To see the other types of publications on this topic, follow the link: Klinisk apotekare.

Journal articles on the topic 'Klinisk apotekare'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 42 journal articles for your research on the topic 'Klinisk apotekare.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Islamiyah, Alfi Nurul. "Telaah Potensi Interaksi Obat Resep Polifarmasi Klinik Jantung pada Salah Satu Rumah Sakit di Bandung." Kartika : Jurnal Ilmiah Farmasi 8, no. 1 (April 3, 2021): 25. http://dx.doi.org/10.26874/kjif.v8i1.283.

Full text
Abstract:
Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROM) adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Sekitar sepertiga kasus ROM yang dapat dicegah merupakan interaksi obat. Obat kardiovaskular yang diresepkan secara tidak tepat bertanggung jawab atas hampir 25% dari semua ROM yang dapat dicegah, Saat ini, polifarmasi adalah hal biasa dijumpai dalam praktik kefarmasian. Studi observasional retrospektif dilakukan pada pasien rawat jalan klinik jantung salah satu rumah sakit di Bandung. DIlakukan identifikasi potensi interaksi obat pada resep dengan tujuh atau lebih obat (polifarmasi), untuk memberikan gambaran terkait frekuensi interaksi obat, obat yang terlibat dalam interaksi, dan tingkat keparahan interaksi obat. Terdapat 41 potensi interaksi obat dengan keparahan berat yang penting secara klinis, yang teridentifikasi pada 30 (22,06%) resep polifarmasi di klinik jantung. Sebanyak 8 (26,67%) resep diantaranya memiliki 2 potensi interaksi obat yang penting secara klinis, dan 1 (3,33%) resep memiliki 4 potensi interaksi obat yang penting secara klinis. Selain itu teridentifikasi pula 8 (19,51%) interaksi obat dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin [5 (12,19%)] dan digoksin [3 (7,32%)]. Apoteker di rumah sakit harus berperan aktif dalam mengidentifikasi interaksi obat dan memberikan informasi terkait interaksi obat beserta rekomendasi manajemen terapi yang terbukti secara klinis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Susyanty, Andi Leny, Yuyun Yuniar, Max J. Herman, and Nita Prihartini. "Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas." Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 30, no. 1 (May 31, 2020): 65–74. http://dx.doi.org/10.22435/mpk.v30i1.2062.

Full text
Abstract:
Abstract Pharmaceutical services have been gradually applied in primary health services both in terms of pharmaceutical management and clinical pharmacy services. In order to support the implementation, the standard has been amended several times, resulting Permenkes Number 74 of 2016 Concerning the Pharmaceutical Services Standard in Public Health Centre (puskesmas) as the most updated one. This study aimed to determine the suitability of the implementation of pharmaceutical service standards in the management of medicine and clinical pharmacy at the puskesmas. The cross-sectional research design was conducted in February-November 2017. The selection of provincial locations was carried out purposively. Data collection tools were questionnaires and a list of standard pharmacy services at the puskesmas. Data were analyzed descriptively. The results showed that 54.5% of the puskesmas did not have pharmacists as the responsible person and only 18.2% of the puskesmas had sufficient pharmacist and pharmaceutical technical staff for both drug management activities and clinical pharmacy services. Comprehensive drug management activities in accordance with pharmaceutical service standards at the puskesmas have been implemented in 96.7% of puskesmas with pharmacists. Comprehensive clinical pharmacy service activities according to pharmacy service standards at puskesmas are only applied in 23.3% of puskesmas with pharmacists. The availability and ability of pharmacists in providing clinical pharmacy services in puskesmas need to be a concern. Abstrak Pelayanan kefarmasian secara bertahap telah mulai diterapkan di pelayanan kesehatan dasar, baik dalam kewajiban pengelolaan farmasi maupun pelayanan farmasi klinis. Untuk mendukung hal tersebut, standar pelayanan kefarmasian di puskesmas telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir diperbaharui dengan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di puskesmas. Studi ini bertujuan mengetahui kesesuaian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian dalam pengelolaan obat dan farmasi klinik di puskesmas. Desain penelitian potong lintang dilakukan pada bulan Februari-November 2017. Pemilihan lokasi provinsi dilakukan secara purposif. Alat pengumpul data berupa kuesioner dan daftar tilik standar pelayanan kefarmasian di puskesmas. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 54,5% puskesmas belum mempunyai tenaga apoteker sebagai penanggung jawabnya dan hanya 18,2% puskesmas yang jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasiannya mencukupi untuk kegiatan pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan pengelolaan obat yang komprehensif sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas sudah diterapkan di 96,7% puskesmas yang memiliki apoteker. Kegiatan pelayanan farmasi klinis yang komprehensif sesuai standar pelayanan kefarmasian di puskesmas hanya diterapkan di 23,3% puskesmas yang memiliki apoteker. Ketersediaan dan kemampuan apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi klinik di puskesmas perlu menjadi perhatian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Herawati, Fauna, Ni Nyoman Yuni Astrini, and I. Made Agus Gelgel Wirasuta. "Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat antara Dokter dan Apoteker di Apotek." MPI (Media Pharmaceutica Indonesiana) 1, no. 2 (April 11, 2017): 85–91. http://dx.doi.org/10.24123/mpi.v1i2.190.

Full text
Abstract:
Kolaborasi antar tenaga kesehatan diperlukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatankepada pasien. Kolaborasi antar tenaga kesehatan didefinisikan sebagai profesional tenaga kesehatandengan peran yang saling melengkapi dan kooperatif bekerja sama, berbagi tanggung jawab untukpemecahan masalah dan pengambilan keputusan untuk merumuskan dan melaksanakan rencanaperawatan pasien; demikian pula dalam kolaborasi dokter dan apoteker, diperlukan kesepahamantentang masalah terkait obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kesepahaman dokter-apoteker di klinik pada periode September-Oktober 2013. Penelitian ini menggunakan metodedeskriptif observasional dan dilakukan di salah satu apotek di Bali yang bekerja sama dengan dokterspesialis penyakit dalam. Sampel penelitian adalah resep dokter spesialis penyakit dalam untukpasien diabetes mellitus (DM) dan pengambilan resep dilakukan secara consecutive sampling. Jumlahsampel yang berhasil diperoleh berjumlah 102 lembar resep pasien diabetes melitus rawat jalanyang akan dianalisis melalui 3 tahap dengan menggunakan elemen medication therapy management(MTM), daftar periksa the Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) versi 6.2, dan kappa agreement.Hasil analisis menunjukkan tingkat kesepahaman (κ) sebesar 0,84. Kesepahaman antara dokterdan apoteker tentang masalah terkait obat sangat baik (95% sepaham); ketidaksepahaman terutamaterkait pertimbangan klinis penggunaan obat dan kepatuhan pasien, oleh karena itu apotekerperlu meningkatkan pengetahuan agar dapat berkontribusi dalam kolaborasi tersebut. Apotekerdalam kolaborasi interprofesional dapat berperan dalam pengaturan dosis, identifikasi efek samping,rekonsiliasi pengobatan, dan memberikan rekomendasi terapi berbasis bukti.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Djamaluddin, Furqan, Amir Imbaruddin, and Muttaqin Muttaqin. "KEPATUHAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO." Jurnal Administrasi Negara 25, no. 3 (February 7, 2020): 176–93. http://dx.doi.org/10.33509/jan.v25i3.923.

Full text
Abstract:
Pelayanan farmasi klinik merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien sehingga perlu dilakukan kesesuaian standar pelayanan farmasi klinik untuk menciptakan pelayanan yang bermutu dan berkualitas. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kepatuhan Pelayanan Farmasi Klinik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo sesuai dengan sebelas indikator pelayanan farmasi klinis berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016. Metode penelitian menggunakan pendekatakan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan Teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Informan penelitian adalah Kepala Instalasi Farmasi, penanggung jawab Pelayanan Informasi Obat, penanggung jawab Depo, apoteker, dan pasien. Hasil penelitian menemukan bahwa sebelas indikator pelayanan farmasi klinik yaitu pengkajian dan pelayanan Resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril; dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) sudah dilaksanakan dengan baik walaupun masih ada indikator yang belum optimal. Hanya satu indikator yang belum terlaksana yaitu pemantauan kadar obat dalam darah karena terkendala dengan pembiayaan sarana dan prasarana yang cukup mahal. Kepatuhan Pelayanan Farmasi Klinik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar sudah dilakukan cukup baik tetapi masih terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi oleh pihak rumah sakit, diantaranya perlu peningkatan SDM, penjadwalan visite yang lebih intens, penganggaran yang memadai untuk pengadaan alat kesehatan dan produk media edukasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Agung Pradana, Luthfi, and Dwi Krisbiantoro. "Implementasi Rest Untuk Membangun Aplikasi Pemeriksaan Pasien Pada Klinik Koent Berbasis Website." Jurnal Pendidikan dan Teknologi Indonesia 1, no. 3 (March 6, 2021): 111–20. http://dx.doi.org/10.52436/1.jpti.16.

Full text
Abstract:
Kesehatan merupakan kebutuhan primer bagi umat manusia dan layanan kesehatan merupakan suatu aspek penting dalam kehidupan. Efisiensi dan efektivitas suatu layanan kesehatan sangat penting bagi masyarakat. Klinik Koent merupakan suatu badan layanan kesehatan. Layanan utamanya berupa rekam medis, rekam medis ini masih dilakukan secara manual menggunakan kertas, sehingga kurang optimal dalam proses layanan kesehatan selain itu para pasien harus menunggu 5 sampai 10 menit sampai obat disiapkan oleh apoteker, karena apoteker harus menunggu datangnya resep dari dokter belum lagi mengintegrasikan data pasien dengan data di bagian apotek untuk riwayat pengobatan masih diinput lagi oleh apoteker tentunya hal ini akan membuat kurang efektif dan mengalami penginputan berulang ulang oleh tiap petugas. Dalam penelitian ini penulis mengimplementasikan Rest untuk membangun aplikasi pemeriksaan pasien pada klinik koent berbasis website menggunakan metode waterfall. Penelitian ini menghasilkan sebuah perangkat lunak yang terintegrasi dengan beberapa bagian diantaranya pendaftaran, apoteker dan dokter, dengan adanya implementasi Rest pada aplikasi pemeriksaan pasien pada klinik koent berbasis website lebih mudah,cepat dan akurat dalam proses pelayanan kesehatan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Robiyanto, Robiyanto, Krianus Aspian, and Nurmainah Nurmainah. "Keberadaan Tenaga Apoteker dan Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Wilayah Kota Pontianak." Jurnal Sains Farmasi & Klinis 6, no. 2 (August 29, 2019): 121. http://dx.doi.org/10.25077/jsfk.6.2.121-128.2019.

Full text
Abstract:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 74 Tahun 2016 Pasal 4 (empat) mewajibkan adanya tenaga Apoteker di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai (BMHP) serta pelayanan farmasi klinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah apoteker dan persentase pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kota Pontianak. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasional dengan rancangan penelitian adalah survei deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif melalui lembar kuesioner berisi standar pelayanan kefarmasian yang sudah divalidasi. Responden penelitian yang dilibatkan mewakili 22 Puskesmas meliputi 6 Apoteker, 13 Tenaga Teknis Kefarmasian dan 3 Asisten Tenaga Kefarmasian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 6 dari 22 Puskesmas yang memiliki Apoteker. Jumlah total Apoteker sebanyak 7 orang, di mana ada 1 Puskesmas memiliki 2 Apoteker. Pelaksanaan standar pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP sebesar 94,16% dan pelayanan farmasi klinis sebesar 56,12%. Kesimpulan penelitian ini adalah belum semua Puskesmas di wilayah Kota Pontianak memiliki Apoteker dan keberadaan Apoteker di Puskesmas dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Puskesmas tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Pratiwi, Erniza. "Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Apoteker di Klinik-Klinik Pratama Kota Pekanbaru." Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 9, no. 2 (January 12, 2021): 46–50. http://dx.doi.org/10.51887/jpfi.v9i2.805.

Full text
Abstract:
Setiap karyawan dalam suatu perusahaan perlu mendapatkan kepuasan dalam bekerja yang juga dapat berdampak pada peningkatan kinerja karyawan. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan suatu sikap berupa refleksi dari perasaan karyawan terhadap keseluruhan pekerjaan yang terdiri dari bermacam-macam aspek. Seseorang yang puas dalam pekerjaannya akan memiliki motivasi, komitmen pada organisasi dan partisipasi kerja yang tinggi sehingga akan terus memperbaiki kinerja mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kepuasan kerja apoteker di klinik-klinik pratama Kota Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional dengan menggunakan kuesioner kepuasan kerja. Sampel dalam penelitian ini adalah apoteker yang bekerja diklinik-klinik pratama yang berjumlah 55 orang yang diambil dengan teknik simple random sampling. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi kepuasan kerja apoteker diklinik-klinik pratama kota pekanbaru adalah keamanan kerja (78,91%), perlakuan adil (78,84%), hubungan antara rekan kerja (78,04%), gaji dan promosi (77,30%), kondisi kerja (77,16%) dan hubungan dengan pimpinan (76,00%).
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Muhammad Iqbal Firdaus. "APLIKASI REKAM MEDIS DI KLINIK UNISKA MAB BANJARMASIN." Jurnal Teknologi Informasi Universitas Lambung Mangkurat (JTIULM) 4, no. 2 (October 31, 2019): 49–58. http://dx.doi.org/10.20527/jtiulm.v4i2.38.

Full text
Abstract:
Untuk meminimalkan medication error (kesalahan pembacaan resep dan dosis) yang dilakukan oleh apoteker maupun asisten apoteker, maka dibuat aplikasi online e – prescribing, yaitu dokter entry secara langsung resep yang akan diberikan ke pasien, dan apoteker atau asisten apoteker langsung membaca di layar komputer dan langsung menerapkan resep yang sesuai dengan request dari dokter sehingga tidak terjadi kesalahan dan data menjadi akurat serta waktu yang diperlukan bisa lebih cepat. Dalam penelitian ini juga menerapkan barcode system peresepan yang memudahkan apoteker maupun asisten apoteker dalam menyesuaikan keakuratan data stok fisik obat, dengan menambahkan barcode sistem untuk masuk dan keluarnya obat akan terkontrol dan akurat sehingga meminimalisir kesalahan dalam pengentrian data pabrik dengan merek obat yang sama. Penelitian ini diimplementasikan di Rumah Sakit Pertamina Tanjung, Kalimantan Selatan. Development Tools yang digunakan adalah Power Builder V.12 dengan database sybase. Dari hasil uji kuesioner yang diberikan kepada pengguna aplikasi E-Prescribing dan barcode system, didapatkan hasil yang memuaskan yaitu: untuk performance sebanyak 81.82% , Durability 84,24%, Confermence to Specification untuk hak akses apotek sebanyak 93% sedangkan untuk hak akses poli/dokter yaitu 86,6%, untuk Feature 84,24%, realibity 83,64% dan estetika 79,4%.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Kumalasari, Intan. "Pengaruh Implementasi Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Medication Error di RSUD Pariaman." SCIENTIA : Jurnal Farmasi dan Kesehatan 11, no. 1 (February 19, 2021): 71. http://dx.doi.org/10.36434/scientia.v11i1.372.

Full text
Abstract:
Insiden medication error biasanya tidak diketahui secara langsung karena sering diibaratkan dengan fenomena gunung es. Dengan adanya pelayanan farmasi klinis diharapkan medication error bisa diketahui sebelum mencapai pasien. Kebanyakan kasus medication error yang diakibatkan oleh penggunaan obat, medication error baru dilaporkan setelah terjadinya efek yang tidak diharapkan dari pemakaian obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi pelaksanaan dan peran pelayanan farmasi klinis dalam mencegah dan memonitoring medication error di RSUD Pariaman. Metode penelitian dilakukan secara kualitatif dengan melakukan observasi dan wawancara mengenai pelayanan farmasi klinis yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien rawat inap di RSUD Pariaman. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penerapan pelayanan farmasi klinis di RSUD Pariaman belum optimal sehingga belum mempunyai pengaruh yang significan dalam mengatasi medication error. Disarankan agar RSUD Pariaman melengkapi sarana dan prasaranan termasuk regulasi dan dokumen yang dibutuhkan dalam menunjang kegiatan pelayanan farmasi klinis. Serta diharapkan adanya monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan farmasi klinis secara berkala sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup pasien, peran apoteker, dan mutu rumah sakit.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Putri, Virginia Johanes, Adji Prayitno Setiadi, Abdul Rahem, Cecilia Brata, Yosi Irawati Wibowo, Eko Setiawan, and Steven Victoria Halim. "Diare Akibat Penggunaan Antibiotik pada Anak: Apa Saran yang Diberikan oleh Apoteker Komunitas?" Jurnal Sains Farmasi & Klinis 7, no. 3 (December 28, 2020): 218. http://dx.doi.org/10.25077/jsfk.7.3.218-228.2020.

Full text
Abstract:
Diare akibat penggunaan antibiotik (antibiotic-associated diarrhea; AAD) merupakan salah satu gangguan klinis yang seringkali terjadi pada anak dan perlu mendapat intervensi dari dokter untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan mempertimbangkan bahwa swamedikasi seringkali menjadi pilihan masyarakat ketika menghadapi kasus diare, apoteker di komunitas memiliki peran penting dalam mengarahkan masyarakat ke dokter untuk mengatasi masalah terkait AAD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan ketepatan rekomendasi apoteker dalam menanggapi permintaan swamedikasi terkait kasus AAD pada anak. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di wilayah Timur kota Surabaya. Sebuah kuesioner yang berisi pertanyaan terkait karakteristik peserta dan sebuah kasus digunakan pada proses pengambilan data. Validasi isi dari kasus serta penentuan kunci jawaban dilakukan melalui diskusi yang melibatkan pakar farmasi klinis, farmasi praktis, dan kesehatan masyarakat. Total terdapat 84 apoteker terlibat dalam penelitian ini; response rate 38,71%. Pemberian rekomendasi produk obat baik dengan maupun tanpa rujukan ke dokter atau saran non-farmakologi diberikan oleh 75 (89,29%) partisipan dan jenis obat yang paling sering direkomendasikan adalah probiotik, kaolin-pektin, domperidon, attapulgit. Sebanyak 26 apoteker (30,95%) memberikan rekomendasi yang tepat, yaitu: rujuk dokter segera dengan atau tanpa disertai rekomendasi lain. Hasil penelitian ini mengindikasikan perlunya intervensi untuk mengoptimalkan pemberian rekomendasi apoteker komunitas pada kasus AAD anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Putri, Virginia Johanes, Adji Prayitno Setiadi, Abdul Rahem, Cecilia Brata, Yosi Irawati Wibowo, Eko Setiawan, and Steven Victoria Halim. "Diare Akibat Penggunaan Antibiotik pada Anak: Apa Saran yang Diberikan oleh Apoteker Komunitas?" Jurnal Sains Farmasi & Klinis 7, no. 3 (December 28, 2020): 222. http://dx.doi.org/10.25077/jsfk.7.3.222-232.2020.

Full text
Abstract:
Diare akibat penggunaan antibiotik (antibiotic-associated diarrhea; AAD) merupakan salah satu gangguan klinis yang seringkali terjadi pada anak dan perlu mendapat intervensi dari dokter untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan mempertimbangkan bahwa swamedikasi seringkali menjadi pilihan masyarakat ketika menghadapi kasus diare, apoteker di komunitas memiliki peran penting dalam mengarahkan masyarakat ke dokter untuk mengatasi masalah terkait AAD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan ketepatan rekomendasi apoteker dalam menanggapi permintaan swamedikasi terkait kasus AAD pada anak. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di wilayah Timur kota Surabaya. Sebuah kuesioner yang berisi pertanyaan terkait karakteristik peserta dan sebuah kasus digunakan pada proses pengambilan data. Validasi isi dari kasus serta penentuan kunci jawaban dilakukan melalui diskusi yang melibatkan pakar farmasi klinis, farmasi praktis, dan kesehatan masyarakat. Total terdapat 84 apoteker terlibat dalam penelitian ini; response rate 38,71%. Pemberian rekomendasi produk obat baik dengan maupun tanpa rujukan ke dokter atau saran non-farmakologi diberikan oleh 75 (89,29%) partisipan dan jenis obat yang paling sering direkomendasikan adalah probiotik, kaolin-pektin, domperidon, attapulgit. Sebanyak 26 apoteker (30,95%) memberikan rekomendasi yang tepat, yaitu: rujuk dokter segera dengan atau tanpa disertai rekomendasi lain. Hasil penelitian ini mengindikasikan perlunya intervensi untuk mengoptimalkan pemberian rekomendasi apoteker komunitas pada kasus AAD anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Amelia, Rizki, and Dedi Irawan. "APLIKASI PENGOLAHAN DATA OBAT PADA KLINIK HADI WIJAYA KOTA METRO." Jurnal Mahasiswa Ilmu Komputer 1, no. 2 (August 5, 2021): 68–87. http://dx.doi.org/10.24127/.v1i2.1231.

Full text
Abstract:
Tugas akhir ini merupakan hasil dari analisis terhadap pengolahan data obat yang sedangberjalan dan hasil dari aplikasi pengolahan data obat pada Klinik Hadi Wijaya Kota Metro.Keadaan pada pengolahan data obat di Klinik Hadi Wijaya Kota Metro masih dicatatmenggunakan buku besar dalam pendataan obat. Sulitnya pencarian data obat dalam pendataanstok karena banyaknya jumlah obat yang dicatat di buku besar sehingga terkesan lama dalammencari obat. Tidak diketahuinya stok obat yang tersedia sehingga dalam pelayanan seringterjadi kelangkaan obat karena obat telah habis. Proses pembuatan laporan kebutuhan obat yangakan dilaporkan ke kepala klinik serta ke PBF (Pedagang Besar Farmasi) dan Apotik kurangefektif. Dalam penelitian menggunakan metode berupa pengamatan, wawancara, dokumentasidan studi pustaka. Sedangkan Program yang dibuat menggunakan bahasa pemograman JavaDevelopment Kit (JDK), aplikasi NetBeans IDE 8.0.2 dengan database Mysql. Berdasarkan hasilpenelitian, hasil aplikasi pengolahan data obat mampu mengatasi permasalahan yang di hadapioleh petugas asisten apoteker pada Klinik Hadi Wijaya Kota Metro. Dengan adanya aplikasipengolahan data obat dengan bahasa pemograman Java Development Kit (JDK) dapatmembantu petugas asisten apoteker pada Klinik Hadi Wijaya Kota Metro dalam mengelola dataobat menjadi lebih mudah dan lebih efektif. Dengan adanya aplikasi pengolahan data obat KlinikHadi Wijaya Kota Metro dapat mempermudah dalam proses pencarian data obat maupunpembuatan data laporan obat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Andriana, Ika, and Pulung Prabowo. "Analisis Pengaruh Pengadaan Obat Terhadap Kepuasan Apoteker di FKTP." Pharmed: Journal of Pharmaceutical Science and Medical Research 3, no. 2 (November 27, 2020): 73. http://dx.doi.org/10.25273/pharmed.v3i2.7820.

Full text
Abstract:
<p>Kepuasan apoteker berperan penting terhadap tingkat kualitas pelayanan BPJS Kesehatan sebab dengan pelayanan BPJS Kesehatan yang baik maka akan memberikan kepuasan apoteker sebagai penyedia layanan kefarmasian di Fasilitas Kesehatan Tingkat I (FKTP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengadaan obat terhadap kepuasan apoteker di FKTP Kabupaten Jombang dan Madiun. Penelitian ini dilakukan di FKTP Kabupaten Jombang dan Madiun meliputi puskesmas, klinik pratama, dan apotek jejaring. Metode pengambilan sampel secara <em>total sampling</em> terhadap 21 apoteker yang melakukan pelayanan BPJS Kesehatan di FKTP dengan menggunakan variabel bebas pengadaan obat. Data diperoleh dengan menyebarkan secara langsung kuesioner, kemudian data dianalisis menggunakan regresi linear dengan program komputer spss versi 18. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengadaan obat berpengaruh signifikan terhadap kepuasan apoteker dengan nilai signifikan 0.00.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Pratiwi, Aprilia Indah, Achmad Fudholi, and Satibi Satibi. "Analisis Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Pelayanan Kefarmasian Puskesmas di Kota Semarang." Majalah Farmaseutik 17, no. 1 (January 7, 2021): 1. http://dx.doi.org/10.22146/farmaseutik.v17i1.46980.

Full text
Abstract:
Standar pelayanan kefarmasian yang digunakan di Puskesmas yaitu Permenkes Nomor 74 Tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pelayanan kefarmasian Puskesmas di Kota Semarang, mengetahui perbedaan peran SDM farmasi, ketersediaan anggaran dan tipe puskesmas, mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat pelayanan kefarmasian Puskesmas di Kota Semarang serta merumuskan solusi mengatasi permasalahan dalam pelayanan kefarmasian.Metode penelitian yang digunakan merupakan observasional deskriptif kuantitatif melalui pendekatan cross sectional pada 36 Puskesmas di Kota Semarang. Periode pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober s/d Desember 2018 dengan cara observasi langsung dan wawancara terhadap penanggungjawab unit pelayanan farmasi. Analisa statistik menggunakan Uji Independent Sample T-Test. Selanjutnya dilakukan identifikasi faktor pendukung, penghambat dan perumusan solusi menggunakan Basic Priority Rating Scale.Hasil penelitian menunjukan bahwa Secara umum pelayanan kefarmasian Puskesmas di Kota Semarang dapat dikategorikan sangat baik dengan nilai rata-rata 83,56 ± 6,24. Seluruh Puskesmas Kota Semarang sudah melakukan kegiatan pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP (Aspek manajerial) dengan nilai rata-rata 64,64 ± 4,409. Pelayanan farmasi klinik sudah dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian walaupun belum sepenuhnya dengan nilai rata-rata 18,92 ± 2,419. Terdapat perbedaan yang signifikan untuk peran SDM farmasi dan tipe Puskesmas dalam pelayanan kefarmasian Puskesmas di Kota Semarang dengan (p: 0,000) Dukungan Kepala Puskesmas dan koordinasi yang baik merupakan faktor pendukung. Faktor-faktor yang menghambat adalah apoteker belum tersedia di semua Puskesmas, kurangnya pelatihan untuk tenaga farmasi dalam pelayanan farmasi klinik, sarana dan prasarana serta kelengkapan Standar Operasional Prosedur (SOP). Solusi dengan perbaikan sarana dan prasarana, membuat SOP pelayanan farmasi klinik, usulan anggaran untuk penambahan apoteker, pembinaan, monitoring dan evaluasi pelayanan farmasi klinik.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Ayu, Galih Ajeng, and Muhamad Syaripuddin. "Peranan Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian pada Penderita Hipertensi." Jurnal Kedokteran dan Kesehatan 15, no. 1 (March 25, 2019): 10. http://dx.doi.org/10.24853/jkk.15.1.10-21.

Full text
Abstract:
Pharmaceutical care (PC) adalah program layanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien dimana apoteker bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam mencapai hasil klinik yang baik dan mengoptimalkan kualitas hidup pasien. Apoteker dapat berperan secara aktif dalam penatalaksanaan terapi hipertensi melalui pelayanan PC dengan melakukan assesmen, menyusun rencana pengobatan, implementasi dan monitoring. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi peran apoteker pada pasien hipertensi beserta hasil intervensi yang dilakukannya. Tulisan ini merupakan literature review dari berbagai peneltian yang berkaitan dengan peranan apoteker melaksanakan program PC pada pasien hipertensi. Pencarian literatur dilakukan dengan menggunakan kata kunci pharmacist intervention, pharmaceutical care, hypertension patient, dengan format pdf mulai tahun 2010 hingga 2018. Beberapa literatur yang dianggap penting dan berkaitan dengan topik tulisan dirangkum dan dianalisis secara kualitatif. Kemudian dibuat kesimpulan dari hasil analisis yang dilakukan. Hasil literatur menunjukan bahwa populasi yang pernah diteliti adalah populasi pasien hipertensi baik tanpa atau dengan komorbiditas seperti kolesterol dan diabetes. Intervensi apoteker yang dapat dilakukan adalah berupa konseling, penyesuaian obat dan pendidikan kepada pasien. Hasil yang diperoleh adalah terkendalinya tekanan darah pasien, berkurangnya faktor resiko, kepatuhan berobat yang meningkat dan peningkatan kualitas hidup pasien. Kata kunci : Apoteker, Pelayanan kefarmasian, Pasien hipertensi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Octavia, Hariaty, Susi Ari Kristina, and Eko Nugroho. "Desain Sistem Pelayanan Resep Rawat Jalan RSUD Blambangan Melalui Pendekatan User Centered." Majalah Farmaseutik 15, no. 2 (August 26, 2019): 59. http://dx.doi.org/10.22146/farmaseutik.v15i2.45419.

Full text
Abstract:
Pelayanan resep rawat jalan meliputi kegiatan administratif dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kebutuhan pengguna dalam pelayanan resep rawat belum sepenuhnya didukung oleh Hospital Pharmacy Information System (HPIS), sehingga perlu dilakukan desain sistem pelayanan resep rawat jalan di RSUD Blambangan menggunakan pendekatan user centered. Penelitian ini bertujuan membuat desain sistem pelayanan resep rawat jalan di RSUD Blambangan melalui pendekatan user centered yaitu berdasarkan kebutuhan pengguna di instalasi farmasi. Penelitian ini merupakan rancangan deskriptif yaitu analisis kebutuhan pengguna menggunakan metode focus group discussion (FGD) dan telaah dokumen. Subyek penelitian ini berjumlah 24 otang yang terdiri dari 9 orang apoteker, 13 orang tenaga teknis kefarmasian (TTK), dan 2 orang tenaga administrasi. Kebutuhan data dalam pelayanan resep rawat jalan meliputi data pasien, data obat, data admisi, data pemeriksaan fisik, data pemeriksaan klinis, data pemeriksaan laboratorium, dan data pelayanan resep yang selanjutnya dikelompokkan dalam kebutuhan data skrining resep, labeling, dan penyerahan obat. Desain sistem pelayanan resep rawat jalan yang dibuat merupakan desain dalam bentuk data flow diagram (DFD). Kesimpulan penelitian ini adalah perlu dibuat desain model lanjutan pelayanan resep rawat jalan yaitu entity relationship diagram (ERD), data dictionary, dan system flowchart.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Arimbawa, Putu Eka. "Pelayanan Kefarmasian dan Pemahaman Penggunaan Obat Rasional (POR) di Kota Denpasar." Bali Medika Jurnal 7, no. 2 (December 11, 2020): 195–205. http://dx.doi.org/10.36376/bmj.v7i2.154.

Full text
Abstract:
Praktek kefarmasian sangat penting dalam pelayanan informasi kesehatan karena kurangnya pengetahuan tentang penggunaan obat rasional (POR) di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pelayanan kefarmasian dengan pemahaman POR. Penelitian ini menggunakan desain survei cross-sectional. Jumlah sampel yang digunakan adalah 97. Data dikumpulkan dari bulan Januari-Februari 2020 di Kota Denpasar menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uji binary logistic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan farmasi yang sangat baik adalah sistem pengambilan antrean obat (61.9%), dan kelengkapan peralatan yang digunakan (38.1%). Kebanyakan orang memahami bahwa POR harus menyesuaikan dengan kondisi klinis pasien (93.8%). Pelayanan kefarmasian memberikan hubungan yang signifikan dengan pemahaman POR (P<0.05). Praktek kefarmasian mengenai sistem antrean obat dan kelengkapan peralatan dapat meningkatkan pengetahuan pasien mengenai POR tentang kondisi klinis. Ketersediaan obat dan kesiapan apoteker perlu mendapatkan perhatian khusus dalam mengembangkan informasi obat paten-generik. Karena itu, perlu dievaluasi kehadiran dan jumlah apoteker yang tepat dalam memberikan pelayanan kefarmasian di masyarakat
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Tamara, Resha Gilar. "Cara Apoteker Menjalankan Bisnis Pedagang Besar Farmasi (PBF)." Farmasetika.com (Online) 3, no. 2 (May 24, 2019): 18. http://dx.doi.org/10.24198/farmasetika.v3i2.21621.

Full text
Abstract:
Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sehat dibutuhkan penyediaan obat berkualitas. Kualitas obat tersebut harus dijamin dari mulai produksi hingga mencapai masyarakat atau konsumen, salah satu titik kritis adalah kegiatan penyaluran obat. Industri farmasi menyalurkan produknya menggunakan jasa distributor atau disebut juga Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF memiliki wewenang untuk menyalurkan obat antar PBF atau PBF cabang lainnya dan fasilitas kefarmasian (apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, dan toko obat). PBF harus menerapkan pola bisnis demi mendukung tercapainya target perusahaan. Pola bisnis tersebut meliputi pengadaan dan pemesanan barang, penerimaan barang, penyimpanan, penerimaan pesanan, pengiriman pesanan, dan penagihan pembayaran.Kata kunci : apoteker, pedagang besar farmasi, konsumen
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Firdiawan, Arie, Tri Murti Andayani, and Susi Ari Kristina. "Hubungan Kepatuhan Pengobatan Terhadap Outcome Klinik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Medication Adherence Rating Scale-5 (MARS-5)." Majalah Farmaseutik 17, no. 1 (January 7, 2021): 22. http://dx.doi.org/10.22146/farmaseutik.v17i1.48053.

Full text
Abstract:
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang dan kompleks dimana kepatuhan penggunaan obat yang tinggi akan menghasilkan outcome klinik yang baik serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan pengobatan terhadap outcome klinik pasien diabetes mellitus tipe 2 di beberapa Puskesmas Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang melakukan berkunjung ke Puskesmas periode September hingga Desember 2018. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan total responden 200 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data kepatuhan pengobatan pasien diperoleh dengan menggunakan kuisioner medication adherence report scale (MARS 5), data outcome klinik pasien berdasarkan glukosa dara sewaktu atau puasa dari rekam medik, data sosiodemografi diperoleh dari wawancara dan rekam medik. Analisis hubungan kepatuhan terhadap outcome klinik menggunakan analisis Chi square. Dari hasil analisis terhadap 200 pasien, pasien memiliki tingkat kepatuhan rendah 114 (57%) dimana alasan utama ketidakpatuhan yaitu pasien lupa minum obat 84 (42%), outcome klinik belum tercapai 136 (68%). Terdapat hubungan antara kepatuhan terhadap outcome klinik (p=0,009; OR=2,211; CI=1,208-4,048). Berdasarkan hasil tersebut, tenaga kesehatan khususnya apoteker perlu lebih menekankan kepatuhan pengobatan untuk menghasilkan outcome klinik yang baik
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Gloria, Fransisca, Liza Pristianty, and Abdul Rahem. "Analisis Kolaborasi Apoteker dan Dokter di Puskesmas Surabaya dari Pespektif Dokter." JURNAL FARMASI DAN ILMU KEFARMASIAN INDONESIA 8, no. 2 (August 29, 2021): 132. http://dx.doi.org/10.20473/jfiki.v8i22021.132-138.

Full text
Abstract:
Pendahuluan: Diabetes melitus adalah penyakit yang kompleks, suatu penyakit kronis yang membutuhkan perawatan medis terus menerus (kontinyu). Untuk meningkatkan hasil klinis pasien dan keberhasilan dalam terapi diperlukan suatu kolaborasi interprofesi. Tujuan: Penelitian ini menganalisis kolaborasi dokter dan apoteker di Puskesmas se-kota Surabaya khususnya dalam menangani terapi pasien diabetes melitus dari perspektif dokter. Metode: Desain penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan dalam waktu 3 bulan di 63 Puskesmas kota Surabaya dengan responden 63 dokter. Instrumen yang digunakan “Kuesioner Kolaborasi Dokter” yang meliputi variabel bebas (karakteristik pertukaran dengan domain kepercayaan, hubungan inisiasi dan peran spesifikasi) dan variabel terikat (praktik kolaborasi). Analisis data menggunakan analisis nonparametric dengan korelasi Rank Spearman Test untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik pertukaran. Hasil: Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p = 0,000) antara masing-masing dari ketiga domain dengan praktik kolaborasi (collaborative practice) dokter dan apoteker. Hubungan inisiasi dokter merupakan domain yang memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap praktik kolaborasi, diikuti domain peran spesifikasi dan kepercayaan. Kesimpulan: Ketiga domain dalam CWR memengaruhi praktik kolaborasi, namun dibutuhkan informasi lebih lanjut mengenai implementasi kolaborasi antara dokter dan apoteker di Puskesmas dalam penanganan pasien diabetes melitus serta perspektif apoteker mengenai praktik kolaborasi dengan dokter.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Irawan, Doni. "KEWENANGAN PERAWAT MELAKSANAKAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DISPENSING SEDIAAN STERIL DI RUMAH SAKIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS PELINDUNGAN DAN KESELAMATAN PASIEN. STUDI KASUS DI RSUD SEKARWANGI KABUPATEN SUKABUMI." Aktualita (Jurnal Hukum) 2, no. 1 (June 19, 2019): 169–92. http://dx.doi.org/10.29313/aktualita.v2i1.4675.

Full text
Abstract:
Dispensing sediaan steril seharusnya dilakukan secara aseptis oleh tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit, tetapi kenyataannya masih dilakukan oleh perawat dengan sarana dan pengetahuan yang sangat terbatas.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan perawat melaksanakan pelayanan farmasi klinik dispensing sediaan steril di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi, implementasi kewenangan perawat melaksanakan pelayanan farmasi klinik dispensing sediaan steril di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi, dan mekanisme pemberian kewenangan perawat melaksanakan pelayanan farmasi klinik dispensing sediaan steril di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dihubungkan dengan asas pelindungan dan keselamatan pasien. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kewenangan perawat melaksanakan pelayanan farmasi klinik dispensing sediaan steril di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi tidak dinyatakan dan dijelaskan dalam Undang-UndangNomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Pelaksanaan pelayanan farmasi klinik dispensing sediaan steril di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi belum dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian tapi dilaksanakan oleh perawat dengan dasar pelimpahan wewenang secara delegatif dari tenaga kefarmasian kepada perawat. Belum ada pasal yang menyatakan dan menjelaskan mengenai mekanisme pemberian kewenangan perawat melaksanakan pelayanan farmasi klinik dispensing sediaan steril di dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Hervina, Hervina, Juliandi Harahap, and Darwin Syamsul. "ANALISIS KEPUASAN PASIEN KULIT KELAMIN TERHADAP PELAYANAN FARMASI DI RSUD Dr. RM. DJOELHAM." JUMANTIK (Jurnal Ilmiah Penelitian Kesehatan) 4, no. 2 (September 20, 2019): 190. http://dx.doi.org/10.30829/jumantik.v4i2.5629.

Full text
Abstract:
Penilaian mutu pelayan kesehatan antara lain dimensi kehandalan(reliability), daya tanggap(responsiveness), jaminan(assurance), empati(emphaty) , dan bukti fisik (tangible). Penelitian ini dilakukan karena menurunnya kunjungan pasien yang berobat jalan ke klinik kesehatan kulit dan kelamin dalam setahun ini, hal ini apakah ada hubungannya dengan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan farmasi, karena dari wawancara sebelumnya oleh peneliti, menunjukkan ada beberapa ketidakpuasan pasien, seperti menunggu obat yang lama, kurangnya obat, suasana yang tidak nyaman dan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepuasan pasien klinik kesehatan kulit dan kelamin terhadap pelayanan farmasi berdasarkan perspektif pasien dan petugas kesehatan di RSUD Dr.R.M.Djoelham Binjai. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi. Responden sebanyak 10 informan yang terdiri dari, 4 informan dari pasien yang berulang berobat jalan ke klinik kesehatan kulit dan kelamin, 2 informan dari dokter , 2 informan dari pelayanan farmasi/apoteker dan 2 informan dari manajemen rumah sakit. Hasil wawancara pada penelitian ini menunjukkan pasien merasa tidak puas dengan pelayanan instalasi farmasi di RSUD Dr.R.M.Djoelham Binjai. Manajemen pengelolaan sediaan farmasi dan farmasi klinik (sarana dan prasarana) harus ditingkatkan dan menambah petugas pelayanan farmasi pada RSUD Dr.R.M.Djoelham Binjai agar pasien menjadi puas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Irmin, Irmin, Prih Sarnianto, Yusi Anggriani, and Jenny Pontoan. "Persepsi Pasien dengan Keluhan Minor Illness terhadap Peran Apoteker Terkait Efisiensi Biaya dan Akses Pengobatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional." PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia (Pharmaceutical Journal of Indonesia) 17, no. 1 (July 31, 2020): 80. http://dx.doi.org/10.30595/pharmacy.v17i1.5622.

Full text
Abstract:
Minor Illness adalah kondisi medis yang kurang serius yang tidak memerlukan tes laboratorium atau tes darah. Minor illness juga didefinisikan sebagai kondisi yang akan hilang dengan sendirinya dan dapat sembuh dengan melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi). Kebanyakan pasien dapat mengobati penyakit minor illness hanya dengan menggunakan obat-obat OTC (Over-the-Counter). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pasien dengan keluhan minor illness terhadap peran apoteker terkait efisiensi biaya obat dan akses pengobatan di era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam hal ini BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai otoritas pelaksana program JKN terkait pentingnya peran apoteker dalam melakukan efisiensi biaya dan kemudahan akses pengobatan pasien dengan keluhan penyakit minor illness. Penelitian ini menggunakan metode observasi dengan pengolahan data secara deskriptif. Penelitian ini dilakukan di apotek yang bekerjasama dengan BPJS di wilayah DKI, dengan sampel sebanyak 99 responden pasien yang melakukan swamedikasi pada bulan Juni 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat potensi efisiensi biaya baik dari aspek manajemen, klinis, swamedikasi yang efektif dan terdapat kemudahan akses pengobatan melalui swamedikasi. Kesimpulan, keterlibatan apoteker dalam menangani keluhan minor illness terbukti menghemat biaya dan kemudahan akses pengobatan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Putriana, Norisca Aliza. "PENGARUH PELAYANAN FARMASI KLINIS DI RUMAH SAKIT OLEH APOTEKER PADA KEJADIAN PERMASALAHAN TERKAIT OBAT." Scientia : Jurnal Farmasi dan Kesehatan 8, no. 1 (March 24, 2018): 104. http://dx.doi.org/10.36434/scientia.v8i1.146.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Y, Ricky Chaerul, Hesty Utami R, Yusi Anggriani, and Sahat Saragih. "PENGARUH PELAYANAN HOME CARE APOTEKER TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN, KEPUASAN DAN OUTCOME KLINIS PASIEN HIPERTENSI DI APOTEK." Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako) 5, no. 3 (October 30, 2019): 64. http://dx.doi.org/10.22487/j25020749.2019.v5.i3.14059.

Full text
Abstract:
Prevalensi hipertensi menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 34,1% meningkat 8,3% dibandingkan Riskesdas 2013. Penelitian ini dilakukan di Apotek X (kelompok intervensi) dan Apotek Y (Kelompok kontrol). Penelitian ini dilakukan secara prospektif selama tiga bulan dengan desain quasy experimental. Home care dilakukan melalui pemberian edukasi oleh apoteker dan pengukuran tekanan darah bulan ke-1 sampai ke-3.Untuk mengukur kepatuhan digunakan pill count. Untuk mengukur kepuasan digunakan kuesioner kepuasan pelanggan yang diberikan pada awal dan akhir penelitian. Outcome diukur tekanan darah setiap bulan. Data diperoleh dari 110 responden (60 kelompok intervensi dan 50 kelompok kontrol). Pada tingkat kepatuhan diawal penelitian semua responden di kedua kelompok masuk ke dalam kategori tidak patuh. Setelah dilakukan intervensi terdapat perbedaan pada kelompok intervensi dimana 90% responden kelompok intervensi menunjukan kepatuhan, tetapi tidak terjadi perubahan di kelompok kontrol (p-value 0,00). Untuk parameter kepuasan tidak terjadi perubahan pada bulan pertama dan bulan terakhir penelitian dimana tingkat kepuasan merasa puas di kelompok intervensi dan cukup puas pada kelompok kontrol. Untuk outcome klinis pada kondisi awal tidak ada perbedaan tekanan darah di dua kelompok. Setelah dilakukan intervensi penurunan sistol sebesar 14,8 mmHg pada kelompok intervensi dan penurunan sistol dikelompok kontrol 1,8 mmHg (p-value 0,00). Penurunan diastol 3,6 mmHg kelompok intervensi dan 3,4 mmHg kelompok kontrol (p-value 0,833). Dari hasil ini disimpulkan pemberian edukasi melalui home care dapat meningkatkan kepatuhan, kepuasan dan outcome klinis pasien hipertensi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Ach Faruk Alrosyidi and Septiana Kurniasari. "Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Pamekasan Tahun 2020." Journal of Pharmacy and Science 5, no. 2 (July 25, 2020): 55–59. http://dx.doi.org/10.53342/pharmasci.v5i2.180.

Full text
Abstract:
Paradigma pelayanan kefarmasian telah berubah orientasinya dari pengelolaan obat menjadi pelayanan yang komprehensif ke pasien. Standar pelayanan farmasi di apotek disusun dalam Permenkes nomor 73 Tahun 2016 sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di apotek. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pamekasan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek di daerah Kabupaten Pamekasan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan teknik survei menggunakan kuisioner. Survei menggunakan kuisioner dengan teknik convenience sampling. Instrumen dikembangkan berdasarkan Permenkes nomor 73 tahun 2016. Metode analisis data dilakukan secara deskriptif untuk melihat distribusi pelaksanaan standar pelayanan kefamasian di Kabupaten Pamekasan. Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP di Apotek Pamekasan dilakukan oleh apoteker dan dibantu oleh TTK, beberapa kegiatan dilakukan oleh TTK dibawah tanggung jawab apoteker. Dalam pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinis, ada beberapa kegiatan yang mayoritas belum dilaksanakan di spotek Pamekasan yaitu dokumentasi pelayanan informasi obat, dokumentasi konseling, Pelayanan Kefarmasian di rumah, dokumentasi pelayanan kefarmasian di rumah, pemantauan Terapi Obat (PTO), dokumentasi pemantauan terapi obat, dan monitoring efek samping obat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Herman, Max Joseph, Rini Sasanti Handayani, and Selma Arsit Siahaan. "Kajian Praktik Kefarmasian Apoteker pada Tatanan Rumah Sakit." Kesmas: National Public Health Journal 7, no. 8 (March 1, 2013): 365. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v7i8.23.

Full text
Abstract:
Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus mempunyai kualifikasi minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Studi kualitatif secara potong lintang pada tahun 2010 untuk mengidentifikasi kualifikasi apoteker rumah sakit dalam memenuhi persyaratan tersebut di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam terhadap 10 orang apoteker dari enam rumah sakit dan empat orang direktur/wakil direktur rumah sakit, masing-masing satu orang apoteker dari enam perguruan tinggi farmasi, tiga pengurus Ikatan Apoteker Indonesia, tiga dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Observasi praktek kefarmasian dengan menggunakan daftar tilik dilakukan pada tiap rumah sakit dan data sekunder terkait dokumentasi pemantauan dan evaluasi obat, kepuasan pasien, standar operasional prosedur dan kurikulum perguruan tinggi farmasi juga dikumpulkan. Analisis dilakukan dengan metode triangulasi dan hasil menunjukkan bahwa pengelolaan obat dalam hal pengadaan, distribusi dan penyimpanan dilaksanakan dengan baik oleh apoteker rumah sakit. Praktek farmasi klinik dan keselamatan pasien masih sangat terbatas karena alasan sumber daya manusia dan dokumentasi yang memadai. Informasi obat dan konseling kadang dilakukan tanpa fasilitas yang cukup dan apoteker juga terlibat dalam berbagai tim di rumah sakit seperti penanggulangan infeksi nosokomial dan komite farmasi dan terapi.The Indonesian Health Law No. 36 in 2009 and the Government Regulation No. 51 in 2009 state that health-care providers, including pharmacist, shall have minimum qualification set by the government. A qualitative cross sectional was conducted to to identify hospital pharmacist qualification as health care professionals in meeting the requirements was done in 2010 in Bandung, Yogyakarta and Surabaya. Data were collected through indepth interviews with pharmacists involving ten hospital pharmacists and four hos- pital directors/vice directors, six pharmacy colleges, three regional pharmacist associations, three provincial health offices and district health offices and observation of pharmacy practices using check list in each hospital was also conducted. Secondary data concerning documentation of drug monitoring and evaluation, patient satisfaction, standard operating procedure and pharmacy college curricula were collected too. Qualitative analysis was done descriptively using triangulation method. The study shows that drug procurement, distribution and storage, was well-managed by pharmacist. Practice in clinical pharmacy and patient safety was still limited for the reason of human resources and appropriate documentation. Drug information and counseling was sometimes conducted without adequate facilities and pharmacist was involved in various hospital teams like nosocomial infection control and pharmacy and therapy committee.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Ernawati, Desak Ketut, and Ketut Agus Adrianta. "SURVEY TENTANG KEMAMPUAN BEKERJA SAMA APOTEKER DI BALI." Kartika : Jurnal Ilmiah Farmasi 7, no. 1 (December 28, 2019): 11. http://dx.doi.org/10.26874/kjif.v7i1.171.

Full text
Abstract:
<p align="center"><strong>Abstrak</strong><strong></strong></p><p align="center"> </p><p>Tenaga kesehatan diharapkan mampu bekerja sama dengan profesi lain pada pelayanan kesehatan sehingga kurangnya kemampuan bekerja sama dapat menghambat pelayanan kesehatan yang efektif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman apoteker dalam bekerja sama dengan profesi lain. Penelitian merupakan penelitian potong selintang dengan menggunakan survey kolaborasi yang terdiri dari 13 pernyataan tentang pemahaman kemampuan bekerja sama yang diberikan skala dari tidak ada sampai sangat baik (1-5). Faktor yang diteliti adalah pengetahuan dan ketrampilan bekerja sama. Survey menggali hal-hal yang dibutuhkan oleh apoteker dalam bekerja sama dengan profesi kesehatan lain dan hambatan apoteker dalam bekerja sama dengan profesi lain. Survey diberikan kepada seluruh apoteker yang menghadiri Konferensi Daerah di Bali pada pertengahan Tahun 2018. Data dianalisa dengan menggunakan SPSS versi 22. Total responden yang mengikuti survey adalah 274, 52,8% responden bekerja di apotek, 24,7% bekerja di dan 5% bekerja di klinik. Analisis Anova menunjukkan terdapat perbedaan bermakna dalam pengetahuan (p=0,001) dan ketrampilan dalam bekerja sama (p=0,03) berdasarkan tempat bekerja. Hasil kualitatif diperoleh hasil bahwa hal yang dianggap penting oleh apoteker dalam berkolaborasi antara lain kemampuan berkomunikasi, adanya wadah untuk berkomunikasi serta pemahaman tentang peranan tugas dan tanggungjawab profesi lain sehingga kurangnya hal l tersebut merupakan faktor penghambat kemampuan bekerja sama dengan profesi lain. Disarankan dimasa depan diperlukan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan bekerja sama antar profesi kesehatan. </p><p> </p><p><strong>Kata kunci:</strong> Apoteker, ketrampilan, pengetahuan bekerja sama</p><p> </p><p align="center"><strong><em>A survey of collaborative competencies amongst pharmacist in </em></strong><strong><em>B</em></strong><strong><em>ali </em></strong></p><p align="center"><em> </em></p><p align="center"><strong><em>Abstract</em></strong><strong><em></em></strong></p><p align="center"><em> </em></p><p><em>Healthcare professional are expected to be able to work together with other professions in the health service. So that the lack of ability to work together can hamper effective health services. This research was conducted to determine the understanding of pharmacists in collaboration with other professions. The research is a cross-sectional study using a collaborative survey consisting of 13 statements about understanding the ability to work together given a scale from none to very good (1-5). The factors studied are the knowledge and skills to work together. The survey explores the things needed by pharmacists in working with other health professions and the obstacles of pharmacists in working with other professions. The survey was given to all pharmacists who attended the Regional Conference in Bali in mid-2018. Data were analysed using SPSS version 22. Total respondents who took the survey were 274, 52.8% of respondents worked in pharmacies, 24.7% worked in and 5% work in the clinic. Anova analysis showed that there were significant differences in knowledge (p = 0.001) and skills in working together (p = 0.03) based on the place of work. Qualitative results obtained result that what is considered important by pharmacists in collaboration include the ability to communicate, the existence of a place to communicate and an understanding of the role of duties and responsibilities of other professions so that this lack of l is an obstacle to the ability to cooperate with other professions. It is suggested that in the future activities are needed that can improve the ability to work together between healthcare professional. </em></p><p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> Knowledge in collaboration; skills in collaboration; pharmacist</em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Dahbul, Nura Ali, Nanang Munif Yasin, and Lutfan Lazuardi. "Analisis Distribusi Apotek Berdasar Standar Pelayanan Kefarmasian Melalui Sistem Informasi Geografis." Majalah Farmaseutik 17, no. 1 (January 7, 2021): 82. http://dx.doi.org/10.22146/farmaseutik.v17i1.52846.

Full text
Abstract:
Apotek sebagai fasilitas kesehatan primer yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Faktor lokasi apotek berperan dalam kualitas pelayanan dan keberlangsungan bisnis apotek. Tujuan penelitian adalah memberikan gambaran mengenai profil distribusi apotek melalui sistem informasi geografis dari segi aksesibilitas masyarakat dalam pelayanan apotek berdasar standar WHO dan Kemenkes serta evaluasi standar pelayanan kefarmasian apotek sesuai permenkes no 73 tahun 2016.Penelitian ini berupa cross-sectional menggunakan analisis deskriptif non eksperimental secara kuantitatif. Pengumpulan data nama dan lokasi apotek melalui PC IAI Kota dan Kabupaten Pekalongan dan Dinas Kesehatan Kota dan Kabupaten Pekalongan. Data geografi dan jumlah penduduk serta tingkat kepadatan penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota dan Kabupaten Pekalongan. Analisis distribusi apotek melalui sistem informasi geografis diperoleh melalui visualisasi terhadap peta persebaran apotek di Kota dan Kabupaten Pekalongan, hasil yang diperoleh belum merata di seluruh wilayah Pekalongan. Ada kecamatan yang belum ada apotek dan banyak apotek yang terkonsentrasi pada titik tertentu di pusat kota, dekat rumah sakit dan dekat pasar. Analisa aksesibilitas pelayanan apotek dengan perhitungan rasio antara jumlah apotek dengan jumlah penduduk di setiap kecamatan di Kota dan Kabupaten Pekalongan dibandingkan dengan standar WHO dan Kemenkes yaitu 1:2000 apoteker, diperoleh hasil hanya lima kecamatan yang memenuhi syarat Kemenkes.Evaluasi penerapan Permenkes no 73 tahun 2016 tentang prosedur pelayanan kefarmasian terdiri dari pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan farmasi klinis. Analisis data kuantitatif dilakukan menggunakan skala Guttman. Kemudian dibagi tiga kategori yaitu baik (81-100%), cukup (61-80%), dan kurang (20-60%). Hasil penelitian diperoleh rerata tingkat pengelolaan obat 75,04 % pada apotek kota dan 70,06% apotek kabupaten Pekalongan, pelayanan farmasi klinis 55,32% apotek kota Pekalongan dan 57,45% di wilayah kabupaten Pekalongan, pengelolaan SDM 82,36% wilayah kota Pekalongan dan 78,57% wilayah kabupaten Pekalongan. Sarana dan prasarana kota Pekalongan 67,66% dan 66,51% di kabupaten Pekalongan. Dapat disimpulkan bahwa tingkat penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek termasuk dalam kategori cukup, namun pelayanan farmasi klinis tergolong kategori kurang.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Faizah, Ana Khusnul, and Oki Nugraha Putra. "Evaluasi Kualitatif Terapi Antibiotik pada Pasien Pneumonia di Rumah Sakit Pendidikan Surabaya Indonesia." Jurnal Sains Farmasi & Klinis 6, no. 2 (August 29, 2019): 129. http://dx.doi.org/10.25077/jsfk.6.2.129-133.2019.

Full text
Abstract:
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat meningkatkan angka resistensi antibiotik, morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif pada pasien pneumonia di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini dilakukan secara kohort prospektif pada pasien pneumonia yang menjalani rawat inap di RSUD dr. Soetomo selama 4 bulan dan dievaluasi denga metode Gyssens. Data diambil dari rekam medik pasien berupa nomer rekam medik, nama pasien, usia, berat badan, diagnosis, data klinik, data laboratorium, terapi, dosis, rute pemberian dan interval terapi. Dari hasil penelitian diperoleh 47 pasien pneumonia, termasuk pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial dan bronkopneumonia. Pasien berusia mulai dari 0-24 bulan (21%); 2-12 tahun (4%); 13-59 tahun (49%) dan >59 tahun (26%). Lima besar antibiotik yang digunakan adalah seftazidim (20%), levofloksasin (18%) dan seftriakson (14%). Dalam peneitian ini menunjukkan 3 pasien (6%) kategori IVA (alternatif lebih efektif); 3 (6%) pasien kategori IIIA (pemerian terlalu lama) dan 1 pasien (2%) kategori IIA (dosis tidak tepat). Apoteker berperan dalam evaluasi antiiotika untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Roby Christian Hutasoit. "Pemenuhan Hak Pelayanan Kesehatan dan Makanan Yang Layak Bagi Warga Binaan dan Tahanan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan." Jurnal Indonesia Sosial Teknologi 1, no. 5 (December 21, 2020): 418–29. http://dx.doi.org/10.36418/jist.v1i5.47.

Full text
Abstract:
Pengkajian ”Evaluasi Layanan Kesehatan bagi Narapidana, Tahanan, dan Anak Didik Pemasyarakatan” bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai Pelaksanaan Layanan Kesehatan pada Rumah Tahanan Negara, Lembaga Pemasyarakatan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak serta untuk mengetahui koordinasi dengan instansi terkait dalam pelaksanaan layanan kesehatan pada Rumah Tahanan Negara, Lembaga Pemasyarakatan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Kajian ini dilaksanakan pada tahun 2018 dengan lokus di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode mixed method. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner survei, studi pustaka dan wawancara mendalam (in-depth interview). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan promotif; pelayanan kesehatan preventif; dan pelayanan kesehatan kuratif; maupun pelayanan kesehatan rehabilitatif sudah dilakukan dengan baik terbukti dengan kepuasan penerima pelayanan kesehatan tahanan, narapidana, dan anak didik pemasyarakatan. Hal yang harus diperhatikan adalah keterbatasan sarana dan prasarana pada Unit Teknis Pemasyarakatan begitu juga dengan ketersediaan obat-obatan. Klinik kesehatan baik pada Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara di daerah belum memiliki sumber daya manusia kesehatan seperti dokter, dokter gigi, apoteker dan izin praktik dokter serta klinik tersebut belum memiliki izin. Hal lain yang juga harus mendapat perhatian adalah masih banyaknya tahanan, narapidana, dan anak didik pemasyarakatan yang belum memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) sehingga menyulitkan ketika tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan sakit dan di rujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif. Pola koordinasi yang dilakukan selama ini adalah hasil kreativitas dari pimpinan di daerah dengan instansi terkait dibidang pelayanan kesehatan terutama untuk mendapatkan obat.Rekomendasi yang dapat diberikan untuk jangka pendek antara lain adalah agar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuat Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial RI tentang Pelayanan Kesehatan Bagi Tahanan dan Narapidana. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga perlu meningkatkan sarana dan prasarana pada klinik kesehatan di semua Unit Teknis Pemasyarakatan baik Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara terutama terkait pengadaan obat-obatan, dan juga ambulance. Selain itu, Para medis yang ada di Unit Teknis Pemasyarakatan baik Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara secara periodik agar memberikan sosialisasi layanan kesehatan kepada tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk meningkatkan pemahaman mereka terkait dengan layanan kesehatan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Brata, Andy, and Haflin Haflin. "GAMBARAN KINERJA PENGELOLA DI PUSKESMAS KOTA JAMBI." Jurnal Bahana Kesehatan Masyarakat (Bahana of Journal Public Health) 4, no. 1 (June 30, 2020): 23–27. http://dx.doi.org/10.35910/jbkm.v4i1.240.

Full text
Abstract:
Latar Belakang : Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paradigmanya dari orientasi obat kepada pasien hingga sekarang yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care). Sebagai konsekuensinya, Apoteker sebagai tenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien, yang meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinik dengan memanfaatkan tenaga, dana, prasarana, sarana dan metode tatalaksana yang sesuai dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Jambi menurut kriteria Permenkes No. 74 Tahun 2016. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian penjelasan (Explanatory research), yang dilakukan pada petugas pengelola obat yang bekerja di Puskesmas Kota Jambi. Sampel ditentukan 20 orang petugas pengelola obat, yang dipilih secara total sampling Data dikumpulkan dengan cara menyebar kuesioner untuk menilai kinerja yang dilakukan oleh petugas pengelola obat terhadap pengelolaan obat di Puskesmas di Kota Jambi. Variabel penelitian adalah kinerja pengelola obat di Puskesmas yang indikatornya berupa masa kerja, komitmen pemimpin, pengetahuan yang dimiliki pengelola obat. Data selanjutnya dianalisa dengan Regresi Linier Berganda.. Hasil : Penelitian menunjukkan secara simultan ketiga dimensi pengelolaan obat berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengelola obat; sementara secara parsial satu variabel (komitmen pemimpin) memiliki pengaruh signifikan (p<0,05), sedangkan variabel masa kerja dan pengetahuan tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Jambi tidak dipengaruhi oleh masa kerja dan pengetahuan petugas pengelola obat. Kesimpulan: Kinerja pengelola obat dipengaruhi oleh komitmen pemimpin.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Megawati, Fitria, and Puguh Santoso. "PENGKAJIAN RESEP SECARA ADMINISTRATIF BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NO 35 TAHUN 2014 PADA RESEP DOKTER SPESIALIS KANDUNGAN DI APOTEK STHIRA DHIPA." Jurnal Ilmiah Medicamento 3, no. 1 (March 30, 2017): 12–16. http://dx.doi.org/10.36733/medicamento.v3i1.1042.

Full text
Abstract:
Dalam alur pelayanan resep, apoteker wajib melakukan skrining resep yang meliputi skrining admninstratif, kesesuaian farmasetis, dan kesesuian klinis untuk menjamin legalitas suatu resep dan meminimalkan kesalahan pengobatan. Aspek admnistratif resep dipilih karena merupakan skrining awal pada saat resep dilayani di apotek karena mencakup seluruh informasi di dalam resep yang berkaitan dengan kejelasaan tulisan obat, keabsahan resep, dan kejelasan informasi di dalam resep. Akibat ketidaklengkapan admnistratif resep bisa berdampak buruk bagi pasien, merupakan tahap skrining awal guna mencegah adanya medication error. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelengkapan administratif resep dokter spesialis kandungan memenuhi ketentuan kelengkapan resep menurut PMK No 35 tahun 2014. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Pengambilan data dilakukan dengan mengamati seluruh resep yang masuk selama periode Januari-Mei 2015 yang ditulis oleh dokter spesialis kandungan. Dilakukan skrining administratif terhadap 350 resep dokter spesialis kandungan dengan mengisi tabel pengambilan data (check list), sesuai dengan aspek kelengkapan resep yang ditinjau. Data yang di peroleh akan dikumpulkan dan disajikan secara deskriptif. Dari hasil penelitian menunjukan persentase kejadian ketidaklengkapan resep di apotek Sthira Dhipa yaitu umur pasien 62%, jenis kelamin pasien 100%, berat badan pasien 100%, SIP dokter 100%, alamat pasien 99,43%, paraf dokter 19%, serta tanggal resep 1%, nama pasien, nama dokter, alamat dokter, serta no telepon dokter yang dituliskan oleh dokter telah mencapai 100 %. Kelengkapan resep dokter spesialis kandungan belum memenuhi ketentuan kelengkapan admnistratif resep menurut PMK No 35 tahun 2014.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Islamiyah, Alfi Nurul, Linda Purnamawati Suherman, Ambarsundari Ambarsundari, Iis Rukmawati, and Abdul Aziz Muslim Shahibul Wafa. "STUDI POLA PERESEPAN ANTIDIARE ANAK DI PUSKESMAS KOTA BANDUNG." Pharmacoscript 4, no. 1 (March 1, 2021): 41–57. http://dx.doi.org/10.36423/pharmacoscript.v4i1.619.

Full text
Abstract:
Prevalensi diare pada anak di Jawa Barat memiliki angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lain yaitu sebesar 30,81%, dan prevalensi diare di Kota Bandung adalah 10,48%. UNICEF (2019) menyatakan bahwa hanya sekitar 44% anak-anak yang mengalami diare, menerima pengobatan yang direkomendasikan. Studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pola peresepan dan rasionalitas peresepan obat antidiare pada pasien anak. Studi observasional dan deskriptif ini dilakukan secara retrospektif pada pasien anak di salah satu Puskesmas di Kota Bandung. Subjek penelitian yang diikutsertakan dalam studi ini adalah pasien anak laki-laki dan perempuan usia 1-12 tahun yang terdiagnosis diare dan mendapatkan obat antidiare pada periode kunjungan Januari – Maret 2020. Obat antidiare yang paling banyak diresepkan pada pasien anak di puskesmas tersebut adalah oralit (84%), selanjutnya zink (68%), kaolin pektin (4%) dan attapulgit (4%), serta terdapat 6 pasien (12%) yang menerima terapi antibiotik kotrimoksazol. Persentase peresepan antibiotik untuk diare non-spesifik pada pasien anak yaitu sebesar 4,35%. Sebagian besar pasien (46%) menerima terapi kombinasi oralit dan zink. Penilaian rasionalitas penggunaan obat mengacu pada pedoman Kementrian Kesehatan RI. Penggunaan obat antidiare pada pasien anak telah 100% tepat indikasi dan tepat interval waktu pemberian, 84% tepat pemilihan obat, 88% tepat dosis, dan 96% tepat lama pemberian. Ketidakrasionalan penggunaan obat antidiare ditemukan sebanyak 15 kasus pada peresepan obat zink dan 4 kasus pada peresepan antibiotik kotrimoksazol. Tidak ditemukan adanya interaksi obat. Peran apoteker dalam optimaliasi penggunaan obat yang rasional pada praktik klinik, khususnya dalam penanganan diare pada anak, masih perlu ditingkatkan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Boky, Harmita, Widya Astuty Lolo, and Imam Jayanto. "PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN PADA APOTEK KIMIA FARMA DI KOTA KOTAMOBAGU." PHARMACON 10, no. 2 (May 17, 2021): 825. http://dx.doi.org/10.35799/pha.10.2021.34031.

Full text
Abstract:
ABSTRACTPharmaceutical serviced have an important role in creating quality health to improve the quality of life of patients. The research purposed to measure the percentage of compliance wit the implementation of pharmaceutical serviced at Kimia Farma Pharmacy in Kotamobagu City, based on the Regulation of the Indonesia minister of health regulation Number 73/ 2016. This research used quantitative method with descriptive approach. The population in this study were all Kimia Farma Pharmacy in Kotamobagu City. The sampling technique used was saturated sampling Data were obtained through observation and filling out questionnaires. Based on the research results, it is known that the resource management of Pharmacy A, B, C has a percentage of 96% and Pharmacy D of 92%. The percentage of pharmaceutical services at Pharmacy A and C is 100%, Pharmacy B is 97% and Pharmacy D is 87%. Based on the research results, it is known that all Kimia Farma pharmacies in Kotamobagu City are categorized as good, including the aspects of resource management and clinical pharmacy services. Keywords : Pharmacy, Pharmacist, Pharmaceutical Service Standards ABSTRAKPelayanan kefarmasian berperan penting dalam mewujudkan kesehatan yang bermutu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur persentase kesesuaian penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek Kimia Farma di Kota Kotamobagu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh Apotek Kimia Farma di Kota Kotamobagu.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling jenuh. Pengambilan data melalui observasi langsung dan pengisian kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui pengelolaan sumber daya Apotek A, B, C memiliki persentase sebesar 96 % dan Apotek D sebesar 92 %. Persentase pelayanan kefarmasian pada Apotek A dan C sebesar 100%, Apotek B sebesar 97 % dan Apotek D sebesar 87 %. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa seluruh apotek Kimia Farma di Kota Kotamobagu dikategorikan baik yang meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan pelayanan farmasi klinik. Kata kunci : Apotek, Apoteker, Standar Pelayanan Kefarmasian
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Isadiartuti, Dewi, Sugiyartono Sugiyartono, Retno Sari, Muh Agus S. Rijal, and Dini Retnowati. "EDUKASI TEHNIK ASEPTIK SEDIAAN STERIL BAGI TENAGA KESEHATAN DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN KABUPATEN SUMBA TIMUR NTT." Jurnal Layanan Masyarakat (Journal of Public Services) 4, no. 1 (June 29, 2020): 237. http://dx.doi.org/10.20473/jlm.v4i1.2020.237-242.

Full text
Abstract:
The Government through Permenkes 72/2016 on Pharmaceutical Services Standards in Hospitals has provided guidance on the regulation of pharmaceutical service standards. Pharmaceutical services in the field of management of sterile preparations is one aspect that receives attention, because it will affect the quality of services provided to sufferers. East Sumba Regency is one of the East Nusa Tenggara provinces located in Eastern Indonesia. East Sumba Regency has a large enough population but health workers in health care facilities have limitations in getting the latest information. To answer this condition, training was held in collaboration with IAI PC East Sumba. The aim of the training is to increase the knowledge and skills of aseptic techniques for sterile preparations for health workers in health care facilities so that the quality of health services can be improved. The training was given in the form of lectures consisting of compatibility and stability material for parenteral preparations and dispensing materials for sterile preparations followed by the practice of aseptic techniques for sterile preparations. The training activity was attended by 49 participants consisting of pharmacists, nurses, midwives and pharmaceutical technical personnel who worked in hospitals, health services, health centers, clinics, and pharmacies in Sumba (East, Central and West). From the results of the evaluation of the activity, it was known that the participants gained knowledge and increased knowledge about the basic principles of aseptic techniques and there was an increase in the participants' understanding of the material provided.abstrakPemerintah melalui Permenkes 72/2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit telah memberikan arahan mengenai pengaturan standar pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di bidang pengelolaan sediaan steril merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian, karena akan memengaruhi mutu pelayanan yang diberikan kepada penderita. Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Indonesia Bagian Timur. Kabupaten Sumba Timur memiliki jumlah penduduk yang cukup besar akan tetapi tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan memiliki keterbatasan dalam mendapatkan informasi terbaru. Untuk menjawab kondisi tersebut diadakan pelatihan bekerjasama dengan IAI PC Sumba Timur. Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tehnik aseptik sediaan steril bagi tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan agar mutu pelayanan kesehatan dapat meningkat. Pelatihan diberikan dalam bentuk ceramah terdiri dari materi kompatibilitas dan stabilitas sediaan parenteral dan materi dispensing sediaan steril dilanjutkan dengan praktek tehnik aseptik sediaan steril. Kegiatan pelatihan diikuti 49 peserta yang terdiri dari apoteker, perawat, bidan dan tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di Rumah Sakit, Dinas Kesehatan, Puskesmas, Klinik, dan Apotek sedaratan Sumba (Timur, Tengah, dan Barat). Dari hasil evaluasi kegiatan diketahui peserta mendapatkan penyegaran ilmu dan peningkatan wawasan tentang prinsip dasar tehnik aseptik dan terdapat peningkatan pemahaman peserta terhadap materi yang diberikan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Susantri, Yulia, Sri Walny Rahayu, and Sanusi Sanusi. "Pencantuman Informasi Pada Label Produk Kosmetik Oleh Pelaku Usaha Dikaitkan Dengan Hak Konsumen." Syiah Kuala Law Journal 2, no. 1 (April 23, 2018): 113–31. http://dx.doi.org/10.24815/sklj.v2i1.10591.

Full text
Abstract:
Pasal 8 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan adanya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 23 Ayat (1) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik merinci informasi yang wajib dicantumkan pada label suatu produk kosmetik yaitu nama produk, nama dan alamat produsen atau importir/penyalur, ukuran isi atau berat bersih, Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik Indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku, nomor izin edar, nomor batch/kode produksi, kgunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas penggunaannya, bulan dan tahun kadaluarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan, penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu. Kenyataannya, masih banyak beredar produk kosmetik yang tidak mencantumkan informasi tersebut secara lengkap pada label produk, sehingga produk tersebut tidak layak untuk diedarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ketentuan UUPK dan melanggar hak-hak konsumen sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UUPK. Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu tidak mencantumkannya informasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan pada label kosmetik. Selain itu bagi pelaku usaha klinik kecantikan, diperbolehkan tidak mencantumkan informasi pada label produk, akan tetapi harus memenuhi persyaratan yaitu pada klinik tersebut harus ada dokter spesialis kecantikan yang bertanggung jawab terhadap pasien dan apoteker yang bertanggung jawab terhadap peracikan produk kecantikan. Tanggung jawab Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Banda Aceh dalam melaksanakan fungsi pengawasan masih belum berjalan secara efektif. Hal ini disebabkan oleh hambatan-hambatan baik eksternal maupun internal, yaitu kantor BBPOM yang hanya ada 1 (satu) di ibukota provinsi dengan cakupan pengawasan seluruh wilayah Aceh, kurangnya sumber daya manusia, perilaku konsumen yang tidak peduli akan haknya, perilaku pelaku usaha yang tidak patuh terhadap peraturan, pengaruh iklan, serta sulitnya pengawasan terhadap toko online.Article 8 Paragraph (1) Sub-Paragraph i of Law Number 8 Year 1999 regarding Consumer Protection (UUPK) stipulates the existence of prohibited acts for business actors, namely "not installing labels or making explanations of goods containing items of goods, size, weight / or net, composition, rules of use, date of manufacture, side effects, name and address of business actor and other information for use in accordance with applicable laws and regulations. "Article 23 Paragraph (1) Decision of the Head of Food and Drug Supervisory Agency No. HK. 00.05.4.1745 In 2003 about Cosmetics detailing the information that must be included on the label of a cosmetic product that is the name of the product, the name and address of the manufacturer or importer / distributor, the size of the contents or net weight, Composition with the name of the material in accordance with the Indonesian cosmetic codex or other applicable nomenclature , distribution license number, batch / production code number, usage and usage manner except for products with clear use, months and years hun expiration for products with stability less than 30 months, other marks related to security and / or quality. In fact, there are still many outstanding cosmetic products that do not include the complete information on the product label, so the product is not feasible to be circulated and consumed by the public. This is of course contrary to the provisions of UUPK and violates the rights of consumers as stated in Article 4 UUPK. Violations committed by business actors that do not include information in accordance with the provisions of legislation on the label cosmetics. In addition to the beauty business practitioners, allowed to not include information on the product label, but must meet the requirements of the clinic there must be a specialist beauty specialist responsible for patients and pharmacists responsible for compounding beauty products. The responsibility of Indonesian Food and Drug Supervisory Agency (BBPOM) in Banda Aceh to carry out supervisory functions has not been effective. This is due to both external and internal barriers, namely the BBPOM office which is only 1 (one) in the provincial capital with coverage of the entire territory of Aceh, the lack of human resources, the behavior of consumers who do not care about their rights, the behavior of business actors who do not adherence to the rules, the influence of advertising, and the difficulty of supervision of online stores.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Herlina, Tetie, Dyah A. Perwitasari, Haafizah Dania, Santi Yuliani, and Melisa I. Barliana. "Atypical Antipsychotic Induced Weight Gain in Schizophrenic Patients." Indonesian Journal of Clinical Pharmacy 10, no. 1 (March 30, 2021): 57. http://dx.doi.org/10.15416/ijcp.2021.10.1.57.

Full text
Abstract:
Atypical antipsychotics are widely prescribed and have the potential to cause weight gain, which may result in the development of metabolic syndrome. Also, it is important to monitor the use of atypical antipsychotic for metabolic disturbance. The purpose of this study is to determine the side effects of atypical antipsychotics in increasing body weight in schizophrenia patients after 4 weeks of use. Furthermore, a retrospective design was conducted and data were collected based on consecutive sampling in 80 adult psychiatric inpatients (20 women and 60 men) with initial diagnoses of schizophrenia and with the same daily nutrition. The patients were hospitalized from January to March 2019, within the term (over 4 weeks) of initiation atypical antipsychotic. The patient body weight was collected before and 4 weeks after the treatment of atypical antipsychotic. The results showed that patients (20 women and 60 men) receiving atypical antipsychotic had a mean age of 35.6 years and a percentage of 70% women and 56% men had a weight gain of 1–5 kg over 4 weeks. The mean weight observed among our subjects increased from 57.55±10.743 kg to 59.83±12.205 kg after initiating treatment (p=0.001). However, the dual combination of atypical antipsychotics risperidone and clozapine are the most widely atypical antipsychotic used with a percentage equal to 91.25%, 3.75% clozapine, and 5% risperidone. Furthermore, it can be concluded that atypical antipsychotics use for at least 4 weeks can cause weight gain in schizophrenic patients. Pharmacist and doctors are recommended to monitor the metabolic side effects due to the atypical antipsychotic use. Keywords: Atypical antipsycotic, schizophrenia, weight gain Antipsikotik Atipikal Menginduksi Peningkatan Berat Badan pada Pasien Skizofrenia AbstrakAntipsikotik atipikal banyak diresepkan dan berpotensi menyebabkan kenaikan berat badan yang dapat menyebabkan sindrom metabolik. Ada kebutuhan klinis yang mendesak untuk memantau penggunaan antipsikotik atipikal terhadap gangguan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping antipsikotik atipikal dalam meningkatkan berat badan pada pasien skizofrenia setelah pemakaian 4 minggu. Melalui desain retrospektif, data dikumpulkan dengan consecutive sampling pada 80 pasien rawat inap psikiatri dewasa (20 wanita dan 60 pria) dengan diagnosis awal skizofrenia dan dengan pengaturan nutrisi harian yang sama. Pasien dirawat di rumah sakit sejak Januari 2019 sampai dengan Maret 2019, dalam jangka menengah (lebih dari 4 minggu) pemberian antipsikotik atipikal. Data berat badan pasien dicatat sebelum dan 4 minggu sesudah pemakaian antipsikotik atipikal. Pasien (20 wanita dan 60 pria) yang menerima antipsikotik atipikal memiliki usia rata-rata 35,6 tahun, semua pasien dengan persentase 70% wanita dan 56% pria memiliki kenaikan berat badan 1–5 kg selama periode 4 minggu. Berat rata-rata yang diamati di antara subyek meningkat dari 57,55±10,743 kg menjadi 59,83±12,205 kg setelah memulai pengobatan (p=0,001). Antipsikotik atipikal yang paling banyak digunakan adalah kombinasi antipsikotik atipikal risperidon clozapin dengan persentase sebesar 91,25%, clozapin 3,75%, risperidon 5%. Kami menyimpulkan bahwa penggunaan antipsikotik atipikal selama setidaknya 4 minggu dapat menyebabkan penambahan berat badan pada pasien skizofrenia. Apoteker dan dokter direkomendasikan untuk memantau efek samping metabolik akibat penggunaan antipsikotik atipikal.Kata kunci: Antipsikotik atipikal, peningkatan berat badan, skizofrenia
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Rinda, Agnes Christie, and Dewi Susanti Atmaja. "Persepsi Dokter Terhadap Kolaborasi dengan Apoteker pada Pengobatan Pasien Anak Epilepsi di Klinik Saraf Rumah Sakit “X”." Jurnal Pharmascience 4, no. 1 (March 18, 2017). http://dx.doi.org/10.20527/jps.v4i1.5756.

Full text
Abstract:
ABSTRAK Hubungan kolaborasi yang kuat di antara dokter dan apoteker sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan pengobatan pasien, terutama pasien dengan penyakit kronis. Dokter dan apoteker memiliki tanggung jawab untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi agar kontinuitas pelayanan dapat tercapai. Pemahaman terhadap persepsi dan hambatan terhadap kolaborasi di antara dokter dan apoteker berguna untuk mewujudkan kolaborasi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi dokter terhadap kolaborasi dengan apoteker pada pengobatan pasien anak epilepsi. Sebanyak 5 dokter terlibat dalam penelitian kualitatif yang menggunakan metode in-depth, semi-structured interview dan dianalisis melalui transkrip, quotes dan tema. Hasil yang teridentifikasi pada penelitian ini meliputi pengalaman dokter terhadap kolaborasi dengan apoteker, hambatan dalam berkolaborasi dengan apoteker serta media kolaborasi dokter dan apoteker pada pengobatan penyakit kronis. Pengalaman dokter dalam berkolaborasi dengan apoteker masih sangat terbatas sehingga diperlukan peran aktif apoteker dalam membangun komunikasi dengan dokter agar kolaborasi dapat tercapai. Salah satu cara yang mampu meningkatkan kolaborasi dokter dan apoteker adalah melalui suatu catatan pengobatan pasien yang berperan seperti rekam medis yang dapat dibawa oleh pasien ke setiap tempat pelayanan kesehatan yang dikunjunginya. Kata kunci: persepsi dokter, kolaborasi, pasien anak epilepsi ABSTRACT The strong collaboration between physicians and pharmacists are needed to optimize the patient medication, especially for the patient with chronic disease. Physicians and pharmacist have a responsibility to communicate and interact each other in order to reach the continuity of care. Understanding perceptions and barriers to collaboration between physicians and pharmacists may help with delivery of the collaboration. The aim of this research is to identify the perception of the physicians about the collaboration with pharmacists in the medication of the children with epilepsy. 5 physicians is involved in this qualitative research that used in-depth, semi-structured interview method that being analyzed by transcript, quotes and theme. The result that identified in this research are the physician’s experience with collaboration, the barrier to collaboration between physicians and pharmacists and the collaboration media for physicians and pharmacists in the medication of chronic disease. The physician’s experience in the collaboration with pharmacist is still limited so the acttive role of pharmacist is needed to build the communication with the physician to reach the collaboration. One of the way to improve the physician and pharmacist’s collaboration is through the patient medication record that used as the medical record that can be brought by the patient to every healthcare centre they visit. Keywords: physician’s perception, collaboration, children with epilepsy
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Supardi, Sudibyo, Yuyun Yuniar, and Ida Diana Sari. "Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Beberapa Kota Indonesia." Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, August 3, 2020, 152–59. http://dx.doi.org/10.22435/jpppk.v3i3.3177.

Full text
Abstract:
Abstrak Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek antara lain menyatakan bahwa apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dilakukan pada Februari-November 2017. Lokasi penelitian dipilih secara purposif berdasarkan sistem regionalisasi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan, yaitu ibukota Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan. Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Papua. Sampel meliputi 21 apotek yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di 11 ibu kota provinsi penelitian. Alat pengumpul data berupa daftar tilik standar pelayanan kefarmasian di apotek. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio jumlah apoteker per apotek 1,8 dan kecukupan apoteker untuk pelayanan resep pasien per hari tanpa bantuan tenaga teknis kefarmasian sebesar 66,7%. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek belum dilaksanakan secara lengkap, rerata pelaksanaan standar pengelolaan sediaan farmasi (98,4%) lebih tinggi daripada pelaksanaan standar pelayanan farmasi klinik (73,8%). Dalam upaya meningkatkan pelaksanaan SPKA disarankan agar apoteker meningkatkan kompetensi pelayanan kefarmasian di apotek, organisasi profesi melakukan pendidikan berkelanjutan terhadap apoteker dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat kebijakan, melakukan pembinaan dan monitoring/evaluasi secara berkala. Kata kunci: apotek, farmasi klinik, pengelolaan sediaan farmasi, tenaga kefarmasian Abstract Minister of Health Regulation No. 73 of 2016 on the Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy, states that pharmacists should comply and apply the standards. This study aims to identify the implementation of pharmaceutical service standards in pharmacies. The research was cross-sectional and conducted in February-November 2017. The selection of research locations was conducted purposively based on the regionalization system of the BPJS Kesehatan. They were 11 capital cities of provinces, namely West Java, East Java, South Sumatra, West Nusa Tenggara, Special regional of Aceh, North Sulawesi, South Sulawesi, South Kalimantan, Central Kalimantan, North Maluku, and Papua. The sample included 21 pharmacies in collaboration with BPJS Kesehatan (Social Security Administrator for Health) in 11 capital cities of the provinces. Data were collected by using a checklist of pharmacy service standards. Data analysis was performed descriptively. The results showed that the ratio of the number of pharmacists per pharmacy was 1.8 and the adequacy of pharmacists for prescription services for patients per day without the help of pharmaceutical technical personnel was 66.7%. Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy have not been fully implemented. The average implementation of pharmaceutical preparation management standards (98.4%) is higher than the implementation of clinical pharmaceutical service standards (73.8%). In order to improve the implementation of Pharmaceutical Service Standards, it is recommended that pharmacists increase the competency of services in pharmacies, professional organizations conduct continuing education of pharmacists and the District Health Office should develop policies, conducts training, and periodically strengthen the monitoring and evaluation on the compliance to this standard. Keywords: pharmacy, clinical pharmacy, pharmaceutical management, pharmaceutical personnel
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Febriansah, Rifki, Aji Winanta, and Andy Eko Wibowo. "DETEKSI DINI PENYAKIT HIPERTENSI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT STROKE BAGI JAMAAH PRM MUTIHAN KOTAGEDE." Prosiding Seminar Nasional Program Pengabdian Masyarakat, March 21, 2021. http://dx.doi.org/10.18196/ppm.36.314.

Full text
Abstract:
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi hipertensi yang tinggi. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi hipertensi nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 11,01%. Tingginya prevalensi hipertensi beserta komplikasi dengan penyakit penyertanya tersebut di Kodya Yogyakarta, memicu Dinkes Kota DIY untuk menginisiasi suatu program pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskuler melalui Program Skrining terhadap Faktor Risiko Kardiovaskuler dan penyuluhan tentang pencegahan penyakit Kardiovaskuler. Mengingat perlunya keterlibatan tenaga kefarmasian/apoteker dalam penanganan hipertensi beserta komplikasinya menyangkut penggunaan dan terapi obatnya, maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh intervensi asuhan kefarmasian dalam keefektifan keberhasilan terapi program penanggulangan hipertensi beserta komplikasinya. Diagnosis dari penyakit hipertensi ini biasanya disebabkan karena berdasarkan data-data anamnesis atau berupa riwayat keluarga, faktor risiko dan juga gejala klinis yang dialami oleh penderita, pemeriksaan jasmani, dan terutama pemeriksaan tekanan darah, serta juga pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang seperti foto dada dan rekam jantung. Gejala penyakit hipertensi darah tinggi untuk menguatkan diagnosis hipertensi salah satunya adalah adanya riwayat penyakit hipertensi pada kedua orang tua, karena hal ini bisa memperbesar dugaan hipertensi primer. Gejala penyakit hipertensi darah tinggi bisa menimbulkan masalah komplikasi dan bisa disertai dengan penyakit yang lainnya. Biasanya penyakit ini muncul dengan bersamaan yang justru bisa memperburuk kerusakan suatu organ. Komplikasi yang terjadi salah satunya adalah penyakit jantung koroner. Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan penyuluhan tentang Cara Deteksi dan Pengobatan Hipertensi dan pencegahan stroke dengan Obat Herbal bekerjasama dengan PRM Mutihan Kotagede. Dari hasil pengabdian diketahui bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui terkait tanda dan gejala penyakit stroke dan beberapa warga diketahui mempunyai potensi tinggi mengalami kejadian stroke. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terkait penyakit stroke dan memahami cara pencegahan dari penyakit tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Tuladhani, Endah, Erwin G. Kristanto, and Jantje Pongoh. "Evaluasi kepatuhan RSU GMIM Bethesda Tomohon dalam penempatan tenaga kesehatan sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014." JURNAL BIOMEDIK (JBM) 9, no. 1 (March 30, 2017). http://dx.doi.org/10.35790/jbm.9.1.2017.15384.

Full text
Abstract:
Abstract: Recruitment of health personnels is included in the purpose of UU Nomor 36 tahun 2014. This UU states that all health personnels should have the STR and SIP. Moreover, SPK graduated medical assistants are not longer accepted as professional workers. As one of the type C hospitals in Tomohon, the numbers and types of competence of health personnels at GMIM Bethesda Hospital have to meet the requirement set out in PERMENKES no 56 RI 2014, which is about the permission of hospital operation. This study was aimed to evaluate the compliance of GMIM Bethesda Hospital in recruitment of health personnels and medical assistants in their respective fields of health services, in accordance with its competence and authority based on UU Nomor 36 tahun 2014. This study used a qualitative method. Thorough interviews and document observation were performed to obtain information about the the management of GMIM Bethesda Hospital in placing their health personnels in accordance with the UU No 36 tahun 2014. The results showed that the recruitment of health personnels of GMIM Bethesda Hospital was in accordance with UU No 36 2014 except for clinical pathologists, dental specialists, and pharmacists that are still lacking, and also for the great numbers of SPK graduated personnels who were still working at the hospital. Conclusion: In general, health personnels of GMIM Bethesda hospital were in accordance with UU No 36 tahun 2014.Keywords: health personnels, recruitmentAbstrak: Penempatan tenaga kesehatan termasuk dalam salah satu tujuan dari UU Nomor 36 tahun 2014. RSU GMIM Bethesda sebagai salah satu rumah sakit di Kota Tomohon harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Permenkes RI No 56 tahun 2014 terkait dengan izin operasional rumah sakit dan sebagai persyaratan rumah sakit yang telah terakreditasi tipe C. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kepatuhan RSU GMIM Bethesda dalam menempatkan tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan di masing-masing bidang pelayanan kesehatan sesuai kompetensi dan kewenangannya berdasarkan UU No 36 tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan observasi dokumen untuk mendapatkan informasi mengenai manajemen rumah sakit Bethesda dalam menempatkan tenaga kesehatan sesuai ketentuan UU No 36 tahun 2014 yaitu setiap tenaga kesehatan harus memiliki STR dan SIP dan tidak adanya lagi asisten tenaga kesehatan lulusan SPK yang menjadi tenaga profesi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penempatan tenaga kesehatan di RSU GMIM Bethesda sudah sesuai dengan UU No 36 tahun 2014 kecuali tenaga dokter spesialis patologi klinik, dokter spesialis gigi, dan apoteker masih kurang, juga masih terdapat banyak tenaga lulusan SPK yang masih bekerja di rumah sakit ini. Simpulan: Penempatan tenaga kesehatan di RSU GMIM Bethesda telah sesuai dengan UU No 36 tahun 2014.Kata kunci: tenaga kesehatan, penempatan tenaga kesehatan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography