 (January 1, 1994): 328. http://dx.doi.org/10.7146/politica.v26i3.67852.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Gemuruh, Gentam, and Kiki Mikail. "Politik Lokal dan Patronase di Pilkada Serentak 2019 Desa Aremantai Semende Darat Muara Enim." Ampera: A Research Journal on Politics and Islamic Civilization 2, no. 2 (April 28, 2021): 143–56. http://dx.doi.org/10.19109/ampera.v2i2.8067.

Full text
Abstract:
Artikel ini berjudul POLITIK LOKAL DAN PATRONASE (Studi Kasus Keterlibatan Tuan Guru Kiai dalam Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di Desa Aremantai Kecamatan Semende Darat Ulu Kabupaten Muara Enim). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bahwa sejatinya eksistensi politik lokal yang membentuk patronase tidak selamanya menghambat laju perkembangan demokrasi modern. Kemudian peneltian ini juga membantah tuduhan terhadap lokalitas yang diklaim sebagai otoritas tradisional yang menghambat laju perkembangan demokrasi modern. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif studi kasus. Peneliti langsung terjuan ke lapangan dengan melakkan metode observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil kajian, peneliti menyimpulkan bahwa eksistensi kearifan lokal tidak sekedar menjadi aktivitas cipta karya manusia saja, melainkan juga menjadi sistem sosial yang solutif dalam menggandeng demokrasi pancasila yang berkeadilan. Lebih dari itu, kearifan lokal juga dimaknai sebagai buah mufakat yang mengkonstruk tatanan sistem nilai dan memeberikan bobot politis yang potensial. Nilai-nilai kearifan lokal ini menjadi alternatif untuk mengatasi problematika sosial yang bersifat normatif atau bahkan malampaui dari pada itu (konstitusional).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Hasan, Zulkifli. "[The Parallelism Between Democrasy and Islam] Keselarian antara Demokrasi dan Islam." Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari 13 (July 1, 2016): 58–76. http://dx.doi.org/10.37231/jimk.2016.13.2.164.

Full text
Abstract:
Anti-democractic thought is typically, though not always associated with the western ideology and product of secularism that is alien to Islam. In fact, there are scholars who totally reject democracy and consider it as a system, which is not only incompatible with Islam but a modern form of shirk. The struggle and failure of democracy in the Middle East seems affirming these rejectionist views. In fact, the people who have lost faith in democracy in the Arab countries now may incline towards radicalism and extremism in their political thought. The failure of democracy in the Muslim world then opens the question of compatibility of democracy with Islam. In modern context, particularly with the collapse of Islamic empire and the rise of nation states in the 20th and 21st centuries, the concept of democracy should be understood within its true meaning. This article hence aims at generating discourse pertaining to several issues on the concept of democracy from Islamic perspective within the context of pluralistic world today. This article employs analytical and critical qualitative methods in analysing the issues. In conclusion thereof, the study finds that democracy is compatible with Islamic principles. Keywords: Democracy, Islam, al-Hurriyyah, al-Hakimiyyah Demokrasi sering kali dikaitkan dengan ideologi Barat dan produk sekularisme yang asing dalam Islam. Hatta ada segelintir golongan yang menolak demokrasi secara total dan menganggapnya sebagai perbuatan menyekutukan Tuhan dan bertentangan dengan prinsip Shari’ah Islam. Insiden dan tragedi kegagalan sistem demokrasi yang berlaku di Timur Tengah seakan mengiyakan pandangan-pandangan yang mengkritik kerelevanan demokrasi di dunia Islam. Malahan, ia menerbitkan satu kegelisahan yang lain di mana warga yang sebelum ini mempunyai sedikit keyakinan pada demokrasi kini sudah mula cenderung dan memikirkan perjuangan yang lebih radikal dan ekstrim. Segala faktor ini menimbulkan persoalan tipikal yang kerap kali diajukan, adakah demokrasi itu selari dengan Islam. Dalam konteks dunia masakini khususnya setelah kejatuhan empayar Islam dan timbulnya konsep negara bangsa, konsep demokrasi ini seharusnya difahami dengan makna yang lebih luas dan terbuka sesuai dengan peredaran zaman. Sehubungan dengan itu, artikel ini bertujuan membicarakan beberapa persoalan mengenai konsep demokrasi menurut perspektif Islam sesuai dengan konteks dunia yang pluralistik pada hari ini. Artikel ini menggunakan kaedah analitis dan kritis kualitatif bagi menghuraikan isu-isu berkaitan dengan menyeluruh. Dapatan awal mendapati bahawa secara umumnya demokrasi itu adalah selari dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam. Kata Kunci: Demokrasi, Islam, al-Hurriyyah, al-Hakimiyyah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Pandor, Pius. "Transformasi Tiga Pilar Demokrasi Modern dalam Populisme Menurut Nadia Urbinati." Studia Philosophica et Theologica 19, no. 2 (March 11, 2020): 238–44. http://dx.doi.org/10.35312/spet.v19i2.191.

Full text
Abstract:
Populism is an old phenomenon but a new phenomenon that was brought up in power politics. Because it is something new, understanding the phenomenon of populism is also diverse. Some see it as a political movement that threatens constitutional democracy, but there are also those who see it as a movement to rejuvenate democracy. Urbinati, author of the book Me The People. How Populism Transforms Democracy, sees populism as a movement for power. According to her, populism changed the three pillars of modern democracy, namely the people (rakyat), the principle of majority (prinsip mayoritas), and the system of representation (sistem perwakilan) by reinterpreting the three. People are no longer understood as people who have sovereignty but people as masses who are united based on party, religion, ideology, and so on. The principle of majority is no longer understood procedurally to gain power but as control of others. Representation is not understood as an envoy but as ownership, whichis the embodiment of the people who have absolute power over the people. With these three transformations, according to the author, populism is a product of the failure of the malfunctions of party’s democracy
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Zulkarnaen, Ahmad Hunaeni. "SISTEM HUKUM HUBUNGAN INDUSTRIAL PANCASILA DAN PRODUKTIVITAS PERUSAHAAN DAN KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH." Res Nullius Law Journal 1, no. 1 (November 21, 2019): 1–16. http://dx.doi.org/10.34010/rnlj.v1i1.2490.

Full text
Abstract:
Sistem demokrasi ekonomi Pancasila merupakan sistem demokrasi ekonomi konstitusional dalam sebuah konsep negara hukum modern dengan pola negara kesejahteraan, atau suatu sistem demokrasi ekonomi sebagai hasil pengejawantahan dari konsep integralistik Pancasila, yaitu suatu konsep sistem demokrasi ekonomi yang bukan saja hanya mengejar pertumbuhan untuk sekelompok kecil anggota masyarakat, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (pemerataan), oleh karenanya suatu perusahaan yang menjalankan pemerasan terhadap pekerja/buruh (exploitation des I’Homme par l’Homme) harus dicegah, dan tidak boleh dikembangkan di Indonesia, karena praktek pemerasan tersebut sangat bertentangan dengan sistem integralistik demokrasi ekonomi Pancasila, yang mengutamakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (pemerataan). Guna mengatur hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang menyangkut aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya, yang berkaitan dengan hubungan pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah yang didalamnya secara mekanik dan fungsional saling berhubungan antara komponen jiwa bangsa hukum, struktural hukum, subtansi hukum dan budaya hukum dengan tujuan mencapai produktivitas perusahaan dan kesejahteraan pekerja/buruh berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Beso, Antonius Jeremias, and Restu Rahmawati. "Hubungan Eksekutif dan Legislatif pada Era Presiden Joko Widodo Periode 2014-2019." JURNAL POLINTER : KAJIAN POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL 6, no. 2 (March 30, 2021): 89–112. http://dx.doi.org/10.52447/polinter.v6i2.4471.

Full text
Abstract:
Tulisan ini mengkaji tentang penerapan sistem presidensial dalam demokrasi modern di dalam hubungan eksekutif dan legislatif pada era Presiden Joko Widodo 2014-2019. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Peneliti mengumpulkan data primer dalam bentuk wawancara mendalam, dan observasi. Adapun untuk data sekunder peneliti peroleh dari foto dan studi literatur. Dalam penelitian ini, menghasilkan studi bahwa implementasi hubungan eksekutif dan legislative di era kepemimpinan Jokowi 2014-2019 dapat dilihat dari semakin menguatnya eksekutif yang ditandai oleh dominannya partai pendukung pemerintah. Dengan kuatnya dukungan partai politik maka akan semakin mudah pemerintah dalam hal ini eksekutif menguasai parlemen. Lalu dampak hubungan eksekutif dan legislatif pada era kepemimpinan Joko Widodo periode 2014-2019 bagi sistem presidensial di era demokrasi modern, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dampak menguatnya sistem presidensial yakni ketika eksekutif mendapat dukungan dari partai-partai mayoritas di parlemen dan kekuatan oposisi yang tidak seimbang, maka akan membentuk pola-pola oligarki, yang hanya menguntungkan sebagian elit politik di Indonesia. Lambat laun karena sudah tidak adanya budaya check and balance antara ekskutif dan legislatif, maka dampaknya adalah melemahnya Demokrasi di Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Aho, Erkki. "Modernin demokratian juuria etsimässä." Aikuiskasvatus 21, no. 1 (February 15, 2001): 66–67. http://dx.doi.org/10.33336/aik.93342.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Suparta, Mundzier. "Pendidikan Transformatif Menuju Masyarakat Demokratis." ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 7, no. 2 (January 23, 2014): 406. http://dx.doi.org/10.15642/islamica.2013.7.2.406-425.

Full text
Abstract:
The basic argument that this paper tries to prove is that, education can be counter-productive to the most important value of humanity if it is run inappropriately. Given that value can be produced—in this modern time—by telecommunication and information technology, education cannot turn a blind eye on it. By implication, education cannot ignore modernity. It is this problem that this paper is concerned with. The paper is interested in discussing the idea of transformative education by relating it to many sources and factors of transformation. Modernity is certainly one of those. The paper—borrowing UNESCO—understands education as simply the learning to know, the learning to do, to be, and to live together. Consequently, education is all about adapting oneself to the environment in which he/she lives. It is in this context that education cannot escape modernity, for modernity has become the very part of human life and environment. And it is only through modernity—this paper argues—that education can be meaningful at least in democratic terms.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Arinanto, Satya. "Demokrasi Berdasarkan Konstitusi: Mungkinkah Terjelma di dalam Realita?" Jurnal Hukum & Pembangunan 23, no. 3 (June 29, 1993): 201. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol23.no3.411.

Full text
Abstract:
Tahun 1993 ini, Republik Indonesia akan mendekati usia "setengah abad", tepatnya 48 tahun. Prasyarat bagi suatu negara "modern", secara garis besar, dapat dilihat dari penerapan konsep negara hukum, yang didalamnya tereakup konsep demokrasi. Pemahaman arti demokrasi dan negara hukum itu sendiri tentunya diwarnai berbagai pendapat dan pemikiran, khususnya bila hal itu dihubungkan dengan konstitusi negara kita. Sementara itu, bila kita merujuk pada pendapat A. V. Dicey, paham "Rule of Law· yang dikemukakannya sebenarnya tidak sama dengan yang dianut dalam UUD 1945.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Junaedi, Mahfudz. "AGAMA DALAM MASYARAKAT MODERN: PANDANGAN JÜRGEN HABERMAS." Manarul Qur'an: Jurnal Ilmiah Studi Islam 20, no. 1 (June 1, 2020): 1–11. http://dx.doi.org/10.32699/mq.v20i1.1610.

Full text
Abstract:
Agama dalam ruang publik dan Agama dalam masyarakat modern dalam pemikiran Jürgen Habermas merupakan dua sisi yang berbeda, tetapi memiliki substansi yang sama, di mana agama ditempatkan pada ruang publik bukan pada ruang privat. Masyarakat modern yang selalu ditandai dengan demokrasi, sekularisasi, dan pluralisme menempatkan agama pada posisi untuk dilakukan pembacaan lain dan pendekatan pada interpretasi yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Diferensiasi fungsional yang mendorong ke arah individualisasi agama tidak secara niscaya mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi agama, baik dalam arena politik, budaya masyarakat, maupun tingkah laku sehari-hari.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Förster, Jürgen. "Höffe, Otfried. Ist die Demokratie zukunftsfähig? Über moderne Politik." Politische Vierteljahresschrift 52, no. 3 (2011): 556–58. http://dx.doi.org/10.5771/0032-3470-2011-3-556.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Meier Carlsen, Erik. "Tibet: Nationalisme blokerer for kulturel identitet." Udenrigs, no. 1 (March 1, 2008): 48–53. http://dx.doi.org/10.7146/udenrigs.v0i1.119462.

Full text
Abstract:
Urealistiske forestillinger om ‘nationalitet’ og ‘demokrati’ i moderne vestlig forstand blokerer for at opretholde tibetansk kulturs vitalitet og for dens mulighed for – på egne præmisser – at forny sig i takt med den kinesiske folkerepublik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Zulkarnen, Zulkarnen. "Budaya Struktur Pemerintahan Republik Islam Iran." JURNAL Al-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA 3, no. 1 (December 20, 2017): 1. http://dx.doi.org/10.36722/sh.v3i1.194.

Full text
Abstract:
<p><em>Abstrak</em> - <strong>Kelahiran Republik Islam Iran tidak lepas dari peran Ayatollah Imam Khomeini, pemimpin spiritual ulama, sekaligus pemimpin politik yang sangat dihormati di Iran. Imam Khomeini adalah salah satu tokoh terpenting di balik revolusi Iran dan kelahiran Republik Islam Iran. Karena perannya dalam memimpin revolusi Iran bahwa Imam Khomeini ditunjuk sebagai Pemimpin Revolusi Islam, sebagaimana tercantum dalam konstitusi Iran yang disahkan pada bulan Desember 1979. Salah satu gagasan paling menonjol dalam pemikiran politik Imam Khomeini adalah idenya tentang Wilayatul Faqih (tata kelola faqih) yang pada dasarnya menuntut kepemimpinan pada umumnya, termasuk kepemimpinan politik, harus berada di tangan yang terpercaya. Pemikiran politik Imam Khomeini tentang Wilayatul Faqih yang menjadi bagian terpenting dalam struktur politik Republik Islam Iran adalah menekan imamah yang didefinisikan sebagai kepemimpinan religius dan politis serta dilakukan oleh faqih. Wilayatul faqih merupakan kelanjutan dari doktrin Imamah dalam teori politik Syiah khususnya Shia Imami. Struktur ini bukanlah ide baru dalam pemikiran kalangan Syi'ah. Imam Khomeini yang kemudian mengembangkan dan mempraktikkan wilayatul faqih ke dalam sistem pemerintahan modern Iran. Dalam menerapkan gagasannya, Imam Khomeini berhasil menggabungkan struktur pemerintahan religius dengan institusi demokrasi. Namun, Imam Khomeini memiliki definisi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi murni dan demokrasi liberal. Dia mengatakan bahwa kebebasan demokratis harus dibatasi dan kebebasan yang diberikan harus dilakukan dalam batas-batas hukum Islam. Meski demikian dapat dikatakan bahwa konsep Wilayatul faqih merupakan salah satu varian demokrasi. Dalam konsep keseimbangan dan mekanisme penyelarasan (checks and balances) ini harus berjalan, meski lembaga tersebut berada di bawah kewenangan wali faqih. Menurut Imam Khomeini tanpa pengawasan Wilayatul faqih, pemerintah akan lalim. Jika peraturan tersebut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan jika Presiden dipilih tanpa arahan faqih, peraturan tersebut tidak berlaku. Sistem pemerintahan Republik Islam Iran dapat diklasifikasikan ke dalam sistem demokrasi agama, apapun istilahnya diberikan; baik istilah "Teo-Demokrasi" Maududi, "Theistic Democracy" Moh. Natsir "Islamo-Demokrasi" Nurcholis Madjid, Demokrasi, Islam atau apapun yang mencapnya pada dasarnya sama. Sebagai konsekuensi logis, Implikasi struktur gagasan Khomeini tentang demokrasi Islam adalah model dan bentuk pemerintahan alternatif yang bisa menjadi referensi bagi negara-negara Muslim lainnya di masa depan.</strong></p><p><strong> </strong></p><p><strong><em>Kata Kunci – </em></strong><em>Wilayatul Faqih, Implementasi, Sistem, Struktur</em></p><p> </p><p><em>Abstract</em><strong>-</strong><strong>The birth of the Islamic Republic of Iran can not be separated from the role of Ayatollah Imam Khomeini, a cleric's spiritual leader, as well as a highly respected political leader in Iran. Imam Khomeini was one of the most important figures behind the Iranian revolution and the birth of the Islamic Republic of Iran. Because of its role in leading the Iranian revolution that Imam Khomeini was appointed as Leader (leader) of the Islamic revolution, as listed in the Iranian constitution which was passed in December 1979.One of the most prominent ideas in the political thought of Imam Khomeini was his idea about Wilayatul Faqih (governance of the faqih) which basically calls for leadership in general, including political leadership, should be in trusted hands. Imam Khomeini's political thinking about Wilayatul Faqih who became the most important part in the political structure of the Islamic Republic of Iran is putting pressure on the Imamat which is defined as a religious and political leadership as well as carried by the faqih. Wilayatul faqih is a continuation of the doctrine of Imamat in Shi'i political theory in particular Shia Imami. This structure is not a new idea in the thinking among the Shi'a. Imam Khomeini who later develop and practice Wilayatul faqih into Modern Iranian system of government.In applying his ideas, Imam Khomeini succeeded in combining the religious government structure with democratic institutions. However, Imam Khomeini has a different definition of democracy with pure democracy and liberal democracy. He said democratic freedoms should be restricted and the freedom granted shall be exercised within the limits of Islamic law. Nevertheless it can be said that the concept Wilayatul faqih is one variant of democracy. In this concept of balance and alignment mechanisms (checks and balances) must be running, although the institution is located under the authority of guardians faqih. According to Imam Khomeini without the supervision of Wilayatul faqih, the government will be despotic. If the rule is inconsistent with God's will and if the President shall be elected without the direction of a faqih, the rule is not valid. System of government of the Islamic Republic of Iran can be classified into a religious democratic system, whatever the term is given; either the term "Teo-Democracy" Maududi, "Theistic Democracy" Moh. Natsir "Islamo-Democracy" Nurcholis Madjid, Democracy, Islam or anything that labeled him basically the same. As a logical consequence, Implications of the structure of Khomeini's notion of Islamic democracy is a model and an alternative form of government that could be a reference for other Muslim countries in the future. </strong></p><p><strong> </strong></p><strong><em>Keyword - </em></strong><em>Wilayatul Faqih, Implementation, System, Structure</em>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Basuki, Udiyo. "Parpol, Pemilu dan Demokrasi: Dinamika Partai Politik dalam Sistem Pemilihan Umum di Indonesia Perspektif Demokrasi." Kosmik Hukum 20, no. 2 (July 22, 2020): 81. http://dx.doi.org/10.30595/kosmikhukum.v20i2.8321.

Full text
Abstract:
In a democratic country the relationship between the state and the people must be a reflection of a mutualistic symbiosis. This means that these relationships must be mutually dependent and mutually beneficial. This relationship will be evident when the political system developed by a country provides sufficient space for political activities in the community. This space for political activity will give color to democratic life in a country. The principle of democracy and people's sovereignty requires people's participation in the life of the state administration. People or citizens are not only objects, but subjects and play an important role in the life of the state. For this reason, the existence of a representative institution is an absolute that must be fulfilled in a democratic country with people's sovereignty. According to modern democracy, political parties, general elections and representative institutions are three institutions that cannot be separated from one another. That every political party will always strive to gain large popular support during general elections so that the representative institution can be dominated by the political party concerned.Keywords: political parties, general elections, democracy.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Herb, Karlfriedrich, and Sarah Rebecca Strömel. "Einsame Herzen. Tocqueville und die Demokratie." Zeitschrift für Politik 66, no. 4 (2019): 365–83. http://dx.doi.org/10.5771/0044-3360-2019-4-365.

Full text
Abstract:
In der Ideengeschichte des Herzens fristet Alexis de Tocqueville bisher ein Schattendasein - zu Unrecht. Seine Herzgeschichten bieten nicht nur einen privilegierten Zugang zu den Pathologien der modernen Demokratie, sondern tragen auch zur Entschlüsselung seiner Demokratietheorie bei. Individualismus und sanfter Despotismus lassen sich dadurch ebenso erfassen wie Diagnose und Therapie bürgerlichen Unbehagens. Tocquevilles einsame Herzen spiegeln die Krise der Moderne - und auf eigentümliche Weise Tocquevilles ambivalentes Verhältnis zur Demokratie. In ihrer Bedeutung können die einsamen Herzen wohl kaum überschätzt werden.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Sigwart, Hans-Jörg. "Krise der Moderne und moderne Demokratie: Eric Voegelins neoklassische Interpretation des westlichen Zivilregimes." Zeitschrift für Politikwissenschaft 18, no. 4 (2008): 473–501. http://dx.doi.org/10.5771/1430-6387-2008-4-473.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Hatamar, Hatamar. "Esensi HAM dalam Islam dan Relevansinya Dengan Demokrasi." Edugama: Jurnal Kependidikan dan Sosial Keagamaan 3, no. 2 (December 31, 2018): 127–45. http://dx.doi.org/10.32923/edugama.v3i2.726.

Full text
Abstract:
Some Islamic political figures and commentators provide a comprehensive explanation of the essence of Islamic teachings (al-Qur'an) which emphasizes the recognition and protection of human rights (HAM). Islam has a genuine concept of human rights, which has been formulated even since the 7th century AD, namely since the emergence of Islam brought by the Prophet Muhammd, SAW which was later declared as human rights in Islam. All the contents of the Islamic version of the declaration are formulated based on the Qur'an and Sunnah. The actual effect of human rights in Islam, what humans have is not the rights they have brought from birth, as they arise in the notion of human rights in the Western world, but prescriptions that are given to humans, obtained or derived from sources interpreted as divine commands which includes rights and obligations. Therefore, what is called HAM is basically a human obligation to God, or God's rights to humans. In addition to owning a unique doctrine that is unique to Islamic human rights, of course it has values and essences that are similar to modern human rights which are now defeated, and even have values that are also present in the modern democratic system. universal values that support democracy, namely human rights, also have a central and essential place in Islamic teachings. Key Word: Essence, human rights in Islam and democracy.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Schjørring, Jens Holger. "Hal Koch: Kirkehistoriker – demokrat – brobygger." Dansk Teologisk Tidsskrift 75, no. 2 (May 10, 2012): 124–35. http://dx.doi.org/10.7146/dtt.v75i2.105565.

Full text
Abstract:
: On May 25, 2012 Tine Reeh defended her doctoral thesis at the University of Copenhagen on the Danish church historian, Hal Koch (1904-1963). Koch was an important fi gure in modern Danish history, not only as a theologian, but also as a pioneering innovator in adult education and nation-building during the Nazi occupation of Denmark. I start out paying tribute to Tine Reeh’s accomplishments, not least for presenting a full-scale analysis of Hal Koch within the general framework of his time. At the same time some viewpoints in her account are questioned. Tine Reeh maintains that the German dialectical theology and its Danish parallel, Tidehverv, had a particular impact on Koch. She presents a detailed picture of Koch’s monographs on Origen, on the relationship between church and state in medieval Denmark, and on Grundtvig, seen in interaction with Koch’s position as Lutheran theologian and preacher. The analysis of Koch’s activity during the years of German occupation has rightly been given particular attention. Yet, it is misleading to perceive 1945 as the year of conclusion. In the post-war period Koch presented several examples of a remarkable reorientation. Accordingly it is more appropriate to consider him a bridge-builder between church and society than to push him into the narrow confi nes of academic school theology.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Cedilnik, Alenka. "Moses I. Finley, antična in moderna demokracija." Keria: Studia Latina et Graeca 2, no. 1 (July 31, 2000): 176. http://dx.doi.org/10.4312/keria.2.1.176-178.

Full text
Abstract:
S trditvijo, da je danes v zahodnem svetu vsakdo demokrat, začenja Moses I. Finley uvod k drugi izdaji knjige o antični in moderni demokraciji. Za svet, kjer pojma »demokracija« in »demokratičo« nedvomno obsegata odobravanje tako označene družbe in ustanove, bi bila ugotovitev lahko razveseljujoča, če je ne bi omogočilo opazno zmanjšanje ljudske udeležbe, ki je temeljna značilnost izvirnega grškega modela demokracije.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Tewes, Ludger. "Andreas Wirsching: Demokratie und Gesellschaft. Historische Studien zur europäischen Moderne." Das Historisch-Politische Buch (HPB): Volume 67, Issue 3 67, no. 3 (September 1, 2019): 384–85. http://dx.doi.org/10.3790/hpb.67.3.384b.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Hariyanto, Erie. "INTERRELASI PEMBANGUNAN HUKUM DAN POLITIK MENUJU TATANAN KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN DAN DEMOKRATIS." AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial 1, no. 1 (September 28, 2019): 97–111. http://dx.doi.org/10.19105/al-lhkam.v1i1.2555.

Full text
Abstract:
Hukum dan politik mempunyai hubungan erat yang tidak terpisahkan. Hukum merupakan produk politik sedangkan politik terbentuk karena berpegang pada hukum. Semua itu diwujudkan untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tulisan ini mengelaborasi tentang politik dan negara, stabilitas politik dan kepastian hukum, kekuasaan politik demi negara hukum, serta instrumen politik dan politik hukum, sebagai upaya untuk mewujudkan negara yang modern dan demokratis. Untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut pemerintah dalam suatu negara senantiasa menciptakan stabilitas politik sehingga keputusan-keputusan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten dalam upaya menuju kepada kepastian hukum, demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu politik hukum yang diterapkan oleh lembaga-lembaga kenegaraan juga harus mampu menampung semua aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography