Journal articles on the topic 'MATI'

To see the other types of publications on this topic, follow the link: MATI.

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'MATI.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Siregar, Bismar. "Pidana Mati di Mata dan Hatiku." Jurnal Hukum & Pembangunan 19, no. 3 (June 13, 2017): 258. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol19.no3.1141.

Full text
Abstract:
Menurut penulis artikel ini, perdebatan mengenai pelaksanaan hukuman mati perlulah disandarkan kepada Pancasila dan ajaran Agama, bukan kepada pemikiran Barat yang sekuleristik, sebab disanalah muara pembenaran hukuman mati. Tuntutan hukuman mati memang disandarkan pada sikap keluarga korban terlebih dahulu, yaitu hak menuntut qisas. Tetapi kadar iman dan taqwa amat menentukan atas apresiasi seseorang terhadap hukuman mati. Bagi mereka yang memiliki iman dan taqwa, hukuman mati adalah jalan terbaik bagipenebusan atas perbuatan membunuh makhluk Tuhan lainnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Ali Johardi. "Rumitnya Eksekusi Mati Terhadap Terpidana Mati Narkotika." Jurnal Hukum Sasana 7, no. 1 (May 25, 2021): 25–32. http://dx.doi.org/10.31599/sasana.v7i1.486.

Full text
Abstract:
Pidana mati merupakan sanksi yang terberat diantara semua jenis pidana yang ada dan juga merupakan jenis pidana yang tertua, terberat dan sering dikatakan sebagai jenis pidana yang paling kejam dan yang paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil Law. Salah satu fenomena paling penting dari pidana mati adalah kondisi masa tunggu. Dalam kondisi ini, terpidana berada di posisi tidak pasti karena menunggu eksekusi mati. Pemerintah pada dasarnya tidak memiliki rumusan yang pasti siapa yang akan dieksekusi, melihat data di bawah ini, maka lama masa tunggu dari terpidana mati sangat bervariasi. Kebijakan Pemerintah (Political Will) di bidang hukum yang belum memadai karena pengaruh politik atau tekanan internasional dan juga karena hingga sampai saat ini Indonesia belum memiliki Sistem Hukum Nasional Indonesia yang komprehensif, integral dan sesuai dengan karakter, falsafah, dan budaya serta adat istiadat Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Oci Senjaya, Nur Asriaty Solichah. "KAJIAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENJATUHAN HUKUM PIDANA MATI DI INDONESIA." Muhammadiyah Law Review 5, no. 2 (July 11, 2021): 52. http://dx.doi.org/10.24127/lr.v5i2.1622.

Full text
Abstract:
Hukuman mati merujuk pada hukuman yang dijatuhkan atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang atas kesalahan yang diperbuat. Seluruh aspek di Indonesia menggunakan Konstitusi sebagai acuannya dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum. Pidana hukuman mati masuk dalam golongan hukuman paking berat dengan tujuan menjadi benteng atas adanya beban kriminal dan membatasi pengulangan tindakan tersebut. Hukuman mati tidak dibebankan pada seluruh jenis kriminal, melainkan pada kasus tertentu mencakup penbunuhan, perdagangan narkoba, terorisme, serta pengkhianatan. Ketidamserasian pendapat mengenai hal ini secara umum terpisah menjadi dua kelompok, yaitu pada grup yang ingin mempertahankan aturan hukuman mati ini dengan grup yang ingin menghapus praktik hukuman mari. Studi ini mengkaji mengenai terapan hukuman mati di Indonesia atas HAM melalui metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Susiana Kifli and Atika Ismail. "HUKUMAN MATI BAGI TINDAK PIDANA NARKOBA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 17, no. 1 (July 4, 2022): 98–106. http://dx.doi.org/10.33059/jhsk.v17i1.5772.

Full text
Abstract:
Dengan beban hukuman mati bagi para penjahat Narkoba, dapat membunuh Narkoba yang berurusan dengan Indonesia, mengingat hukuman penjara saat ini belum terlalu berhasil & sangat membuka pintu bagi para terpidana untuk menjadi residivis atau bahkan menguasai bisnis Narkoba didalam Remedial. Yayasan, misalnya, kasus dugaan diajukan oleh Freddy Budiman, terpidana mati. Hukuman mati dianggap memiliki kapasitas yang lebih menonjol untuk membuat ketakutan di antara para penjahat di mata publik jika dibandingkan dengan disiplin ilmu yang berbeda, terutama penahanan seumur hidup. Hukuman mati telah dipaksakan pada beberapa pihak yang bersalah obat-obatan hingga tahap keempat eksekusi. Meski demikian, berdasarkan kajian BNN dan BPS, tingkat penyalahgunaan obat terus meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa hukuman mati tidak memberikan efek jera bagi pelaku narkoba. Padahal beban hukuman mati atas kesalahan Narkoba ialah memberikan dampak penghambatan. Bagaimanapun, sebenarnya sampai saat ini tingkat penyalahgunaan Narkoba terus meningkat, bahkan pelakunya beragam dari anak-anak hingga orang tua. Oleh karena itu, pentingnya adanya pemidanaan elektif dapat memberikan dampak hambatan, salah satunya seperti yang ditunjukkan oleh penciptanya ialah dengan memberikan sanksi balas jasa
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Halstead, Narmala. "Violence, Past and Present: “Mati” and “Non‐mati” People." History and Anthropology 19, no. 2 (June 2008): 115–29. http://dx.doi.org/10.1080/02757200802320918.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

BALOYI, J. M., and D. J. Risenga. "MATI YA XITSEVETSEVE." South African Journal of African Languages 15, sup1 (January 1995): 25–29. http://dx.doi.org/10.1080/02572117.1995.10587087.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Nadina, Olga. "EKSEKUSI MATI TERHADAP TERPIDANA MATI YANG SEDANG DALAM PROSES MENGAJUKAN PERMOHONAN GRASI." Jurist-Diction 2, no. 1 (March 4, 2019): 275. http://dx.doi.org/10.20473/jd.v2i1.12112.

Full text
Abstract:
Negara Indonesia mengenal suatu upaya istimewa terhadap vonis pidana mati, yaitu terpidana mati berhak mengajukan grasi kepada Presiden. Namun, terdapat permasalahan terkait eksekusi mati serta hak terpidana untuk mengajukan grasi. Isu hukum yang dibahas pada penelitian ini yaitu terkait dengan eksekusi mati pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 dan akibat hukum dari eksekusi mati sebelum diterbitkan Keputusan Presiden mengenai diterima atau ditolaknya permohonan grasi. Dalam hasil penelitian diketahui bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 permohonan grasi tidak terikat pada tenggang waktu tertentu dan dapat diajukan lebih dari satu kali, maka berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang tentang Grasi, eksekusi mati dapat dilakukan setelah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan grasi. Selain itu, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 13 Undang-Undang tentang Grasi pada intinya melarang terpidana mati untuk dieksekusi, sebelum Presiden memberikan jawaban atas grasi yang diajukan. Apabila terdapat terpidana mati yang mengajukan grasi, maka hal ini berakibat hukum kepada suatu eksekusi mati tidak dapat dilaksanakan dan harus ditunda dahulu hingga diterbitkan Keputusan Presiden mengenai penolakan grasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Yuliana, Yuliana. "DAMPAK PELAKSANAAN HUKUMAN MATI TERHADAP KONDISI KEJIWAAN TERPIDANA MATI DI INDONESIA." IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) 1, no. 1 (August 18, 2017): 39–54. http://dx.doi.org/10.15294/ijcls.v1i1.10804.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis dampak dari pelaksanaan hukuman mati terhadap kondisi kejiwaan (psychology) para terpidana mati. Dan yang kedua untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal apa saja yang terkait dengan pelaksanaan hukuman mati yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Hasil peneltian ini adalah 1) dampak dari pelaksanaan hukuman mati yang dirasakan dampak positif banyak dari terpidana mati yang dirasakan adalah terpidana mati lebih mendekatkan diri kepada Tuhan sedangkan dampak negatif banyak diantaranya yang mengalami stress dan gangguan jiwa di dalam Lapas. 2) hal yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman mati yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 2 PNPS Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dan tidak sesuai ketentuan Perkapolri No. 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah 1) dampak dari pelaksanaan hukuman mati terdapat dampak negatif dan dampak positif yang dirasakan terpidana mati dan mengalami tingkat stres yang paling tinggi ketika memasuki tempat isolasi. 2) hal yang terkait dengan sistem hukum baik legal structure adalah aparat penagak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan UU, kemudian legal substance adalah aturan terkait jangka waktu eksekusi tidak dirumuskan dalam UU sehingga salah satu faktor penyebab penundaan eksekusi dan yang ketiga adalah legal culture, ketika terpidana di eksekusi di depan umum akan menimbulkan dampak negatif bagi keluarga dan akan dicap jelek oleh masyarakat.The study aims to identify and analyze the impact of the execution of death row inmates to psychiaytric conditions. And the second to determine and analyze any matters related to the implementation of the death sentence in accordance with applicaple regulations. The author uses qualitative methods with sosiological juridical approach. The results of this study were 1) the impact of the implementation of the death penalty on death row feel is more draw closer to God, while the negative impact of which many are experiencing setres and mental disorders in correctional institution. 2) the second, is matters relating to the implementation of the death penalty is not in accordance with the provisions of law No.2 PNPS 1964 on procedures for the execution and not in accordance with the provisions of Perkapolri No. 5 of 2010 regarding the prosedure of execution. Conclusions from the result of this study are 1) the impact of the implementation law of the death penalty there are negative impact and positive impacts perceived and experienced death row setress highest when entering the isolation room. Then a second conclusion is related to the legal system is both legal structure of law enforcement officers in carrying out their duties are not statutory, then legal substance is associated rule execution period is not defined in the legislation so that it becomes one factor the postponement of the execution, and the third is the legal culture, when death row was executed in public, it will cause a negative impact the form of the families were going to stamp ugly in eyes of society.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Larasanti, Rizka Fatrian. "Eksekusi Pidana Mati Pidana Mati Terhadap Narapidana yang Mengalami Sakit Kronis." Jurist-Diction 2, no. 5 (September 11, 2019): 1815. http://dx.doi.org/10.20473/jd.v2i5.15245.

Full text
Abstract:
Eksekusi pidana mati seharusnya dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama. Hal ini dapat menyebabkan seorang narapidana mengalami bentuk penyiksaan psikologis (death row phenomenon) yang dapat berpengaruh pula pada kesehatan fisik narapidana hingga narapidana dapat mengalami sakit selama didalam LAPAS. Hak-hak narapidana seharunya juga harus dipenuhi oleh negara, seperti hak kesehatannya yang melekat dan telah dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menghadapi situasi narapidana yang mengalami sakit hingga divonis oleh Dokter mengalami sakit kronis, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mengatur tentang penundaan eksekusi mati. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual. Tujuan dari penelitian ini memiliki kajian terhadap pelaksanaan eksekusi pidana mati jika terpidana mengalami sakit kronis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Rasad, Fauziah. "Pidana Perubahan Pidana Mati Menjadi Pidana Penjara Melalui Pemidanaan Secara Alternatif Mati Sebagai Pidana Alternatif: Merubah Penjatuhan Pidana Mati Menjadi Pidana Penjara." Jurnal HAM 12, no. 1 (April 22, 2021): 141. http://dx.doi.org/10.30641/ham.2021.12.141-164.

Full text
Abstract:
Hukum pidana di Indonesia masih memberlakukan pidana mati. Politik hukum Pemeritah Indonesia berpengaruh pada penjatuhan dan/atau eksekusi pidana mati. Pemerintah Indonesia saat ini memberlakukan moratorium atas ekesekusi pidana mati, tetapi tidak pada penjatuhan pidananya. Dalam perkembangan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pidana mati diklasifikasikan menjadi pidana alternatif, bukan lagi sebagai pidana pokok. Pertanyaan Penelitian ini adalah bagaimana dasar hukum, prosedur, dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengubah pidana mati menjadi pidana penjara melalui pemidanaan secara alternatif? Kajian ini ditujukan untuk menjawab petanyaan penelitian tersebut. Penelitian merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan istilah Terpidana Mati dan Narapidana memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut seharusnya diselaraskan sehingga Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dapat berperan efektif dalam pembinaan kedua pihak tersebut. Pembinaan yang dilakukan LAPAS terhadap Terpidana Mati maupun Narapidana seharusnya tidak hanya pertimbangan tentang umur dan jenis kelamin, tetapi juga tindak pidana dan jenis pidana sehingga tujuan pemidanaan dapat berjalan efektif. Pembinaan atas terpidana mati dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun dinilai dapat menjadi dasar bagi Terpidana Mati untuk memohon perubahan pidana mati menjadi pidana penjara sementara waktu, yang harus diatur dalam undang-undang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Pranowo, Dimas. "Pengaturan Tenggat Waktu Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Indonesia." Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia 7, no. 1 (January 20, 2022): 126. http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v7i1.6034.

Full text
Abstract:
Dalam praktik penerapan eksekusi pidana mati seringkali para terpidana hukuman mati harus menunggu hingga bertahun tahun sampai pada hari pelaksanaan eksekusi mati. Ketidak jelasan mengenai waktu pelaksanaan pidana mati tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para terpidana. Penelitian ini hendak membahas penerapan pidana mati dan masa tunggu bagi terpidana dalam menjalankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Penelitian disusun dengan metode yuridis normative dengan menganalisis peraturan perundang undangan terkait hukuman mati. Hasil penelitian menunjukkan Hukum Pidana Indonesia dalam UU Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara pasti tentang waktu pelaksanaan eksekusi bagi terpidana hukuman mati sehingga penelitian ini menyimpulkan perlu adanya pengaturan yang tegas batas tenggat waktu untuk pelaksanaan eksekusi mati
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Wulan Puji Anjarsari. "Pengaturan Tenggat Waktu Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Indonesia Sosial Teknologi 2, no. 3 (March 21, 2021): 485–94. http://dx.doi.org/10.36418/jist.v2i3.114.

Full text
Abstract:
Dalam praktik penerapan eksekusi pidana mati seringkali para terpidana hukuman mati harus menunggu hingga bertahun tahun sampai pada hari pelaksanaan eksekusi mati. Ketidak jelasan mengenai waktu pelaksanaan pidana mati tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para terpidana. Penelitian ini hendak membahas penerapan pidana mati dan masa tunggu bagi terpidana dalam menjalankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Penelitian disusun dengan metode yuridis normative dengan menganalisis peraturan perundang undangan terkait hukuman mati. Hasil penelitian menunjukkan Hukum Pidana Indonesia dalam UU Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara pasti tentang tenggat waktu pelaksanaan eksekusi bagi terpidana hukuman mati Hak untuk mendapat kepastian hukum telah dijamin oleh konstitusi sebagai hak konstitusional sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Dalam kaitannya dengan tenggat waktu pelaksanaan eksekusi mati sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 2/PNPS/1964 saat ini yang tidak mengatur pelaksanaan pidana mati secara pasti, hal tersebut membawa ketidakpastian hukum oleh terpidana sehingga itu melanggar hak konstitusional yang dijamin di dalam konstitusi.sehingga penelitian ini menyimpulkan perlu adanya pengaturan yang tegas batas tenggat waktu untuk pelaksanaan eksekusi mati.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Susanto, Mei, and Ajie Ramdan. "KEBIJAKAN MODERASI PIDANA MATI." Jurnal Yudisial 10, no. 2 (September 12, 2017): 193. http://dx.doi.org/10.29123/jy.v10i2.138.

Full text
Abstract:
ABSTRAKPutusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan yang ingin menghapus (abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi amanat putusan a quo, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati.Kata kunci: kebijakan, KUHP, moderasi, pidana mati. ABSTRACTConstitutional Court’s Decision Number 2-3/PUU-V/2007, in addition to being the basis of the constitutionality of capital punishment, also provides a moderate way of arguing between retentionist groups and those wishing to abolish the death penalty (abolitionist). The problem in this research is how the moderation policy of capital punishment in aquo decision is associated with the theory of punishment and human rights and how the moderation policy of capital punishment in the draft Criminal Code of 2015 (RKUHP) is related with the a quo decision. This study is doctrinal, using primary and secondary legal materials, in the form of legislation, literature and research results that are relevant to the object of analysis. This study concludes, firstly, the aquo decision containing the moderation policy of capital punishment has been in accordance with the theory of punishment, specificallyy the integrative theory and the theory of human rights in Indonesia, in which the right to life remains limited by the fundamental obligations set forth in the law. Secondly, some of the modes of moderation model of capital punishment in RKUHP of 2015 have accommodated the mandate of aquo decision, such as the determination of capital punishment outside the main punishment, postponement of capital punishment, the possibility of converting capital punishment to life imprisonment or imprisonment of 20 years. In addition, it still raises issues regarding the institutions that provide for conversion of capital punishment, pardon matters, length of delay in the execution of capital punishment, and any types of crime punishable by capital punishment. Keywords: policy, criminal code, moderation, capital punishment.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Pérez-Iglesias, F. "Mati Ezquerra. In Memoriam." Revista de la Fundación Educación Médica 14, no. 1 (2011): 5. http://dx.doi.org/10.33588/fem.141.589.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Nur, Muhammad. "Mati Otak pada Anak." Sari Pediatri 3, no. 1 (December 6, 2016): 14. http://dx.doi.org/10.14238/sp3.1.2001.14-8.

Full text
Abstract:
Mati otak adalah konsep kematian seorang individu yang paling belakangan dipahami dan digunakan. Sebelum periode tahun 1968, berhentinya fungsi jantung, paru, atau keduanya dijadikan dasar penetapan kematian seseorang. Dengan kemajuan perawatan intensif, seorang yang sudah mengalami penghentian fungsi otak, masih bisa dipertahankan di bawah bantuan alat dan obat-obatan, sehingga penetapan saat kematian yang tepat yang sangat penting. Upaya-upaya keberhasilan donor organ menjadi masalah apabila kematian didasarkan pada fungsi paru atau jantung, di samping juga menjadi masalah dalam aspek legalitas atau perundang-undangan tentang kematian. Berbagai kriteria telah diajukan untuk penetapan mati otak yang didasarkan pada tahapan kegagalan fungsi-fungsi otak. Sebagian besar mendasarkan pada kegagalan menyeluruh fungsi hemisfer serebri dan batang otak. Penelitian-penelitian tentang mati otak menyimpulkan bahwa pasien henti nafas disertai hilangnya respons serebral dan aktifitas listrik otak (mati otak), akan berlanjut menjadi henti jantung dalam periode waktu tertentu (24 jam sampai 3 bulan) walaupun pasien berada dalam dukungan terapi penunjang maksimal. Sejumlah pemeriksaan diketahui dapat memperkuat diagnosis klinis mati otak dengan sejumlah keterbatasannya, mencakup pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG), angiografi, scanning kepala, Magnetic Resonancy Imaging (MRI), Brain Evoked Potential (BEP), Ultrasonografi (USG) Doppler dan pemeriksaan beberapa jenis hormon. Penetapan mati otak pada anak berbeda dari orang dewasa dalam hal masa pengamatannya yang lebih lama, kriteria yang disesuaikan dengan usia, EEG menjadi syarat khusus dan untuk kasus kematian perinatal, hanya dapat dinyatakan sebagai mati otak setelah melewati periode waktu tujuh hari.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Conceatu, Marius. "Atlantique by Mati Diop." French Review 94, no. 1 (2020): 207–8. http://dx.doi.org/10.1353/tfr.2020.0073.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Aji, Nanang Bayu. "INTERPRETASI VOKALIS TERHADAP FRASA BALUNGAN CÉNGKOK MATI." Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi 21, no. 1 (September 21, 2021): 63–72. http://dx.doi.org/10.33153/keteg.v21i1.3679.

Full text
Abstract:
Tulisan ini mengungkap kasus frasa balungan céngkok mati di dalam karawitan gaya Surakarta. Permasalahan yang akan dipaparkan terkait interpretasi vokalis terhadap frasa balungan céngkok mati. Pengumpulan data diperoleh dengan cara studi pustaka, wawancara, dan juga laboratoris. Analisis dilakukan dengan cara menafsirkan kembali pemikiran serta pengalaman pêngrawit vokalis yang diperoleh melalui realitas pragmatik. Penafsiran menggunakan metode interpretasi dan analisis garap. Vokal dalam ensambel gamelan mempunyai cara untuk menginterpretasi frasa balungan céngkok mati. Interpretasi tersebut digunakan dalam rangka mengeksekusi frasa balungan céngkok mati dengan garap balungan céngkok mati. Hal tersebut dikarenakan tidak semua frasa balungan céngkok mati dieksekusi dengan garap balungan céngkok mati. Kehadiran vokal mempunyai peranan penting dalam karawitan, khususnya peranan terhadap gending dan garap gending. Peranan penting vokal dalam sajian karawitan tertentu memposisikan vokal menjadi lebih berwenang dalam menginterpretasi frasa balungan céngkok mati. Kata kunci : vokalis, balungan céngkok mati, interpretasi, peran, eksekusi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Marwin, Marwin. "PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA." ASAS 11, no. 01 (August 13, 2019): 101–18. http://dx.doi.org/10.24042/asas.v11i01.4646.

Full text
Abstract:
Selain perdebatan tentang perlu atau tidaknya pidana mati, perdebatan juga terjadi berkenaan dengan cara pelaksanaan pidana mati itu sendiri. Perdebatan tentang alasan manusiawi atau tidaknya cara pelaksanaan pidana mati tersebut. Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Ketentuan Pasal 11 KUHP diubah oleh Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Ketentuan ini, selanjutnya telah disempurnakan dengan diberlakukannya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008, menyatakan bahwa cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan dengan UUD 1945, yang dengan demikian dapat diartikan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar HAM khususnya hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang menimbulkan rasa sakit, namun rasa sakit yang dialami oleh terpidana tidak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk penyiksaan terhadap terpidana. Rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati akan tetap dirasakan oleh terpidana.Kata kunci: pelaksanaan pidana mati, hak asasi manusia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Anugrah, Roby, and Raja Desril. "Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3, no. 1 (January 30, 2021): 80–95. http://dx.doi.org/10.14710/jphi.v3i1.80-95.

Full text
Abstract:
Pidana mati merupakan jenis pidana yang sangat besar pengaruh dan dampak nya, sehingga perdebatan mengenai pro dan kontra pidana mati masih terus berlangsung sampai dewasa ini. Indonesia sebagai negara hukum yang sedang melakukan pembaharuan hukum pidana terutama lewat pembentukan KUHP Nasional tidak terlepas dari problem mengenai apakah pidana mati tetap dipertahankan dalam KUHP Nasional atau menghapuskan pidana mati dalam stelsel pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan formulasi pidana mati dalam perundang-undangan pidana Indonesia di masa sekarang, dan menganalisis kebijakan formulasi hukum yang dicita-citakan tentang pidana mati di Indonesia pada masa akan datang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini menghasilkan fakta bahwa hukum di Indonesia sekarang masih mengatur pidana mati sebagai pidana pokok sehingga masih ada pertentangan antara kelompok pro dan kontra pidana mati. Pidana mati pada pembaharuan hukum pidana di Indonesia mengambil jalan tengah dengan tidak memihak antara dua golongan tersebut. Pidana mati pada masa akan datang adalah wujud konkret terhadap hak asasi manusia sesuai dengan wawasan nasional dan internasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Sugiarti, Yayuk. "PELAKSANAAN PIDANA MATI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL." Jurnal Jendela Hukum 4, no. 1 (June 22, 2021): 1–16. http://dx.doi.org/10.24929/fh.v4i1.1407.

Full text
Abstract:
Ditinjau dari sejarah pemidanaan, bahwa pidana mati itu lahir bersama-sama dengan lahirnya manusia di muka bumi ini, dengan budayahukum retalisme bagaikan serigala memakan serigala. Pada masa itu berlaku pidana berdasarkan pada teori pembalasan mutlak.Suatu kekhususan dari pidana mati ini ialah bahwa pidana mati itu sampai saat ini belum dapat diganti dengan jenis pidana yang lain.Dapat diperkirakan seandainya pidana mati ini dapat diganti dengan jenis pidana yang lain yang sama beratnya mungkin tidak ada masalah. Akan tetapi masalahnya sekarang ini apakah pidana mati itu harus dihapuskan, ataukah pidana mati ini masih tetap dipertahankan dari susunan sanksi pidana dengan disesuaikan menjadi sanksi hukum yang bersifat selektif, dalam kajian ini digunakan pendekatan yuridis normatif untuk secara umum menganalisis praktek dan penerapan dari Pnps No.2 Tahun 1964 sebagai aturan yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang berlaku di Indonesia. Pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia, karena pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah, pidana mati menghemat keuangan Negara, diharapkan masyarakat bersih dari tindakan-tindakan kejahatan dan akan terdiri atas warga yang baik-baik saja. Dan sebaiknya para petugas penegak hukum di Negara ini hendaknya lebih bersikap profesional dan menjunjung tinggi jiwa nasionalismenya untuk bangsa Indonesia yang lebih baik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Permono, Prakoso. "Hukuman Mati Terpidana Terorisme di Indonesia: Menguji Perspektif Stratejik dan Hak Asasi Manusia." Jurnal HAM 10, no. 2 (November 27, 2019): 127. http://dx.doi.org/10.30641/ham.2019.10.127-144.

Full text
Abstract:
Hukuman mati pada terpidana kasus terorisme selalu menjadi wacana yang diperdebatkan dalam berbagai kesempatan di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menjalankan hukuman mati pada enam terpidana terorisme mulai dari pembajakan pesawat Garuda Woyla oleh jaringan Komando Jihad hingga trio terpidana mati kasus Bom Bali 1. Saat ini pemerintah menetapkan Aman Abdurrahman dalam masa tunggu sebelum proses eksekusi mati dilaksanakan. Kebijakan ini selain mendatangkan berbagai perdebatan sayangnya juga belum melibatkan kajian stratejik dan analisis dampak. Tujuan penelitian ini yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah ialah untuk membahas perspektif stratejik dan hak asasi manusia dalam penjatuhan hukuman mati terpidana terorisme di Indonesia dan pertimbangan pengambilan keputusan penjatuhan hukuman mati berdasarkan dua perspektif tersebut termasuk potensi tantangan yang ditimbulkan. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan kritis dengan pendekatan multidisipliner. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat potensi retaliasi sebagai tantangan stratejik pada kebijakan hukuman mati terpidana terorisme, sekalipun potensi ancaman stratejik dan pemenuhan hak asasi manusia akan tetap ada sekalipun kebijakan hukuman mati tidak dijatuhkan. Oleh sebab itu hasil penelitian ini memberi masukan agar dilakukan pertimbangan yang komprehensif perlu dilakukan sebelum eksekusi mati terpidana terorisme dilaksanakan mengingat potensi ancaman yang akan terus ada terlepas dari kebijakan hukuman mati ataupun tidak menjatuhkan hukuman mati
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Purwodirekso, Muhajir. "EFEKTIVITAS DAN KECENDERUNGAN PENGGUNAAN HUKUMAN MATI." Al-Risalah 5, no. 1 (January 5, 2015): 1–18. http://dx.doi.org/10.34005/alrisalah.v5i1.386.

Full text
Abstract:
Akhir-akhir ini mencuat perbincangan mengenai hukuman mati bagi pelaku kejahatan, utamanya kejahatan kerah putih, terorisme dan pemerkosaan dan narkoba, akan tetapi para pakar dan akademisi masih berselisih karena studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Tulisan ini bermaksud akan menjawab pertanyaan apakah konsep hukuman mati tidak efektif, padahal Tuhan menunjukkan bahwa pelaku kejahatan ada yang diberi ganjaran hukuman mati. Dengan metode kualitatif dan library research, tulisan ini berusaha mengemukakan pendapat beberapa ahli baik yang pro maupun kontra terhadap hukuman mati. Hasil penelitian penulis disimpulkan bahwa hukuman mati tidak melanggar hak azasi manusia selama dilaksanakan dengan seadil-adilnya selama proses penyidikan dan persidangan sehingga terbukti secara benar yang bersangkutar melanggar hukum yang layak diberi hukuman mati. Serta dalam banyak studi terbukti bahwa hukuman mati efektif untuk mencegah kejahatan yang lebih serius.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Firdaus, Firdaus, Okky Chahyo Nugroho, and Oksimana Darmawan. "Alternatif Penanganan Deret Tunggu Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan dalam Konstruksi Hak Asasi Manusia." Jurnal HAM 12, no. 3 (December 31, 2021): 503. http://dx.doi.org/10.30641/ham.2021.12.503-520.

Full text
Abstract:
Fenomena deret tunggu eksekusi mati bukan hanya menjadi masa tunggu terpidana mati dalam proses pengajuan upaya hukum permohonan grasi ke Presiden, tetapi juga menjadi bentuk penghukuman tersendiri bagi para terpidana mati. Rumusan masalah membahas tiga hal. Pertama, bagaimana alternatif penanganan deret tunggu terpidana mati dari sudut pandang hak asasi manusia yaitu hak sipil politik (hak hidup) hak ekonomi, sosial dan budaya (hak kesehatan jiwa)?. Kedua, apa upaya yang telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam memenuhi hak dasar terpidana mati?. Ketiga, bagaimana alternatif lainnya dalam penanganan fenomena deret tunggu? Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris yang merupakan penelitian hukum sosiologis dengan melakukan wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana mati dan tantangan penerapannya yaitu kembali ke tujuan pemidanaan sebagai koreksi sosial dimana hal ini tidak hanya menghukum narapidana. Perlu terdapat perubahan dalam sistem penegakan hukum termasuk institusi terkat. Tantangan alternatif pengganti pidana mati adalah political will dari pemerintah dengan mengedepankan hak asasi manusia terpidana mati. Selain itu, pemenuhan hak kesehatan jiwa terpidana mati harus didukung oleh tenaga profesional tentang kejiwaan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Putra, Aista Wisnu, and Rahmi Dwi Sutanti. "Kebijakan Formulasi Pidana Mati Bersyarat dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 2, no. 3 (August 28, 2020): 319–30. http://dx.doi.org/10.14710/jphi.v2i3.319-330.

Full text
Abstract:
Pembaharuan hukum pidana adalah sesuatu yang harus dilakukan sebagai bentuk penyesuaian hukum yang berlaku dengan perubahan nilai, zaman, teknologi, wawasan nasional, dan internasional. Pidana mati di Indonesia juga perlu diperbarui menyesuaikan perkembangan tersebut terkhusus pada penyesuaian nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan formulasi pidana mati dalam perundang-undangan pidana Indonesia di masa sekarang, dan menganalisis kebijakan formulasi hukum yang dicita-citakan tentang pidana mati bersyarat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif. Penelitian ini menghasilkan fakta bahwa hukum di Indonesia sekarang belum mengatur tenang pidana mati bersyarat, sehingga masih ada pertentangan antara golongan yang ingin menghapus pidana mati dan golongan yang ingin tetap menerapkan pidana mati. Pidana mati bersyarat diperlukan sebagai jalan tengah antara dua golongan tersebut. Pidana mati bersyarat juga diperlukan sebagai proses evaluatif narapidana dalam menjalani hukuman dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan wawasan nasional dan internasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Nurdiansah, Muhamad Andre. "Penerapan Kebijakan Komutasi Pidana Mati Pada RKUHP Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia." Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains 2, no. 01 (January 30, 2023): 20–28. http://dx.doi.org/10.58812/jhhws.v2i01.150.

Full text
Abstract:
Pidana mati selalu menjadi perdebatan di kalangan ahli. Kelompok pro berpendapat jika tidak ada pelanggaran hak asasi. Sedangkan, kelompok kontra berpendapat jika pidana mati selain melanggar hak asasi juga melanggar konstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perspektif hukum dan hak asasi manusia mengenai penerapan kebijakan komutasi pidana mati pada RKUHP. Metode penelitian yang digunakan ialah metode yuridis-normatif. Adapun bahan hukum diperoleh dari studi kepustakaan dengan menganalisisnya secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati dalam instrumen hukum internasional dipandang telah melanggar hak asasi manusia. Namun, Indonesia tetap menerapkan pidana mati dengan dasar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan jika pidana mati tidak melanggar hak untuk hidup dan tidak bersifat inkonstitusional karena bertujuan untuk menjaga keamanan Nasional. Pidana mati dalam RKUHP telah memberikan kepastian pada terpidana dan lembaga penegak hukum melalui masa percobaan 10 tahun dan memberi ruang pengampunan melalui kebijakan komutasi dari pidana mati.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Subekhi. "Pidana Mati dalam Perspektif Keadilan Sebagai Salah Satu Tujuan Hukum." Khuluqiyya: Jurnal Kajian Hukum dan Studi Islam 1, no. 1 (November 2, 2019): 1–18. http://dx.doi.org/10.56593/khuluqiyya.v1i1.26.

Full text
Abstract:
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pidana mati telah berlangsung sejak lama dalam sejarah hukum di berbagai Negara belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun dalam perkembangannya, sanksi pidana mati mengalami masa transisi karena kurang mampu menjawab tujuan hukum yaitu keadilan. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga kini, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek pidana mati baik secara de jure atau de facto. Selain itu, HAM turut mewarnai pro kontra dalam penerapan pidana mati. Di satu sisi manusia berhak hidup dan mempertahankannya dan sisi lain manusia juga tidak boleh melakukan perbuatan melanggar hukum hingga merugikan serta mengancam hak hidup sesamanya. Oleh karena itu, tulisan yang anda baca sekarang ini bermaksud mencari solusi atas polemik terhadap penerapan sanksi pidana mati khususnya di Indonesia. Dengan pendekatan filsafat hukum, diharapkan tulisan ini mampu menggali sedalam-dalamnya tentang tujuan hukum dan keadilan dalam penerapan pidana mati di Indonesia. Adapun temuan yang dihasilkan dalam tulisan ini diantaranya: pertama, berdasarkan sila pertama dari pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, Indonesia masih menerapkan pidana mati dan dibolehkan oleh agama-agama yang dianut di Indonesia tentunya dengan mempertimbangkan tujuan hukum yang lain yakni kepastian hukum dan kemanfaatan. Kedua, tidak menutup kemungkinan adanya revisi dan perubahan tentang sanksi pidana mati apabila ditinjau dari teori keadilan yang berkembang sehingga diberlakukan sanksi ancaman pidana mati tidak selalu berujung pidana mati atas dasar banyak pertimbangan lain di luar hukum an sich.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Sirin, Khaeron. "Hukuman Mati Dalam Wacana Demokrasi (Perdebatan Antara Hukum Islam dan Ham Di Indonesia)." Al-Risalah 13, no. 01 (December 1, 2018): 187. http://dx.doi.org/10.30631/al-risalah.v13i01.441.

Full text
Abstract:
Secara yuridis formal, pelaksaan hukuman mati di Indonesia telah dibenarkan. Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ancaman hukuman mati. Di luar KUHP, tercatat setidaknya banyak peraturan perundang-undangan yang memiliki ancaman hukuman mati, misalnya: Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Anti Korupsi, Undang-Undang Anti terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia semakin eksis dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, seiring dengan maraknya gagasan humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan universal yang merebak seusai perang dunia kedua, adanya hukuman mati menjadi tidak logis lagi dalam kehidupan saat ini. Dengan kata lain, menurut para pembela HAM, dinamisasi hukum pidana di dunia saat ini telah bergeser dari teori pembalasan ke teori rehabilitasi, di mana teori tersebut bersifat clinic treatment. Menyikapi adanya perdebatan bahkan pertentangan, perlu dilakukan obyektivikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia, dimana pelaksanaan hukuman mati harus melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan lainnya, baik itu agama (Islam) ataupun HAM. Hukuman mati mesti ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas dan lintas kepentingan, sehingga ketika hukuman mati itu diterapkan atau tidak diterapkan, maka hal itu tidak berarti mengalahkan atau menindas salah satu kepentingan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Sirin, Khaeron. "Hukuman Mati Dalam Wacana Demokrasi (Perdebatan Antara Hukum Islam dan HAM di Indonesia)." Al-Risalah: Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan 13, no. 01 (December 1, 2018): 187–98. http://dx.doi.org/10.30631/alrisalah.v13i01.441.

Full text
Abstract:
Secara yuridis formal, pelaksaan hukuman mati di Indonesia telah dibenarkan. Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ancaman hukuman mati. Di luar KUHP, tercatat setidaknya banyak peraturan perundang-undangan yang memiliki ancaman hukuman mati, misalnya: Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Anti Korupsi, Undang-Undang Anti terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia semakin eksis dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, seiring dengan maraknya gagasan humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan universal yang merebak seusai perang dunia kedua, adanya hukuman mati menjadi tidak logis lagi dalam kehidupan saat ini. Dengan kata lain, menurut para pembela HAM, dinamisasi hukum pidana di dunia saat ini telah bergeser dari teori pembalasan ke teori rehabilitasi, di mana teori tersebut bersifat clinic treatment. Menyikapi adanya perdebatan bahkan pertentangan, perlu dilakukan obyektivikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia, dimana pelaksanaan hukuman mati harus melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan lainnya, baik itu agama (Islam) ataupun HAM. Hukuman mati mesti ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas dan lintas kepentingan, sehingga ketika hukuman mati itu diterapkan atau tidak diterapkan, maka hal itu tidak berarti mengalahkan atau menindas salah satu kepentingan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Fraja, St Ika Noerwulan, Nadiya Ayu Rizky Saraswati, and Ury Ayu Masitoh. "Perbandingan Penerapan Hukuman Mati di Indonesia dan Belanda." DIVERSI : Jurnal Hukum 7, no. 1 (April 30, 2021): 50. http://dx.doi.org/10.32503/diversi.v7i1.1117.

Full text
Abstract:
Penelitian ini mengkaji tentang penerapan sanksi pidana hukuman mati di Indonesia yang tidak sesuai dengan dasar negara dan filosofi pemidanaan Indonesia sehingga perlu dibandingkan dengan negara Belanda. Penelitian ini bertujuan menganalisa perbandingan penerapan sistem serta aturan hukuman mati di Indonesia dan Belanda. Penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa hukuman mati diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda. Namun, penerapan hukuman mati tersebutbertentangan dengan asas konkordasi dan ICCPR, sehingga tidak layak untuk digunakan. Sedangkan di Belanda hukuman mati sudah tidak digunakan karena dalam pelaksanaannya terpidana selalu mendapat grasi dan pengampunan raja dan pada tahun 1870 hukuman mati dihapus untuk menghargai HAM.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Hack, Karl A. "Biar Mati Anak: Jangan Mati Adat [Better Your Children Die Than Your Traditions]." South East Asia Research 10, no. 3 (November 2002): 245–75. http://dx.doi.org/10.5367/000000002101297071.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Armayanti, Armayanti, and Ashari Rasjid. "EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MENGKUDU DENGAN METODE SPRAY DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypti." Sulolipu: Media Komunikasi Sivitas Akademika dan Masyarakat 19, no. 2 (February 28, 2020): 157. http://dx.doi.org/10.32382/sulolipu.v19i2.1349.

Full text
Abstract:
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Pencegahan penyebaran penyakit DBD dapat dilakukan dengan memutus mata rantai penularan melalui pengendalian vektor. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun mengkudu dengan metode spray dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti . Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Sampel dalam penelitian ini adalah 25 ekor nyamuk Aedes aegypti yang dipaparkan dengan ekstrak daun mengkudu konsentrasi 15%, 20%, dan 25%, dengan pengulangan sebanyak 3 kali menggunakan metode spray selama 60 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrsi ekstrak daun mengkudu semakin cepat dan banyak nyamuk yang mati. Pada konsentrasi 15% ekstrak daun mengkudu jumlah nyamuk yang mati sebanyak 14 ekor (56%) LC50 pada menit ke-45. Pada konsentrasi 20% ekstrak daun mengkudu jumlah nyamuk yang mati sebanyak 17 ekor (68%) LC50 pada menit ke-30. Pada konsentrasi 25% ekstrak daun mengkudu jumlah nyamuk yang mati sebanyak 18 ekor (72%) LC50 pada menit ke-15. Hal ini dikarenakan nyamuk terpapar dengan ekstrak daun mengkudu memiliki kandungan kimia seperti senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin, tanin, dan flavonoid. Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak daun mengkudu dengan metode spray efektif dalam mematikan nyamuk Aedes aegypti mencapai LC50. Diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan ekstrak daun mengkudu dengan metode spray karena aman bagi lingkungan dan manusia.Kata kunci : Ekstrak daun mengkudu, Metode spray, Aedes aegypti
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Fadillah, Syarif. "MENYOAL PIDANA MATI BAGI KORUPTOR." VERITAS 6, no. 2 (February 11, 2021): 236–48. http://dx.doi.org/10.34005/veritas.v6i2.1232.

Full text
Abstract:
Kematian adalah hak Prereogatif Allah SWT, apapun alasannya manusia tidak boleh mematikan,orang . kecuali kematian yang karena sebab yang wajar misalnya Kematian karena usia, sakit dan kecelakaan atau musibah lainnya. Bagaimana dengan kematian karena Putusan Pengadilan (Pidana Mati) apakah dapat dibenarkan ? Kemastian karena hukuman (Pidana Mati) di Indonesia, sercara hukum telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu ; (1) Dalam KUHP diatur dalam 10 KUHP, Pasal 340 KUHP dan Pasal 104 KUHP. (2) Dalam Undang –undang No. 5 Tahun 1997, Tentang Psyikotropika dalam Pasal 59 ayat (1). (3) Dalam Undang-undang No. 5 tahun 2018 (Perubahan terakhir UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 (4) .Dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999,yang telah diubah dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur dalam Pasal 2 ayat (2). Terhadap Pidana Mati, meskipun telah diatur dalam perundang-undangan di atas, masih menimbulkan Pro Kontra di kalangan masyarakat luas, khussunya dikalangan para praktisi hukum dan akademisi. Namun demikian karena telah diatur secara hukum, maka dalam praktek peradilan telah diterapkan pada kasus-kasus seperti pembunuhan berencana, kejahatan keamanan negara (makar), Narkotika, Psyikotropika dan kejahatan terorisme. Serta Kejahatan Korupsi. Hanya saja untuk kejahatan/tindak pidana korupsi, pelakunya belum ada yang dihukum mati. Bagaimana dengan hukum Islam terhadap pidana mati ? Hukum Islam memandang pidana mati dapat dibenarkan. Hal ini telah diatur dalam hukum Qisas, Hudud dan Takzir. Terhadap Kejahatan Korupsi, dalam hukum Islam korupsi bisa dianalogikan sebagai Ghulul dan Sarqoh. Menurut Dr. Nurul Irfan, MA., Kejahatan Korupsi masuk ke dalam Jarimah Takzir. Lebih jauh Dr. Nurul Irfan mengatakan seyogyanya Takzir tidak ada hukuman mati. Tetapi para Fuqoha sepakat boleh dihukum mati bagi pelaku Korupsi dengan pengecualian untuk kemaslahan umum.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Arfa, Nys, Syofyan Nur, and Yulia Monita. "Tinjauan Yuridis Penerapan Dan Pelaksanaan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika." Jurnal Sains Sosio Humaniora 4, no. 2 (November 12, 2020): 526–37. http://dx.doi.org/10.22437/jssh.v4i2.10999.

Full text
Abstract:
Pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam undang-undang tersebut diatur tentang ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika salah satunya terhadap pengedar narkotika. Adapun ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pengedar narkotika tersebut diatur pada Pasal 114 yang mana pada ayat (2) disebutkan salah satu ancaman pidananya adalah pidana mati. Permasalahan adalah bagaimana penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana pengedar narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimana kebijakan hukum pidana ke depan dalam pelaksanaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika?. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Hasil penelitian bahwa Penerapan hukuman mati bagi pengedar narkotika di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, yakni sesuai dengan Pasal 10 KUHP. Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika masih relevan dilaksanakan saat ini, hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dan menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah tidak adanya aturan yang mengatur mengenai batas waktu pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana mati di Indonesia, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat terutama bagi terpidana mati itu sendiri, khususnya terpidana mati tindak pidana pengedar narkotika. Kebijakan kedepan dalam pelaksanaan pidana mati bagi pengedar narkotika masih perlu dilaksanakan karena hal tersebut telah sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan eksekusi mati sebaiknya dilakukan setelah siterpidana mati melakukan semua upaya hukum dalam batas waktu 5 tahun.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Pakian, Mardenis, and Iin Maryanti. "PEMBERLAKUAN HUKUMAN MATI PADA KEJAHATAN NARKOTIKA MENURUT HUKUM HAM INTERNASIONAL DAN KONSTITUSI DI INDONESIA." Masalah-Masalah Hukum 48, no. 3 (July 31, 2019): 312. http://dx.doi.org/10.14710/mmh.48.3.2019.312-318.

Full text
Abstract:
Pemberlakuan hukuman mati mengundang perdebatan antar negara abolisionis dan negara retensionis. Di Indonesia, perbedaan pendapat dipengaruhi dampak yang ditimbulkan terlebih jika terpidana WNA, yang akan mengundang protes dari negara lain. Penulis melakukan analisis bagaimana pengaturan hukuman mati dalam aturan hukum berbagai negara dan apakah penerapan hukuman mati kejahatan narkotika tidak bertentangan dengan hukum HAM internasional dan nasional Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif, pengumpulan data melalui studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan penerapan hukuman mati dikarenakan perbedaan sejarah, ideologi dan cara pandang suatu Negara dalam memaknai hukuman mati terutama terkait HAM, kemudian penerapan hukuman mati kejahatan narkotika pada dasarnya tidak bertentangan baik dengan hukum internasional, maupun hukum nasional terutama hukum HAM internasional.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Alimuddin, Ansharullah. "Konsep Pidana Mati delam Prespektif Pancasila, Undang-Undang 1945, dan RUU KUHP di Indonesia." J-HEST Journal of Health Education Economics Science and Technology 5, no. 1 (December 14, 2022): 1–11. http://dx.doi.org/10.36339/jhest.v5i1.76.

Full text
Abstract:
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia didasarkan pada putusan pengadilan yang telah dijatuhkan kekuatan hukum tetap. Hanya melalui putusan pengadilan seorang dapat dieksekusi hukuman mati bagi yang bersalah yang dituduhkan kepadanya. Aplikasi hukuman mati di Indonesia diatur dalam hukum positif yang bersifat khusus atau umum. Sebagai sebuah negara memiliki vonis terbanyak dengan pidana mati, baik terhadap warganya maupun terhadapnya warga negara asing yang melakukan pelanggaran di wilayah hukum Republik Indonesia, memicu adanya sikap pro dan kontra terhadap hukuman mati eksekusi. Sikap menentang mendasarkan argumennya pada perspektif hak asasi manusia, menegaskan bahwa pidana mati dapat dikategorikan sebagai bentuk biadab dan hukuman yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan sikap mendukung pelakasanaan pidana mati didasarkan pada argumentasi bahwa pelaku harus dibalas sesuai dengan perbuatannya, untuk memberikan efek jera bagi orang lain yang ini melakukan pelanggran yang serupa. Namun demikian ternyata masih banyak terjadi pelanggaran yang serupa.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Lubis, Abdul Halim, and Ania Margaini. "Relevansi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika Dalam Prespektif Pembaharuan Hukum Pidana." Sanskara Hukum dan HAM 1, no. 02 (December 31, 2022): 13–24. http://dx.doi.org/10.58812/shh.v1i02.54.

Full text
Abstract:
Saat ini, hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berlaku. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji serta memahami bagaimana seharusnya aturan pidana mati dalam pengimplementasiannya dalam hukuman pidana Indonesia. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian adalah metode yuridis normatif. Sanksi hukum tindak pidana narkotika yang diatur dalam UU 35 tahun 2009 termasuk pidana mati. Perumusan hukuman mati pada pembaharuan pidana nasional menjadi konflik pemikiran antar ahli pidana yang ada di Indonesia. Konsep pembaharuan KUHP didasari dengan bermacam sudut pandangan dengan pertimbangan ide keseimbangan. Pembentukan perundangan narkotika juga nantinya diharapkan dengan adanya hukuman mati bisa membatasi peredaran ilegal dan penyelewengan narkotika melalui pembaharuan hukum pada pidana nasional. Dampak penelitian ini dapat membuktikan bahwa implementasi hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika harus dilakukan demi mengamankan umat manusia dalam skala besar dengan membinasakan satu orang dan hukuman mati bagi terpidana tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Oktaviyanti, Ary. "Problematika Pemberlakuan Hukuman Mati Terhadap Bandar Narkoba di Indonesia." Pamulang Law Review 5, no. 1 (August 15, 2022): 1. http://dx.doi.org/10.32493/palrev.v5i1.23605.

Full text
Abstract:
Di Indonesia untuk menentukan pemidanaan suatu kejahatan diatur dalam hukum pidana. Tujuan pemidanaan agar dapat menjamin pelaku pidana mendapat hukuman yang setimpal dan dapat mengurangi kejahatan.hukuman mati termasuk dalam hukuman pokok yang dianggap sebagai bagian hukum positif di Indonesia. Secara hukum, penerapan pidana mati didasari oleh putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. hukuman mati bagi pengedar narkoba merupakan hukuman yang paling berat yang berujung dengan kematian dengan harapan ada efek jera terhadap pelaku kejahatan ini. Penerapan pidana mati sudah diatur didalam KUHP, dan peraturan perundang-undangan lain. ancaman pidana berkaitan dengan pidana mati dalam hukum Indonesia merupakan persoalan yang sensitif tindakan aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya seringkali bersinggungan dengan hak asasi manusia, namun hal tersebut diperbaiki dengan adanya prosedur pelaksanaan tatacara eksekusi hukuman mati yang sesuai sehingga mengurangi pro dan kontra dan Indonesia telah menangani sejumlah kasus pidana mati terhadap penyalah gunaan dan pengedar narkoba yang diatur didalan UU no 35 tahun 2009.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Batubara, Risva Fauzi. "KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA." LAW REFORM 10, no. 1 (October 1, 2014): 74. http://dx.doi.org/10.14710/lr.v10i1.12458.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan formulasipidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini, dankebijakan formulasi pidananya di masa yang akan datang. Metode penelitian yangdigunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder berupaperangkat peraturan perundang-undangan, serta ditunjang dengan data primerberupa penelitian di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakanformulasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat inisudah diatur dalam dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 joPasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, namun sampai saat inimasih sangat sulit untuk diterapkan karena masih terdapat banyak kelemahan.Kebijakan formulasi di masa mendatang haruslah mencantumkan kualitas dankuantitas yang dikorupsi sebagai indikator dalam menjatuhkan pidana mati,termasuk memperjelas masalah posisi/eksistensi pidana mati dalam sistem hukumpidana yang berlaku, syarat-syarat penjatuhan pidana mati bagi koruptor, danjenis-jenis alternatif pidana mati atau bentuk-bentuk peringanan pidana mati.Kata kunci: Kebijakan Formulasi, Pidana Mati, Tindak Pidana Korupsi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Pratama, Widhy Andrian. "Penegakan Hukuman Mati terhadap Pembunuhan Berencana." SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (October 8, 2019): 29–41. http://dx.doi.org/10.37276/sjh.v1i1.34.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penegakan hukuman mati terhadap pembunuhan berencana dan mengkaji faktor-faktor penghambat dari penegakan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan berencana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif/doktrinal (normative legal research) yaitu tipe penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa penegakan hukuman mati haruslah diberlakukan terhadap pembunuhan berencana karena, penerapan hukuman mati tidaklah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang banyak dipersoalkan selama ini, sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat dilaksanakan eksekusi mati tersebut antara lain: dari aspek yuridisnya, Kebijakan Pemerintah, dan Lemahnya koordinasi antara penegak hukum. Adapun saran yang diberikan kepada pembuat undang-undang agar melakukan pembaharuan terhadap KUHP terkhusus lagi mengenai Pasal tentang Pembunuhan Berencana, agar sebaiknya dicantumkan dalam pasal ataupun penjelasan tersebut tentang kualitas dan kuantitas yang didasarkan pada alternatif hukuman yang diberikan. Selanjutnya merekomendasikan mengenai batasan dan waktu dalam hal pengajuan remisi dan grasi terhadap hak terpidana mati yang melakukan kejahatan pembunuhan berencana karena hal tersebut dapat menjadi celah bagi para terpidana.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Takaliuang, Morris Phillips. "Hukuman Mati Di Indonesia Menurut Perspektif Alkitab dan Implikasi Bagi Penegak Hukum Kristen." Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 4, no. 2 (July 31, 2020): 208. http://dx.doi.org/10.46445/ejti.v4i2.180.

Full text
Abstract:
Provisions and implementation of the death penalty, is a serious and very severe law for perpetrators who are considered to have committed serious and serious violations before the law. The Indonesian state still holds and carries out such a death sentence, as regulated in the Criminal Code. There are three stages in the Bible regarding the provisions and execution of the death penalty: (1) The death penalty applies to people who sin directly to God, such as worshiping idols, turning to the spirits of the dead, chanting the name of God carelessly and not keeping the Sabbath day holy, (2 ) The death penalty applies to people who commit sins against others such as killing and all the acts of adultery, and (3) The provisions and execution of the death penalty are null and void for anyone who is in faith and obedience to Christ. The task as a Christian and church law enforcer is to bring sinners to believe and be in fellowship with Christ. For "criminals" who deserve to be sentenced to death, according to the Criminal Code, it is recommended that they be sentenced to life in retribution for violations. In this way, "criminals" are given the opportunity to be rehabilitated and reconstructed by Christ and His church, through Faith in Christ and His atonement work. So the point is that, the provisions and implementation of the death penalty must be canceled and replaced with life sentences. In such a sentence, "prisoners" only need to trust and obey Christ for the rest of their lives. This is called the Law of God's Grace. Ketentuan dan pelaksanaan hukuman mati, merupakan hukum yang serius dan sangat berat bagi para pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran serius dan berat di mata hukum. Negara Indonesia masih memegang dan melaksanakan hukuman mati seperti itu, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam Alkitab terdapat tiga tahapan tentang ketentuan dan pelaksanaan hukuman mati: (1) Hukuman mati diberlakukan kepada orang yang berdosa langsung kepada Allah, seperti menyembah berhala, berpaling kepada arwah orang mati, menyebut nama Tuhan dengan sembarangan dan tidak menguduskan hari sabat, (2) Hukuman mati diberlakukan bagi orang yang melakukan dosa terhadap sesama seperti membunuh dan semua perbuatan zinah, dan (3) Ketentuan dan pelaksanaan hukuman mati batal dan tidak berlaku lagi bagi siapapun yang berada di dalam iman dan ketaatan kepada Kristus. Tugas sebagai penegak hukum Kristen dan gereja adalah membawa orang-orang berdosa supaya percaya dan berada di dalam persekutuan dengan Kristus. Bagi “para penjahat” yang patut dihukum mati, sesuai dengan KUHP, disarankan supaya dihukum seumur hidup saja sebagai retribusi atas pelanggaran yang dilakukan. Dengan cara demikian, “para pelaku kriminal” diberi kesempatan untuk direhabilitasi dan direkonstruksi oleh Kristus dan gereja-Nya, melalui Iman kepada Kristus dan karya pendamaian-Nya. Jadi intinya adalah bahwa, ketentuan dan pelaksanaan hukuman mati harus batal dan diganti dengan hukuman seumur hidup. Dalam status hukuman seperti itu, “para narapidana” hanya perlu percaya dan taat kepada Kristus selama sisa hidup yang masih ada. Inilah namanya Hukum Kasih Karunia Allah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Lommel�, Didier, and Baptiste M�l�s. "Forme et mati�re informatiques." Cahiers philosophiques N�149, no. 2 (2017): 61. http://dx.doi.org/10.3917/caph1.149.0061.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Saar, Evar. "Mati Hint ja lõunaeesti lumm." Keel ja Kirjandus 55, no. 10 (October 2012): 768–72. http://dx.doi.org/10.54013/kk659a4.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Handayani, Pujiastuti. "TINJAUAN PSIKOLOGIS TERHADAP HUKUMAN MATI." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 2 (October 8, 2014): 195–206. http://dx.doi.org/10.24246/jrh.2014.v8.i2.p195-206.

Full text
Abstract:
Abstrak Tindak pidana mutilasi merupakan kejahatan terhadap tubuh dalam bentuk pemotongan bagian-bagian tubuh tertentu dari korban. Persoalan terkait tindak pidana mutilasi yaitu penerapan sanksi pidana terhadap pelaku berupa hukuman mati. Tulisan ini akan menguraikan penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana mutilasi yang ditinjau dari perspektif psikologis, hak asasi manusia, maupun agama.Abstract The criminal act of mutilation is a crime against the body in the form of cutting certain body parts of the victim. One of the issues related to mutilation as a crime is the application of death penalty to the perpetrators. This paper describes the application of the death penalty for the perpetrator of the crime of mutilation from a psychological, human rights, and religious perspectives.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Pasaribu, Endang. "Hukuman Mati, Alkitab dan HAM." JURNAL KADESI 3, no. 2 (July 31, 2021): 1–27. http://dx.doi.org/10.54765/ejurnalkadesi.v3i2.1.

Full text
Abstract:
This study aims to reveal,produce data and facts whether the death penalty is something that is in line with human rights and the Bible as a Christian foundation. The benefits of this research theoretically provide an understanding to the wider community about the death penalty and human rights, increase and equip society to have This research uses descriptive qualitative methods, this method is used for social and humanities research and can also be used in theological studies. The results of this study indicate that the death penalty in Indonesia is a standard and legal matters in the Criminal Code, even though human rights are not in line and in agreement with its implementation, the death penalty will still be implemented if the Criminal Code does not undergo a revision in the chapter that contains the death penalty. The implementation of this research is to teach every person or Christian to be the authority to accept and be responsible for receiving the death penalty, because it is impossible for the death penalty to be given to a person who has not committed a crime.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Wekker, Gloria. "Mati-ism and Black Lesbianism." Journal of Lesbian Studies 1, no. 1 (December 15, 1996): 11–24. http://dx.doi.org/10.1300/j155v01n01_03.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Mentansan, George, Phil Ardhana, I. Nyoman Suarka, and I. Nyoman Dhana. "Membangkitkan Tradisi yang Telah Mati." Igya ser hanjop: Jurnal Pembangunan Berkelanjutan 1, no. 1 (December 10, 2019): 19–24. http://dx.doi.org/10.47039/ish.1.2019.19-24.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Wekker, Gloria. "Mati-ism and Black Lesbianism:." Journal of Homosexuality 24, no. 3-4 (April 21, 1993): 145–58. http://dx.doi.org/10.1300/j082v24n03_11.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Singgih, Emanuel Gerrit, and Nindyo Sasongko. "Mati dan Bangkit Bersama Kristus." Indonesian Journal of Theology 5, no. 2 (April 18, 2019): 178–93. http://dx.doi.org/10.46567/ijt.v5i2.25.

Full text
Abstract:
What is “spirituality”? The term finds wide usage in the literature today, yet its meaning remains nebulous. One crucial problem lies in how precepts and propositions are maintained as truth, oftentimes becoming obstacles for the flourishing of authentic spirituality. In our reading of Colossians 2:16–3:4, we see the challenges Colossian Christians faced as stemming not from what has been termed the “Colossian heresy,” but rather from what we are calling the “Colossian orthodoxy.” Those who were enthusiastically eager in spiritual matters built stumbling blocks for the spiritual growth of others. In contrast, the epistolary author underscores for the Colossian church just how important is their union with Christ, which must be manifest in their everyday lives. We contend that authentic spirituality relies upon the love of God for the people of God, not on religious precepts.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Nawawie, A. Hasyim. "Eksistensi Hukuman Mati di Indonesia." Jurnal Pemikiran Keislaman 28, no. 1 (December 21, 2017): 177–205. http://dx.doi.org/10.33367/tribakti.v28i1.475.

Full text
Abstract:
This study aims the death penalty in Indonesia. We know where the death penalty is contrary or not in terms of the constitution and Islamic law, then we can conclude that if the legal implementation of the death penalty in Indonesia continue to be done or should be abolished. Based on research and the analysis conducted, conclude that Indonesia According to the Indonesian Constitution that the death penalty in Indonesia is constitutional. Constitutional Court Decision No. 2-3 / PUU-V / 2007 states that the imposition of the death penalty was constitutional. Any law governing capital punishment is not contrary to the Constitution of the State of Indonesia. However the legislation in Indonesia death penalty is still recognized in some legislation. There are three groups of rules, namely: Criminal Dead in the Criminal Code, Criminal die outside the Criminal Code, Criminal die in the Draft Bill. According to Islamic law that the death penalty could be applied to some criminal act or jinazah, either hudud qishahs, diyat or ta'zir among others to: Apostate, Rebel, Zina, Qadzaf (Allegations Zina), Steal (Corruption), Rob (Corruption), Murder.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Zakiyah, Ulfah, and Muhammad Ghifari. "EKSEKUSI MATI DALAM PERSPEKTIF HADIS." AL ISNAD: Journal of Indonesian Hadith Studies 3, no. 2 (December 28, 2022): 135–47. http://dx.doi.org/10.51875/alisnad.v3i2.132.

Full text
Abstract:
Dalam memahami teks hadis, diperlukan kehati-hatian serta ketelitian, seringkali dalam meneliti hadis kita dihadapakan pada sebuah pilihan, apakah teks hadis yang diteliti harus dipahami secara tekstual atau kontekstul. Salah satu hadis yang menarik dikaji secara mendalam adalah hadis tentang dibolehkannya melakukan pembunuhan terhadap tiga golongan, yaitu pelaku zina, pelaku pembunuhan dan orang yang berpindah agama (murtad). Dalam berbagai literatur fikih klasik tiga golongan tersebut boleh dibunuh secara legal. Tapi seiring dengan berjalannya waktu pemahaman hadis tentang bolehnya membunuh dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini, sehingga pemahaman hadis tersebut harus ditinjau ulang dengan melakukan pemahaman hadis dengan pendekatan kontekstul. Problemnya adalah bagaimana memahami hadis tersebut dengan pemahaman yang tepat secara kontekstual. Dalam hal ini, penulis akan fokus membedah pemahaman hadis tersebut dengan pendekatan kontekstul. Pendekatan ini sangat penting sebab apabila hadis ini dimaknai secara tekstual, maka orang Islam dilegalkan untuk membunuh orang lain. Jika hal itu dibiarkan tanpa adanya tindakan, maka akan banyak terjadi pembunuhan serta konflik yang akan ditimbulkan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography