To see the other types of publications on this topic, follow the link: Kulturell pluralism.

Journal articles on the topic 'Kulturell pluralism'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Kulturell pluralism.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Dahl, Henrik. "Danmarks Radio - mellem enhedskultur og pluralisme." MedieKultur: Journal of media and communication research 7, no. 15 (August 28, 1991): 21. http://dx.doi.org/10.7146/mediekultur.v7i15.877.

Full text
Abstract:
Radioen er ikke, hvad den har været. Engang var Stadsradiofonien et lands- dækkende monopol med en næsten ophøjet kulturel og politisk status. I dag er Danmarks Radio blot ét blandt mange medietilbud, der konsumeres mens vi foretager os alt muligt andet; står op, kører bil, spiser og går i seng. Til gengæld har vi flere radioapparater pr. indbygger og bruger mere tid på radiolytning end nogensinde før. Mange af radioens fortalere har i dag svært ved at vænne sig til dens æn- drede status og længes måske ubevidst tilbage til dengang, radioen slet og ret konstituerede en landsdækkende kultur og den politiske dagsorden. Henrik Dahl analyserer her vores brug af radioen og hovedtrækkene i vores programmønster fra 20´erne og til idag. Han viser herved dels skiftet i ra- dioens kulturelle funktion og dels de ændrede programmæssige og orga- nisatoriske udfordringer, som denne nye og mere pluralistiske funktion stiller til Danmarks Radio. Hvordan kan organisationen på en gang fast- holde sin genkendelighed, dvs. en kanalidentitet i henholdsvis P1,2 og 3, bevare flertallet af lytterne og politikernes velvilje, og samtidig opret- holde en kulturel profil som public service-institution? - i en tid præget af lokalradioernes og andre mediers kommercielt betingede konkurrence om lytterne.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Nugroho, Muhammad Aji. "Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural; Sebuah Upaya Membangun Pemahaman Keberagamaan Inklusif pada Umat Muslim." MUDARRISA: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 8, no. 1 (September 10, 2016): 31–60. http://dx.doi.org/10.18326/mdr.v8i1.31-60.

Full text
Abstract:
Masyarakat majemuk bagian dari sunnatullah, yang memberikan sumbangan besar bagi munculnya ketegangan, konflik dan krisis sosial, sehingga tuntutan reformasi sistem pendidikan Islam yang terkesan sebagai alat indoktrinasi yang anti realitas multikultural perlu dilakukan agar mampu menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan mampu beradaptasi dengan berbagai golongan yang berbeda namun tetap tidak terlepas dari akar budaya, agama, jati dirinya, dalam masyarakat yang plural sebagai insān kamīl (manusia paripurna). Pendidikan Islam berwawasan multikultural hadir bertujuan untuk: 1) menghapus prasangka “prejudice”, dan sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis; 2) membangun pemahaman keberagaman siswa yang inklusif sehingga mampu mengeliminir jarak sosial antar peserta didik yang berbeda agama guna terciptanya persaudaraan sejati; 3) mengajarkan bagaimana cara hidup ditengah pluralisme bangsanya; 4) memberikan perlindungan dari diskriminasi; 5) mengakui dan meng-akomodasi kebebasan individu kelompok minoritas, seperti berbicara, berkelompok, menjalankan agama dan sebagainya yang berakar dari nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan demokrasi, sehingga hak-hak kultural minoritas dapat terakomodasi dengan baik, yang berarti bahwa setiap peserta didik mempunyai hak untuk masuk dalam budaya tertentu, ikut dibentuk dan membentuk budaya itu. Plural society is a part of sunnatullah, which contributed greatly to the emergence of tension, conflict and social crisis, so that the demands for reform Islamic education system that impressed as a indoctrination of anti realities of multicultural needs to be done on creating a social order that is peaceful, harmonious, uphold humanity, and able to adapt to different groups but still cannot be separated from the roots of culture, religion, identity, in pluralistic society as insān kamīl. Islamic Education aims to present a multicultural conception: 1) remove the prejudice, and to train and build the character of students to be able to be democratic, humanist and pluralist; 2) build understanding of the diversity of students' inclusive to eliminate the social distance between learners of different religions to create true brotherhood; 3 ) teaches how to live amid pluralism nation; 4) providing protection from discrimination; 5) recognizes accommodation individual freedom of minority groups, such as talking, group, practice religion and so on are rooted in the values of freedom, equality and democracy, so cultural rights of minorities can be accommodated properly, which means that every student has the right to enter into a particular culture, are formed and participate in shaping the culture.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Anweiler, Oskar. "Regionalismus und kultureller Pluralismus im Bildungswesen." Bildung und Erziehung 39, no. 1 (March 1986): 1–4. http://dx.doi.org/10.7788/bue.1986.39.1.1.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

AFIF, MOHAMAD. "MENGGUGAT PLURALISME BARAT, MENGGAGAS PLURALISME SYARI'AT." ALQALAM 24, no. 1 (April 30, 2007): 87. http://dx.doi.org/10.32678/alqalam.v24i1.1657.

Full text
Abstract:
Salah satu faktor utama penyebab munculnya gagasan pluralisme adalah pesatnya perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi, yang membawa implikasi kepada fakta bahwa tidak ada satu tempatpun di dunia ini yang terisolasi dan terasing. Dunia berubah menjadi perkampungan global ''global village" dengan beragam etnis, kultur dan keyakinan, dimana sebuah komunitas harus berhadapan dengan tradisi asing: tradisi yang diacuhkan dan dibencinya. Hal ini menimbulkan ketidakpastian teologis, psikologis, sosial dan kultural keyakinan dan tradisi yang dianggap asli, unggul dan unik, berhadapan dengan keyakinan dan tradisi lain yang juga dianggap asli, unggul dan unik.Dampaknya bisa dilihat dalam perubahan sikap dan pandangan pemeluk agama terhadap agama lain. Terjadi perubahan sudut pandang yang semula ekslusif dan intoleran menjadi lebih inklusif dan toleran, dan karenanya menerima realitas pluralistik sebagai sebuah kenyataan. Dengan kata lain, globalisasi telah membuat pluralisme sebagai salah satu bentuk pandangan yang diterima oleh para pemeluk agama-agama.Gaung wacana pluralisme semakin menguat dan respon terhadapnya beragam. Pendukung dan penentangnya terkadang memiliki pandangan yang ekstrim, sehingga menjurus pada sikap yang kontraproduktif. Pendukung pluralisme terjebak pada penerimaan total pluralisme tanpa sikap kritis dengan keyakinan bahwa pluralisme tanpa kekurangan. Sebaliknya, penentangnya acuh dengan keyakinan pluralisme tidak mengandung nilai positif. Dua bentuk sikap yang dalam kerangka ilmiah dan akademis tidak patut dan pantas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Garrido, Jose Luis Garcia. "Regionalismus und kultureller Pluralismus im spanischen Bildungssystem." Bildung und Erziehung 39, no. 1 (March 1986): 49–62. http://dx.doi.org/10.7788/bue.1986.39.1.49.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Stephan, Werner. "Regionalismus und kultureller Pluralismus im kanadischen Bildungswesen." Bildung und Erziehung 39, no. 1 (March 1986): 5–16. http://dx.doi.org/10.7788/bue.1986.39.1.5.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Musolff, Hans-Ulrich. "Kultureller Pluralismus als Chance der politischen Bildung." Bildung und Erziehung 53, no. 2 (June 2000): 223–38. http://dx.doi.org/10.7788/bue.2000.53.2.223.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Pawito, Pawito, and Drajat Tri Kartono. "Konstruksi Identitas Kultural Masyarakat Pluralis dalam Terpaan Globalisasi." MIMBAR, Jurnal Sosial dan Pembangunan 29, no. 1 (June 20, 2013): 111. http://dx.doi.org/10.29313/mimbar.v29i1.376.

Full text
Abstract:
This article aims to consider the construction of cultural identity through communication process within globalization era. The article based on qualitative research to look at communicatioan procces in which the cultural identity construction is taken place. The recent research focus on cultural identity of community living along the sea area, named Kaliwungu sub district, Kendal, Central of Java. This research conclude that cultural identity constructed by people of Kaliwunggu is influenced by global mass media. Televisioan as main media has good and bad impact toward people of Kaliwungu. Nevertheless, their tradition, local people forum and central mosque has been achore in which local value and tradition is maintained.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Dahari, Dahari. "Pendidikan Multi Kultural Dalam Al-Qur’an." Asy-Syukriyyah 19, no. 2 (October 2, 2018): 91–120. http://dx.doi.org/10.36769/asy.v19i2.37.

Full text
Abstract:
Multicultural education emerged as part of the response to the phenomenon of ethnic, social, and cultural conflicts that often emerged in the middle of multicultural faced communities. Multiculturalism is an understanding of the acceptance of pluralism in society so as to avoid horizontal conflict in society. The concept of multicultural education emphasizes the cultivation of a respectful, sincere and tolerant way of life towards the diversity of cultures that live in the midst of a pluralistic society. The goal of multicultural education is to be able to produce generations of people beside being knowledgeable and skilled can also live together in society as khoiru ummah (the best society).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Hanik, Umi. "PLURALISME AGAMA DAN KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA." Jurnal Pemikiran Keislaman 26, no. 2 (May 28, 2016): 431–43. http://dx.doi.org/10.33367/tribakti.v26i2.225.

Full text
Abstract:
Artikel ini membahas tentang konsep pluralisme agama dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat beragama yang rukun. Sebagaimana karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat majemuk (plural society), yang jika tidak ada sistem masyarakat yang mengikat satu sama lain akan menjadi sumber konfil, baik vertical maupun horizontal.Perlu ditegaskan bahwa pluralisme yang dimaksud disini harus diartikan dan difahami dalam kerangka Pluralisme menurut ukuran ke Indonesiaan, bukan menurut ukuran dan dalam konteks masyarakat kolonial. Sebagaimana dikatakan Nasikun, bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat Plural yang berbeda.Pluralisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut secara positif telah mampu memperkaya khasanah kultural bangsa Indonesia yang menjadi kebanggaan nasional dalam kerangka “Nasionalisme Bangsa” Namun disilain , Pluralisme sebagaimana sering diungkapkan oleh para ahli menjadi potensi sosial yang meredam berbagai sumber konflik. Karena adanya potensi sosial ke arah disintegrasi, sangatlah wajar apabila pluralisme menjadi persoalan pelik dalam integrasi nasional di Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Kanning, Uwe Peter, Lutz von Rosenstiel, Heinz Schuler, Franz Petermann, Friedemann Nerdinger, Bernad Batinic, Lutz Hornke, et al. "Angewandte Psychologie im Spannungsfeld zwischen Grundlagenforschung und Praxis - Plädoyer für mehr Pluralismus." Psychologische Rundschau 58, no. 4 (October 2007): 238–48. http://dx.doi.org/10.1026/0033-3042.58.4.238.

Full text
Abstract:
Zusammenfassung. Betrachten wir die geschichtliche Entwicklung der Psychologie seit Wilhelm Wundt, so stellen wir fest, dass sich unsere Wissenschaft zunehmend ausdifferenziert. Waren es in den Anfängen vor allem allgemeinpsychologische Forschungsfragen, so sind seither neben weiteren Grundlagenwissenschaften große Anwendungsfächer entstanden, die nicht zuletzt dafür verantwortlich sind, dass die Psychologie beständig an Einfluss in der Gesellschaft gewonnen hat. Bei aller Unterschiedlichkeit der zahlreichen Disziplinen lassen sich innerhalb der Psychologie vereinfachend dargestellt zwei Kulturen beschreiben. Eine Mehrheitskultur, die durch die Grundlagenwissenschaften geprägt wird und eine Minderheitskultur der Anwendungsfächer. In der Arbeit werden zunächst die Gemeinsamkeiten und Unterschiede dieser beiden Kulturen herausgearbeitet. Dabei tritt ein Problem zu Tage: Die Wert- und Bewertungsmaßstäbe der Grundlangenforschung passen nur eingeschränkt zu den genuinen Aufgaben und Leistungen der Anwendungswissenschaften. Dennoch werden diese Maßstäbe zumeist auf alle Disziplinen der Psychologie angewandt. Gefordert wird daher ein adäquater Pluralismus in Forschung, Lehre und Evaluation akademischer Leistungen, der jeder der beiden Kulturen Rechnung trägt. Dieser Pluralismus kommt nicht nur der Angewandten Psychologie zugute sondern stärkt unser Fach insgesamt in seiner gesellschaftlichen Bedeutung.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Wibowo, Eko Kurniawan. "Relevansi Pendekatan Kultural Linguistik Dengan Pluralitas Agama di Indonesia." Mitra Sriwijaya: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 (August 17, 2021): 73–85. http://dx.doi.org/10.46974/ms.v2i1.3.

Full text
Abstract:
Abstract: Indonesia is a plural state. Not only ethnicity, race and group, but also plural in religion where religious plurality is also a separate problem. The problem of religious plurality raises many problems that cause friction in life together. The linguistic cultural approach offered by George A. Lindbeck provides an alternative for relations for believers of diverse religion. Lindbeck's offer consistently provides space for the identity of the believer's faith without having to equate with the faith of other religions. Likewise, consistently provide space for appreciation for other religious faiths. Abstrak: Indonesia merupakan Negara yang sangat plural. Tidak hanya suku, ras dan golongan tetapi plural juga dalam agama dimana pluralitas agama juga menjadi persolan tersendiri. Persoalan pluralitas agama tersebut menimbulkan banyak permasalahan yang menimbulkan gesekan dalam kehidupan bersama. Pendekatan kultural linguistik yang ditawarkan George A Lindbeck memberikan alternatif bagi relasi bagi pemeluk agama yang sangat majemuk tersebut. Tawaran Lindbeck tersebut tetap memberikan ruang bagi identitas iman umat, tanpa harus menyamakan iman pribadi dengan iman liyan. Pun, tetap memberikan ruang apresiasi bagi iman agama yang lain.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Nirwana, Aditya, and Daniel Ginting. "Nilai Kemanusiaan dalam Bingkai Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Komik “Sandhora” (1970) Karya Teguh Santosa." ANDHARUPA: Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia 3, no. 01 (February 28, 2017): 92–114. http://dx.doi.org/10.33633/andharupa.v3i01.1287.

Full text
Abstract:
AbstrakWajah perkomikan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi zaman. Komik “Sandhora” tidak hanya mengungkapkan gejala-gejala seniman penciptanya, namun juga merefleksikan kondisi sosio-kultural pada masa itu dan pemikiran ideologis kebudayaan Nusantara, dan patut diduga memiliki komitmen yang kuat terhadap paradigma estetik humanisme universal. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan makna primer, sekunder dan intrinsik yang membentuk dunia motif artistik, gambar komik, dan nilai simbolik dalam komik “Sandhora” (1970) karya Teguh Santosa. Dengan menggunakan metode sejarah dan pendekatan teori ikonografi dan ikonologi Erwin Panofsky, penelitian ini menemukan bahwa secara faktual komik ini menceritakan tentang kisah cinta antara dua tokoh utama yang penuh dengan konflik, ketegangan, pertarungan antara hidup dan mati, kelicikan, kekesatriaan, dan harapan, yang diekspresikan melalui hubungan antar elemen/unsur komik. Tema yang diangkat dalam Komik “Sandhora” ini adalah kemanusiaan dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme dengan setting Indonesia. Tema komik ini menunjukkan betapa kuatnya komitmen terhadap paradigma estetik Humanisme Universal, yang populer pada paruh kedua 1960-an hingga tahun 1980-an. Komik “Sandhora” karya Teguh Santosa ini merupakan kristalisasi simbol dari pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan/humanisme, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan manusia, serta upaya perjuangan budaya dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan martabat diri bangsa Indonesia di tengah masyarakat global. Kata Kunci: humanisme, komik, multikulturalisme, nilai, pluralism. AbstractComics in Indonesia is heavily influenced by conditions of the era. "Sandhora" not just reveal symptoms of the creator, but also reflecting the socio-cultural conditions in those days and ideological thought of culture, and is suspected to have a strong commitment to the universal humanism, as aesthetic paradigm. This study aims at describing primary, secondary and intrinsic values that form artistic, pictorial, and symbolic values of “Sandhora” comic (1970) by Teguh Santosa. Using historical and iconography approaches, this study found this comic is depicting a love story of two main characters whose life is full with conflicts, tenses, struggles between life and death, craftiness,chivalry, and expectations expressed through the relationships between comic elements. The comic proposes the theme of humanity within the spirit of pluralism and multiculturalism. This themse shows author’s strong commitment to the aesthetic paradigm of Universal Humanism which used to popular in the second half of the 1960s to the 1980s. This comic also symbolizes the defense of human values/humanism, freedom of expression, and equality of human beings, as well as the efforts of cultural struggle in order to maintain and develop the dignity of the Indonesian nation in the global community. Keywords: humanism,comic, multi-culturalism, values, pluralism.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Apandie, Chris, and Endang Danial Ar. "Huma Betang: Identitas Moral Kultural Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah." Journal of Moral and Civic Education 3, no. 2 (November 27, 2019): 76–91. http://dx.doi.org/10.24036/8851412322019185.

Full text
Abstract:
Dewasa ini benda cagar budaya seolah tidak lagi memiliki daya tarik filosofis dan tidak terpelihara, padahal benda cagar alam mengandung pemaknaan yang lebih dari sekedar fisik, bahkan merupakan identitas moral kultural. Eksplorasi nilai filosofis pada huma betang dapat menjadi langkah revitalisasi kebudayaan guna memperkuat identitas moral kultural warga negara Indonesia. Huma Betang dikenal secara luas dengan istilah “rumah besar”. Rumah ini ditinggali orang Dayak sejak jaman dulu dengan beragam agama dan kepercayaan di dalamnya, namun penghuninya tetap hidup berdampingan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Lokasi penelitian adalah di Betang Toyoi Tumbang Malahoi Kecamatan Rungan Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah. Bagi masyarakat Suku Dayak huma betang tidak hanya sekedar tempat tinggal, tapi merupakan jantung dari struktur kehidupan orang Dayak. Identitas kultural yang terefleksi yaitu huma bentang: 1) sebagai refleksi kehidupan masyarakat yang toleran; 2) sebagai asal mula tumbuhnya rasa persatuan dan kebersamaan antar suku Dayak setelah kesepakatan damai Tumbang Anoi; 3) sebagai replika sistem komunal yang dianut masyarakat Suku Dayak; 4) mengandung pola kosmologi yang mencerminkan keseimbangan sebuah nilai; 5) sebagai cerminan kehidupan demokratis dan egaliter; 6) melalui pola kehidupan melahirkan konsep kepemimpinan Suku Dayak; 7) merepresentasikan prinsip kolektif; 8) sebagai model ideal sistem masyarakat pluralis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Christensen, Miyase. "Contentious terrain in EU information society policies: Media pluralism and freedom of expression." MedieKultur: Journal of media and communication research 24, no. 45 (December 2, 2008): 13. http://dx.doi.org/10.7146/mediekultur.v24i45.450.

Full text
Abstract:
In an EU context, the benefits attributed to new communication technologies are many: the creation of employment and economic growth; the enrichment of cultural/political dialogue and civic engagement; and, the permeation of a sense of European identity across the region. However, in the face of an increased emphasis on economic competitiveness both globally and at the EU policy level, there exists an unmistakable convergent approach to audiovisual/communications, cultural and competition policies. Parallel to this is an upsurge of concern—voiced by, for example, the European Parliament—over media pluralism and freedom of expression. Although the virtues of safeguarding “media pluralism” and “freedom of speech” in a healthy democracy are axiomatic, in the face of current dynamics, their meaning is widely contested. The purpose of this article is to offer an analysis of recent EU Information Society (IS) policies in relation to media pluralism and freedom of speech. Mediepluralisme og ytringsfrihed: Et omstridt felt inden for EU-informationssamfundspolitikker I en EU-kontekst er der mange fordele, som tilskrives nye kommunikationsteknologier: Skabelsen af beskæftigelse og økonomisk vækst; berigelsen af kulturel/politisk dialog og borgerengagement; og udbredelsen af en fornemmelse af europæisk identitet på tværs af regionerne. Men i lyset af en øget vægtning af økonomisk konkurrence, såvel globalt som i relation til EU's politikker, eksisterer der en umiskendelig sammensat tilgang til politikker for audiovisuel kommunikation, kultur og konkurrence. Parallelt med dette findes en pludselig stigning i interessen omkring mediepluralisme og ytringsfrihed. Skønt værdien af at beskytte ”mediepluralisme” og ”ytringsfrihed” i lyset af aktuelle dynamikker er aksiomatisk i et sundt demokrati, udfordres betydningen af dette i udstrakt grad. Formålet med denne artikel er at give en analyse af nyere EU-informationssamfundspolitikker (IS policies) i relation til mediepluralisme og ytringsfrihed.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Husein, Amrullah. "DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH TERHADAP KAUM AWAM." Ath Thariq Jurnal Dakwah dan Komunikasi 1, no. 1 (September 2, 2017): 91. http://dx.doi.org/10.32332/ath_thariq.v1i1.831.

Full text
Abstract:
Muhammadiyah as an Islamic movement based on the Qur'an and Sunnah with tajdid movement inherent in him always carrying the mission of amar ma'ruf nahi mungkar in all areas of life. In order to make Islam a rahmatan li al-'alamin then Muhammadiyah adopt various approaches and strategy of da'wah, among others through Cultural Da'wah. Cultural da'wah as an approach and strategy of da'wah in the context of actualization of Islamic teachings in the midst of the dynamics of culture and social change in a society run gradually in accordance with the conditions of local communities. The focus of cultural da'wah lies in awareness of faith so that people are willing to accept and fulfill all Islamic teachings covering aqidah, worship, morality, and muamalah by considering the stages of social change based on social, economic, cultural, and political plurality of a society so that finally the ideal stage Islamic society can be achieved as the main mission of the Islamic message. Muhammadiyah's concept of cultural propagation essentially relies on two aspects, aspects of dynamism and purification. First, the dynamics appreciate the potential and the tendency of human beings as cultural beings, to make efforts so that culture can bring to the progress and enlightenment of human life. Secondly, purification tries to avoid the preservation of culture that is evident in terms of Islamic teachings are shirk, superstition, bid'ah and khurafat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Thiemann, Ronald F. "Public Theology: The Moral Dimension of Religion in a Pluralistic Society." Zeitschrift für Evangelische Ethik 42, no. 1 (February 1, 1998): 176–90. http://dx.doi.org/10.14315/zee-1998-0127.

Full text
Abstract:
AbstractDer Autor behandelt die Frage, welche öffentliche Rolle Religion und Theologie unter den kulturellen Bedingungen des Pluralismus spielen können. Zwar muß eine demokratische Gesellschaft, die eine Pluralität von religiösen Bekenntnissen zulassen will, zwischen Politik und Religion eine Trennlinie ziehen. Nach der Überzeugung des Autors kommen aber die Demokratie und ihre öffentlichen Arenen nicht ohne ethische Bindungen aus, auch und gerade solche, die aus religiösen Wertüberzeugungen gespeist werden. Der Autor stellt sein in den USA lebhaft diskutiertes Konzept einer »Öffentlichen Theologie« vor.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Syamsuddin, Muh. "GERAKAN MUHAMMADIYAH DALAM MEMBUMIKAN WACANA MULTIKULTURALISME: SEBUAH LANDASAN NORMATIF-INSTITUSIONAL." Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran dan Dakwah Pembangunan 1, no. 2 (January 18, 2018): 361. http://dx.doi.org/10.14421/jpm.2017.012-08.

Full text
Abstract:
This paper examines the debate and internal dynamics of the Muhammadiyah’s da’wa movement in Kotagede on easing the multiculturalism context. With the debate, how did the Muhammadiyah of Kotagede understand the phenomenon of multiculturalism as the real life ultimate? So, how is the involvement of Muhammadiyah member institutionally in its role in addressing multiculturalism? Furthermore, what methods and strategies are applied in easing the discourse of multiculturalism? Departing from Nakamura’s early work, which examines the reformist-modernist movement in anthropological perspective, this article is also based on a phenomenological-naturalistic qualitative approach that reveals the truth of the facts in the field until it is interpreted to be a novelty of meaning. It’s expected can contribute positively to the development of multiculturalism in the framework of pluralism (diversity) and Pancasila to meet a harmonious nation life. Thus, the facts in the field found that the debate of Muhammadiyah member questioning the discourse of multiculturalism was preceded by the congress Bali in 2002s when the advisory of council (Dewan Tanwir) decided the meaning of amar ma’ruf nahi munkar (calling for good, preventing evil) was not only interpreted as textuality, but how the progressive movement that carried the issue of ‘cultural da’wa’ (dakwah kultural) was implemented well. Based on the result of a decision, Muhammadiyah’s own member internally can be mapped into three groups, namely puritan, moderate, and reformist. Although the ‘cultural da’wa’ is much opposed by the Puritans, in fact is just few agree with the group. The echoes of moderate and reformist groups are larger, the whole multicultural movement can be implemented well to the grassroots.[Tulisan ini mengkaji tentang perdebatan dan dinamika internal gerakan dakwah Muhammadiya di Kotagede dalam membumikan konteks multikulturalisme. Dengan adanya perdebatan tersebut, bagaimana warga Muhammadiyah Kotagede memahami fenomena multikulturalisme sebagai realitas kehidupan hakiki? Lantas, bagaimana keterlibatan warga Muhammadiyah tersebut secara institusional dalam peranannya menyikapi multikulturalisme? Selanjutnya, metode dan strategi apa yang diterapkan dalam membumikan wacana multikulturalisme? Berangkat dari tesis awal Nakamura, yang mengkaji gerakan reformis-modernis dalam perspektif antropolog, artikel ini juga dilandasi dengan pendekatan kualitatif fenomenologis-naturalistis yang mengungkap kebenaran fakta di lapangan hingga diinterpretasikan menjadi sebuah kebaruan makna. Di mana harapannya dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan multikulturalisme dalam bingkai pluralisme (diversity) dan pancasila guna menyongsong kehidupan berbangsa yang harmonis. Dengan begitu, fakta di lapangan ditemukan bahwa perdebatan warga Muhammadiyah menyoal wacana multikulturalisme diawali hasil muktamar Denpasar Bali tahun 2002 ketika dewan tanwir memutuskan makna amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dimaknai sebatas tekstualitas, tapi bagaimana gerakan berkemajuan yang mengusung isu ‘dakwah kultural’ diimplementasikan dengan baik. Dalam perjalanannya, hasil keputusan tersebut warga Muhammadiyah sendiri secara internal dapat dipetakan menjadi tiga kelompok, yakni puritan, moderat, dan reformis. Walaupun ‘dakwah kultural’ banyak ditentang oleh kelompok puritan, faktanya sedikit yang sepakat dengan kelompok tersebut. Gaung kelompok moderat dan reformis lebih besar, secara utuh gerakan multikulturalisme dapat diimplementasikan dengan baik hingga ke akar rumput (grassroots).]
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Junaidi, Mahbub. "Pendidikan Multikultular Dan Pendidikan Inklusi Gender." Jurnal Pendidikan Islam 7, no. 02 (November 26, 2017): 130–45. http://dx.doi.org/10.38073/jpi.v7i02.48.

Full text
Abstract:
Multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Istilah “Pendidikan Multikultural” suatu usaha sistematik dan berjenjang, memasukkan isu-isu seperti gender, hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultur, serta bentuk-bentuk lain dari keragaman. Pada akhir nya pendidikan multi kultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (Teaching Diversity). Pendidikan multi kultural menghendaki rasionalisasi etnis, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif: yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, dan saling menghargai semua orang. Dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi Gender. Gender adalah sifat behavioral, kultural, dan psikologis yang biasanya dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu. Pendidikan inklusi ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berkelainan. Pendidikan inklusi tidak hanya membicarakan anak berkelainan, tetapi membicarakan semua siswa yang belajar di mana mereka masing-masing mempunyai kebutuhan belejar yang berbeda-beda. dalam pendidikan inklusi gender, perempuan dan laki-laki sama dalam mendapatkan hak pendidikan dan tidak bisa dibeda-dedakan.Pendidikan inklusi gender dalam Islam tidak dibeda-bedakan dengan alasan apapun, selama perempuan tidak keluar dari kodratnya. Dengan demikian, Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Inklusi Gender mempunyai korelasi tujuan, menjunjung tinggi exsistensi dan urgrensi pendidikan tidak membeda-bedakat kodrat, kelamin, sifat, bentuk etnis, budaya dan tanpa ada yang menafikan karena itu natural (Sunatullah).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Junaidi, Mahbub. "Pendidikan Multikultular Dan Pendidikan Inklusi Gender." Jurnal Pendidikan Islam 7, no. 2 (November 26, 2017): 130–45. http://dx.doi.org/10.38073/jpi.v7i2.48.

Full text
Abstract:
Multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Istilah “Pendidikan Multikultural” suatu usaha sistematik dan berjenjang, memasukkan isu-isu seperti gender, hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultur, serta bentuk-bentuk lain dari keragaman. Pada akhir nya pendidikan multi kultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (Teaching Diversity). Pendidikan multi kultural menghendaki rasionalisasi etnis, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif: yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, dan saling menghargai semua orang. Dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi Gender. Gender adalah sifat behavioral, kultural, dan psikologis yang biasanya dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu. Pendidikan inklusi ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berkelainan. Pendidikan inklusi tidak hanya membicarakan anak berkelainan, tetapi membicarakan semua siswa yang belajar di mana mereka masing-masing mempunyai kebutuhan belejar yang berbeda-beda. dalam pendidikan inklusi gender, perempuan dan laki-laki sama dalam mendapatkan hak pendidikan dan tidak bisa dibeda-dedakan.Pendidikan inklusi gender dalam Islam tidak dibeda-bedakan dengan alasan apapun, selama perempuan tidak keluar dari kodratnya. Dengan demikian, Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Inklusi Gender mempunyai korelasi tujuan, menjunjung tinggi exsistensi dan urgrensi pendidikan tidak membeda-bedakat kodrat, kelamin, sifat, bentuk etnis, budaya dan tanpa ada yang menafikan karena itu natural (Sunatullah).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Adiyanta, F. C. Susila. "Pembaruan Hukum Nasional: Pruralisme, Unifikasi Hukum, dan Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah." Administrative Law and Governance Journal 2, no. 1 (June 11, 2019): 93–105. http://dx.doi.org/10.14710/alj.v2i1.93-105.

Full text
Abstract:
Abstract This study aims to identify and reconstruct various issues of national law as the basic framework for national legal reform. The results of the study obtained conclusions: a) the establishment of a modern legal system in Indonesia that is multi-cultural is a challenge for the unification and renewal of national law; b) renewal of national law is a political process whose success depends on the balance of power between the actors involved and the available momentum, so that legal reform requires space and place for the dialectical process involving all components and elements that represent all citizens of a pluralistic society. Recommendations for consideration of renewal of national law are: b) Social, cultural, cultural and Indonesian diversity are the main social capital and capital for national legal reforms that adopt values that become the life and soul views of the nation; b) Establishment of national law must be based on values of diversity and not a form of uniformity based on a political process that considers various aspects of deliberation and consensus for the unity and unity of the Indonesian nation. Keywords: Renewal of National Law, Pluralism, Unification, Government Authority Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan merekonstruksi ulang berbagai permasalahan hukum nasional sebagaimkerangka dasar pembaruan hukum nasional. Hasil kajian diperoleh simpulan: a) pembentukan satu sistem hukum modern di Indonesia yang multi kultural adalah suatu tantangan bagi unifikasi dan pembaruan hukum nasional; b) pembaruan hukum nasional adalah proses politik yang keberhasilannya tergantung pada perimbangan kekuatan antar aktor yang terlibat di dalamnya serta mementum yang tersedia, sehingga pembaruan hukum memerlukan ruang dan tempat bagi proses dialektika yang melibatkan seluruh komponen dan unsur yang merepresentasikan seluruh warga masyarakat yang majemuk. Rekomendasi untuk pertimbangan bagi pembaruan hukum nasional adalah: b) Keberagaman sosial, budaya, adat-istiadat, dan tradisi masyarakat Indonesia merupakan modal sosial dan modal kapital utama untuk reformasi hukum nasional yang mengadopsi nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup dan jiwa bangsa; b) Pembentukan hukum nasional harus dilandasi nilai-nilai keberagaman dan bukan merupakan bentuk penyeragaman berdasarkan proses politik yang mempertimbangkan berbagai aspek musyawarah da mufakat untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kata Kunci:Pembaruan Hukum Nasional, Pluralisme, Unifikasi, Pemerintah
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Rohman, Miftahur, and Mukhibat Mukhibat. "INTERNALISASI NILAI-NILAI SOSIO-KULTURAL BERBASIS ETNO-RELIGI DI MAN YOGYAKARTA III." Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 12, no. 1 (May 29, 2017): 31. http://dx.doi.org/10.21043/edukasia.v12i1.1771.

Full text
Abstract:
INTERNALIZATION OF SOCIO-CULTURAL VALUE BASED ON ETHNO-RELIGIOUS IN MAN YOGYAKARTA III<strong>. </strong><em>The phenomenon of violence in the name of religion, ethnicity, and culture has shown that humans have failed to understand heterogeneity, diversity, and plurality as main characteristics of the Islamic educational institutions, such as Madrasa. For responding that phenomenon, MAN Yogyakarta III (Mayoga) believes that they will create the humanist and inclusive education. This research with phenomenological approach and qualitative descriptive method was focused on best practice done by Mayoga, humanist and inclusive education. The results showed that the values of diversity in Mayoga were internalized in learning activities by integrating the values of religion, culture, and diversity. The integration generates socio-cultural values, such as appreciating ‘mazhab’ differences in religious practices, cultural assimilation and regional languages, tolerance and human rights, and social coherence among the school communities. Thus, the social values that grow in Mayoga can keep the values of social cohesion among people in Madrasa.</em>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Egeler, Matthias. "Ortsnamen als religionswissenschaftliche Quelle." Zeitschrift für Religionswissenschaft 27, no. 1 (April 3, 2019): 146–73. http://dx.doi.org/10.1515/zfr-2018-0012.

Full text
Abstract:
Abstract Ortsnamen können im Kontext gegenwärtiger Debatten, insbesondere zum sog. spatial turn und zur Religionsästhetik, wesentliche Beiträge leisten, sind im religionswissenschaftlichen Fachdiskurs bislang jedoch kaum gewürdigt worden. Der Aufsatz gibt in Form eines Hypothesenkatalogs einen Überblick über zentrale Aspekte des Potentials, das diese Quellengattung hier haben kann: In diachroner Perspektive können Toponyme u. a. als Quellen für historische religiöse Raumordnungen dienen. In synchroner Perspektive spielen sie u. a. als Speicherungsmedium des kulturellen Gedächtnisses eine Rolle bei der Schaffung von Assoziationsräumen und der Vergegenwärtigung und Naturalisierung von religiösen Ordnungen. Sie leisten einen Beitrag zur Schaffung eines Gefühls von Heimat, zu Orientierungsstiftung und zu Kontingenzbewältigung. Zugleich können sie zu Katalysatoren einer Neuerfindung von Traditionen werden, dokumentieren religiöse Pluralismen und stellen Kristallisationspunkte von Konflikten dar.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Kern, Thomas, and Insa Pruisken. "Was ist ein religiöser Markt? Zum Wandel der religiösen Konkurrenz in den USA." Zeitschrift für Soziologie 47, no. 1 (February 23, 2018): 29–45. http://dx.doi.org/10.1515/zfsoz-2018-1002.

Full text
Abstract:
ZusammenfassungDer vorliegende Beitrag befasst sich aus soziologischer Perspektive kritisch mit dem Marktbegriff der Religionsökonomie. Anhand einer historischen Analyse des Protestantismus in den USA werden im Anschluss an Weber vier Formen der religiösen Konfliktbewältigung herausgearbeitet: gewaltsame Konflikte, ungeregelte (gewaltlose) Konkurrenz, geregelte Konkurrenz und Märkte. Letztere beruhen auf einer Kombination von zwei Interaktionsformen: geregelte Konkurrenz und Tausch. Märkte bilden sich nicht „spontan“, wie die Religionsökonomie behauptet, sondern sind das Ergebnis voraussetzungsvoller Institutionalisierungsprozesse. Wie im Verlauf der Studie deutlich wird, hing die Entstehung eines religiösen Marktes innerhalb des US-amerikanischen Protestantismus ab von der Durchsetzung des Pluralismus als kultureller Leitidee, der Annäherung zwischen den protestantischen Denominationen und der zunehmenden Verlagerung der religiösen Konkurrenz von den Denominationen auf die Gemeinden als primären Trägern religiöser Identifikation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Syafi’i, M. "Pandangan Greg Barton tentang Islam Liberal dan Eksistensi Politik Islam di Indonesia." al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 5, no. 2 (October 1, 2015): 388–432. http://dx.doi.org/10.15642/ad.2015.5.2.388-432.

Full text
Abstract:
Abstract: The Greg Barton’s point of view on liberal Islam and Islamic political existence in Indonesia departs from the result of his study on liberal Muslim thinkers in Indonesia, including NurcholishMadjid and Abdurrahman Wahid. Their thoughts are classified as a liberal. Madjid, in most of his methodologies, uses a double movement, while Wahid uses a socio-cultural approach. In addition, MadjidCakNuris also known by his secularization project, while Wahidis famous by his pluralism project. Greg Barton arrived at this conclusion after reading Madjid and Wahid’s opinions in books and articles. In relation to the existence of the political Islam in Indonesia, Greg Barton views that the collapse of the Islamist party of Masjumiwaspartly contributed by Madjid’sliberal thought in understanding Islam. On the other hands, the appearance of religious pluralism in society, which is also a part of a liberal Islamic thought, wasexpedited by Wahid when he was a president of Indonesia.Keywords: Islam liberal, Islamic political existence, Greg Barton Abstrak: Pandangan Greg Barton mengenai Islam liberal dan eksistensi politik Islam di Indonesia berangkat dari hasil penelitiannya terhadap tokoh-tokoh Islam liberal yang ada di Indonesia, di antaranya Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kedua tokoh tersebut merupakan sample tokoh Islam liberal yang concern dan konsisten dalam pemikirannya terhadap Islam. Pemikiran kedua tokoh tersebut berada pada jalur liberal. Cak Nur menggunakan metode Double Movement dalam kerangka berpikirnya, sedangkan Gus Dur menggunakan pendekatan sosio kultural. Cak Nur dikenal dengan sekularisasinya, sedangkan Gus Dur dikenal dengan pluralismenya. Pemikiran keduanya oleh Greg Barton digambarkan dengan beberapa karya tulis yang menggambarkan sisi sekularnya bagi Cak Nur, dan sisi pluralnya bagi Gus Dur. Dalam kaitannya terhadap eksistensi politik Islam di Indonesia, Greg Barton memandang bahwa runtuhnya Masyumi era Cak Nur, merupakan dampak dari pemikiran liberal Cak Nur dalam memahami Islam. Selain itu muncul nilai pluralitas yang tinggi di masyarakat, yang juga merupakan bagian dari pemikiran Islam liberal. Hal ini dilakukan oleh Gus Dur pada masa ia menduduki pucuk pimpinan negara dan berlangsung lama meskipun ketika Gus Dur lengser.Kata Kunci: Islam liberal, eksistensi politik Islam, Greg Barton
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Elliarso, Risang Anggoro. "Bukan Jalan Buntu, Melainkan Setapak Terjal: Sebuah Apresiasi Kritis terhadap Sumbangsih Teori Kultural-Linguistik Lindbeck bagi Penumbuhkembangan Dialog Antaragama yang Autentik." GEMA TEOLOGIKA 1, no. 1 (April 28, 2016): 97. http://dx.doi.org/10.21460/gema.2016.11.213.

Full text
Abstract:
Advancing from his criticism against two principal theological theories of religion, namely (1) cognitive-propositional theory and (2) experiential-expressive theory, George A. Lindbeck proposes his cultural-linguistic theory as an alternative theory which is deemed more adequate in comprehending plurality of religions. Regrettably, for some, Lindbeck�s theory is considered rather as a closure to any interreligious dialogue, as a consequence of its superfluous emphasis on the incommensurability and untranslability amongst different religions. Therefore, within this modest article, taking into account several insights from postcolonial studies, I try to venture a critical appreciation on how Lindbeck�s cultural-linguistic theory might contribute to the endeavour of fostering constructive, authentic, and profound interreligious dialogue. I attempt to argue that Lindbeck�s cultural-linguistic theory, instead of imparting a cul-de-sac to any interreligious dialogue, actually lay bare a path for the dialogue. A path which is, whilst hard and steep, viable.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

윤태원. "Eine Studie über Ausländer im Film von Fassbinder Angst essen Seele auf - Für die Globalisierung der Toleranz und den kulturellen Pluralismus." Zeitschrift f?r Deutsche Sprache und Literatur ll, no. 39 (March 2008): 249–64. http://dx.doi.org/10.30947/zfdsl.2008..39.249.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Hasanudin, Hasanudin. "KERUKUNAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI DESA BANUROJA, GORONTALO." Al-Qalam 24, no. 1 (August 12, 2018): 18. http://dx.doi.org/10.31969/alq.v24i1.465.

Full text
Abstract:
<p align="justify">Banuroja merupakan sebuah desa yang mempunyai keunikan dan paling khas dibandingkan desa-desa lainnya di Provinsi Gorontalo, bahkan di seluruh Indonesia. Penduduk Desa Banuroja berasal dari sembilan etnik yaitu Bali, Jawa, Sasak, Gorontalo, Sunda, Minahasa, Bugis, Betawi, dan Batak. Keragaman etnis menyebabkan penduduknya memeluk agama, Islam, Hindu, Kristen Protestan, dan Khatolik. Pada umumnya untuk ukuran suatu desa di Provinsi Gorontalo, Desa Banuroja termasuk masyarakatnya yang heterogen, dan menjadi wadah yang mempertemukan berbagai macam agama, etnik, dan budaya. Masyarakat Banuroja dengan komposisi agama dan kultur yang majemuk, menjadi sampel yang representatif untuk memahami masyarakat multikultur dalam membangun solidaritas.</p><p align="justify">Kerukunan yang terbangun di Banuroja adalah kerukunan dan toleransi dari paradigma pluralisme. Masyarakat Banuroja menerima berbagai agama dan etnis dengan upaya menata keragaman dalam membina kerukunannya. Berdasarkan pembagian lima kategori multikulturalisme oleh Bikhu Parekh, maka masyarakat Banuroja termasuk kategori dalam multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.Terdapat tiga faktor menjadi pendorong terbangunnya kerukunan umat beragama yaitu rasa persatuan dari berbagai agama dan suku dalam bentuk toleransi, para tokoh masyarakat baik dari tokoh agama maupun tokoh etnik dapat menjaga keseimbangan dan kesetaraan dalam kehidupan masyarakat, dan peran Pesantren Salafiyah Syafiiyah dalam menjaga kerukunan. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka, dalam rangka memahami kerukunan masyarakat Banuroja.</p><p align="justify"><strong> </strong></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Reinhard, Wolfgang. "Max Weber oder das Scheitern an der Religion." Sociologia Internationalis: Volume 56, Issue 2 56, no. 2 (July 1, 2018): 1–27. http://dx.doi.org/10.3790/sint.56.2.1.

Full text
Abstract:
Der Weltruhm Max Webers geht langsam, aber deutlich zurück. An seinem Lebensthema, der Bedeutung der Religion für die moderne Welt, ist er langfristig gescheitert. Das gilt nicht nur für seine Protestantismus-These, sondern auch für den aufwändigen Versuch, die These durch Vergleich mit anderen Weltreligionen auszuweiten und abzusichern. Er landet dabei in der kolonialistischen Orientalismus-Falle, indem er beweist, was er zuvor vorausgesetzt hatte. Umgekehrt wussten und wissen Vertreter anderer Religionen das protestantische Christentum zur Modernisierung ihrer eigenen Kulturen ‚auszuschlachten‘. ‚Das Empire hat zurückgeschlagen‘. Auch Karl Jaspers’ post-koloniale Alternative zu weltanschaulicher Kommunikation auf gleicher Augenhöhe im Zeichen einer ‚Achsenzeit‘ ist gescheitert. Der viel berufene Aufschwung der Religionen besteht global gesehen in pluralistischer Beliebigkeit, die den Charakter von Religion überhaupt verändert hat. ‚Transzendenz‘ ist immanent geworden. Unsere Religion ist längst nicht mehr diejenige Max Webers. Obviously Max Weber’s fame is continuously decreasing. In the end, he failed in his self-chosen task to explain the growth of the modern world through religious experience. This statement does not only refer to his world-famous essay on The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. It is also true of his extensive attempt to confirm and extent his thesis through careful comparison with other world religions. But he fell into the circular trap of colonialist orientalism because he simply proved what had been his own preconditions. On the other hand, members of other religious communities used and still use protestant Christianity selectively to modernize their own cultures. The empire hits back! Karl Jaspers’s Axial Age, his post-colonial attempt in cultural communication on equal level, failed as well. Today, from the global point of view the famous renewal of religion consists in arbitrary pluralism. The very character of religion as such has changed. Transcendence turned immanent. The religion of today is no longer the religion of Max Weber.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Sonnekus, JC. "Huweliksluiting én aanneming van kinders kragtens kulturele gebruike in stryd met die reg behoort kragteloos te wees – sed, ex Africa semper aliquid novi." Tydskrif vir die Suid-Afrikaanse Reg 2021, no. 2 (2021): 211–39. http://dx.doi.org/10.47348/tsar/2021/i2a1.

Full text
Abstract:
Section 211(3) of the Constitution of the Republic of South Africa, 1996 provides that no recognition of customary norms may be upheld if such norms are in conflict with either the constitution or any other law that deals specifically with customary law: “The courts must apply customary law when that law is applicable, subject to the Constitution and any legislation that specifically deals with customary law.” The current Recognition of Customary Marriages Act 120 of 1998 deals explicitly with the recognition of customary marriages which are concluded in accordance with customary law (s 1). Customary law is defined as the “customs and usages traditionally observed among the indigenous African peoples of South Africa and which form part of the culture of those peoples”. It follows from a further reading of section 1 that a customary marriage is reserved for those indigenous African peoples who observe such customs and usages. It is provided in section 10(4) that “[d]espite subsection (1), no spouse of a marriage entered into under the Marriage Act, 1961, is, during the subsistence of such marriage, competent to enter into any other marriage”. This must be read with the definitions contained in section 1: “‘customary law’ means the customs and usages traditionally observed among the indigenous African peoples of South Africa and which form part of the culture of those peoples; ‘customary marriage’ means a marriage concluded in accordance with customary law”. Without the requisite legal competency, no legal subject can enter into any relationship to which the law may attach any consequences. Nobody can enter into a customary marriage if any of the presumed future spouses is already in a civil marriage according to the Marriage Act 25 of 1961, not even if the two parties are married to each other. According to the custom of various indigenous nations, if a man enters into a valid customary marriage with a woman who had never been married before but who is the mother of children born out of wedlock (spurii), the metaphor applies that he “who takes the cow also acquires the calf”. He will as part and parcel of the lobola ceremony be seen as the adopting stepfather of his wife’s children, with all the accompanying consequences. He will automatically be responsible for the future maintenance of those children as his adoptive children and they will acquire all rights and privileges that are bestowed on a child, including the right to inheritance and the right to his family name. As a consequence of this new relationship, all legal ties with the biological father of the adopted child are severed and the biological father will no longer be responsible for the maintenance of his offspring. In January 2019 an erstwhile law professor from UNISA who still retained his German citizenship, was gravely ill and cared for on life-support at a hospital in the Pretoria district. While in hospital, he tied the marriage knot with Miss Vilakazi, a Zulu woman with whom he had been in a relationship for the past five years. Miss Vilakazi was a spinster, but she had a Zulu daughter who was born out of wedlock more than eight years previously out of a relationship with an erstwhile Zulu lover. This child had been in the care of her maternal grandmother in Natal and, according to Zulu customary norms, was considered part of the house of her maternal grandfather, Vilakazi. She consequently carried the name Vilakazi as her registered surname on her official birth certificate. The marriage, which was conducted on 29 January 2019 in the hospital in Pretoria, was concluded with adherence to all the requirements of Act 25 of 1961. The civil marriage was duly registered as such. The late professor passed away in the hospital barely three weeks later on 19 February 2019. Less than 24 hours before the demise of the professor a purported customary marriage was concluded, apparently on behalf of the professor with the recently married Mrs Schulze by proxy by a friend of his in the Newcastle district in Natal after having paid R60 000 as ilobolo. The ceremony was concluded with the ceremonial slaughtering of the prescribed goat. However, during this ceremony the groom was not present but on life support in a Pretoria hospital and not necessarily compos mentis – the court was told that he was represented by a friend. Zulu customary law, however, does not recognise a marriage concluded by proxy with a substitude bridegroom as was known in Roman-Dutch law as “a wedding with the glove”. Neither the Marriage Act nor the Recognition of Customary Marriages Act, however, recognises a second marriage after the conclusion of a civil marriage by any of the purported newly weds – even if both “spouses” had been present in person. The mother of the late Professor Schulze, after his demise in South Africa, amended her last will in Germany and appointed her lifelong partner as sole beneficiary of her significant estate. She passed away in Germany in October 2019. In November 2019 the recently married Mrs Schulze, on behalf of her minor daughter, successfully approached the high court in Pietermaritzburg, where Zaca AJ issued an order compelling the South African department of home affairs to issue the daughter with a new birth certificate that reflects the late Professor Schulze as her father. Notwithstanding the unease of the officials at home affairs with this court order, the minister of home affairs, Mr Motsoaledi, personally intervened in August 2020 and the new birth certificate was issued as requested. Relying on this newly issued birth certificate, the applicant claims an amount of not less than R8 million in Germany from the estate of the late mother of Professor Schulze. For this purpose, the applicant relies on a principle in German law, the Pflichtteilsanspruch, according to which any descendant of the deceased has a right to a prescribed portion, a so-called legitimate portion of the estate, if not mentioned or sufficiently bestowed in the last will. This raises a number of seriously flawed legal arguments that are analysed in this article. It is submitted that the perceived lobola marriage ceremony conducted on behalf of the late professor on 18 February 2019 in Newcastle, less than 24 hours before his demise, is void because of the explicit constitutional provision and the relevant section 10(4) of the Recognition of Customary Marriages Act 120 of 1998, which excludes any competency to enter into a customary marriage if any of the parties involved is already married. At the date of the perceived lobola ceremony, Mrs Schulze had already been civilly married to Professor Schulze for more than three weeks and thus both spouses lacked the necessary competency to enter into a valid customary marriage. Whether a valid customary marriage could have been concluded at all with a man who did not live according to the customs and usages of the Zulu, is also highly questionable. Because the perceived lobola marriage is a nullity, no legal consequences can flow from this nullity and the so-called customary adoption of the daughter (“the calf with the cow”) is a nullity too. At no stage was any of the requirements for a valid adoption as governed by the Children’s Act 38 of 2005 adhered to. The minister of home affairs should have immediately given notice of appeal after the unconvincing judgment of Zaca AJ was handed down in January 2020. As the responsible minister, he should guard the upholding of the constitution and the applicable legal provisions unambiguously contained in the relevant section 10(4) of Act 120 of 1998. It is a pity that the so-called adherence to the principles of the “rule of law” is not even paid lip service in this case. Bennett, as a renowned expert on customary law, correctly pointed out that the legal orders are not unconnected. It may never be assumed that the people concerned are unaware of how to manipulate the resources offered them by legal pluralism (A Sourcebook of African Customary Law for Southern Africa (1991) 50).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Madung, Otto Gusti. "Pluralitas Dan Konsep Pengakuan Intersubjektif Dalam Pemikiran Axel Honneth." DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA 13, no. 2 (October 20, 2014): 1–29. http://dx.doi.org/10.36383/diskursus.v13i2.70.

Full text
Abstract:
Abstrak: Pemisahan antara ruang privat dan publik merupakan solusi liberalisme atas tantangan pluralitas masyarakat modern. Dalam kaca mata politik pengakuan, solusi liberalisme tidak mencukupi. Liberalisme dianggap mengenal individu hanya sebagai subjek hukum dan karena itu hanya dapat memperhatikan tuntutan validitas hukum. Dalam kaca mata liberalisme, kesetaraan subjek-subjek hukum hanya dapat dijamin jika aspek-aspek tradisi, kultural dan konsep hidup baik dijauhkan dari politik. Namun apa yang menjadi objek pengakuan justru aspek-aspek ini. Tulisan ini memperkenalkan konsep konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth. Konsep pengakuan intersubjektif melampaui paham pengakuan interkultural seperti diperkenalkan oleh tokoh seperti Charles Taylor. Dalam paradigma intersubjektif, pengakuan tidak hanya dilihat pada tataran relasi interkultural, tapi dipahami sebagai sebuah antropologi. Pengakuan mengkonstruksi manusia sebagai subjek. Hal ini ditunjukkan Honneth dalam uraiannya tentang pelbagai tingkatan interaksi antarmanusia yakni tataran cinta, hukum dan solidaritas. Pada bagian akhir tulisan diajukan beberapa pertimbangan kritis atas konsep pengakuan Honneth ini. Kata-kata Kunci: Pengakuan, multikulturalisme, intersubjektivitas, teleologi, autentisitas. Abstract: The separation between private and public spheres is the solution of liberalism to the challenges of plurality in modern societies. In the perspective of politics of recognition this solution of liberalism is insufficient. Liberalism is considered to recognize the individual only as a subject of law and therefore can only attend to the demands of legal validity. In the perspective of liberalism, equality of legal subjects can only be guaranteed if the aspects of tradition, culture and the concept of a good life are seperated from politics. But precisely these aspects are the object of recognition. This paper introduces the concept of intersubjective recognition of Axel Honneth. The concept of intersubjective recognition goes beyond intercultural recognition as introduced by Charles Taylor, for example. In the intersubjective paradigm, recognition is not only seen at the level of intercultural relations, but understood as an anthropology. Recognition constructs the human being as subject. This is shown by Honneth in his account of the various levels of human interaction, that is the level of love, law and solidarity. At the end of the article the author will give some critical considerations on Honneth's concept of recognition. Keywords: Recognition, multiculturalism, intersubjectivity, teleology, authenticity.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Andel, Joan D., H. E. Coomans, Rene Berg, James N. Sneddon, Thomas Crump, H. Beukers, M. Heins, et al. "Book Reviews." Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 147, no. 4 (1991): 516–46. http://dx.doi.org/10.1163/22134379-90003185.

Full text
Abstract:
- Joan D. van Andel, H.E. Coomans, Building up the the future from the past; Studies on the architecture and historic monuments in the Dutch Caribbean, Zutphen: De Walburg Pers, 1990, 268 pp., M.A. Newton, M. Coomans-Eustatia (eds.) - Rene van den Berg, James N. Sneddon, Studies in Sulawesi linguistics, Part I, 1989. NUSA, Linguistic studies of Indonesian and other languages in Indonesia, volume 31. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri Nusa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. - Thomas Crump, H. Beukers, Red-hair medicine: Dutch-Japanese medical relations. Amsterdam/Atlanta, GA: Rodopi, Publications for the Netherlands Association of Japanese studies No. 5, 1991., A.M. Luyendijk-Elshout, M.E. van Opstall (eds.) - M. Heins, Kees P. Epskamp, Theatre in search of social change; The relative significance of different theatrical approaches. Den Haag: CESO Paperback no. 7, 1989. - Rudy De Iongh, Rainer Carle, Opera Batak; Das Wandertheater der Toba-Batak in Nord Sumatra. Schauspiele zur Währung kultureller Identität im nationalen Indonesischen Kontext. Veröffentlichungen des Seminars fur Indonesische und Südseesprachen der Universität Hamburg, Band 15/1 & 15/2 (2 Volumes), Berlin: Dietrich Reimer Verlag, 1990. - P.E. de Josselin de Jong, Birgit Rottger-Rossler, Rang und Ansehen bei den Makassar von Gowa (Süd-Sulawesi, Indonesien), Kölner Ethnologische Studien, Band 15. Dietrich Reimar Verlag, Berlin, 1989. 332 pp. text, notes, glossary, literature. - John Kleinen, Vo Nhan Tri, Vietnam’s economic policy since 1975. Singapore: ASEAN Economic research unit, Institute of Southeast Asian studies, 1990. xii + 295 pp. - H.M.J. Maier, David Banks, From class to culture; Social conscience in Malay novels since independence, Yale, 1987. - Th. C. van der Meij, Robyn Maxwell, Textiles of Southeast Asia; Tradition, trade and transformation. Melbourne/Oxford/Auckland/New York: Australian National Gallery/Oxford University Press. - A.E. Mills, Elinor Ochs, Culture and language development, Studies in the social and cultural foundations of language No. 6, Cambridge University Press, 227 + 10 pp. - Denis Monnerie, Frederick H. Damon, Death rituals and life in the societies of the Kula Ring, Dekalb: Northern Illinois University Press, 1989. 280 pp., maps, figs., bibliogr., Roy Wagner (eds.) - Denis Monnerie, Frederick H. Damon, From Muyuw to the Trobriands; Transformations along the northern side of the Kula ring, Tucson: The University of Arizona Press, 1990. xvi + 285 pp., maps, figs., illus., apps., bibliogr., index. - David S. Moyer, Jeremy Boissevain, Dutch dilemmas; Anthropologists look at the Netherlands, Assen/Maastricht: Van Gorcum, 1989, v + 186 pp., Jojada Verrips (eds.) - Gert Oostindie, B.H. Slicher van Bath, Indianen en Spanjaarden; Een ontmoeting tussen twee werelden, Latijns Amerika 1500-1800. Amsterdam: Bert Bakker, 1989. 301 pp. - Parakitri, C.A.M. de Jong, Kompas 1965-1985; Een algemene krant met een katholieke achtergrond binnen het religieus pluralisme van Indonesie, Kampen: Kok, 1990. - C.A. van Peursen, J. van Baal, Mysterie als openbaring. Utrecht: ISOR, 1990. - Harry A. Poeze, R.A. Longmire, Soviet relations with South-East Asia; An historical survey. London-New York: Kegan Paul International, 1989, x + 176 pp. - Harry A. Poeze, Ann Swift, The road to Madiun; The Indonesian communist uprising of 1948. Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project (Monograph series 69), 1989, xii + 116 pp. - Alex van Stipriaan, Cornelis Ch. Goslinga, The Dutch in the Caribbean and in Surinam 1791/5 - 1942, Assen/Maastricht: Van Gorcum, 1990. xii + 812 pp. - A. Teeuw, Keith Foulcher, Social commitment in literature and the arts: The Indonesian ‘Institute of People’s culture’ 1950-1965, Clayton, Victoria: Southeast Asian studies, Monash University (Centre of Southeast Asian studies), 1986, vii + 234 pp. - Elly Touwen-Bouwsma, T. Friend, The blue-eyed enemy; Japan against the West in Java and Luzon, 1942-1945. New Jersey: Princeton University press, 1988, 325 pp.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Collis, Dirmid Ronán F. "The Use of Distributed Language Translation in Language Management." Language Problems and Language Planning 16, no. 1 (January 1, 1992): 53–71. http://dx.doi.org/10.1075/lplp.16.1.04col.

Full text
Abstract:
RESUME Cet article traite d'un problème langagier commun à ceux des autochtones du Canada qui parlent toujours leur langue et conserve encore leur culture. Ceux-ci ressentent actuellement deux urgences: d'une part, de pouvoir gagner leur vie à un niveau comparable au standing des populations allochtones, et d'autre part, de pouvoir travailler chez eux au sein de leur propre culture et dans leur propre habitat. L'auteur observe, en outre, ce qui tend à arriver à l'autochtone qui essaie de s'assimiler au mode de vie allochtone, afin de partager un niveau de vie plus élévé. On observe que la langue autochtone, bien que parlée et écrite, n'a jamais été aménagée, unifiée, ou normalisé au Canada comme elle l'a été au Groenland ou au Paraguay, où la langue autochtone est officielle. On examine les caractéristiques d'un dialecte autochtone, d'une branche de la langue inuktitut, la langue des inuit. Par la suite, l'auteur propose quelques applications de la traductique à la résolution des problèmes économiques et sociaux. Les solutions proposées sont: la création d'une interface entre les dialectes de la langue autochtones par truchement de la traduction automatisée vers plusieurs dialectes à la fois (la "pluriductique"); et l'emploi, à cette fin, d'un métalangage normalisé provenant du calcule de la forme moyenne des dialectes. Aussi proposée, est la création d'une interface entre la langue autochtone et la langue allochtone (l'anglais ou le français). L'interface qui fait le pont entre langues autochtones et allochtones, permettra de se servir de l'ordinateur comme station de travail à distance (la télématique). Enfin, en passant, on traite de l'application de la traduction distribuée dans la modification stylistique pour objectifs pédagogiques, soit l'interface entre le style d'apprentissage de l'individu et la bibliothèque source du savoir. RESUMO La indigenaj popoloj de Kanado, kiuj daŭre parolas sian lingvon kaj vivtenas sian kulturon, havas du urgajn bezonojn: perlabori siajn vivbezonojn sur nivelo komparebla al tiu de la loĝantoj en la resto de la lando, kaj trovi eblecojn labori restante en sia kulturo kaj en sia logregiono. Eblas, ke anoj de tiuj popoloj, kiel kulture neagnoskitaj individuoj, ensimiligas en la "ĉefan" socion, sed ofte ill pagas por tio per soleco en la nepersona pluralisma socio kaj per la bezono batali kontraŭ la tento de droga kaj alkohola dependigo. Kontraste al la guarania en Paragvajo au la gronlanda en Gronlando, la kanadaj indigenaj lingvoj, kiuj estas en parola kaj skriba uzo, ankoraŭ ne estis unuigitaj au normigitaj. Estas traktataj la karakterizajoj de unu el la indigenaj lingvoj, branĉo de la inuktituta, la lingvo de la inuitoj (eskimoj), kaj estas proponataj diversaj aplikoj de tradukteknologio al la solvado de la ekonomiaj kaj sociaj problemoj. Precipe estas proponata uzo de Distribuita Lingvotradukado (DLT) kiel konektilo inter la malproksimaj dialektoj de la indigenaj lingvoj unuflanke, kaj inter la indiĝenaj kaj la oficialaj lingvoj de Kanado (angla kaj franca) aliflanke. Tia ponta komunikado ebligus perkomputilan distanclaboradon en la indiĝena lingvo en la tradicia logregiono. En tia sistemo, oni ricevus datenojn el anglaj au francaj fontoj kaj konektus ilin al la loka lingvo. Prilaborinte la datenojn per la indigena lingvo, la distanclaborantoj resendus la ĝisdatigitajn datenojn al la dunganto post retraduko al la angla au franca. Estas krome diskutataj edukaj aplikoj de DLT en prilaborado de tekstoj por specifaj celgrupoj en bibliotekaŭtomatigo kaj perkomputila distancinstruado.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

KITLV, Redactie. "Book Reviews." Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 160, no. 2 (2004): 363–415. http://dx.doi.org/10.1163/22134379-90003732.

Full text
Abstract:
-Timothy P. Barnard, Cynthia Chou, Indonesian sea nomads; Money, magic, and fear of the Orang Suku Laut. London: RoutledgeCurzon, 2003, xii + 159 pp. -R.H. Barnes, Toos van Dijk, Gouden eiland in de Bandazee; Socio-kosmische ideeën op Marsela, Maluku Tenggara, Indonesië. Leiden: Onderzoekschool voor Aziatische, Afrikaanse en Amerindische studies (CNWS), Universiteit Leiden, 2000, 458 pp. [CNWS Publications 94.] -Andrew Beatty, Peter G. Riddell, Islam and the Malay-Indonesian world; Transmission and responses. Honolulu: University of Hawai'i Press, 2001, xvii + 349 pp. -Peter Boomgaard, Richard H. Grove ,El Niño - history and crisis; Studies from the Asia-Pacific region. Cambridge: White Horse Press, 2000, 230 pp., John Chappell (eds) -Bernardita Reyes Churchill, Florentino Rodao, Franco y el imperio japonés; Imágenes y propaganda en tiempos de guerra. Barcelona: Plaza and Janés, 2002, 669 pp. -Matthew Cohen, Stuart Robson, The Kraton; Selected essays on Javanese courts. Translated by Rosemary Robson-McKillop. Leiden: KITLV Press, 2003, xxvi + 397 pp. [Translation series 28.] -Serge Dunis, Ben Finney, Sailing in the wake of the ancestors; Reviving Polynesian voyaging. Honolulu: Bishop Museum Press, 2003, 176 pp. [Legacy of excellence.] -Heleen Gall, Jan A. Somers, De VOC als volkenrechtelijke actor. Deventer: Gouda Quint, Rotterdam: Sanders Instituut, 2001, x + 350 pp. -David Henley, Harold Brookfield, Exploring agrodiversity. New York: Columbia University Press, 2001, xix + 348 pp. -David Hicks, Ernst van Veen ,A guide to the sources of the history of Dutch-Portuguese relations in Asia (1594-1797). With a foreword by Leonard Blussé. Leiden: Institute for the history of European expansion, 2001, iv + 378 pp. [Intercontinenta 24.], Daniël Klijn (eds) -Nico Kaptein, Donald J. Porter, Managing politics and Islam in Indonesia. London: RoutledgeCurzon, 2002, xxi + 264 pp. -Victor T. King, Monica Janowski, The forest, source of life; The Kelabit of Sarawak. London: British Museum Press, 2003, vi + 154 pp. [Occasional paper 143.] -Dick van der Meij, Andrée Jaunay, Exploration dans la presqu île malaise par Jacques de Morgan 1884. Paris: CNRS Éditions, 2003, xiv + 268 pp. Avec les contributions de Christine Lorre, Antonio Guerreiro et Antoine Verney. -Toon van Meijl, Richard Eves, The magical body; Power, fame and meaning in a Melanesian society. Amsterdam: Harwood academic, 1998, xxii + 302 pp. [Studies in Anthropology and History 23.] -Otto van den Muijzenberg, Florentino Rodao ,The Philippine revolution of 1896; Ordinary lives in extraordinary times. Quezon city: Ateneo de Manila University Press, 2001, xx + 303 pp., Felice Noelle Rodriguez (eds) -Frank Okker, Kees Snoek, Manhafte heren en rijke erfdochters; Het voorgeslacht van E. du Perron op Java. Leiden: KITLV Uitgeverij, 2003, 103 pp. [Boekerij 'Oost en West'.] (met medewerking van Tim Timmers) -Oona Thommes Paredes, Greg Bankoff, Cultures of disaster; Society and natural hazard in the Philippines, 2003, xviii + 232 pp. London: RoutledgeCurzon, 2003, xviii + 232 pp. -Angela Pashia, Lake' Baling, The old Kayan religion and the Bungan religious reform. Translated and annotated by Jérôme Rousseau. Kota Samarahan: Unit Penerbitan Universiti Malaysia Sarawak, 2002, xviii + 124 pp. [Dayak studies monographs, Oral literature series 4.] -Anton Ploeg, Susan Meiselas, Encounters with the Dani; Stories from the Baliem Valley. New York: International center of photography, Göttingen: Steidl, 2003, 196 pp. -Nathan Porath, Robert W. Hefner, The politics of multiculturalism; Pluralism and citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press, 2001, ix + 319 pp. -Jan van der Putten, Timothy P. Barnard, Multiple centres of authority; Society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827. Leiden: KITLV Press, 2003, xvi + 206 pp. [Verhandelingen 210.] -Jan Piet Puype, David van Duuren, Krisses; A critical bibliography. Wijk en Aalburg: Pictures Publishers, 2002, 192 pp. -Thomas H. Slone, Gertrudis A.M. Offenberg ,Amoko - in the beginning; Myths and legends of the Asmat and Mimika Papuans. Adelaide: Crawford House, 2002, xxviii + 276 pp., Jan Pouwer (eds) -Fridus Steijlen, Kwa Chong Guan ,Oral history in Southeast Asia; Theory and method. Singapore: Institute of Southeast Asian studies, 2000, xii + 172 pp., James H. Morrison, Patricia Lim Pui Huen (eds) -Fridus Steijlen, P. Lim Pui Huen ,War and memory in Malaysia and Singapore. Singapore: Institute of Southeast Asian studies, 2000, vii + 193 pp., Diana Wong (eds) -Jaap Timmer, Andrew Lattas, Cultures of secrecy; Reinventing race in Bush Kaliai cargo cults. Madison/London: University of Wisconsin Press, 1998, xliv + 360 pp. -Edwin Wieringa, Kartika Setyawati ,Katalog naskah Merapi-Merbabu; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, Leiden: Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, 2002, ix + 278 pp. [Semaian 23.], I. Kuntara Wiryamartana, Willem van der Molen (eds) -Julian Millie, Jakob Sumardjo, Simbol-simbol artefak budaya Sunda; Tafsir-tafsir pantun Sunda. Bandung: Kelir, 2003, xxvi + 364 pp. -Julian Millie, T. Christomy, Wawacan Sama'un; Edisi teks dan analisis struktur Jakarta: Djambatan (in cooperation with the Ford Foundation), 2003, viii + 404 pp. -Julian Millie, Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (antara fiksi dan fakta); Pembumian Islam dengan pendekatan struktural dan kultural. Bandung: Humaniora Utama Press, 2002, xx + 372 pp.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Hadi, Syamsul. "Lasem: Harmoni dan Kontestasi Masyarakat Bineka." ISLAM NUSANTARA: Journal for Study of Islamic History and Culture 1, no. 1 (July 30, 2020): 163–208. http://dx.doi.org/10.47776/islamnusantara.v1i1.49.

Full text
Abstract:
This article aims to explain how the contestation of social spaces in the lives of the plural society at Lasem it processes dynamically. It is a pattern of space contestation that leads to the affirmation and strengthening of identity or a pattern that leads to the fusion of identities. As a consequence, the first pattern creates social friction or conflict. On the contrary, the second pattern is directed towards acculturation and assimilation of culture which can strengthen social harmony. The important finding of this research is that it can be known the real issue, so that problems related to all parties can be found a solution as well as a resolution. This research also proves that social mechanism preparedness is considered urgent to prevent negative excesses (negative things) from the space contestation. So the space contestation that occurs dynamically proves that the plural society in Lasem has found a valuable experience, namely social resilience in facing all possible emergence of social disintegration.Keywords: contestation, space, social mechanisms and an plural society REFERENCE: Abercrombie, Nicholas, at.all., 2010. Kamus Sosiologi, Terj. Dwi Agus M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Adhyanggono, GM. ad.all., 2009. Budaya Tionghoa Lasem Dalam Peta Tata Pemukiman, Tradisi, Peran Dan Relasi Gender, dalam Angelina Ika Rahutami (Peny.), ”Kekuatan Lokal Sebagai Roh Pembangunan Jawa Tengah”, Semarang: UNIKA Soegijapranata. Amirudin, 2017. Multikulturalisme dalam Produksi Budaya Seni Batik di Lasem, dalam; ”60 Tahun Antropologi Indonesia; Refleksi Kontribusi Antropologi untuk Indonesia”, Jakarta; Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi FISIP UI, 2017. Atabik, Ahmad, 2016. Percampuran Budaya Jawa dan Cina: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem, Jurnal: Sabda, Volume 11, Tahun 2016, pp. 1–11. Azra, Azyumardi, 2011. Nasionalisme, Etnisitas, Dan Agama di Indonesia: Perspektif Islam Dan Ketahanan Budaya, dalam Thung Ju Lan dan M. Azzam Manan (Ed.), ”Nasionalisme Dan Ketahanan Budaya di Indonesia”, Jakarta: LIPI & Yayasan Obor Indonesia. BPS. 2012. Data Monografi Kecamatan Lasem Semester II Tahun 2012, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS. 2017. Data UPT Pendidikan Kabupaten Rembang Tahun 2017, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS Rembang, 2017. Lasem Dalam Angka Tahun 2017, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS Rembang, 2018. Lasem Dalam Angka Tahun 2018, Rembang: Pemkab. Rembang. Daradjati, 2013. Geger Pacinan 1740–1743: Persekutuan Tionghoa – Jawa Melawan VOC, Jakarta: Kompas. Hardiman, F. Budi, 2002 “Belajar dari Politik Multikulturalisme”, pengantar Will Kymlicka, ”Kewargaan Kultural”, Jakarta: LP3ES, 2002. Hartono, Samuel & Handinoto, Lasem: Kota Kuno Di Pantai Utara Jawa Yang Bernuasa Cina, artikel dalam: http://fportfolio. petra.ac.id/user_files/81-005/LASEM.pdf, diunduh pada tanggal 02 Agustus 2018, pukul: 14.23 wib. Hefner, Robert, W., 2001, The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Honolulu: University of Hawai Press. Jary, David & Jary, Yulia, 1991. Collins Dictionary of Sociology, London: Harper Collins Publishers. Khamzah, R.P. 1858. Cerita (Sejarah) Lasem, Katurun/Kajiplak Dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, Rumpakanipun Mpu Santribadra Nurhajarini, Dwi Ratna, ad.all. 2015. Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga – Sekarang), Yogyakarta: BPNB-Yogyakarta. Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Parekh, Bhikhu, 2012. Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, diterjemahkan dari “Rethingking Multiculturalism, Cuktural Diversity dan Political Theory”, Yogyakarta: Kanisius. Pemkab. Rembang, 2012. Monografi Kecamatan Lasem Tahun 2012. Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Konterporer, Jakarta: Rajawali Press. Purdey, Jemma, 2013. Kekerasan Anti Tionghoa Di Indonesia 1996–1999, Denpasar: Pustaka Larasan. Putra. Ade Yustirandy dan Sartini, 2016. Batik Lasem Sebagai Simbul Akulturasi Nilai-nilai Budaya Jawa-Cina, dalam; Jurnal Jantra Vol. 11, No. 2, Desember 2016. Ritzer, George & Goodman, Douglas J., 2011. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media. Saifullah, Ahmad 2008. Makna Spiritual Arsitektur Masjid, paparan makalah SITI Angkatan Ke-4, dipresentasikan pada Kamis, 17 Juli 2008, Tidak Diterbitkan. Slattery, Martin, 2003. Key Ideas in Sociology, Delta Place Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Soekanto, Soejono. 1985. Karifan Masyarakat Dalam Penegolaan Kseserasian Sosial Ditinjau Dari Segi Hukum, dalam Majalah Bulanan Tahun VII, edisi No. 11/Agustus 1985, pp. 824-830. Suaedy, Ahmad, 2018. Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999–2001, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suryadinata, Leo, 2003. Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme”, Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor: 71, Tahun 2003. Suryadinata, Leo, 2010. Akhirya Diakui Agama Konghucu dan Agama Budha di Pasca-Suharto, dalam, ”Setelah Air Mata Kering” (Ed. I. Wibowo & Thung Ju Lan), Jakarta: Gramedia. Slattery, Martin, 2003. Key Ideas in Sociology, Delta Place Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Tan, Charlene, 2014. Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia, Nanyang Technological University, Singapore. Journal of Arabic and Islamic Studies-14 (2014). Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. Tim Peneliti, ”Laporan Survei Nasional”: Kerjasama Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia dan UN Women, Januari 2018. Turner, Jonathan H. dan Alexandra Maryanski, 2010. Fungsionalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Unjiya, M. Akrom, 2008. “Lasem Negeri Dampo Awang: Sejarah Yang Terlupakan“, Yogyakarta: Fokmas, Veeger, K.J., 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia. Wallace, Ruth A. dan Wolf, Alison, 2006. Contemporary Sociological Theory: Expanding The Classical Tradition, -6th ed., Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Wiroutomo, Paulus, 2012. Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep, dalam Paulus Wiroutomo, ad.all., ”Sistem Sosial Indonesia”, Jakarta: UI Press & Lab-Sosio. Sumber Internet Surat Kabar Harian “Kompas”, edisi; 15 Pebruari 2014. Surat Kabar Harian “Suara Merdeka”, edisi: 23 Oktober 2019. "Said Aqil Singgung Sentimen Agama dan 212 di Depan Anies", sumber; https://www.cnnindo nesia.com/nasional/20191022212949-20-441966/said-aqil-sing gung-sentimen-agama-dan-212-di-depan-anies, diunduh pada tanggal 23 Oktober 2019. Pukul:07.43 wib.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

TER KULLE-HALLER, R., Hans-Joachim Raupp, W. Frofntjes, and H. J. J. Hardy. "Een schriftkundig onderzoek van Rembrandt signaturen." Oud Holland - Quarterly for Dutch Art History 105, no. 3 (1991): 185–208. http://dx.doi.org/10.1163/187501791x00038.

Full text
Abstract:
AbstractIn forensic science, signatures are identified by means of comparative handwriting analysis - not to be confused with graphological examination. To the authors' knowledge, no systematic investigation has hitherto taken place as to the effectiveness of subjecting signatures on old master paintings to such comparative analysis. Even when judgment is passed on signatures in art-historical publications, it is seldom based on an investigation which could stand up to the critical standards of handwriting experts. Partly due to insufficient knowledge of the relevant criteria, signature assessment therefore tends to be influenced in both a positive and a negative sense by opinions about the painting. (I.b.) This article describes the results of examinations of Rembrandt signatures on paintings from the period 1632-1642, conducted by a team of two forensic handwriting experts headed by the controller of the experiment. The Rembrandt Research Project team supplied a total of 123 photographs of signatures, 88 of which were deemed suitable for evaluation, 73 of them belonged to the 'Rembrandt' type, and 15 to the 'RHL van Rijn' type. Only aftcr our examination wcrc we able to confirm, on the basis of Vol umcs 11 and 111 of the Corpus, which of these signatures occur on paintings accepted by the RRP team as authentic Rembrandts, and which on de-attributed paintings. The monograms discussed in Volume I of the Corpus proved to be unsuitable for our investigation, due to the insufficient number of characteristics they yield. (I.d. and I.e.) In the examination of handwriting, the characteristics of a series of incontestably genuine signatures arc compared with the characteristics encountered in a series of signatures whose identity is to be established. This procedure was unfeasible for the examination in question, for, regardless of whether the usual methods of comparison can be applied to signatures rendered with a brush, the question arises as to which of the signatures on a paining are indisputably authentic. Reconnaissance of the signature problem shows that the art historian is unable, for various reasons, to quarantee that a painting established without a shadow of doubt as a Rembrandt actually bears the master's own signature. (I.c.) We therefore opted for a different procedure, but not until exploratory experiments had led us to expect that the usual methods of comparing handwriting would be feasible. (III.a.) Entirely ignorant of art-historical assessments of the paintings in question and their signatures, the hand writing experts analysed the available material on the basis of characteristics used in the comparison of normal signatures and handwriting (11.a.) The team's experiment-controller liaised with the art historians and evaluated the results statistically. (I.d.) The exploratory and statistical character of our investigation was one of the reasons for dispensing with a systematic enumeration of all the individual signature assessments. Working in this fashion, we selected a group of i 'Rembrandt'type signatures from the available material, signatures which formed a homogeneous group because of their shared characteristics. We called them the reference signatures. The homogeneous character of the reference group reflects, in our opinion, the recognizable and reproducible characteristics of Rembrandt's signature. The reference signatures are therefore assumed to have been executed by Rembrandt himself. With the aid of the group of reference signatures, the other material was further evaluated. The outcome was a list in which the signatures are graded as to their probable authenticity. In forensic handwriting comparison, probability gradations stem from the statistical character of the comparison process. (II.b.) They permit nuances to be made in the assessment of a signature. The extent to which identification criteria are satisfied, the consequences of restorations and other doubtful elements which are hard to assess, especially in the case of negative judgment (V.b.), are reflected in the individual probability gradations. Figures 1, 2 and 3 show three signatures from the reference group, accompanied by a number of shared characteristics occurring in the reference group. (IV.a) Figures 4 and 5 show signatures which have been assigned a lower probability gradation; one (figure 4) graded authentic, the other (figure 5) as not. (IV.b.) Only the first four letters of the signature in figure 7 are regarded as authentic; it is one of the seven examined signatures containing only a 't'. (V.b.) This procedure skirts the problem of non-guaranteed comparative signatures. Statistical evaluation of the results can also provide an insight into the question of whether the usual techniques for examining handwriting can be successfully applied to signatures on paintings. If the assessments thus obtained prove to be reliable, they may generate further valuable art-historical information. The results of the examination of the 73 'Rembrandt'-type signa tures are summarized in a table in which the signature assessments are related to the qualifications of the paintings as recorded in Volumes 11 and 111 of the Corpus. This table does not give the probability gradations, which arc however for the sake of convenience simply grouped into 'authentic' and 'non-authentic'. (V.a. and Table I) The table contains the most pertinent statistical data. In order to test thc reliability of the handwriting experts' assessment statistically, we employed a ratio based on signatures occurring on non-authentic paintings. Reliability proved to be almost 90%. Unfortunately, authentic paintings arc not suitable subjects for this kind of test. Evaluation of the results leads us to conclude that, under conditions to be described in greater detail, handwriting examination techniques arc in fact applicable to the assessment of signatures on paintings. The procedure described here only yields results when a large number of signatures with suflicient information content are available. The 73 'Rembrandt'-type signatures permitted the formation of a reference group, but the 15 'RHL van Rijn' specimens were not enough. (V.b.) On the assumption that the handwriting experts' judgment was reliable, only about 40% of the paintings established by the RRP team as authentic were actually signed by Rembrandt himself. It transpired that one of the reference signatures came from a pupil's work (figure 6), as did two others regarded as authentic, albeit with a lower probability gradation. The handwriting experts' results thus supply independent corroboration of the art-historical opinion that Rembrandt signed studio work. (V.b. and Table I) Comparison of the results of our investigation with corresponding assessments of 'Rembrandt'-type signatures by the RRP team yielded 11 controversial opinions: 8 among the 47 authentic paintings and 3 among the 26 unauthentic ones. (V.C.I.) Apart from the experience of the handwriting experts, controversies stem from the fundamentally different approaches of the two disciplines in forming their judgment by means of selecting reference signatures and evaluating characteristics. The fact that the handwriting experts reject more signatures on authentic paintings and accept more in the case of unauthentic ones than the art historians is due to the two disciplines' different kinds of knowledge about the relationship between signature and painting. (V.c.2.) Statistical evaluation of the collaboration of the two fields leads to the general conclusion that the intervention of the handwriting experts results in significantly more rejections of signatures on authentic paintings than has been previously established by the art historians. Moreover, on the basis of results obtained by the two disciplines in the case of the 47 authentic paintings, the statistical expectation is that of all the signed authentic paintings by Rembrandt, roughly half do not (any longer) bear his own signature. (V.c.3) It is to be expected that distinct photographic enlargements, in combination with in situ scientific examination of the material condition of the signature and its direct surroundings, will improve the reliability of signature assessment. Keith Moxey, Peasants, Warriors, and Wives. Popular Imagery in the Keformation, (The University of Chicago Press. Chicago and London, 1989). 165 Seiten mit 57 Schwarz-welß-Abbildungen. In den USA ist in den letzten Jahren eine zunehmende Aufmerksamkeit für die deutsche Kunst der Dürerzeit und speziell der Reichsstadt Nürnberg zu verzeichnen. Die bedeutenden Ausstellungen 'Gothic and Renaissance Art in Nuremberg 1300-1550' (1986) und 'The World in Miniature. Engravings by the German Little Masters' (1988/89) sowie eine Reihe von Dissertationen manifestieren dieses Interesse, dem auch das vorliegende Buch zu verdanken ist. Der Autor hat sich seit seiner Dissertation über Pieter Aertsen und Joachim Beuckelaer (1977) der Erforschung der profanen und populären Bildwclt des 15. und 16. Jahrhunderts in Deutschland und den Niederlanden gewidmet und dabei die Frage nach den gesellschaftlichen Funktionen und Intentionen solcher Darstellungen im Medium der Druckgraphik in den Mittelpunkt gerückt. Der vorliegende Band präsentiert drei Studien zu thematischen Schwerpunkten des Nürnberger Einblattholzschnitts im Zeitalter der Reformation, verbunden durch weitere Kapitel über die historische Situation Nürnbergs und über die medialen Charakteristika von Holzschnitt und Einblattdruck. Der wissenschaftliche Apparat belegt, daß Moxey die reiche deutschsprachige Literatur zur Nürnberger Kunst- und Lokalgeschichte gründlich studiert hat. Seine Übersetzungen der Texte der Einblattdrucke (in den Anmerkungen nach den Originalen transkribiert und zitiert) sind akzeptabel. Das Buch wird mit einer hermeneutischen Standorthestimmung eingeleitet, was angesichts des gegenwärtigen Pluralismus der Kunstbegriffe und Methodenansätze zunehmend zum Erfordernis wissenschaftlichen Verantwortungsbewußtseins wird. Der Versuch, Bedeutung und Funktion populärer Bildmedien der Vergangenheit und ihrer Darstellungen zu ermitteln, darf sich weder auf einen ästhetisch definierten Kunstbegriff verpflichten, noch sich auf Methoden verlassen, die an diesem Kunstbegriff ausgerichtet sind. Während zum Beispiel die Ikonologie Bilder als Dokumente weltanschaulicher Einstellungen betrachtet und ihre Bedeutung an die gcistesgeschichtliche Stellung ihrer inhaltlichen Aussagen bindet, stellt sich bei den populären Bildmedien der Reformationszeit die Frage nach ihrer nicht nur reflektierenden, sondern aktiv gestaltenden Rolle als Kommunikationsmittel bei der Artikulierung gesellschaftlicher Interessen und politischer Absichten. Damit gewinnen für den Kunsthistoriker Fragestellungen der Soziologie und der Semiotik vorrangige Bedeutung. Es ergibt sich aber das Problem, daß moderne Begriffe wie 'Klasse' oder 'Ideologie' die Rekonstruktion historischer Vcrständnishorizonte behindern können. Moxey sicht dieses Problem, neigt aber dazu, ihm in Richtung auf cincn meines Erachtens oberflächlichen Pragmatismus auszuweichen, wenn er mit Hayden White postuliert, der Historiker könne nur die Fragen stellen, die ihm seine eigene Zeit aufgibt. Es wird sich zeigen, daß diese Einstellung problematische Konsequenzen hat. Der Überblick über die historische Situation Nürnbergs (Kapitel i) hebt folgende Faktoren hervor: die oligarchische Herrschaft des Handelspatriziats mit rigider Kontrolle über alle Aktivitäten der unteren Bevölkerungsschichten; die Propagierung einer vom Patriziat definierten kulturellen Identität des Nürnberger Bürgertums durch öffentliche Darbietungen (Schembartlauf, Fastnachtsspiele), bei denen die Abgrenzung von unbürgerlichen Lebensformen, personifiziert durch Narren und Bauern, eine wesentliche Rolle spielt; die Verbundenheit des herrschenden Patriziats mit der kaiserlichen Sache trotz Religonskriegen und konfessionellen Gegensätzen; der Beitrag der nationalistischen Ideen der Nürnberger Humanisten zum rcichsstädtischcn Selbstverständnis ; die Lösung des Konflilzts zwischen protestantischem Bekenntnis und Kaisertreue mit Hilfe von Luthers Lehre der 'zwei Welten'. Kapitel 2 ('The Media: Woodcuts and Broadsheets') behandelt die Aufgaben des Holzschnitts, die Bedingungen seiner Herstellung und Verbreitung im Zusammenhang mit dem rasanten Auf-stieg des Buch- und Flugblattdrucks und einer auf Aktualität zielenden Publizistik, sowie die Stellung der Künstler als Vorlagenzeichner, die von den Druckern und Verlegern weitgehend abhängig waren. Bisherige Versuche, Holzschnitte und Illustrationen als Ausdruck persönlicher Überzeugungen der Vorlagen zeichner zu deuten, mußten daher in die Irre führen, wie Moxey am Beispiel der Brüder Beham belegt. Zu den Rahmenbedingungen der medialen Funktion Nürnberger Holzschnitte gehört aber noch ein weiterer Faktor, den Moxey nicht berücksichtigt: der deutliche Gegensatz zwischen Holzschnitt und Kupferstich im Hinblick auf Verbreitung, Themenwahl, Darstellungsweise, Verhältnis Bild-Text und Rezeptionsweise, der unter anderem dazu führt, daß an übereinstimmende Themen bei gleichen Künstlern unterschiedliche formale und inhaltliche Anforderungen gestellt werden, und daß sogar Motive bei der Übernahme aus einem Medium in das andere ihre Bedeutung ändern können. Dieser Gegensatz ist charakteristisch für die Nürnberger Graphik und ist weder in der Augsburger noch in der niederländischen Graphik dieser Zeit annähernd vergleichbar deutlich ausgeprägt. Kapitel 3 ('Festive Peasants and Social Order') ist die überarbeitete Fassung eines Aufsatzes, der in 'Simiolus' 12, 1981/2 unter dem Titel 'Sebald Beham's Church Anniversary Holidays: Festive Peasants as Instruments of Repressive Humour' erschienen ist. In die damals aktuelle, von Hessel Miedema und Svetlana Alpers ausgelöste Debatte über die Deutung von Bauernfest-Darstellungen und die Funktion des Komischen in Kunst und Dichtung des 16. Jahrhunderts hatte dieser Aufsatz wegweisende Argumente eingeführt, die mir bei meinen eigenen Forschungen über die 'Bauernsatiren' sehr nützlich und klärend waren. Abgesehen von einem knappen Hinweis Konrad Rengers (Sitzungsberichte der Kunstgeschichtlichen Gesellschaft zu Berlin, neue Folge, 20, 1971/72, 9-16) hatte Moxey als erster auf den Zusammenhang der Bauernfest-Holzschnitte mit der literarischen Tradition der Bauernsatire aufmerksam gemacht, welche durch die Behams in der Verbindung von Bild und Text und der Nähe zu Dichtungen des Hans Sachs für Nürnberg aktualisicrt wurde. Diese 'Bauernfeste' sind folglich keine Zeugnisse eines folkloristischen Realismus, sondern komplexe Übertragungen literarischer Stereotype in Bilder. Die Bauern und ihre Kirmessen und Hochzeiten sind weniger Gegenstände und Ziele dieser Darstellungen, sondern fungieren als Mittel der Stände- und Moralsatire. Lediglich in einem Punkt haben mich Moxey's Argumente nicht überzeugt: für ihn scheinen die feiernden Bauern der Behams tatsächlich die Dorf-bewohner des Nürnberger Umlandes aus der ideologischen Sicht der Patrizier darzustellen. Dies deutet er an, wenn er die Holzschnitte als 'visual vehicle for the expression of class ridicule' betrachtet und im - neu formulierten - Schluß des Kapitels bei Betrachtern aus dem Nürnberger Handwerkerstand sentimentale Erinnerungen an das 'freiere' Leben ihrer bäuerlichen Vorfahren vermutet. Zu Beginn des Kapitels setzt er sich mit zwei Richtungen der traditionellen Interpretation auseinander, welche diese Holzschnitte als unmittelbare oder mittelbare, d.h. ideologische Reflexe gesellschaftlicher Wirklichkeit betrachteten. Aber auch er löst sich nicht ganz von dieser Prämisse, wie der neuformuliertc Titel 'Festive Peasants and Social Order' bekräftigt. Dagegen habe ich einzuwenden, daß die literarische Tradition der Bauern-und Bauernfestsatire in keinem unmittelbaren Zusammenhang mit der Ständelehre steht, welche die Rechte und Pflichten des Bauernstandes festlegt. Deren Gegenstand ist vielmehr der Bauer als Ernährer der Gesellschaft, der arbeitet und Abgaben leistet oder sich dieser ihm von Gott zugewiesenen Rolle verweigert. Darauf nehmen die Bauernfest-Holzschnitte nur insofern Bezug, als Ausschweifungen, Luxus und bewaffneter Streit die Einhaltung dieser bäuerlichen Pflichten gefährden. Im Vordergrund steht aber die Funktion dieser Holzschnitte als satirischer Spiegel 'bäurischer' Unsitten, so daß der Titel besser lauten sollte 'Festive Peasants and Social Behaviour'. Hier rächt es sich, daß Moxey den modernen soziologischen Bcgriff 'Klasse' anstelle des historisch angemessenen Begriffs 'Stand' verwendet. 'Stand' impliziert eine Reihe theologischer und moralischer Wertsetzungen, die dem politisch-ökonomisch definierten Begriff 'Klasse' fehlen. Aber gerade mit diesen 'argumentieren' die Holzschnitte und die ihnen entsprechenden Texte, und auf dieser Ebene des Arguments nehmen sie auch Stellung zur politischen und konfessionellen Aktualität. Eine andere Frage ist, welche Aspekte der Bedeutung der zeitgenössische Betrachter wahrnahm: politische, moralische, konfessionelle, literarische, brauchtumsmäßige usw. Dies dürfte von seiner eigenen jeweiligen Position als Bürger von Nürnberg oder einer anderen Stadt, Humanist, Lutheraner, Grundbesitzer mitbestimmt worden sein. Die 'Multifunhtionalität' der Baucrnsatire, auf die vor mir schon Hessel Miedema und Paul Vandenbroeck hingewiesen haben,2 d.h. die gesellschaftliche Differenziertheit der Rezeptionsweise, der die Holzschnitte sichtlich Rechnung tragen, darf nicht außer Betracht bleiben. In Kapitel 4 legt Moxey die erste kunsthistorische Untersuchung der zahlreichen Darstellungen von Landsknechten im Nürnberger Holzschnitt vor. Ausgangspunkt ist Erhard Schöns großformatiger 'Zug der Landsknechte' (um 1532, Geisberg 1226-1234), den Moxey als Heroisierung der kaiserlichen Militärmacht und damit als Nümberger Propaganda für die kaiserliche Politik deutet. Aktueller Anlaß ist die Türkengefahr mit der Belagerung Wiens 1532. Dies ist eine begründete, aber nicht in jeder Hinsicht überzeugende Hypothese. In den Serien einzelner Landsknechts-Figurcn van Schön (Geisberg 1981ff) und Hans Sebald Beham (Geisberg 273ff) weisen beigegebene Texte wiederholt darauf hin, daß es sich um Teilnehmer an kaiserlichen Feldzügen handelt. Im 'Zug der Landsknechte' wird zwar eine burgundischhabsburgische Fahne entrollt, aber der Text von Hans Sachs läßt den Hauptmann an der Spitze des Zuges ausdrücklich sagen: 'Die Landsknecht ich byn nemcn an/Eynem Herren hie ungemelt', was angesichts der von Moxey vermuteten pro-kaiserlichen Propaganda zumindest erklärungsbedürftig ist. Den werbenden und heroisierenden Drucken stellt Moxey eine größere Zahl von Holzschnitten gegenüber, die nicht von den Leistungen, Ansprüchen und Verdiensten der Söldner, sondern von den negativen Aspekten des Landsknechtslebens und -charakters handeln. Todesbedrohung, Sittenlosigkeit, Aggressivität und Abkehr von ehrlichem Erwerb aus Gier nach schnellem Geld werden teils anklagend teils satirisch thematisiert. Diese Gespaltenheit des Bildes vom Landsknecht in verschiedenen Drucken derselben Verleger nach Vorlagen derselben Zeichner wird mit einer widersprüchlichen Einstellung zum Krieg und mit Luthers eschatologischer Deutung der Türkengefahr als 'Gottesgeißel' in Verbindung gebracht. Der Landsknecht erscheint einerseits als 'Mittel der Bekräftigung kaiserlicher Macht angesichts einer nationalen Bedrohung', anderseits als 'Mittel der Ermahnung, daß die Türkeninvasion eher eine moralische als eine militärische Notlage darstellt, und daß physische Gewalt das ungeeignete und unangemessene Mittel der Auseinandersetzung mit einer Züchtigung Gottes ist.' Den entscheidenden Beleg für diese Deutung findet Moxey in Erhard Schöns 'Landsknechtstroß vom Tod begleitet'. Die Hure am Arm des Fähnrichs und der Hahn auf dem Trainwagen bezeichnen die sexuelle Zügellosigkeit der Landsknechte, gefangene Türken und straffällige Söldner marschieren gefesselt hintereinander. Der neben dem Trainwagen reitende Tod mit erhobenem Stundenglas wird von zwei Skeletten begleitet, von denen eines als Landsknecht, das andere als Türke gekleidet ist. Moxey: 'Durch das Auslöschen der Unterschiede zwischen Türkc und Landsknecht leugnet der Tod die heroischen Eigenschaften, die dem Söldner in Werken wie 'Der Zug der Landshnechte' zugeschrieben werden. In diesem Zusammenhang erscheint die kaiserliche Sache nicht wertvoller als die der Feinde.' Einer Verallgemeinerung dieser Deutung und ihrer Übertragung auf die anderen negativen Landsknechtsdarstellungen ist cntgegenzuhalten, daß es in diesen keinerlei Anspielungen auf die Türken gibt. Das gilt insbesondere für einen 'Troß'-Holzschnitt des Hans Sebald Beham (Geisberg 269-272), der um 1530, d.h. vor Schöns 'Troß vom Tod begleitet' entstanden sein dürfte und mit diesem das Vorbild von Albrecht Altdorfers 'Troß' aus dem 'Triumphzug Kaiser Maximilians I.' teilt. Behams 'Troß' steht unter dem Kommando eines 'Hurnbawel' (Hurenwaibel), der den von einem Boten überbrachten Befehl zum Halten angesichts einer kommenden Schlacht weitergibt. Der Troß aus Karren und Weibern, begleitet von unheroischen, degeneriert aussehenden Landsknechten oder Troßbuben, führt vor allem Fässer, Flaschen und Geflügel mit. Die Fahne wird von einem Hahn als dem bedeutungsträchtigen Feldzeichen dieses zuchtlosen und lächerlichem Haufens überragt. Moxey hat diesen Holzschnitt nicht berücksichtigt. Mein Eindruck ist, daß eine religiös oder ethisch motivierte ambivalente Einstellung zur Kriegführung im Allgemeinen oder zum Türkenkrieg im Besonderen nicht die Gegensätzlichkeit des Landsknechtsbildes erklären kann. Ich sehe vielmehr eine Parallele zu dem ähnlich gespaltenen Bild vom Bauern in positive Ständevertreter und satirische Vertreter 'grober' bäurischer Sitten. Bei den Landsknechtsdarstellungen kann man zwischen werbenden und propagandistischen Bildern heroischer Streiter für die kaiserliche Sache und kritisch-satirischen Darstellungen der sittlichen Verkommenheit der Soldateska und der sozial schädlichen Attraktivität des Söldnerwesens für arme Handwerker unterscheiden. Kapitel 5 ('The Battle of the Sexes and the World Upside Down') behandelt eine Reihe von Drucken, welche die Herrschaft des Mannes über die Frau und die Pflicht des Mannes, diese Herrschaft durchzusetzen, zum Gegenstand haben. Die Fülle solcher Drucke im Nürnberg der Reformationszeit und die Brutalität, die den Männern empfohlen wird, erlauben es nicht, hier bloß eine Fortsetzung mittelalterlicher Traditionen frauenfeindlicher Satire zu sehen. Moxey erkennt die Ursachen für die besondere Aktualität und Schärfe dieser Bilder in den demographischen und sozialen Verhältnissen Nürnbergs (Verdrängung der Frauen aus dem Erwerbsleben im Zuge verschärfter Konkurrenzbedingungen) und im Einfluß der lutherischen Ehelehre. Die Familie wird als Keimzelle des Staates aufgefaßt, die Sicherung familiärer Herrschaftsstrukturen gilt als Voraussetzung für das Funktionieren staatlicher Autorität und ist daher Christenpflicht. Dieser Beitrag ist eine wertvolle Ergänzung der Untersuchungen zur Ikonologie des bürgerlichen Familienlebens in reformierten Ländern des 16. und 17. Jahrhunderts, die sich bisher auf die Niederlande konzentriert hatten.3 Die abschließenden 'Conclusions' versuchen, aus diesen Ergebnissen eine präzisere Charakterisierung der medialen Qualitäten Nürnberger Holzschnitte zu gewinnen. Ihr 'schlichter Stil' oder 'Modus' folgt aus einer bewußten Reduzierung der formalen Mittel der Graphik und ermöglicht eine Unterordnung des Bildes unter den Text. Einblattdrucke und Flugblätter stehen den Inkunabelillustrationen nahe, bei denen die 'Lesbarkeit' des Bildes die dominierende Form von Anschaulichkeit ist. Mit Norman Bryson spricht Moxey von 'diskursiven' Bildern, die keinen Anspruch auf künstlerischen Eigenwert machen und deren Informationsgehalt einseitig auf den Text bezogen ist. Die Reduktionen der formalen Mittel, d.h. die Verkürzung der Information verlangt von Betrachter die Auffüllung mit Bedeutungen, die dem Text oder - in dessen Abwesenheit - 'Zeichensvstemen anderer Ordnung', z.B. Fastnachtspielen zu entnehmen sind. Eine charakteristische Sonderform ist die Rcihung von einzelnen, relativ gleichförmigen Bildern zu Serien, zu einer friesartigen Gesamtkomposition. Moxey erklärt dieses Prinzip mit der Vorbildhaftigkeit der Riesenholzschnitte für Kaiser Maxmilian I., in denen Redundanz als Mittel propagandistischer Wirkungssteigerung fungiert. Dies scheint mir zu kurz gegriffen, den gcrade in Nürnberg dürfte die literarische und dramatische Form des 'Reihenspiels' (die einzelnen Darsteller treten wie in einer Rev ue nacheinander vor und sprechen ihren Text) ein noch wiehtigerer Ausgangspunkt gewesen sein, zumal diese literarische Form auch in den Texten vieler Einblattdrucke angewendet wird, vor allem von Hans Sachs. Der 'schlichte Stil' oder Modus läßt viel mehr Abstufungen und Variationen zu, als Moxey's 'Conclusions' zu erkennen geben. In Holzschnitten wie Hans Sebald Behams 'Großes Bauernfest' liegt eine komplexe Darstellungsweise vor, die die Bezeichnung 'schlicht' kaum mehr verdient. Moxey's Unterscheidung in einen lesbaren Vordergrund und einen 'malerischen' Hintergrund ist unangemessen. Ich gebe zu bedenken, daß durch das Wirken Dürers dem Nürnberger Holzschnitt auch spezifisch künstlerische Maßstäbe eröffnet worden sind. Dürer schreibt in seiner 'seltzame red' ausdrücklich, 'das manicher etwas mit der federn in eine tag auff ein halben bogen papirs reyst oder mit seim eyrsellein etwas in ein klein hoeltzlein versticht, daz wuert kuenstlicher und besser dann eins ändern grosses werck.'4 Unter Dürers Einfluß hat der Nürnberger Holzschnitt sich die Möglichkeiten des perspektivisch organisierten Bildraumes erschlossen. Das bedeutet, daß neben das herkömmliche Anschaulichkeitprinzip der 'Lesbarkeit' von Motiven, die auf einer Bildebene aufgereiht sind, das neue Anschaulichkeitprinzip der Perspektivität tritt, die nach den Begriffen der humanistischen Kunstlehre dem rhetorischen Ideal der 'perspicuitas' entspricht. Auch wenn die Einblattholzschnitte nur zu einem Teil und sichtlich unentschieden von dieser neuen Bildform Gebrauch machen, so steht doch fest: der 'schlichte Stil' läßt Veränderungen und Entwicklungen zu, in denen Raum für spezifisch künstlerische Faktoren ist. Moxey's Verzicht auf spezifisch kunsthistorische Fragestellungen enthält die Gefahr einer Verengung des Blickwinkels. Auch seine Einschätzung der bloß dienenden Rolle des Bildes gegenüber dem Text erscheint differenzierungsbedürftig. Indem die knappen und reduzierten Angaben des Bildes den Betrachter dazu veranlassen, sie mit Textinformationen aufzufüllen und zu ergänzen, wächst dem Bild eine aktive Rolle zu: es organisiert und strukturiert die Lektüre des Texts. Im Einblattdruck 'Zwölf Eigenschaften eines boshaften und verruchten Weibes' (Moxey Abb.5.16) zählt der Text von Hans Sachs auf: Vernachlässigung von Haushalt und Kindern, Naschhaftigkeit, Verlogenheit, Putz-sucht, Stolz, Streitsucht, Ungehorsam, Gewalt gegen den Ehe-mann, Verweigerung der ehelichen Pflicht, Ehebruch und schließlich Verleumdung des Ehemannes bei Gericht. Erhard Schöns Holzschnitt zeigt in der Öffnung der beiden Häuser die Punkte I und 12 der Anklage, unordentlichen Haushalt und Verleumdung vor Gericht. Im Vordergrund ist der gewalttätige Streit dargestellt, der das Zerbrechen der ehelichen Gemeinschaft und der familiären Ordnung offenbar eindeutiger zeigt als etwa der Ehebruch. Das Bild illustriert folglich nicht nur, es interpretiert und akzentuiert. Diese aktive Rolle des Bildes gegenüber dem Text ist eine bedeutende Funktionserweiterung des illustrativen Holzschnitts, als deren Erfinder wohl Sebastian Brant zu gelten hat.5 Nach Moxey's Überzeugung 'artilculiert' das in den Nürnberger Holzschnitten entwichelte 'kulturelle Zeichensystem' Vorstellungcn von gesellschaftlichen Beziehungen und Wertmaßstäben, die zutiefst von Luthers Soziallehre geprägt sind und als Maßgaben eines göttlichen Gebotes unverrückbar festgeschrieben und verteidigt werden. Es war im Interesse des Patriziats, diese Stabilität bei allen Bevölkerungsschichten durchzusetzen, und dabei spielten die Einblattdrucke und Holzschnitte eine aktive, gestaltende Rolle. Trotz mancher Einwände im Einzelnen glaube ich, daß diese Deutung grundsätzliche Zustimmung verdient.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

FRANK, MARTIN. "Kultureller Pluralismus und Minderheitenrechte." Deutsche Zeitschrift für Philosophie 46, no. 3 (January 1, 1998). http://dx.doi.org/10.1524/dzph.1998.46.3.393.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Moller, P. H. "Suid-Afrika se eksperiment met kulturele pluralisme." Koers - Bulletin for Christian Scholarship 63, no. 4 (March 6, 1998). http://dx.doi.org/10.4102/koers.v63i4.543.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

"Menegakkan HAM “Kultural” (Cultural Rights) Melalui Peran Islam dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia." Resolusi: Jurnal Sosial Politik, 2020. http://dx.doi.org/10.32699/resolusi.v3i2.1302.

Full text
Abstract:
This paper reviews comprehensively about how to uphold "cultural" human rights through the role of Islam in the discourse of religious pluralism in Indonesia. This study explores the strategic position of Muslims in building religious pluralism both concepts and actions, which in the end discourse on religious pluralism not only pours sweet words, but can be implemented in an effort to create harmony in religious life in Indonesia. The study of cultural rights is not only aimed at upholding human rights based on culture, but its output provides input to the government in formulating a policy agenda in overcoming issues of religious conflict, injustice and discrimination in Indonesia.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Albrecht, Johannes-Friedrich. "Anerkennung." Neue Zeitschrift für Systematische Theologie und Religionsphilosophie 56, no. 2 (January 1, 2014). http://dx.doi.org/10.1515/nzsth-2014-0010.

Full text
Abstract:
ZusammenfassungAxel Honneth weist im Anschluss an Hegel der Anerkennung im Zusammenspiel verschiedener Sozialsphären die entscheidende Funktion für die Verwirklichung von Gerechtigkeit im Sinne der Ermöglichung von individueller Autonomie zu. Die Theorie der Anerkennung steht dabei in einem engen Zusammenhang mit einem biblisch-reformatorischen Verständnis von Versöhnung, Rechtfertigung und Gerechtigkeit. Dies wird insbesondere bei Hegel als wesentlichem Begründer des Anerkennungskonzeptes deutlich. Die Theorie der Anerkennung hat, herausgefordert durch die Situation des Pluralismus, neu an Aufmerksamkeit gewonnen. Dies zeigt sich im Bereich des Rechtes und der Zivilgesellschaft an der zunehmenden Sensibilität für das Recht auf Inklusion und Beteiligung und für kulturelle und religiöse Minderheitenrechte. Es zeigt sich auch daran, wie die Funktion kultureller und religiöser Gemeinschaften und die Bedeutung der Zivilgesellschaft für die Verwirklichung von Gerechtigkeit neu erkannt wird. Die Perspektive der Anerkennung verändert damit auch den Diskurs über Gerechtigkeit. Dieser wird pluraler, offener auch für religiöse Beiträge, er orientiert sich stärker an der Lebenswelt. Neu zu denken gibt die Theorie der Anerkennung auch dadurch, dass sie die spezifische und grundlegende Bedeutung der Kommunikation und Erfahrung göttlicher Anerkennung für Selbstachtung und Autonomie und damit für Gerechtigkeit wieder in den Blick rückt.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Kemp, Walter. "Minderheiten im größer werdenden Europa: Integration und kultureller Pluralismus." Jahrbuch Menschenrechte 2005, jg (December 1, 2004). http://dx.doi.org/10.7788/jbmr-2004-jg06.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Syahrul, Syahrul. "Menanamkan Kemuhammadiyaan Pada Mahasiswa Non-Muslim Melalui Pendidikan Multikultural di Universitas Muhammadiyah Kupang." EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 18, no. 2 (August 30, 2020). http://dx.doi.org/10.32729/edukasi.v18i2.643.

Full text
Abstract:
AbstractThe purpose of this study was conducted to determine the emphasis of Muhammadiyah and cultural propaganda to non-Muslim students through multicultural education. The study uses a qualitative method and purposive sampling to select the subjects, namely non-Muslim students, lectures of multicultural education, and AIK. Data were collected through interviews, observation, file notes, and analyzed in one circle among data collection, categories, reading, memoing, description, classification, interpretation, and visualization. The result is (1) after applying four multicultural education approaches, such as contribution, additive, transformation, and social action approaches, the values of Muhammadiyah can be emphasized and do not undermine their non-Muslim religious. Furthermore, they realize that Muhammadiyah is an Islamic organization that is inclusive and pluralist. On the other hand, (2) cultural and lectures use community propaganda as a learning strategy to explain the values of Muhammadiyah to be accepted by non-Muslim students. AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penanaman kemuhammadiyahan dan dakwah kultural Muhammadiyah pada mahasiswa non-Muslim melalui pendidikan multikultural. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan penentuan subjek purposive sampling yang terdiri dari mahasiswa non-Muslim, dosen pendidikan multikultural, dan dosen AIK. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan catatan lapangan yang dianalisis dengan teknik lingkaran yang bergerak di antara pengumpulan data, pengorganisasian data, pembacaan, memoing, deskripsi, klasifikasi, penafsiran, penyajian dan visualisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) setelah diterapkan empat pendekatan pendidikan multikultural, yaitu pendekatan kontribusi, aditif, tranformasi dan aksi sosial, maka nilai-nilai kemuhammadiyaan pada mahasiswa non-Muslim dapat ditumbuhkan dan tidak melunturkan keyakinan mereka terhadap agamanya. Selanjutnya mereka menyadari bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang bersikap inklusif dan pluralis. Selain itu, (2) dakwah kultural dan komunitas digunakan oleh dosen sebagai strategi pembelajaran untuk menjelaskan nilai-nilai kemuhammadiyaan agar bisa diterima oleh mahasiswa non-Muslim.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Sandkühler, Hans Jörg. "Lebensweisen denken - epistemische Kulturen, Pluralismus und die Funktion des Rechts in der Demokratie." Hegel-Jahrbuch 2007, no. 1 (January 1, 2007). http://dx.doi.org/10.1515/hgjb-2007-0164.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

Soebijantoro, Soebijantoro. "PERAN PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PENGEMBANGAN PENGAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULTUR DI LPTK." AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 1, no. 1 (January 2, 2011). http://dx.doi.org/10.25273/ajsp.v1i1.121.

Full text
Abstract:
<p>Karakteristik masyarakat Indonesia dapat ditunjukkan dengan keragaman, baik suku, bahasa, agama, budaya maupun adat istiadat. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, maka kesadaran akan sifat humanis, pluralis dan demokratis di atas keragaman merupakan sebuah tuntutan. Kristalisasi budaya atas sifat-sifat<br />tersebut telah tercatat dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia. Pendidikan multikultur di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) diharapkan dapat menumbuhkan empati bagi calon-calon guru yang melihat bahwa keragaman adalah sebuah kenyataan, bukan sesuatu yang harus dihindari. Pendidikan sejarah diharapkan dapat mengantarkan kesadaran itu melalui pengembangan pembelajaran berbasis kultural dengan acuan pengalaman kolektif bangsa Indonesia.</p><p> </p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Fuad, Jauhar. "PERGURUAN TINGGI DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL." Jurnal Pemikiran Keislaman 22, no. 2 (March 3, 2013). http://dx.doi.org/10.33367/tribakti.v22i2.88.

Full text
Abstract:
Indonesia adalah Negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi soso-kultural mau pun geografis yang begitu luas dan beragam. Maka PAI diarahkan untuk mencegah munculnya berbagai benturan dan kompetisi berdasarkan pluralisme budaya, agama, suku, dan ras. Pendidikan multikultural, pada PAI berkenaan dengan konsep keragaman etnis dan pengaruhnya, dimana dapat ditarik kesimpulan bahwa; perbedaan itu tidak menjadi masalah dan berjalan dengan baik dan rukun. Pengembangan pendidikan multikultural dapat dilakukan secara makro dan secara mikro. Secara keseluruhan materi PAI dapat diarahkan untuk menumbuhkan sikap saling menghargai, toleransi antar etnis antar agama dan lain sebagainya. Metode diskusi dimaksudkan untuk melatih berbicara, melatih berpendapat, mengungkapkan isi hatinya dan mampu mengembangkan dialektika secara kritis. Ada keberimbangan antara ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Nilawati, Ike, Sahudi Sahudi, Uus Ruswandi, and Mohamad Erihardiana. "Penerapan Pendidikan Multikultural." Jambura Journal of Educational Management, February 24, 2021, 1–14. http://dx.doi.org/10.37411/jjem.v2i1.567.

Full text
Abstract:
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui penerapan pendidikan multicultural pada SMK Kesehatan Mutiara Bangsa Purwakarta Jawa Barat.. Metode penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber data yang diperoleh dari kajian literature atau studi pustaka serta observasi danwawancara. Lokasi penelitian SMK Kesehatan Mutiara Bangsa Purwakarta Jawa Barat. Responden sejumlah 38 siswa kelas X. Hasil penelitian: Penerapan pendidikan Multicultural di SMK Kesehatan Mutiara Bangsa Purwakarta Jawa Barat sudah sesuai dan terlaksana dengan baik.1).Penerapan menghargai pluralitas dan heterogenitas sudah sesuai dengan intruksi pemerintah berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. 2).Penerapan Idiologi sudah baik dilaksanakan sesuai dengan intruksi pemerintah berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.3).Penerapan konsep multikultural telah menggunakan konsep demokrasi, keadilan, hukum, nilai-nilai budaya,etos, hak asasi manusia. 4). Pelaksanaan pendidikan multikultural sebagai ide dan proses sudah terlaksana tanpa melihat gender, kelas sosial, etnik, ras, dan karakteristik budaya harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah 5)Pelaksanaan Tujuan Pendidikan multikultural sudah terlaksana dengan baik tidak membedakan kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama Pendidikan akan dasar-dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas. 6).Pelaksanaan pendidikan multikulturan telah menggunakan model, yakni :a) Pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimiliasi kultural; b) Pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial;c) Pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat;d) Pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan . 7).Penerapan Pendidikan Islam dalam Pelaksanaan Multikultul Comission on Education for theTwenty-first Century, bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai suatu bangunan ditopang oleh empat pilar, yaitu (a) leraning to know atau learning to learn, (b) learning to do, (c) learning to live together, (d) learning to be.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Maulani, Amin. "Tranformasi Learning dalam Pendidikan Multikultural Keberagaman." Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi 1, no. 1 (January 9, 2013). http://dx.doi.org/10.21831/jppfa.v1i1.1049.

Full text
Abstract:
Abstrak Pendidikan multikultural seharusnya bisa menjadi suatu proses transformasional, bukan sekedar proses toleransi. Artinya pendidikan multikultural bukan sekedar mengajar tentang kebudayaan yang berbeda-beda kebudayaan dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan mendukung apresiasi, kenyamanan, toleransi tehadap budaya lain. Sebagai proses transformasional, pendidikan multikultural hadir sebagai proses melalui seluruh aspek pendidikan diuji dan dikritik serta dibangun kembali atas dasar ideal-ideal persamaan dan keadilan sosial; membantu perkembangan semua orang dari semua kebudayaan. Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar didunia yang menganut paham Bhineka Tunggal Ika. Kenyataan ini dapat dilihat dari sosio-kultural dan gegografisnya meliputi agama, ras, suku, budaya dan lainnya. Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan materi yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan. Pada akhirnya dapat dihasilkan output yang tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmunya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan pemeluk agama dan kepercayaan lain. Kata kunci: transformasi learning, pendidikan multikultural, keberagamaan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Abdullah, Muhammad Qadaruddin. "Strategi Dakwah Plural dalam Merawat Pluralitas di Kalangan Remaja." Anida (Aktualisasi Nuansa Ilmu Dakwah) 19, no. 2 (February 3, 2020). http://dx.doi.org/10.15575/anida.v19i2.7589.

Full text
Abstract:
Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi turut mendukung proses transformasi pengetahuan, ideologi serta paham kegamaan, sehingga remaja dengan mudah mengkonsumsi berbagai paham (terutama radikalisme) melalui media sosial. Meskipun remaja tidak terlibat dalam suatu kelompok maupun kajian-kajian tertentu, namun beberapa remaja terpapar paham radikal karena intens mengakses paham radikal melalui media sosial. Media sosial dalam konteks ini dipandang sebagai pintu masuk paham-paham radikal sehingga dikuatirkan paham ini akan memengaruhi remaja secara massif akibat penggunaan media sosial tanpa pengawasan pihak terkait. Beberapa permasalahan, diantaranya; beragamnya paham-paham yang menyebar di kalangan remaja, beragamnya strategi dakwah di kalangan remaja, sulitnya membedakan perilaku kelompok kegamaan yang radikal, banyaknya kegiatan-kegiatan remaja yang tidak dianggap tidak sesuai. Tujuan Penelitian adapun tujuan penelitian ini yakni sebagai berikut: Pertama, Mengidentifikasi dan menganalisis tentang paham-paham keagamaan di kalangan remaja. Kedua, Mendeskripsikan dan menganalisis bentuk strategi dakwah di tengah pluralitas. Berdasarkan hasil penelitian ada tiga strategi dakwah plural dalam merawat pluralitas di kalangan remaja: Pertama, strategi kultural, Kedua Startegi Struktural, Ketiga Staregi New Media.The rapid development of information and communication technology also supports the process of transformation of knowledge, ideology and understanding of religiosity, so that adolescents can easily consume various understandings (especially radicalism) through social media. Even though adolescents are not involved in a particular group or studies, some adolescents are exposed to radical understanding because it is intense in accessing radical understanding through social media. Social media in this context is seen as the entrance to radical notions so it is feared that this understanding will affect adolescents massively due to the use of social media without the supervision of related parties. Some problems, including; the variety of understandings that spread among adolescents, the variety of propaganda strategies among adolescents, the difficulty of distinguishing radical religious group behavior, the many teenage activities that are not considered inappropriate. Research Objectives As for the purpose of this study are as follows: First, Identifying and analyzing religious understandings among adolescents. Second, describe and analyze the form of da'wah strategy in the midst of plurality. Based on the results of the study there are three da'wah strategies in treating plurality among adolescents: First, cultural strategy, Second Structural Strategy, Third New Media Strategy.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Sambati, Douglas. "The Indian Origin of Romani people as a Founding Myth in Eastern European Museums." Cadernos de Sociomuseologia, 2019. http://dx.doi.org/10.36572/csm.2019.vol.58.03.

Full text
Abstract:
The article analyses three museums – the Muzeum Romské Kultury in Czech Republic, the Muzej Romské Kulture in Serbia, and the Roma Ethnographic Museum in Poland – can be considered as elements of the Romani Nationalism. The main objective is to reflect on how these museums support a broad narrative about a common Indian origin of Gypsy/Romani populations. It is discussed how the aforementioned museums – by means of their exhibitions, websites, events or other any kind of official production – support sets of representations which allow a formation of an umbrella rhetoric about the groups known, taken and self-ascribed as Gypsies and/or Roma. The said rhetoric, then, is able to shelter all different groups within this population in a holistic manner, based on a narrative formed by essentializations, exoticizations and generalizations. The utmost layer of such practices it is an elaboration of a founding myth of their Indian Origins. This paper understands throughout that museums have a role in the process in which the concept of Roma is generalized in an attempt to rewrite and relabel Gypsy memory as a Roma history. Hence, considering the plurality that characterise the Gypsy/Romani people, it was necessary to articulate common aspects – whether truthful or not, is not the target of this article to discuss – which would legitimise this new identity, a Roma identity. This paper relies on the theories about memory, museology, sociomuseology, and the theory of representations. Key-words: Gypsy/Roma; Museums; Indian Origins; Nationalism.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Sutianti, Sutianti. "Dinamka Konflik Antar Etnis Dayak dan Etnis Madura di Samalantan Kalimantan Barat." ijd-demos 2, no. 1 (April 30, 2020). http://dx.doi.org/10.37950/ijd.v2i1.35.

Full text
Abstract:
Conflict is one of the social phenomena that continues to exist in human life. Conflict usually comes from several aspects such as social change, differences in authority (authority), differences in interests and cultural differences. Because Indonesia is a very diverse country of pluralism it is a variety of ethnic and ethnic diversity. Such diversity and diversity can lead to ethnic conflict. Simply put, this article will analyze the causes of conflict between ethnic Dayak and Madura in West Kalimantan, especially in Samalantan sub-district, how the impact will be caused by the conflict between Dayak ethnic with Madura in Samalantan, and also the attitude or action of the government to the conflict. In writing this scientific paper the author uses the method of literature study that comes from books or various articles that according to the author can support this writing. And based on the author’s analysis of the conflict between Dayak ethnic with Madura in Samalantan. Apparently the conflict in Samalantan has happened more than ten times, can not be added with certainty. The background of the conflict occurred because of the lack of government role in providing information to the Madura who will migrate to the island of Borneo about the customs, culture, and things that are not liked by the Dayaks when incoming by ethnic immigrants. The government's action to resolve the conflict is to facilitate the meeting between the two Dayak ethnic groups with Madura. But the impact of the conflict is certainly there are positive and negative, the positive Madurese become independent, and the Dayak negatively arise casualties. Konflik merupakan salah satu fenomena sosial yang terus ada dalam kehidupan manusia. Konflik biasanya bersumber dari beberapa aspek seperti adanya perubahan sosial, perbedaan kewenangan (otoritas),perbedaan kepentingan dan perbedaan kultural. Karena indonesia merupakan sebuah negara yang sangat majemuk dari kemajemukan itu adalah adanya berbagai keragaman etnis dan suku bangsa. Dari keberagaman dan perbedaan tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik etnis. Secara sederhana, tulisan ini akan menganalisa penyebab terjadinya konflik antara etnis dayak dan madura di kalimantan barat khususnya di kecamatan samalantan, bagaimana dampak yang akan ditimbulkan dari konflik antar etnis Dayak dengan Madura di Samalantan, serta bagaimana sikap ataupun tindakan pemerintah terhadap konflik tersebut. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode studi pustaka yang bersumber dari buku-buku atau berbagai artikel yang menurut penulis dapat mendukung penulisan ini. Dan berdasarkan hasil analisa penulis terhadap konflik antar etnis Dayak dengan Madura di Samalantan. Ternyata konflik di Samalantan sudah terjadi lebih dari sepuluh kali, tidak bisa dijumlahkan dengan pasti. Adapun latar belakang dari konflik tersebut terjadi karena kurang adanya peran pemerintah dalam memberi informasi terhadap orang Madura yang akan bertransmigrasi ke pulau Kalimantan mengenai adat istiadat, budaya, serta hal-hal yang tidak disukai oleh orang-orang Dayak ketika di datangi oleh etnis pendatang. Tindakan pemerintah dalam mengatasi konflik adalah dengan memfasilitasi pertemuan antara kedua etnis Dayak dengan Madura. Tetapi dampak yang di timbulkan dari konflik itu tentu ada yang positif dan negatif, positifnya orang Madura menjadi mandiri, serta orang Dayak negatifnya timbul korban jiwa
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography