Journal articles on the topic 'Kampung'

To see the other types of publications on this topic, follow the link: Kampung.

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 50 journal articles for your research on the topic 'Kampung.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Pramudito, Sidhi. "MENGELOLA KAMPUNG DENGAN KEARIFAN LOKAL; Belajar dari Kampung Gampingan di Yogyakarta." Jurnal Arsitektur KOMPOSISI 11, no. 5 (September 18, 2017): 169. http://dx.doi.org/10.24002/jars.v11i5.1291.

Full text
Abstract:
Abstract: In recent years many new and modern buildings have emerged in Yogyakarta, on the other hand the existence of kampongs and the natural environment continues to decline, including local wisdom in managing the environment is increasingly abandoned. Kampung Gampingan as a "kampung kota" in the city of Yogyakarta, located on the riverside of the Winongo River. Kampong administrators and it’s citizen Gampingan cooperate to manage and maintain the quality of the kampong environment. For them, the aspect of environmental conservation is very important and considered because it aims to maintain harmonious relationships between humans and the natural environment. The purpose of this paper is to explore information about environmental management in kampong Gampingan, which involves citizens and consider the impact on the natural environment. The results show that community participation, partnerships with various parties (other communities, universities, government and private), and the role of facilitators are very important in the management of kampong based on local wisdom. Community participation is the key to the success or failure of kampong management based on local wisdom.Keywords: kampong management, community participation, local wisdomAbstrak: Dalam beberapa tahun akhir-akhir ini banyak bangunan baru dan modern muncul di Yogyakarta, pada sisi lain keberadaan kampung dan lingkungan alamiah terus berkurang, termasuk kearifan lokal dalam mengelola lingkungan semakin ditinggalkan. Kampung Gampingan termasuk “kampung kota” di kota Yogyakarta, terletak di tepi Sungai Winongo. Pengurus kampung dan warga kampung Gampingan bergotong-royong mengelola dan menjaga kualitas lingkungan kampung. Bagi mereka, aspek pelestarian lingkungan sangat penting dan diperhatikan sebab bertujuan menjaga hubungan harmonis manusia dan lingkungan alam. Tujuan tulisan ini adalah menggali informasi tentang pengelolaan lingkungan di kampung Gampingan, yang melibatkan warga dan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat, kemitraan dengan berbagai pihak (komunitas lain, perguruan tinggi, pemerintah dan swasta), dan peran fasilitator sangat penting dalam pengelolaan kampung yang berbasis kearifan lokal. Peranserta masyarakat menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan pengelolaan kampung berbasis kearifan lokal.Kata kunci: mengelola kampung, partisipasi warga, kearifan lokal
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Toer, Pramoedya Ananta, and Sumit K. Mandal. "My Kampung (Kampungku)." Indonesia 61 (April 1996): 25. http://dx.doi.org/10.2307/3351361.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Laily, Nur, Ihsan Budi Raharjo, and David Efendi. "PENDAMPINGAN KAMPUNG SAWUNGGALING, MENUJU KAMPUNG PENDIDIKAN –KAMPUNGE AREK SURABAYA (KP-KAS)." JURNAL CEMERLANG : Pengabdian pada Masyarakat 1, no. 2 (June 30, 2019): 12–25. http://dx.doi.org/10.31540/jpm.v1i2.173.

Full text
Abstract:
Program pemerintah kota Surabaya adalah terciptanya kondisi daerah tinggal (kampung) yang nyaman, aman dan ramah bagi proses tumbuh kembang anak dalam dukungan masyarakat yang menjamin pemenuhan hak anak dan mengupayakan perlindungan anak secara optimal. Pemerintah Kota Surabaya meyakini bahwa untuk menjadikan Surabaya sebagai Kota layak Anak Yaitu Kampung Pendidikan Kampung arek Surabaya (KP KAS) yang memiliki 7 (Tujuh ) karakteristik: (1) Kampung Kreatif; (2) Kampung Belajar ; (3) Kampung Asuh; (4) Kampung Aman; (5) Kampung Sehat; (6) Kampung Literasi dan (7) Pemuda Penggerak Literasi. Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo , Kota Surabaya masuk dalam kategori kampung Madya. Permasalahan yang dihadapi adalah Bagaimana menyusun Portofolio Lomba KP-KAS yang baik dan benar, sesuai dengan kriteria lomba KP-KAS Tahun 2018. Tujuan Pendampingan yaitu Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo mampu menghasilkan Portofolio Lomba KP-KAS yang tersusun sesuai dengan ketentuan Pemerintah Kota Surabaya mampu meng-eksplorasi potensi dan keunggulan-keunggulan yang dimiliki, serta mengungkap-kannya dalam Portofolio Lomba KP-KAS secara optimal serta mampu menyelesaikan penyusunan Portofolio Lomba KP-KAS tepat waktu. Hasil dari pendampingan tersusunya Portofolio Lomba KP KAS Kategori Kampung Madya, Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo , Kota Surabaya tepat pada waktunya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Sulistyo, Ary. "THE SUNDANESE ECO-RELIGION KAMPONG OF KASEPUHAN CIPTAGELAR INDIGENOUS LOCAL COMMUNITY: CASE STUDY KAMPONG CENGKUK, SUKABUMI REGENCY." KALPATARU 29, no. 1 (July 15, 2020): 39–50. http://dx.doi.org/10.24832/kpt.v29i1.618.

Full text
Abstract:
Abstract. This research focused on eco-religion of indigenous Sundanese local community of Kasepuhan Ciptagelar at Southern Halimun Mountain on how to manage sustainable environment. The Kampong Cengkuk is one of several kampongs that still follow the tradition of indigenous local community of Kasepuhan Ciptagelar for hundred years. This descriptive qualitative research aims to reveal the internal and external factors led to deforestation of natural forests with average around 6-8% per year. The research shows that the kampong is still practicing eco-religion tradition by protecting forestland (leuweung tutupan) only for their subsistence. The hypothesis is that the social-culture changes had been occurred in the community not only to restrict outer island agriculture in the forest, but also, in wet rice cultivation activities, to manage sustainable environment. The reduction in process and ceremonial activities also happened, which was originally eight ceremonies of outer island agriculture rituals into five ceremonies of wet rice cultivation. The more profane activities were developing economic crops in home garden. Keywords: Ecoreligion, Kampong, Environment, Forest, Tradition Abstrak. Penelitian ini membahas tentang eko-religi masyarakat lokal Sunda Kampung Ciptagelar di Pegunungan Halimun Selatan bagaimana dalam pengelolaan lingkungan keberlanjutan saat ini. Kampung Cengkuk adalah salah satu dari kampung-kampung pengikut tradisi Kasepuhan Ciptagelar selama ratusan tahun. Penelitian dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif ini yang bertujuan untuk mengetahui faktor dari dalam dan luar kampung penyebab deforestasi hutan alam dengan rata-rata sekitar 6-8% per tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik ekoreligi masih dianut warga kampung dengan menjaga hutan tutupan (leuweung tutupan) untuk kegiatan subsistensi. Hipotesa yang dibangun adalah perubahan sosio-kultur terjadi pada masyarakat dengan membatasi kegiatan berladang di hutan tetapi lebih kepada kegiatan bertani di sawah ladang untuk mengelola lingkungan berkelanjutan. Pengurangan pada proses dan kegiatan upacara, yang semula delapan upacara daur ladang menjadi lima upacara daur sawah. Kegiatan profan lebih banyak pada pengembangan komoditas tanaman ekonomi di kebun-talun. Kata kunci: Ekoreligi, Kampung, Lingkungan, Hutan, Tradisi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Wijayanti, Dina Putri, and Indrawati Indrawati. "Potensi Kampung Kedunggudel Sebagai Kampung Wisata di Kelurahan Kenep Sukoharjo." Sinektika: Jurnal Arsitektur 17, no. 1 (May 9, 2020): 73–79. http://dx.doi.org/10.23917/sinektika.v17i1.10870.

Full text
Abstract:
Kampung Kedunggudel di Kelurahan Kenep Kabupaten Sukoharjo memiliki banyak daya tarik yang terdiri dari daya tarik alam, budaya dan manusia. Kampung ini menarik untuk diangkat sebagai kampong wisata. Pengembangan kampung wisata diperlukan sarana dan prasarana yangmemadai serta atraksi yang tepat untuk mengelola daya tarik yang ada, sehingga dapat menarik wisatawan untuk berkunjung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tarik yang terdapat di Kampung Kedunggudel sehingga terpilih menjadi kampung wisata, serta mengetahuiatraksi yang dapat dikembangkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode SWOT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kampung ini memiliki daya tarik alam, budaya dan manusia. Sarana prasarana yang tersedia yaitu akomodasi, toko kelontong, pasar tradisional, salon, jalan,listrik, air bersih, air minum, pelayanan informasi dan masjid. Sedangkan sarana dan prasarana yang belum tersedia yaitu tempat makan, transportasi, papan petunjuk arah dan toilet umum. Atraksi yang tersedia sebatas pembelajaran, belum bersifat rekreatif. Keberhasilan pengembangan kampong ini menuntut adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintahmelalui keberagaman atraksi dan beragam sarana prasarana yang dibutuhkan dalam kampung wisata.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Tamara, Anindya Putri, and Mardwi Rahdriawan. "Kajian Pelaksanaan Konsep Kampung Tematik di Kampung Hidroponik Kelurahan Tanjung Mas Kota Semarang." Jurnal Wilayah dan Lingkungan 6, no. 1 (April 29, 2018): 40. http://dx.doi.org/10.14710/jwl.6.1.40-57.

Full text
Abstract:
Poverty and poor settlement problems seem inseparable from the urban living space including in Semarang City. One of the Semarang City Government policy innovations to tackle the poverty problems along with urban settlement improvement has been introduced in “GERBANG HEBAT” Program through the formation of kampung tematik (thematic kampong). In line with city development acceleration, thematic kampong needs a comprehensive planning for ensuring its sustainability. Representing a thematic kampong, Hydroponics Kampung in Tanjung Mas Subdistrict is dealing with high poverty level issue. The chosen hydroponics theme has in fact brought forward development complexity in nature against the existing coastal area characteristics. This study aims to examine the implementation of thematic kampong concept as well as the affecting factors towards its ineffectiveness. The research method applies qualitative descriptive data analysis. The results indicate the implementation process of kampong thematic concept in Hydroponics Kampung failed to encourage community empowerment. Hydroponic cultivation to which community welfare improvement sought for has no longer attractive and sustainable. The failure is caused by several factors such as poor kampong improvement planning, poor technical implementation process, the chosen thematic mismatch to the kampong potentials, and the lack of community knowledge and awareness.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Solikhah, Nafiah, Titin Fatimah, Mega Kusumawati, and Alifia Lufthansa. "Green Kampong Management Using a Participatory Community Approach." MITRA: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat 5, no. 1 (May 26, 2021): 48–60. http://dx.doi.org/10.25170/mitra.v5i1.1793.

Full text
Abstract:
The urban kampong ‘kampung kota’ is an essential part of the formation of city structures. One existing urban kampong in Jakarta is kampung Tanjung Gedong, located at RT 05/RW 08, Tomang Sub-district, Grogol Petamburan District in West Jakarta. Its location, which is 500 meters from Untar Campus 1, was one consideration for selecting kampung Tanjung Gedong as a partner. The team has also carried out community service activities (PKM) in this location, and it is expected that the program implemented would be sustainable. In the context of urban life, kampung Tanjung Gedong has physical, spatial, and environmental problems, mainly due to the high level of building density. The purpose of these activities was to provide a solution for urban village management using a participatory community approach. The proposed solution is penataan Kampung Hijau ‘Green Kampong Management’ by involving community members’ active participation from the beginning of the planning to the management through the placemaking method, which involves three approaches: green planning and design, green open space, and green community. This proposed green kampong concept is expected to overcome the problems encountered by the partner in achieving a healthy and comfortable environment for residents. The concept of green kampong is a promising solution in solving the physical environmental and spatial problems of kampung kota Tanjung Gedong. The program has improved the quality of the environment and increased the community's social quality in a form of a healthier lifestyle.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Yonanda, Henry, and Rudy Trisno. "KAMPUNG NELAYAN BERKELANJUTAN DI KAMAL MUARA." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) 1, no. 2 (January 26, 2020): 1009. http://dx.doi.org/10.24912/stupa.v1i2.4467.

Full text
Abstract:
Millennials have been touted as the generation that will do something about global warming. Conversely, some social scientists studying generational differences have found evidence that younger generations are less likely to engage in civic matters like environmental activism. Lack of civic engagement among Millennials may reduce their likelihood of engaging in collective action on global warming. On the other hand, the world is drastically changing. Within the recent years, climate change has become a growing concern worldwide. The various modes of destruction imposed on the environment are targeted to be the catalyst to these changes. According to climate scientists, sea level rise is one of the most important impacts of global climate change. Fishermen as one of the professions that depend their life on the sea, is affected so much by this condition. This condition might destroy their houses on the coastal area. Urban Kampong in Jakarta as the most dense human settlements in urban area has become one of the main economic generator for a city. With all the contradict characteristics and forms, urban kampongs are the part of the city that cannot be separated from one to another. The existence of kampong has become the main embryo of the development of Jakarta. Jakarta is one of the biggest coastal city in the world. The coastline of this city has become the main economic generator for the coty and the nations. The existence of fishermen’s kampong in Jakarta has also become an essential program for the city, in order to fullfill the needs of fresh catch of sea products. Therefore, The project is aimed to create a sustainable and adaptive coastal kampong community, that has the resilience to the rising sea level. By concerning on the kampong’s behaviour, and doing research of the typological transformation of the kampong, the design is also expected to serve as an archetype fot the future development of endagered coastal settlements all across the country. several sustainable approach and behaviourial approach are also injected in this project to create a contextual design that would help the kampong to grow, and adapt to all the conditions, and situation in the future. AbstrakGenerasi milenial dianggap sebagai generasi yang akan melakukan perubahan nyata terkait dengan pemanasan global. Akan tetapi, beberapa studi pun menunjukan bukti bahwa generasi millenial justru memiliki kesadaran serta kepekaan yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan generas-generasi sebelumnya. Pada satu sisi, bumi kian melakukan perubahan yang begitu derastis. Berbagai macam kerusakan pun terjadi dalam berbagai jenis yang menjadi generator dari perubahan iklim yang drastis ini. Nelayan sebagai salah satu profesi yang menggantungkan nasibnya pada lautan, kian terganggu dengan kondisi ini. Hal ini menyebabkan kerusakan pada rumah-rumah di kawasan pesisir pantai. Kampung kota di Jakarta, sebagai permukiman terpadat di daerah urban menjadi salah satu kenerator utama pada suatu kota. Dengan segala karakteristiknya yang berbanding terbalik dengan perkotaan, kampung kota merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kota. Eksistensi suatu kampung telah menjadi embrio dari perkembangan kota Jakarta. Jakarta merupakan salah satu kota pesisir terbesar di dunia. Daerah pesisir dari kota ini telah menjadi generator ekonomi utama dari kota itu sendiri dan juga nasional. Keberadaan kampung nelayan di Jakarta pun menjadi salah satu program penting yang perlu mendapatkan perhatian. Maka dari itu, proyek ini bertujuan untuk menciptakan suatu komunitas kampung pesisir yang berkelanjutan, adaptif serta memiliki ketahanan terhadap kenaikan permukaan air laut yang terjadi. Metode perancangan pada proyek ini dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu analisis mikro yang membahas mengenai tipe dan perilaku, serta analisis makro yang membahas proyek dari segi perancangan urban. Dengan menitik beratkan pada studi perilaku, dan melakukan riset mendalam terhadap transformasi tipologi yang terjadi pada kampung, desain ini diharapkan dapat menjadi suatu arketipe untuk pengembangan kampung di daerah pesisir di masa depan di seluruh Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa dengan adaptasi tipe, perilaku serta sistem berkelanjutan yang sesuai dan tepat, desain dari kampung nelayan berkelanjutan ini dapat menjadi suatu respon yang tepat dalam menjawab permasalahan yang terjadi di kampung-kampung pesisir.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Prasetyo, Anggar. "PERANAN RUANG KOMUNAL DALAM MEWADAHI PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG RATMAKAN." LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR 6, no. 2 (December 13, 2019): 101. http://dx.doi.org/10.26418/lantang.v6i2.34393.

Full text
Abstract:
Kampung Ratmakan merupakan sebuah kampung yang terletak ditengah perkotaan Yogyakarta. Kampung Ratmakan memiliki citra yang bersih dan ikatan sosial yang kuat antar anggota masyarakat. Namun perilaku masyarakat perkotaan menjadi ancaman bagi masyarakat masyarakat Kampung Ratmakan. Ancaman datang berupa dari karakter masyarakat perkotaan yang cenderung individu dan mengancam karakter sosial masyarakat Kampung Ratmakan. Untuk itu dibangun beberapa ruang komunal pada Kampung Ratmakan yang terletak ditengah perkampungan dan tersebar ditepi Sungai Code. Ruang-ruang komunal tersebut dibangun untuk mewadahi aktifitas perilaku masyarakat dengan membentuk setting ruang pada tiap ruang komunal. Sehingga perlu diketahui sejauh mana ruang-ruang komunal terdebut dengan setting yang ada mampu mewadahi aktifitas komunal masyarakat Kampung Ratmakan. Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pencarian data menggunakan teknik observasi langsung dan wawancara mendalam. Kemudian dari data-data tersebut dikaitkan dengan teori-teori mengenai konsep affordance dan karakter masyarakat kampung. Hasil yang dicapai menyatakan bahwa ruang komunal tepi sungai dan ruang komunal tengah kampung memiliki peranan berbeda untuk mewadahi perilaku sosial masyarakat. Ruang komunal tengah kampung cenderung berperan sebagai physical affordances melalui fasilitas-fasilitas yang ada. Sedangkan ruang komunal tepi sungai cenderung berperan sebagai sensory affordances melalui kenyamanan thermal yang terbentuk.ROLE OF COMMUNAL SPACES IN ACCOMMODATING SOCIAL COMMUNITY BEHAVIOR OF RATMAKAN KAMPUNG Kampung Ratmakan is an area that located in the middle part of Yogyakarta. Kampung Ratmakan has character as clean kampong and they have strong social relation between member of kampong. But the character of urban citizen has became threat for Ratmakan people. The threat has the shape of urban citizen character that inclined as individuality and become threat for kampong people character. So, they had built several communal spaces in the Kampung Ratmakan that located in the middle part of kampong and the side of Code River. The communal spaces are built to accommodate the behavior of the community by forming a space setting in each communal space. So that it is necessary to know the extent to which communal spaces have been contested with the existing settings capable of accommodating communal activities of the Kampung Ratmakan community. The method in this study is a qualitative method with data search using direct observation techniques and in-depth interviews. Then from these data are associated with theories about the concept of affordance and character of the village community. The results achieved stated that the riverside communal space and the middle communal space of the village had different roles to accommodate the social behavior of the community. Central village communal space tends to act as physical affordances through existing facilities. While riverfront communal spaces tend to act as sensory affordances through the thermal comfort that was formed.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Suprobo, Filipus Priyo, and Ririn Dina Mutfianti. "INOVASI LINGKUNGAN: PEMBERDAYAAN SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG PERKOTAAN (STUDI KASUS DI SURABAYA)." Jurnal Sosioteknologi 20, no. 2 (August 31, 2021): 249–61. http://dx.doi.org/10.5614/sostek.itbj.2021.20.2.10.

Full text
Abstract:
The leading kampung in the city of Surabaya has become a self-supporting social entity with a hybrid organizationalfunction. This has made Surabaya one of the Global Green Cities in 2017. These kampungs in Surabaya carry outcommunity empowerment independently in their function to complement or balance the government functions. Theempowerment puts forward social functions based on environmental innovation in creating commercial goals that provide benefits for its members. This study aims to find the determinants of environmental innovation resulting from social empowerment of urban village communities with a qualitative approach. The researcher acts as an instrument withsix sources from five selected leading kampungs: Mangrove Kampung, Bratang Binangun Kampung, Grudo Kampung,Maspati Kampung, and Jambangan Kampung. Data were collected through field observations and document searches forapproximately two months from August to September 2019. The analysis and validation were processed by triangulation,checking group members, and rich descriptions of the essence of environmental innovation in the city of Surabaya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Wirasmoyo, Wiliarto. "OPTIMASI LAHAN TERLANTAR MENJADI RUANG PUBLIK DI KAMPUNG KOTA; Studi Kasus: Lahan Terlantar Kampung Badran RW. 09, Yogyakarta." Jurnal Arsitektur KOMPOSISI 11, no. 5 (September 18, 2017): 217. http://dx.doi.org/10.24002/jars.v11i5.1295.

Full text
Abstract:
Abstract: The urban kampong is a phenomenon created by the uncontrolled growth of the city and the inappropriate use of land. The city of Yogyakarta is known as a city of culture and tourism, inhabited by communities living around the city center. The area around downtown Yogyakarta has a high population density, so that almost all roads and rivers are filled with settlements (kampong), leaving a small portion for urban open spaces. Kampung Badran is a kampong-kota located in the center of economic activity of Yogyakarta city. Uncontrolled land use in the kampong Badran produces displaced space among the houses. The effort to transform displaced space into public spaces is an alternative to creating public spaces for citizens. The purpose of the research is the direction of optimization of multifunctional public space design that is suitable with the needs of Badran villagers. The results of the design optimization of displaced space were positive, that is, the public space became active, increased in quality and beneficial to the citizens because it suited their needs.Keywords: urban kampong, displaced space, public space, optimization.Abstrak: Kampung kota merupakan fenomena yang tercipta akibat dari pertumbuhan kota yang tidak terkendali dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukan. Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya dan pariwisata, dihuni komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar pusat kota. Kawasan sekitar pusat kota Yogyakarta memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga hampir semua tepian jalan dan sungai terisi permukiman (kampung), dan menyisakan sebagian kecil untuk ruang terbuka kota. Kampung Badran merupakan kampung-kota terletak di pusat kegiatan ekonomi kota Yogyakarta. Penggunaan lahan yang tidak terkendali di kampung Badran menghasilkan lahan-lahan terlantar di antara rumah-rumah warga. Upaya mengubah lahan terlantar menjadi ruang publik merupakan alternatif menciptakan ruang publik bagi warga. Tujuan penelitian adalah arahan optimasi desain ruang publik multifungsi yang sesuai dengan kebutuhan warga kampung Badran. Hasil optimasi desain lahan terlantar ternyata positif, yaitu ruang publik menjadi aktif, meningkat kualitasnya dan bermanfaat bagi warga karena cocok dengan kebutuhan mereka.Kata kunci: kampung kota, lahan terlantar, ruang publik, optimasi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Rolalisasi, Andarita, and Dadoes Soemarwanto. "Gang sebagai Tempat Aktivitas di Permukiman Perkotaan Referensi Kampung di Kota Surabaya." NALARs 19, no. 1 (December 26, 2019): 19. http://dx.doi.org/10.24853/nalars.19.1.19-28.

Full text
Abstract:
Kampung merupakan permukiman perkotaan dengan keterbatasan tempat aktivitas bagi penghuni. Kampung memiliki keunikan yang khas dalam pembentukan tempat aktivitas.Hal ini karena penghuni tidak hanya beraktivitas di dalam rumah namun juga di luar rumah, khususnya di gang. Paper ini menerangkan secara naturalistik kualitatif tentang bagaimana penghuni kampung membentuk place di gang kampung untuk beragam aktivitas individu dan bersama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gang kampung berfungsi dengan baik sebagai link (jalur sirkulasi) dan tempat aktivitas yang adaptable, fleksibel, dan negotiable. Pembentukan tempat aktivitas di gang kampung dipengaruhi oleh karakteristik space kampung, aktivitas, aktor dan makna gang bagi penghuni kampung.Kampung is a spontaneous urban settlement that lack of an inhabitant’s place activity. Kampung has unique ways for forming an activity place due to where it placed. Kampung’s inhabitant not only do their daily activities inside their houses but also in the kampung’s alley. The objective of research is understand how the inhabitant of kampung are making a place activity at alley. The research method is qualitative approach with naturalistic paradigm. The result showed that the kampung alley are running well as a link (channel of movement) and an activity place that adaptable, flexible, and negotiable. The kampung alley as an activity place formed by space characteristic of kampung, inhabitant’s activities at alley, actor and the meaning of alley for inhabitant.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Putri, Asa Bela Sri Reformasi Nala, Gushairiyanto Gushairiyanto, and Depison Depison. "Bobot Badan dan Karakteristik Morfometrik Beberapa Galur Ayam Lokal." Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Tropis 7, no. 3 (September 30, 2020): 256. http://dx.doi.org/10.33772/jitro.v7i3.12150.

Full text
Abstract:
ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bobot badan dan karakteristik morfometrik beberapa galur ayam lokal. Materi penelitian ini adalah ayam kampung super, ayam kampung unggul balitnak (KUB), dan ayam kampung masing-masing sebanyak 82 ekor. Data yang dihimpun adalah bobot badan, panjang paruh, lebar paruh, panjang kepala, lingkar kepala, tinggi kepala, panjang leher, lingkar leher, panjang sayap, panjang punggung, tinggi punggung, panjang dada, lebar dada, panjang shank, lingkar shank, panjang tibia, lingkar tibia, panjang jari ketiga dan jarak antara tulang pubis. Data bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh dianalisis menggunakan uji-t sedangkan vektor nilai rata-rata ukuran-ukuran tubuh dianalisis dengan menggunakan uji T2-Hotelling. Analisis komponen utama digunakan untuk mengidentifikasi penciri ukuran dan bentuk tubuh ayam lokal. Hasil penelitian menunjukkan bobot bahwa bobot badan ayam kampung Super (837,98±68,97 g) berbeda nyata dengan ayam KUB (713,15±66,75 g) dan ayam kampung (605,53±80,01 g). Secara umum ayam kampung super memiliki morfometrik yang relatif lebih tinggi daripada ayam KUB dan ayam kampung. Penciri ukuran tubuh ayam kampung super dan ayam KUB adalah panjang tibia, sedangkan ayam kampung adalah lebar dada. Penciri bentuk tubuh ayam kampung super adalah lebar dada, sedangkan ayam KUB dan ayam kampung adalah panjang punggung. Disimpulkan bahwa bobot badan dan morfometrik tertinggi ditemukan pada ayam kampung super, disusul ayam KUB dan ayam kampung. Ayam kampung Super dan ayam KUB memiliki penciri ukuran tubuh (panjang tibia) yang berbeda dengan ayam kampung (lebar dada). Ayam kampung super memiliki penciri bentuk tubuh (lebar dada) yang berbeda dengan ayam KUB dan ayam kampung (panjang punggung).Kata Kunci: ayam lokal, bobot badan, karakteristk morfometrikABSTRACTThis study aims to determine the bodyweight and morphometric characteristics of several local chicken strains. The research material were three strains of native chicken: kampong super chicken, kampung unggul balitnak (KUB) chicken, and kampung chicken, each strains consisted of 82 heads. Data collection on body weight and morphometric characteristics were performed at 2 months of age. Data collected includes: body weight and morphometric characteristics which include beak length, beak width, head length, head circumference, head height, neck length, neck circumference, wing length, back length, back height, chest length, chest width, shank length, shank circumference, tibia length, tibia circumference, third finger length and pubic bone distance. Data collected were analyzed using t-test to determine differences in body weight and body measurements between chicken strains. Average value vector of chicken body measurements was analyzed using T2-Hotelling statistical test. Principal component analysis statistical test was used to identify the shape and size characteristics of each chicken strain. Data processing was assisted by using Minitab statistical software version 18. Results of this study showed that kampong super chicken has best bodyweight and body weight gain among other strains. The identifier of body size and shape of kampong super chicken were tibia length and breast width. The identifier of body size and shape of KUB chicken were tibia length and back length, while the identifier of body size and shape of the kampung chicken were chest width and back length. Keywords: body weight, native chicken, morphometric characteristic
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Zohrah, Laila Zohrah. "EVOLVING CONNNECTIVITY PATTERNS OF BANJARESE KAMPUNGS AND RUMAH BUBUNGAN TINGGI (HIGH RIDGE-HOUSE) IN SOUTH KALIMANTAN RIVER NETWORKS." International Journal on Livable Space 4, no. 1 (September 21, 2019): 8. http://dx.doi.org/10.25105/livas.v4i1.4625.

Full text
Abstract:
<p>ABSTRACT</p><p>The objective of this study is to clarify the connectivity: spatial and physical patterns of Banjarese Kampungs in South Kalimantan river networks for the community of Rumah Bubungan Tinggi (RBT) or high ridge houses. It provides a basis for potential reconstructing a Banjarese Kampung in keeping with the sociocultural context. We investigated a total of an urban kampung (177 households) and 12 RBT groups (4 RBTs groups in 1 urban kampung and 8 RBT groups in 2 rural kampungs). We describe the development of kampung throughout the evolution of river networks, then analyze the formation of dwelling in the urban kampung and the changing of spatial composition in the kin-group. The discussion on the evolution river network is based on the reconstruction of waterway patterns from the 15th until the mid 20th century. Finally, the kinship interaction reveals the open-ended multifamily boundaries and the changing level of house connectivity such as rival kin-group</p><p>Keywords: Rumah Bubungan Tinggi (RBT) groups, kampung, connectivity, spatial composition, South Kalimantan</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Cahyani, Shilvia Dwi, Winny Astuti, and Rufia Andisetyana Putri. "KAMPUNG TEMATIK SEBAGAI ELEMEN PRIMER KEGIATAN WISATA PERKOTAAN DI SURAKARTA." Desa-Kota 2, no. 2 (October 5, 2020): 117. http://dx.doi.org/10.20961/desa-kota.v2i2.31442.117-129.

Full text
Abstract:
<p><em>Urban tourism merupakan daya tarik wisata yang berlokasi di kota dan perkotaan sehingga menarik wisatawan dari daerah lain untuk berkunjung ke kota. Pada tahun 2018, Kota Surakarta mengembangkan sektor pariwisata dalam bentuk Urban Tourism. Urban Tourism diangkat dengan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kampung di Kota Surakarta, sehingga menghasilkan kampung tematik sebagai atraksi baru dalam pariwisata di Kota Surakarta. Atraksi wisata di dalam konsep urban tourism disebut dengan elemen primer, sehingga kampung tematik berperan sebagai Elemen primer dari program kerja Urban Tourism di Kota Surakarta. Ada 6 Kampung Tematik di Kota Surakarta, yaitu Joho Kampoeng Hepi, Kampung Batik Laweyan, Kampung Blangkon Petrojayan, Kampung Sayur Mojosongo, Kampung Batik Kauman, dan Jayengan Kampoeng Permata. Kampung Tematik sebagai elemen primer urban tourism dijadikan sebagai salah satu pendorong untuk menaikkan jumlah kunjungan wisata ke Kota Surakarta, sehingga muncul pertanyaan penelitian bagaimana kesesuaian Kampung Tematik di Kota Surakarta sebagai elemen primer urban tourism. Dari pertanyaan tersebut menghasilkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui kesesuaian Kampung Tematik di Kota Surakarta sebagai elemen primer dalam konsep Urban Tourism. Karakteristik yang akan dilihat berdasarkan atraksi wisata berupa kebudayaan, fasilitas pendukung wisata, perubahan sosial ekonomi masyarakat, dan aksesibilitas. Penelitian ini mengunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan deduktif, dan melalui teknik analisis skoring. Hasil analisis menunjuk</em><em>k</em><em>an bahwa besar persentase kesesuaian Kampung Tematik di Kota Surakarta sebagai elemen primer urban tourism adalah sebesar 33%. Rendahnya persentase kesesuaian dikarenakan beberapa Kampung Tematik belum dapat menyajikan keberagaman atraksi wisata dan fasilitas.</em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Sukmawati, Annisa Mu’awanah, and Nany Yuliastuti. "EKSISTENSI KAMPUNG LAMA MELALUI KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG BUSTAMAN SEMARANG." TATALOKA 18, no. 2 (May 2, 2016): 108. http://dx.doi.org/10.14710/tataloka.18.2.108-117.

Full text
Abstract:
<strong><strong></strong></strong><div><p class="AbstractEnglish">Kampung Bustaman is an old kampong in the center of Semarang City that still can exist. The research aims to find the factors that influence the existence of Kampung Bustaman and to give the strategy to strengthen the existence of Kampung Bustaman through its local wisdom. The research was conducted using qualitative research with case study approach. The sampling technique used is snowball sampling. Analysis was conducted using descriptive qualitative analysis which aims to provide in-depth descriptions of the conditions of existence of Kampung Bustaman through local wisdom. The results shows that Kampong Bustaman still able to exist in the middle of urban development using local wisdom. Local wisdom has manifested in the daily life, consist of physical artifacts, economic activity, religious traditions, and social life. Local wisdom in the form of economic activity has been the spirit for the Bustaman’s occupants. The existence of the diversification activities related to the goats and culinary business that was involved Bustaman’s occupants were able to enliven kampung space condition and the most of Bustaman’s occupants. Local wisdom possessed also continued to strengthen in line with the times and the increasing need for people who require the existence of space and the role of the various parties to reinforce it.</p></div>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Sihombing, Antony, Ardhea Angella Rahardja, and Rossa Turpuk Gabe. "The Role of Millennial Urban Lifestyles in the Transformation of Kampung Kota in Indonesia." Environment and Urbanization ASIA 11, no. 1 (March 2020): 155–69. http://dx.doi.org/10.1177/0975425320906288.

Full text
Abstract:
Urbanization affects population growth, as people move from rural to urban areas. In Indonesia, this movement has led to the creation of settlements called kampung kota. Kampung and kota are different forms of settlements, but the lifestyle in kota can indirectly affect the lifestyle in kampung. As the millennial generation has attracted growing attention, it has been noted that the lifestyle of millennials has begun to influence urban lifestyles more generally. The large number of millennials who have settled in kampungs has caused change to the forms of the kampung, as seen in their structure and layout and the allotment of space when zoning is carried out. Based on a literature review, observation of urban lifestyles in the kampung and interviews with people living in kampung Kebon Kacang, Jakarta, and kampung Kukusan, Depok, sought to find changes in the forms of the kampung kota, which follow the needs and lifestyles of the millennial generation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Abdillah, Rojab Umar, and Linda Darmajanti. "Strategi Komunitas Peka Kota Hysteria dalam Pelestarian Kampung Kota (Studi Kasus: Kampung Bustaman Kota Semarang)." Jurnal Planologi 16, no. 1 (April 30, 2019): 82. http://dx.doi.org/10.30659/jpsa.v16i1.4384.

Full text
Abstract:
ABSTRACTKampung is an embryo of a city. Metropolitan city is growing from a kampung. The city growth has good and bad impacts. Semarang City has 6.6 million population and in the process of its development, four old kampungs have been evicted by the developer during 2005 to 2018, either for hotel or apartment. A kampung whose population is middle to lower economy is an easy target for developer. This condition has triggered Peka Kota Hysteria community which focuses on the issue of arts and urban youth to preserve kampungs in the urban area i.e kampung Bustaman. This study revealed KPK Hysteria’s internal and external factors in preserving kampung Bustaman and will reveal strategies used by KPK Hysteria. Through the strategy implemented namely 1. Based on local culture, 2. Optimizing the involvement of the resident of kampung Bustaman and 3. Using art movement through internal network. These tree strategies are implemented by KPK Hysteria with systematic steps. KPK Hysteria is considered capable and succeeded in preserving kampung Bustaman with the supporting for 6 years. This success can bee seen from the increasing social captal of kampung Bustaman : changes in social norm, the existence of social control, network, trust , and the most impact for the resident is the improvement of Human Resources, especially for the youth in kampung Bustaman .Keywords: Strategy, Community, Urban Kampung.ABSTRAKKampung merupakan embrio dari sebuah kota. Berawal dari sebuah kampung lalu tumbuh menjadi kota metropolitan. Pertumbuhan kota memang berdampak baik namun juga ada dampak buruknya. Kota Semarang dengan populasi 6,6 juta jiwa dalam proses pembangunannya didapati ada empat kampung lama yang digusur oleh developer dalam kurun tahun 2005 hingga 2018, baik itu dibangun hotel maupun apartemen. Keberadaan kampung yang penduduknya berekonomi menengah ke bawah merupakan sasaran empuk bagi developer. Kondisi ini memicu komunitas Peka Kota Hysteria yang fokus pada isu anak muda seni dan perkotan untuk bergerak melestarikan kampung-kampung di perkotaaan salah satunya kampung Bustaman. Penelitian ini mengungkap faktor internal dan eksternal KPK Hysteria dalam melestarikan kampung Bustaman. Serta akan mengungkap strategi yang digunakan oleh KPK Hysteria. Melalui Strategi yang diterapkan yaitu 1. berbasis budaya lokal, 2. pengoptimalan keterlibatan warga kampung Bustaman, dan 3. menggunakan gerakan seni melalui jaringan internal. Tiga hal tadi diterapkan oleh KPK hysteria dengan langkah-langkah yang sistematis. KPK hysteria dinilai mampu dan berhasil melestarikan kampung Bustaman dengan pendampingan selama 6 (enam) tahun. Keberhasilan ini dapat dilihat dari peningkatan modal sosial yaitu : perubahan norma sosial, adanya kontrol sosial,jaringan , trust, dan yang paling dirasakan yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia khususnya remaja pada kampung Bustaman.Keyword : Strategi, Komunitas, Kampung kota.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Sudarwanto, Budi, Gagoek Hardiman, and Agung Budi Sardjono. "PEMAHAMAN FENOMENA PENGETAHUAN ARSITEKTUR KAMPUNG KOTA (KASUS : KAMPUNG BUSTAMAN BERBASIS KULINER)." NALARs 16, no. 2 (July 10, 2017): 145. http://dx.doi.org/10.24853/nalars.16.2.145-154.

Full text
Abstract:
ABSTRAK.Kampung menjadi hambatan besar dalam proses modernisasi perkotaan di era globalisasi. 70 % area perkotaan di negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah kampung. Kampung masih dipandang sebagai sisi negatif dan sebagai beban perkotaan. Fakta empiris menunjukan bahwa kampung kota melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari secara mandiri. Kampung memiliki kekuatan lokal yang berbeda, masing-masing kampung menunjukan kekhususan yang dimiliki kampung. Secara umum, aspek sosial merupakan kekuatan lokal suatu kampung.Tulisan ini bertujuan untuk mencari pemahaman awal tentang kampung kota dalam dimensi ilmu arsitektur kota, melalui pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Analisa matriks antara keilmuan arsitektur dan konteks keberlanjutan kampung kota dipahami sebagai upaya pengembagan pengetahuan dini tentang keunikan dan kompleksitas kampung kota berbasis kuliner. Prosedur penelitian kualitatif digunakan dalam tahap-tahap kegiatan penelitian.Kampung Bustaman salah satu kampung kota yang mampu memberikan inspirasi gagasan/ide bagi kampung yang lain. Bustaman merupakan pengetahuan baru tentang arsitektur kampung di era kekinian, yang menunjukan kekuatan lokal yang dinamis dan sinergik. Kampung Bustaman menunjukan kelebihan dan kekurangan sebagai satu kampung kota pada umumnya. Kelebihan tersebut antara lain adalah potensial artefak dalam lingkungan kampung, kegiatan ekonomi lokal kuliner, keterbukaan sistem kekerabatan sosial, budaya masyarakat perkotaan kekinian, dan keterbukaan bagi pihak luar. Sedang kelemahannya adalah infrastruktur yang rentan, kondisi fisik lingkungan yang rendah, dan tingkat sosial ekonomi penghuni yang lemah. Kata kunci:Bustaman, Arsitektur, Kampung, Fenomena, Berkelanjutan. ABSTRACT.Kampung is a major obstacle in the process of urban modernization in the era of globalization. 70% of urban areas in developing countries such as Indonesia are home. Kampung still seen as a negative side and as an urban load. Empirical evidence shows that the hometown of the activities of daily life independently. Local villages have different strengths, each village to show the specificity owned by the village. In general, the social aspect is a local power a village.This paper aims to find the initial understanding of urban kampong in the dimensions of urban architecture, through a qualitative descriptive research approach. Matrix analysis between architectural science and the context of urban sustainability is understood as an effort to develop early knowledge about the uniqueness and complexity of culinary-based urban village. Qualitative research procedures are used in the stages of research activities.Kampung Bustaman one of the urban villages that is able to inspire ideas / ideas for other villages. Bustaman is a new knowledge of kampung architecture in the present era, which shows a dynamic and synergic local power. Kampung Bustaman shows advantages and disadvantages as a township in general. The advantages include potential artifacts in the village environment, culinary local economic activities, openness social kinship system, urban community culture and contemporary openness for outsiders. The weaknesses are the vulnerable infrastructure, the low physical condition of the environment, and the socio-economic level of the weak occupants. Keywords: Bustaman, architecture, kampong, phenomena, sustainability
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Nurhadi, Septi Kurniawati. "PEMANFAATAN RUANG PUBLIK SEBAGAI WADAH TRANSAKSI KULINER PADA LURUNG KAMPUNG PAJEKSAN – JOGONEGARAN, YOGYAKARTA." Jurnal Arsitektur KOMPOSISI 10, no. 5 (May 1, 2017): 301. http://dx.doi.org/10.24002/jars.v10i5.1100.

Full text
Abstract:
Abstract : Pajeksan and Jogonegaran kampongs are located in central city of Yogyakarta, while the lurung Pajeksan – Jogonegaran kampongs is the border as well as the main axis for the people living that are currently evolving as the houses for workers in the Malioboro area. The beneficial usage of the lurung has grown as the fulfillment of the people’s need for food. The usage is increasing and posing an intervention on the lurung space. This research is aimed to discover the use and the influence of culinary transaction space, culinary activity and form of element transaction space in the community of lurung Pajeksan - Jogonegaran kampongs. This is done by using the Behavior mapping. The result of identifying and analyzing is use to obtain the special characteristic that happen in the society so that they are able to keep their existence. The usage patterns of public space as the culinary transaction space in lurung Pajeksan - Jogonegaran kampongs is linier and it follows the shape of an elongated lurung with the greatest usage occurs at the junction of the driveway towards the kampongs. The usage of the lurung is directly related to the aspect of environment, neighborhood, and economic aspectKeyword : Lurung Pajeksan – Jogonegaran,The Usage of Lurung, and Culinary Transaction Space Abstrak: Kampung Pajeksan dan Jogonegaran merupakan dua kampung yang terletak di pusat kota Yogyakarta, sedangkan lurung kampung Pajeksan – Jogonegaran merupakan batas sekaligus menjadi poros utama kehidupan warga yang saat ini kampung tersebut berkembang sebagai hunian bagi pekerja di kawasan Malioboro. Pemanfaatan lurung berkembang sebagai pemenuhan kebutuhan pangan warga kampung. Pemanfaatan tersebut kian meningkat dan menimbulkan intervensi ruang pada badan lurung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan dan pengaruh wadah transaksi kuliner, aktivitas kuliner serta elemen pembentuk wadah transaksi yang dilakukan masyarakat pada lurung kampung Pajeksan–Jogonegaran. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Behavior mapping. Hasil identifikasi dan analisis tersebut digunakan untuk memperoleh kekhasan yang terjadi dalam masyarakat sehingga dapat mempertahankan keberlangsungannya. Pola pemanfaatan ruang publik sebagai wadah transaksi kuliner yang terdapat pada lurung kampung Pajeksan – Jogonegaran berbentuk linier memanjang yang mengikuti bentuk lurung dengan pemanfaatan terbesar terjadi pada persimpangan menuju jalan masuk kampung. Pemanfaatan tersebut tidak terlepas dari aspek lingkungan,ketetanggaan,dan ekonomi.Kata Kunci: Lurung kampung Pajeksan - Jogonegaran, Pemanfaatan lurung, dan Wadah Transaksi Kuliner.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Sativa, Sativa, Bakti Setiawan, Djoko Wijono, and MG Adiyanti. "SETING ALAMI SEBAGAI SARANA ANAK UNTUK MENGATASI TEKANAN LINGKUNGAN DI KAMPUNG KOTA." Jurnal Arsitektur KOMPOSISI 11, no. 6 (November 7, 2017): 279. http://dx.doi.org/10.24002/jars.v11i6.1377.

Full text
Abstract:
Abstract: Nowadays, the majority of Indonesian people live in the dense urban kampungs. Some of those kampungs laid on the riverside, as a marginal area -- due to their low economic value of the land. They have specific conditions especially on the limitation of infrastructures and facilities for children activities in the settlement area. This research is a part of my dissertation paper, which aims to gain how children (mainly school-age children) coping with such condition. This study is a qualitative exploratory research, meanwhile, observation and interview were used as collecting data methods. Kampung Ngampilan in Yogyakarta, Indonesia, was chosen as a case area, because of its unique characteristics: located on the riverside of Winongo River, had a high density, and most people have low economics. As the result, this study found that natural setting, especially river area and its surrounding vegetation, is a focus location for children to release live stress in their settlement, due to two space aspects: thermal comfort and visual comfort. This condition was triggered by the limited area of their house so that the children prefer to go out from their house especially after attending school in the afternoon. This results will be useful as a reference for urban kampung planning, especially in riverfront area.Keywords: children, kampung, environmental press, natural settingAbstrak: Mayoritas penduduk kota Indonesia tinggal di kampung berkepadatan tinggi. Sebagian dari kampung -kampung berada di bantaran sungai sebagai salah satu area kota yang dianggap marginal karena nilai ekonomi lahan rendah. Kampung-kampung umumnya berkondisi khas dan memiliki keterbatasan infrastruktur termasuk fasilitas untuk kegiatan anak-anak di permukiman. Studi ini merupakan bagian dari disertasi penulis, yang bertujuan mengetahui bagaimana anak-anak (terutama anak usia sekolah dasar) menghadapi tekanan lingkungan. Kampung Ngampilan dipilih karena merupakan kampung kota yang sangat padat, terletak di tepi sungai, berkontur curam, dan warganya termasuk kelompok ekonomi menengah ke bawah. Kajian ini menggunakan metode kualitatif eksploratif, dan penggalian data dilakukan dengan metode observasi lapangan dan wawancara. Penelitian menemukan, seting alami kampung, khususnya sungai dan vegetasi di sekitarnya, merupakan area pilihan utama anak bermain, karena memiliki dua aspek kenyamanan, yaitu kenyamanan termal dan kenyamanan visual. Pilihan anak-anak dipicu oleh kondisi rumah mereka yang sempit, sehingga mereka lebih memilih keluar rumah sepulang sekolah atau sore hari. Temuan ini dapat menjadi acuan bagi pengembangan kampung kota Indonesia yang lebih kondusif untuk anak, khususnya kampung tepi sungai.Kata kunci: seting alami, tekanan lingkungan, kampung kota, anak
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Pramudito, Sidhi. "ANALISIS POLA TATA RUANG TERBUKA TEPIAN SUNGAI WINONGO DI KAMPUNG BUDAYA BANGUNREJO." Jurnal Arsitektur KOMPOSISI 11, no. 3 (May 1, 2017): 239. http://dx.doi.org/10.24002/jars.v10i4.1088.

Full text
Abstract:
Abstract: Open space is one of a supporting lives the city. Its presence has an important role for the people living surrounding it. Along with development process, the quality and quantity of open space can be degraded especially when its located in kampong. It happens because of an uncontrollable spatial layout. Yogyakarta is a city that also has a kampong, one of them is kampong Bangunrejo which crossed by Winongo River. The character and local potentials of this riverbank kampong makes the government of Yogyakarta and Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) to plan a open space revitalization. It aims to improve the image a kampong through open space that located on riverbank. The aim of this research is to get a spatial layout of open spaces in kampong Bangunrejo. This spatial layout is expected to give an idea of how the open space works. The results are expected to guide open space design recommendations, corresponds to its performance. The analysis process utilised a quantitative technique using Depthmap program. By using this method, which focused on spatial layout of open spaces, would strengthen its qualitative analysis to be more real. Public open spaces were selected to represents different typologies of open space, Bangunrejo. The result of the discussion found that in general there is a relationship between the active space used as a public open space and a performance space. Performance space is influenced by aspects of connectivity (global and local integration), visual quality (visual integration), and movement patterns of people. Moreover, in a system of kampong, diversity of open space variations also affect the performance of the space.Keyword: spatial layout, public open space, space performanceAbstrak: Ruang terbuka merupakan salah satu pendukung kehidupan dalam kawasan. Keberadaan ruang terbuka memiliki peran dan fungsi penting bagi masyarakat di sekitarnya. Seiring dengan perkembangan kota, kualitas dan kuantitas ruang terbuka dapat menurun, khususnya pada kawasan kampung kota. Hal ini terjadi karena pola tata ruang yang tidak terkontrol. Di Yogyakarta juga terdapat kawasan kampung kota salah satunya kampung Bangunrejo yang dilalui oleh Sungai Winongo. Karakter kampung kota dan potensi lokal yang dimiliki kampung Bangunrejo membuat pemerintah kota Yogyakarta bersama Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) melakukan revitalisasi ruang terbuka tepian sungai. Program ini bertujuan untuk meningkatkan citra sebuah kampung kota melalui ruang terbuka tepian sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola tata ruang terbuka di kampung Bangunrejo yang dapat memberi gambaran bagaimana ruang terbuka tersebut bekerja. Hasilnya diharapkan dapat menjadi arahan rekomendasi desain ruang terbuka yang sesuai. Proses analisis dibantu dengan teknik kuantitatif menggunakan program Depthmap. Dengan metode deskriptif kuantitatif yang memfokuskan pada pola tata ruang terbuka akan memperkuat analisis kualitatif secara lebih nyata. Dalam proses analisis dipilih beberapa ruang terbuka publik yang dapat mewakili tipologi yang berbeda pada lokus terpilih di kampung Bangunrejo. Hasil pembahasan, secara umum menjelaskan bahwa ada hubungan antara ruang yang aktif dimanfaatkan sebagai ruang terbuka publik dengan kinerja ruang. Kinerja ruang tersebut dipengaruhi oleh aspek konektivitas (integrasiglobal danlokal), kualitas visual (integrasi visual), dan pola pergerakan. Selain itu, dalam sebuah sistem ruang kampung variasi keragaman bentuk ruang terbuka mempengaruhi kinerja ruang tersebut.Kata kunci: pola tata ruang, ruang terbuka publik, kinerja ruang
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Hamidah, Noor, R. Rijanta, Bakti Setiawan, and Muh Aris Marfai. "“Kampung” as a Formal and Informal Integration Model (Case Study: Kampung Pahandut, Central Kalimantan Province, Indonesia)." Forum Geografi 31, no. 1 (July 1, 2017): 43–55. http://dx.doi.org/10.23917/forgeo.v31i1.3047.

Full text
Abstract:
Kampung is a mixed formal and informal settlements which has a long history. Kampung has always been occupied by millions of in Indonesia. Kampung shows its capacity to integrate formal and informal activities both within the kampung itself and activities at city level. This research try to explore Kampung Pahandut, Central Kalimantan Province, Indonesia as a case study of embryo settlement close to the river. The objective of this research is to describe of formal and informal in formal and informal activities within Kampung Pahandut. This research attempt to study the pattern and the forms of socio-economic integration of the community. This research applies mixed method (qualitative and quantitative) through field observation as a step to find the integration of formal and informal activity in Kampung. Data collection is primarily to record both social and economic activities since field observation records physical appearances of infrastructure. In addition, this Kampung research was also conducted through in-depth interview to explore information from the selected resource persons. This research approves that Kampung, in the case of Kampung Pahandut, is not separated both physical and social from the city of Palangka Raya. It is reveal that internal social activity of Kampung are able to maintain ‘gotong-royong’ and external social activity showed by ‘green kampung’. Kampung Pahandut is a part of the Palangka Raya city government by kampung improvement program. It means integration through physical and social activities shows that kampungs are not isolation settlements. Kampung has its significant contributions to the social and physical of the Palangka Raya city. It is as proven by formal and informal activities of Kampung Pahandut which is found to be fully integrated to the city of Palangka Raya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

PASARIBU, RAMOS, Uras Siahaan, and Rumiati R. Tobing. "RE/PRODUKSI RUANG INTERAKSI SOSIAL BERBASIS KEGIATAN PERDAGANGAN DALAM KAMPUNG KOTA DI SEKITAR KAMPUS." Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Arsitektur Usakti 16, no. 1 (September 18, 2018): 52. http://dx.doi.org/10.25105/agora.v16i1.3211.

Full text
Abstract:
<p>Suatu fenomena yang menarik yang terjadi di Indonesia hingga saat ini yaitu adanya perkampungan yang berdampingan dengan pusat kota seperti kampung kota yang berdampingan dengan kampus. Kegiatan mahasiswa mencair ke dalam perkampungan mencari tempat kos mendorong warga/pemilik rumah/pemilik modal merubah fungsi bangunan menjadi tempat kos. Karakteristik kegiatan mahasiswa di dalam kampung yang tertutup dengan lingkungannya menuntut perubahan penampilan bangunan yang dibatasi dengan pagar tinggi yang membatasi interaksi sosial dengan lingkungannya. Oleh karena itu perlu diteliti tentang “Re/produksi Ruang Interaksi Sosial Berbasis Kegiatan Perdagangan Dalam Kampung Kota Di Sekitar Kampus”. Kebutuhan mahasiswa yang meningkat seperti mencari tempat laundry, warung makan, dan sebagaimya mendorong pemilik rumah merubah fungsi lantai dasar dan halaman muka rumah menjadi fungsi perdagangan, dan mempengaruhi cara berinteraksi sosial antara mahasiswa/non mahasiwa yaitu melalui kegiatan perdagangan. Hasil studi menemukan suatu ruang interaksi sosial yang baru (berbasis kegiatan perdagangan) di dalam kampung kota di sekitar kampus. Kriteria kampung sebagai objek penelitian adalah ; kampung memiliki kepadatan &gt; 400 jiwa/ha, pencapaian langsung dari kampung ke kampus, di dominasi homogenitas kegiatan perdagangan, kampung memiliki 2 atau lebih pencapaian ke kampung. Metode penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif ; penelitian survai yang bersifat deskriptif, dan studi kasus.</p><p> </p><p>Kata kunci: komersial, perumahan, perubahan fungsi, tipomorfologi</p><p><strong> </strong></p><p align="center"><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p><p><em>An interesting phenomenon that has occurred in Indonesia to date is the existence of settlements adjacent to the city center, such as urban villages adjacent to the campus. Student activities melt into villages looking for boarding houses encourage residents / homeowners / capital owners to change the function of the building into a boarding house. Characteristics of student activities in a closed village with its environment require changes in the appearance of buildings that are limited by high fences that limit social interaction with their environment. Therefore, it is necessary to examine the "Re / production of Space for Social Interaction Based on Trade Activities in Urban Villages Around the Campus". Increased student needs such as finding a place of laundry, food stalls, and as a matter of encouraging homeowners to change the function of the ground floor and front yard of the house into a trading function, and influence the way of social interaction between students / non-students through trading activities. The results of the study found a new social interaction space (based on trade activities) in the city kampong around the campus. Village criteria as the object of research are; The village has a density of&gt; 400 people / ha, direct achievements from village to campus, dominated by the homogeneity of trade activities, the village has 2 or more achievements to the village. Research methods use qualitative research methods; descriptive survey research, and case studies.</em></p><p><em> </em></p><p><em>Keywords: commercial, housing, function change, typomorphology</em><em></em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Pramono, Rayi Anindya Pitoka, and Dwita Hadi Rahmi. "Tolerance of Public Open Space Utilization of Urban Kampung in Surakarta City." Built Environment Studies 2, no. 1 (April 30, 2021): 12–19. http://dx.doi.org/10.22146/best.v2i1.944.

Full text
Abstract:
This paper aims to determine the form, type, and utilization of public open space in the urban kampung and see the extent of tolerance in it. Limited land does not make the urban kampung stop providing public open space for its citizens. For this reason, three samples of urban villages were chosen that are considered to represent the characteristics of urban kampungs in the city of Surakarta. The three kampungs are Pringgolayan Village which is the center of several home industries, Karengan Village is a village on the banks of the Solo River, and Mloyokusuman Village is a traditional kampung within Beteng Keraton. This research was conducted by direct observation and interviews with key informants. The results obtained from this study are that there are various types, forms, and uses of public open space in urban villages. As well as the high level of tolerance in the use of public open space in urban kampung so that although there is limited land, conflict tends to be minimal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Susanti, Anityas Dian, and Ikaputra Ikaputra. "Morfologi Urban Artefak Kampung Kota." MARKA (Media Arsitektur dan Kota) : Jurnal Ilmiah Penelitian 4, no. 1 (August 6, 2020): 17–26. http://dx.doi.org/10.33510/marka.2020.4.1.17-26.

Full text
Abstract:
This paper discusses the morphology of urban kampong which includes the morphology of urban urban kampong artifacts, by first defining what urban kampong morphology is. The discussion in this paper is still general and can still be developed more about the morphology of urban artifacts in urban kampong. Kampung kota is part of an urban area that has Indonesian characteristics. This paper uses the method of studying literature using several references related to morphology. And the references used are those related to morphology and urban kampong. The result of this paper is that the morphology of urban kampong artifacts is that settlements in a city generally occur unplanned. Unplanned parts of urban areas are referred to as settlements that make up cities with morphological principles consisting of streets, plots and buildings.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Sugiarto, Wira, Prayugo Prayugo, and Ervina Ervina. "TRADISI BELE KAMPUNG STUDI KASUS PAMBANG PESISIR." JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling 6, no. 1 (October 17, 2020): 1. http://dx.doi.org/10.22373/je.v6i1.6766.

Full text
Abstract:
Tradisi Bele kampung yang dilakukan oleh masyarakat pambang pesisir merupakan suatu bentuk upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan upacara ini mempunyai makna yaitu sebagai kesangupan untuk kewajiban berbakti kepada kampung tempat tinggal serta mepertahankan warisan dari leluhur secara kolektif dalam bentuk upacara tradisi bele kapung yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pambang pesisir dengan sebuah harapan agar kehidupan tetap aman jauh dari segala macam persoalan. Adapun maksud dan tujuan dari tradisi bele kampung masyarakat pambang pesisir merupakan ekspresi keterbatasan manusia, dimana para nelayan mengharapkan keselamatan sewaktu bekerja di laut dan didarat dan hasil panen pun meningkat. Untuk itu mereka mengadakan ritual bele kampuang, untuk meningkatkan pendapatan atau kekuatan atau perlindungan, salah satu yang nampak bahwa ritual bele kampung sebagai ekspresi religius adalah keyakinan mereka bahwa ritual ini sebagai wujud rasa sukur terhadap Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberi rezeki melalui hasil panen di laut dan didarat. Disamping itu, ketika pelaksanaan ritual bele kampung, suasana religius nampak mulai dari bacaan-bacaan mantra oleh tokoh masyarakat yang sebagian doa-doanya mengunakan bahasa arab. Berkaitan dengan hal tradisi bele kampung, maka masyarakat kampung pambang pesisir. Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis termasuk yang berupaya untuk mewujudkan keterpadauan antara sesuatu yang sakral dan yang profan,
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Manabung, Dewi Feronika, Lawrence J. L. Lumingas, and Meiske S. Salaki. "Morphometrics, gonad index, intestine index and latern index of sea urchins, Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758) Tiwoho and Kampung Ambong Beach, North Sulawesi." Jurnal Ilmiah PLATAX 8, no. 1 (May 27, 2020): 126. http://dx.doi.org/10.35800/jip.8.1.2020.28600.

Full text
Abstract:
Two populations of Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758) from two different habitats, Tiwoho and Kampung Ambong, show variations in morphometric and physiological characteristics. The average test diameter of the Tiwoho population is larger than the Kampung Ambong population. Although the two regressions of the test diameter – total weight relationship between the Tiwoho population and the Kampung Ambong population are identical, the T. gratilla of Tiwoho population has an isometric growth pattern whereas the Kampung Ambong population shows a negative allometric growth pattern. The two regressions of the test diameter – test height show identical slopes and intercepts and reveal an isometric growth for the two populations. For both populations, the gonad index is not affected by variations in the test diameter, but the gonad index of the Kampung Ambong population is greater than the gonad index of the Tiwoho population. Similarly, there is no significant relationship between the two variables, intestinal index, and test diameter, for both populations, and no significant difference in the intestinal index – test diameter regressions between the two populations. The relationship between the latern index – test diameter shows the lantern index remains constant with changes in the diameter test for the Tiwoho population. As for the Kampung Ambong population, the lantern index decreases with increasing test diameter. The two regressions of lantern index – test diameter show differences in the slopes of the lines, and this means that in adult size, the lantern index of the Tiwoho population is larger than the Kampong Ambong population. The low of the lantern index and the high of gonad index in Kampong Ambong could indicate more availability of food for sea urchins at this location compared to Tiwoho. Differences in food availability in the environment are thought to determine differences in the energy allocation strategies of the two populations of sea urchins T. gratilla.Key words: Tripneustes gratilla, allometric analysis, gonad index, intestinal index, lantern index, Tiwoho, Kampung Ambong.ABSTRACTDua populasi Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758) dari dua habitat yang berbeda, Tiwoho dan Kampung Ambong, menunjukkan variasi dalam karakteristik morfometrik dan fisiologis. Diameter cangkang rata-rata populasi Tiwoho lebih besar dari populasi Kampung Ambong. Meskipun kedua regresi hubungan diameter cangkang – berat total antara populasi Tiwoho dan populasi Kampung Ambong adalah identik, T. gratilla populasi Tiwoho memiliki pola pertumbuhan isometrik sedangkan populasi Kampung Ambong menunjukkan pola pertumbuhan alometrik negatif. Dua regresi diameter cangkang - tinggi cangkang menunjukkan kesamaan kemiringan dan intersep dan memperlihatkan pertumbuhan isometrik untuk dua populasi. Untuk kedua populasi, indeks gonad tidak dipengaruhi oleh variasi diameter cangkang, tetapi indeks gonad populasi Kampung Ambong lebih besar dari pada indeks gonad populasi Tiwoho. Demikian pula, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel, indeks usus dan diameter cangkang, untuk kedua populasi, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan regresi indeks usus - diameter cangkang antara kedua populasi. Dalam hubungan diameter cangkang - indeks latern menunjukkan bahwa indeks lentera tetap konstan dengan perubahan diameter cangkang untuk populasi Tiwoho. Sedangkan untuk populasi Kampung Ambong, indeks lentera berkurang dengan meningkatnya diameter cangkang. Dua regresi indeks lentera – diameter cangkang menunjukkan perbedaan dalam kemiringan garis, dan ini berarti bahwa pada ukuran dewasa, indeks lentera populasi Tiwoho lebih besar dari populasi Kampung Ambong. Indeks lentera yang rendah dan indeks gonad yang tinggi di Kampung Ambong dapat mengindikasikan lebih banyak ketersediaan makanan untuk bulu babi di lokasi ini dibandingkan dengan di Tiwoho. Perbedaan ketersediaan makanan di lingkungan diperkirakan menentukan perbedaan dalam strategi alokasi energi dari dua populasi bulu babi T. gratilla.Kata kunci: Tripneustes gratilla, analisis allometrik, indeks gonad, indeks usus, indeks lentera, Tiwoho, Kampung Ambong
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Rahma, Nuzula Elfa, Erna Rositah, Dwi Agung Pramono, Dyah Widyasasi, and Fariyanti Fariyanti. "VALUASI JASA LINGKUNGAN HUTAN TROPIS: STUDI KASUS BEBERAPA KAMPUNG DI KALIMANTAN TIMUR." JURNAL RISET PEMBANGUNAN 2, no. 2 (June 30, 2020): 67–78. http://dx.doi.org/10.36087/jrp.v2i2.58.

Full text
Abstract:
ABSTRAKDalam perumusan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup, khususnya terkait ekosistem hutan hujan tropis di Kalimantan Timur, perlu didasarkan pada kajian yang berbasis sains. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini dilaksanakan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai manfaat jasa lingkungan dari keberadaan ekosistem hutan hujan tropis yang berada di kawasan beberapa kampung di Kalimantan Timur. Empat kampung yang menjadi area studi meliputi Bea Nehas, Merabu, Dumaring, dan Long Duhung. Valuasi dilakukan dengan metode benefit transfer, dengan memanfaatkan database TEEB (The Economics of Ecosystems and Biodiversity) sebagai acuan. Hasil studi menunjukkan bahwa TEV (Total Economic Value) untuk kampung Bea Nehas adalah sebesar 1,25 milyar USD/tahun atau setara dengan 18,2 triliun rupiah/tahun; TEV untuk kampung Merabu adalah sebesar 314,1 juta USD/tahun atau setara dengan 4,6 triliun rupiah/tahun; TEV untuk kampung Dumaring adalah sebesar 325,9 juta USD/tahun atau setara dengan 4,7 trilyun rupiah/tahun; sedangkan, kampung Long Duhung memiliki TEV sebesar 202,8 juta USD/tahun atau setara dengan 2,9 trilyun rupiah. Dari nilai TEV kampung-kampung tersebut, proporsi nilai jasa pendukung adalah sebesar 0,1%, jasa penyediaan sebesar 45,2%, jasa pengaturan sebesar 17,3%, dan jasa kultural sebesar 37,4%. Kata kunci: jasa lingkungan, hutan hujan tropis, Kalimantan Timur, valuasi, TEEB database ABSTRACTPolicy formulation for environmental management needs to be founded by science-based evidence, particularly in regard of East Kalimantan tropical rainforest ecosystem. Thus, the establishment of this research. Moreover, the research aims to estimate the value of tropical rainforest ecosystem services in several kampongs within the boundary of the East Kalimantan province. The study takes into account four kampongs, Bea Nehas, Merabu, Dumaring, and Long Duhung. The valuation employs the benefit transfer method by using the TEEB (The Economics of Ecosystems and Biodiversity) database as reference. The result shows that the TEV (Total Economic Value) for Bea Nehas amounts to 1,25 billion USD/year, 314,1 million USD/year for Merabu, 325,9 million USD/year for Dumaring, and 202,8 million USD/year for Long Duhung. In term of TEV proportion, for all kampongs, supporting services take 0,1%, provisioning services take 45,2%, regulating services take 17,3%, and cultural services take 37,4%. Keywords: ecosystem services, tropical rainforest, East Kalimantan, valuation, TEEB database
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Adianti, Istiana. "Proses Penyusunan Masterplan Kampung melalui Focus Group Discussion (FGD)." Jurnal Abmas Negeri 2, no. 1 (June 30, 2021): 17–24. http://dx.doi.org/10.36590/jagri.v2i1.121.

Full text
Abstract:
secara bertahap dengan melibatkan berbagai pihak. Kampung Gedongkiwo sebagai salah satu pilot project program Gandeng Gendong 2020. Gandeng Gendong sendiri merupakan program milik pemerintah kota Yogyakarta yang sudah dicetuskan sejak 2018, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat khususnya percepatan penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan lingkungan dengan melihat potensi yang ada dengan pengembangan kebersamaan dan kepedulian semua stakeholder sesuai kapasitasnya. Kampus, Kampung, Komunitas, Kooperasi, Pemerintah Daerah (Kota) atau disebut 5K merupakan stakeholder dalam kegiatan Gandeng Gendong. Pengabdi sebagai bagian dari komunitas IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) DIY ikut mengawal dan memandu proses pembuatan masterplan. Sebagai langkah awal menjaring aspirasi warga dilakukan FGD, FGD sebagai metode yang lebih efisien untuk menjaring informasi dari warga kampung sehingga masterplan nantinya benar benar dari aspirasi warga. FGD dilakukan dua tahap, FGD yang pertama untuk menjaring potensi, masalah dan mimpi warga sedangkan FGD kedua merupakan diskusi untuk memantabkan branding kampung. Branding kampung inilah yang menjadi identitas kampung Gedongkiwo dan diterjemahkan dalam masterplan yang programnya diprogram secara bertahap selama 5 tahun.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Alzamil, Waleed S. "Evaluating Urban Status of Informal Settlements in Indonesia: A Comparative Analysis of Three Case Studies in North Jakarta." Journal of Sustainable Development 11, no. 4 (July 29, 2018): 148. http://dx.doi.org/10.5539/jsd.v11n4p148.

Full text
Abstract:
Informal settlements have become one of the most important issues facing urban areas in Indonesia. The emergence of informal settlements, called ‘kampungs’, in Jakarta has accompanied the rapid urbanization, and it has become more serious in recent decades. This paper evaluates the urban status of informal settlements in Jakarta. The methods used include a comparative analysis of three case studies in North Jakarta: A. Kampung Bandan; B. Kampung Luar Batang; and C. Kampung Muara Baru. This paper founds that upgrading these settlements must be in accordance with a comprehensive plan that includes priority improvements. The paper proposes integrating the local community into informal area improvement processes because they are aware of their actual needs.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Wardani, Tiara. "Citra Objek Wisata Kampung Lawas Maspati, Kota Surabaya di Mata Wisatawan Nusantara." Tourisma: Jurnal Pariwisata 2, no. 2 (June 12, 2020): 100. http://dx.doi.org/10.22146/gamajts.v2i2.56857.

Full text
Abstract:
This study aimed to determine the image of Kampung Lawas Maspati as perceived by domestic tourists and how to improve the image. Kampung Lawas Maspati is known as a kampong tourist attraction in Surabaya that has the community’s local historical value and wisdom as its attraction. This research used quantitative and qualitative data. The data collected through questionnaires distributed to 92 respondents. Besides, interviews were employed with the organiser of tourist attraction and visitors. The result showed that Kampung Lawas Maspati has an excellent image as perceived by the domestic tourist, for the cognitive and affective component, also the overall image. Therefore, the efforts to improve the image by improving each component and creating innovation for tourist activity.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Wahid, Khalil Abdul, and Ramli Ramli. "KAJIAN TENTANG PENYEBAB MASYARAKAT MEMILIH TETAP BERTEMPAT TINGGAL DI DAERAH RAWAN BANJIR (STUDI KASUS DI KAMPUNG KB KELURAHAN LEPO-LEPO KECAMATAN BARUGA KOTA KENDARI)." Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi 4, no. 3 (August 2, 2019): 51. http://dx.doi.org/10.36709/jppg.v4i3.8341.

Full text
Abstract:
Kampung KB Kelurahan Lepo Lepo merupakan salah satu daerah rawan banjir yang ada di Kota Kendari, frekuensi banjir diwilayah ini dalam setahun diperkirakan antara tiga sampai empat kali, meskipun demikian banyak masyarakat yang memilih untuk tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berbagai alasan. Tujuan penelitin ini adalah untuk mengetahui alasan serta faktor-faktor yang menjadi penyebab masyarakat Kampung KB tetap memilih tinggal di daerah rawan banjir. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan subjek penelitian merupakan masyarakat Kampung KB Kelurahan Lepo-Lepo. Data dalam penelitian ini dikumpulkan memalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian di analisis dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa (1) masyarakat di Kampung KB Kelurahan Lepo-Lepo umumnya memilih untuk tetap tinggal di daerah rawan banjir karena: (a) Masyarakat di Kampung KB Kelurahan Lepo-Lepo telah menganggap bencana banjir sebagai sesuatu yang biasa terjadi, sehingga masyarakat hanya perlu melakuakan evakuasi, (b) Masyarakat Kampung KB Kelurahan Lepo-Lepo merupakan masyarakat asli yang sudah puluhan tahun tinggal di wilayah tersebut, (c) banyaknya anggota keluarga masyarakat yang tinggal di wilayah yang sama, (d) lokasi pekerjaan masyarakat yang dekat dengan tempat tinggalnya, (e) banyak rumah masyarakat yang tahan terhadap banjir. (2) Terdapat tiga faktor dalam teori Macchi yang telah sesuai dengan apa yang terjadi pada masyarakat Kampung KB Kelurahan Lepo-lepo, yaitu faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan terbangun dan ketiga faktor tersebut menjadi penyebab tetap tinggalnya masyarakat di wilayah Kampunng KB Kelurahan Lepo-Lepo.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

AlHaddar, Gamar, and Afdal Afdal. "Peningkatan Minat Baca Anak Melalui Sosialiasi Pentingnya Membaca dan Media Keranjang Buku di Kampung Cerdas." Jurnal Abdimas Mahakam 3, no. 2 (July 19, 2019): 109. http://dx.doi.org/10.24903/jam.v3i2.499.

Full text
Abstract:
Kegiatan membaca merupakan suatu kegiatan yang sangat bermanfaat untuk mengasah kecerdasan dan menambah wawasan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengabdian yang dilakukan di kampus cerdas. Kampung cerdas merupakan salah satu kampung binaan FKIP Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda. Tujuan kegiatan ini adalah memberikan motivasi tentang pentingnya membaca bagi anak dan mengetahui peranan keranjang buku dalam meningkatkan minat baca anak.Dalam pelaksanaan kegiatannya, tim pengabdi memberikan sosialiasi tentang pentingnya membaca setelah itu tim pengabdi melakukan bentuk evaluasi kegiatan dengan peletakan kerangjang buku dibeberapa tempat yang strategis yang sering dikunjungi oleh anak anak di kampung cerdas.Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian yang telah dilaksanakan didapatkan hasil yakni (1) Kegiatan sosialiasi peningkatan minat baca menambah semangat anak-anak khususnya di kampung cerdas menjadi lebih semangat dalam membaca (2) Kegiatan sosialiasi peningkatan minat baca di kampung cerdas membuat anak-anak antusias dalam memilih buku bacaan yang positif dan bermanfaat untuk dirinya (3) Kegiatan sosialiasi peningkatan minat baca di kampung cerdas dengan variasi metode penyampaian antara lain : diskusi, gambar, problem solving dan scramble menambah kreatifitas anak-anak dalam menggali buku yang dibacanya dan (4) Kegiatan peletakan media kerajang buku di beberapa tempat yang telah disediakan membuat warga kampung cerdas tergerak untuk membaca.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Kuswahono, Deny. "Pembuatan Zona Edukasi Untuk Pengembangan Lingkungan Edukatif Di RW 08 Kelurahan Balas Klumprik Kecamatan Wiyung Kota Surabaya." Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) 2 (December 15, 2019): 1330–36. http://dx.doi.org/10.37695/pkmcsr.v2i0.415.

Full text
Abstract:
Kegiatan pembuatan zona edukasi yang dilaksanakan di RW 08 Kelurahan Balas Klumprik Kecamatan Wiyung Kota Surabaya ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan kampung yang lebih berorientasi pada pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk menjadikan kampung sebagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang merupakan salah satu indikator dari salah satu aspek dalam program Kampung Pendidikan “Kampunge Arek Suroboyo” (KP-KAS), yaitu aspek Kampung Belajar. Zona edukasi ini terdiri dari zona permainan tradisional, zona teknologi, zona seni, dan zona informasi yang dilengkapi dengan mini maps atau peta mini untuk memetakan zona-zona edukasi tersebut. Dengan adanya zona edukasi ini diharapkan nantinya dapat menjadikan RW 08 Kelurahan Balas Klumprik sebagai kawasan yang menggerakkan masyarakat dengan aktivitas-aktivitas positif dan kreatif. Pembelajaran bisa didapatkan melalui kegiatan berkesenian dan memainkan bermacam-macam permainan tradisional di zona seni dan zona permainan tradisional yang memperkenalkan budaya asli bangsa Indonesia kepada generasi muda untuk menetralisir derasnya pengaruh budaya barat. Selain itu, zona teknologi dan zona informasi diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta meningkatkan kreativitas warga.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

A. Widriyakara S, Y., Josephine Roosandriantini, Desrina Yusi. I, and Anas Hidayat. "Pembentukan Ruang Terbuka Bagi Masyarakat Kebangsren Gg.7 “Kampus Go To Kampung”." ASAWIKA: Media Sosialisasi Abdimas Widya Karya 3, no. 02 (November 2, 2018): 40–47. http://dx.doi.org/10.37832/asawika.v3i02.19.

Full text
Abstract:
Perkembangan kota dan pertumbuhan penduduk di permukiman yang semakin pesat memunculkan permasalahan di pemukiman. Permasalahan tersebut adalah fasilitas masyarakat dan ruang terbuka di kawasan permukiman menjadi berkurang. Kondisi tersebut juga membawa dampak pada beberapa kampung di wilayah Surabaya. Lahan di kampung semakin padat dan banyak pembangunan gedung di setiap sudut Kota Surabaya. Padahal ruang bersama kampung berfungsi sebagai simbol dari suatu masyarakat, terutama dalam suatu permukiman. Ruang bersama kampung menggambarkan budaya kebersamaan atau keguyuban. Keberadaan ruang bersama juga sesuai dengan budaya warga Surabaya yaitu cangkrukan. Cangkrukan berfungsi menjalin ikatan kekerabatan, kebersamaan dan keguyuban yang berlangsung setiap waktu dalam kehidupan warga kampung. Latar belakang masalah tersebut membuat tim pengabdian melakukan pengabdian masyarakat di Kampung Kebangsren Gg.7. Kampung Kebangsren Gg.7 merupakan permukiman padat penduduk yang masih bertahan di tengah kota Surabaya. Pengabdian masyarakat dilakukan di kampung Kebangsren Gg.7 untuk membantu warga Kebangsren menciptakan dan menata ruang bersama. Hal ini bertujuan mempertahankan budaya cangkrukan warga Surabaya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

Ramadhani, Annisa Nur, Arina Hayati, and Muhammad Faqih. "The Effect of Physical Quality Improvement to Inhabitant’s Sense of Place." EMARA: Indonesian Journal of Architecture 5, no. 1 (October 13, 2019): 32–40. http://dx.doi.org/10.29080/eija.v5i1.656.

Full text
Abstract:
Sense of place is closely related to the level of community participation and sustainability development. In this paper, the context of environment is tourism kampung. Tourism kampung has a dynamic activities and cultural values both tangible and intangible. The development of tourism kampung has a positive goal to improve inhabitant’s socio-economic welfare. But, there was a change in kampung’s function, activity and meaning from a closed settlement system with low social accessibility to a tourism kampung. This change can also affect the people’s sense of place. Research method used in this study is mixed method, which combines quantitative and qualitative research. Data collection techniques were obtained from questionnaires, field observations, and in depth interviews. The result shows that physical improvement has a positive effect in escalating the level of inhabitant’s sense of place. The finding will be important to the development of the sense of place’s theory and sustainable development.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Nugroho, Aras Prasetiyo, and Dadang Mulyadi Saleh. "Motilitas dan Abnormalitas Spermatozoa Ayam Kampung dengan Pengencer Ringer Laktat-Putih Telur dan Lama Simpan pada Suhu 5 C selama 48 Jam." Acta VETERINARIA Indonesiana 4, no. 1 (February 18, 2016): 35–41. http://dx.doi.org/10.29244/avi.4.1.35-41.

Full text
Abstract:
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara rasio pengencer ringer laktat-putih telur dan penyimpanan selama 48 jam pada suhu 5 C terhadap motilitas dan abnormalitas spermatozoa ayam kampung. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial 6 x 5 dengan faktor R yaitu rasio pengencer ringer laktat dengan putih telur (r0=kontrol, r1=ringer laktat, r2=ringer laktat 75% + putih telur 25%, r3=ringer laktat 50% + putih telur 50%, r4=ringer laktat 25% + putih telur 75%, dan r5=putih telur) dan faktor T yaitu penyimpanan selama 48 jam pada suhu 5 C (t1=1 jam, t2=12 jam, t3=24 jam, t4=36 jam, t5=48 jam) masing-masing perlakuan diulang empat kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing faktor memberikan pengaruh terhadap motilitas dan abnormalitas spermatozoa ayam kampung (p<0,05). Hasil menunjukkan motilitas terbaik spermatozoa ayam kampung dihasilkan oleh perlakuan ringer laktat dengan penyimpanan selama 12 jam (82,5%). Selanjutnya, abnormalitas terbaik spermatozoa ayam kampung (8,5%) dihasilkan oleh perlakuan ringer laktat dengan penyimpanan selama satu jam. Persentase abnormalitas spermatozoa dari semua perlakuan menunjukkan kurang dari 20%. Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa spermatozoa ayam kampung yang diencerkan dengan ringer laktat dengan penyimpanan pada suhu 5 C dapat digunakan untuk inseminasi sampai 12 jam.Kata kunci: spermatozoa, ayam kampung, pengencer, ringer laktat, putih telur (Motility and Abnormality of Kampong Rooster Sperm Diluted with Different Kinds of Extenders and Stored at 5 C for 48 Hours)The purpose of this research was to determine the interaction effects between types of extender and storage time on sperm motility and abnormality of kampong rooster. This experiment was implemented following a 6x5 factorial design, in which the ratio between Ringer Lactat and egg albumen i.e. r0= control; r1=ringer lactat; r2=75% ringer lactate+25% egg albumen; r3=50% ringer lactate+50% egg albumen; r4=25% ringer lactate+75% egg albumen, and r5=egg albumen as the first factor and storage time which consisted of t1=1 hour; t2=12 hrs; t3=24 hrs; t4=36 hrs as the second factor. Each of the treatment was replicated four times. Results indicated that the types of extender and storage time had no significant interaction (p>0.05) on the percentage of motility and abnormality of kampong rooster sperm. However, each of the treatment had a significant effect (p<0.05) on the motility and the abnormality of kampong rooster sperm. The highest value of sperm motility (82.5 %) was obtained from a ringer lactat extender. This sperm motility value has a significant difference (p<0.05) from the 5 other types of extender. The lowest value of sperm abnormality (8.5%) was obtained from an hour of storage time. This value has a significant difference (p<0.05) than the 4 other treatments. However the percentage of abnormal sperm from all the treatments is less than 20 percent. It could be concluded that kampong rooster sperm which diluted with ringer lactate stored at 5 0C can still be utilized for Insemination not until 12 hours of stored.Keywords: sperm, kampong rooster, extender, ringer lactatee, egg albumen
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Arianto, Arianto, and Anna asriani Muchlis. "DARI KAMPUNG PINGGIRAN KE KAMPUNG KOTA: TRANSFORMASI KAMPUNG MACCINI DI MAKASSAR TAHUN 1950-1990." Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora 4, no. 2 (December 6, 2018): 415–26. http://dx.doi.org/10.36869/pjhpish.v4i2.60.

Full text
Abstract:
Makalah ini menjelaskan mengenai transformasi fisik dan sosial Kampung Maccini di Makassar, yang telah mengalami pola perubahan dari kampung pinggiran ke kampung kota. Berawal dari konflik DI/TII di pedalaman hingga migrasi penduduk dari daerah ke Makassar. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sejarah dan perkembangan, terutama tentang berbagai perubahan yang terjadi di Kampung Maccini dalam kurun waktu 1950-1990. Metode yang digunakan dalam tulisan ialah metode yang umum digunakan dalam penulisan sejarah, seperti heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Untuk menerapkan metode di atas, maka penulis melakukan pengamatan langsung di lapangan terkait objek yang hendak diteliti. Sehingga, tulisan ini secara khusus membahas perubahan fisik serta sosial masyarakat Kampung Maccini dari kultur agraris ke budaya urban, terkait penataan awal daerah perkampungan di wilayah perkotaan sejak tahun 1950-an. Penataan wilayah ini kelak mempengaruhi pola permukiman di sana hingga 1990-an, dengan tetap memperhatikan segi geografis kampung pada masa lampau. Perubahan dan transisi kekuasaan di Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, memunculkan berbagai problem bagi penduduk Kampung Maccini yang membuat pemerintah sulit mengatasinya, terlebih setelah perluasan wilayah kota pada tahun 1970.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
40

Simaremare, Eva Susanty, Rani Dewi Pratiwi, Rusnaeni Rusnaeni, Elsye Gunawan, and Septriyanto Dirgantara. "Pemanfaatan Tanaman Daun Gatal (Laportea Decumana) Sebagai Obat Anti Capek." JPPM (Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat) 3, no. 1 (March 19, 2019): 97. http://dx.doi.org/10.30595/jppm.v3i1.3027.

Full text
Abstract:
Kampung WulukubunArso XIV, Distrik Skanto Kabupaten Kerombanyak ditumbuhi daun gatal yang bermanfaat sebagai obat tradisional sebagai antinyeri, mengurangi rasa capek, dan mengurangi pegal-pegal. Daun gatal banyak terdapat di kampung tapi sering sekali hanya dibiarkan kering, layu, mati, bahkan dibuang. Padahal nilai dari daun ini sangat besar jika dikembangkan tidak hanya lembaran daun gatal tetapi sebagai produk farmasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan sosialisasi dan membuat sediaan topikal salep daun gatal di kampung Wulukubun Arso XIV Kabupaten Keerom Papua. Kegiatan ini dilaksanakan dengan melakukan persiapan di kampus/ administrasi, menjalin kerjasama dengan mitra, instansi terkait, kegiatan hari H di kampung, evaluasi, laporan, dan publikasi. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah 7,4% peserta pernah mengikuti kegiatan yang sama. Sebanyak 88,9% peserta memperoleh manfaat dari kegiatan ini dan 70,4% berkomitmen akan membantu orang lain dalam menyebarluaskan informasi penting yang mereka dapat pada waktu kegiatan ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
41

Karen, Maria Iqnasia, Dewi Ratnaningrum, and Maria Veronica Gandha. "MEREDEFINISI KAMPUNG: PARADIGMA BARU PERENCANAAN KOTA DALAM MEWUJUDKAN KOTA YANG LEBIH BAIK." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) 3, no. 1 (May 30, 2021): 773. http://dx.doi.org/10.24912/stupa.v3i1.10826.

Full text
Abstract:
The rapid growth of the urban population on limited land pushes the city to grow vertically. Vertical development is clearly very helpful in overcoming the problem of high density, yet the existing module for vertical existence has produced an urban landscape of formal and monotonous that pushes the population to become socially disconnected. This paper aims to propose a new typology of a vertical dwelling in densely populated settlements in Urban Kampoong through a strategy of redevelopment, based on the form of community interaction and characteristics of urban village known as Kampung, in Tambora, West Jakarta. At some point, urban village has presented a new concept of urban development which is compact city, in terms of density, land efficiency with mixed land use pattern, and complex-dynamic social systems, that ensure the sustainability of the kampung and creates a livable community. Furthermore, within the framework of the "urban village", interaction between inhabitants relatively intense, and people feel a strong “sense of belonging” to their home. Urban Kampung can be the start of a new paradigm of urban planning towards a better city. The understanding of the Kampung itself refers to two methods of design, perception of space and locality.Keywords: vertical dwelling; social interaction; urban kampung AbstrakPertumbuhan pesat populasi perkotaan pada lahan yang terbatas mendorong kota tumbuh secara vertikal. Pembangunan secara vertikal jelas sangat membantu mengurangi masalah keterbatasan lahan dan kepadatan, namun model hunian vertikal yang ada malah menciptakan lanskap perkotaan dengan bentuk massa yang formal dan kaku. Hal ini berdampak pada hilangnya interaksi sosial dan kebersamaan penghuninya. Tujuan dari penulisan ini adalah mengusulkan tipologi baru hunian vertikal sebagai solusi bermukim pada permukiman padat di kampung kota melalui sebuah strategi redevelopment atau penataan ulang kawasan berdasarkan karakteristik dan bentuk interaksi warga pada kampung kota di Tambora, Jakarta Barat. Dalam beberapa hal, kampung kota telah mempresentasikan konsep baru pembangunan kota yaitu compact city baik dari sisi kepadatan penduduk, efisiensi lahan dengan pola guna lahan campuran, sistem sosial yang kompleks dan dinamis, dan lain-lain yang menjamin keberlanjutan kampung kota itu sendiri dan menciptakan kondisi kota yang livable. Selain itu, pada kampung kota terjalin ikatan kekeluargaan yang erat dan warga memiliki “sense of belonging” yang kuat terhadap tempat hidupnya tersebut. Kampung kota dapat menjadi awal dimulainya paradigma baru perencanaan kota dalam mewujudkan kota yang lebih baik. Pemahaman mengenai kampung kota itu sendiri mengacu pada dua metode desain yaitu persepsi ruang dan lokalitas.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
42

Bawole, Paulus. "The development of urban kampong as one the alternatives special interest tourism." ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur 5, no. 1 (March 17, 2020): 115–26. http://dx.doi.org/10.30822/arteks.v5i1.362.

Full text
Abstract:
Banyak orang tertarik untuk pergi ke daerah perkotaan, karena peluang ekonomi yang ditawarkan oleh fasilitas kota. Ketika kota tumbuh dalam ukuran dan populasi, keharmonisan antara aspek spasial, sosial, lingkungan kota dan penghuninya menjadi sangat penting. Pembentukan permukiman kampung kota yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah adalah bagian integral dari proses pertumbuhan kota. Secara umum orang yang tinggal di pemukiman tidak memiliki kekuatan sosial, lebih sedikit sumber daya ekonomi dan kemampuan fisik untuk berjuang hidup di kota. Mereka harus kreatif dalam menangani fasilitas infrastruktur yang minim pada permukiman. Strategi pengembangan kampung kota menjadi destinasi wisata adalah proses pengembangan kampung kota yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan fasilitas infrastruktur fisik. Oleh karena itu pendekatan ini melibatkan pembelajaran pengetahuan lokal tidak hanya dari pemimpin masyarakat tetapi dari semua anggota masyarakat. Makalah ini akan berbagi pengalaman bagaimana memberdayakan masyarakat pada permukiman kampong kota untuk mengembangkan wilayah tempat tinggal mereka menjadi kawasan tujuan wisata minat khusus.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
43

Enumbi, Fredi, Paulus Allolayuk, and Mariolin Sanggenafa. "Analisis Pengelolaan Keuangan Kampung Hinekombe (Studi Empiris Pada Distrik Sentani Kabupaten Jayapura)." JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN DAERAH 15, no. 2 (November 30, 2020): 76–86. http://dx.doi.org/10.52062/jakd.v15i2.1626.

Full text
Abstract:
Abstract The objectives of this study are (1) To determine village financial management in Hinekombe Village, Sentani District, Jayapura Regency in accordance with Minister of Home Affairs Regulation Number 20 of 2018 concerning Village Financial Management. (2) To find out the obstacles faced by the village government in financial management and accountability in Hinekombe Village, Sentani District, Jayapura Regency. This research method is descriptive using a qualitative approach, data collection techniques through observation, interviews and literature study. The primary data sources were interview data and secondary data from the hinekombe village profile. The research informants were 10 people. The results show that (1) the government of Hinekombe Village, Sentani District, Jaypura Regency is good enough in managing village finances in accordance with Permendagri Number 20 of 2018 concerning Village Financial Management. This shows that the Hinekombe Village Government has tried its best to be able to implement the central government regulations on village financial management even though there are some activity items that are incomplete in their reporting. (2) Constraints faced by the village government in financial management in Hinekombe Village, Sentani District, Jayapura Regency. Namely, community self-help is still lacking, supervision is also lacking. In addition, budget changes were not carried out through deliberations with community leaders or unilaterally by the Hinekombe Village Government Apparatus which made the community less confident in financial management carried out by the hinekombe village government. Keywords: Financial Management; Hinekombe Village. Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pengelolaan keuangan desa di Kampung Hinekombe Distrik Sentani Kabupaten Jayapura sesuai dengan Permendagri Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. (2) Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pemerintah kampung dalam pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan di Kampung Hinekombe Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. Metode penelitian ini adalah deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif . Sumber data primer yaitu data wawancara dan data sekunder profil kampung hinekombe. Informan penelitian sebanyak 10 orang. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Metode analisis yaitu reduksi data, pengelompokan data, display data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pemerintah Kampung Hinekombe Distrik Sentani Kabupaten Jayapura sudah cukup baik dalam melakukan pengelolaan keuangan kampung sesuai dengan Permendagri Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kampun Hinekombe telah berusaha bekerja dengan maksimal untuk dapat mengimplementasikan peraturan pemerintah pusat tentang pengelolaan keuangan kampung walaupun ada beberapa item kegiatan yang kurang tidak lengkap dalam pelaporannya. (2) Kendala-kendala yang dihadapi pemerintah kampung dalam pengelolaan keuangan di Kampung Hinekombe Distrik Sentani Kabupaten Jayapura.yaitu Swadaya Masyarakat masih kurang, pengawasan juga masih kurang. Selain itu juga perubahan anggaran tidak dilakukan melalui musyawarah dengan tokoh masyarakat atau sepihak oleh Aparatur Pemerintah Kampung Hinekombe yang membuat masyarakat kurang begitu percaya terhadap pengelolaan keuangan yang dilakukan pemerintah kampung hinekombe. Kata kunci : Pengelolaan Keuangan, Kampung Hinekombe.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
44

MEDTRY, Medtry. "KAJIAN PENATAAN KAMPUNG TERJEPIT (ENCLAVE) SEBAGAI KAMPUNG LAYAK HUNI." Jurnal IPTEK 1, no. 2 (December 30, 2017): 88–98. http://dx.doi.org/10.31543/jii.v1i2.123.

Full text
Abstract:
Abstract Wilayah Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan merupakan kawasan dengan pertumbuhan tinggi. Pengaruh kota Inti Jakarta yang begitu kuat akan kebutuhan lahan untuk perumahan skala besar mengakibatkan banyak kampung-kampung yang tergusur. Kini para pengembang (developer) perumahan real estate “mengepung” wilayah tersebut. Tidak jarang terdapat permukiman padat perkotaan atau kampung kota di wilayah perbatasan khususnya yang tinggal di DAS atau sempadan sungai Cisadane terjepit dan menjadi kantong-kantong (enclave), berpotensi menjadi kampung yang tidak layak huni serta menjadi halaman belakang perumahan/permukiman real estate skala besar. Kampung Lengkong Ulama adalah salah satu kampung yang rawan tergusur akibat pengembangan perumahan elite di sekitar DAS Cisadane. Padahal kawasan ini memiliki situs sejarah dan budaya, banyak ulama dan santri yang belajar di kawasan ini. Cikal bakal perkampungan sudah ada sejak tahun 1628 terdapat perkampungan tua dan makam Raden Aria Wangsakara. Metode yang dilakukan dalam kajian ini dengan analisis aspek fisik, ekonomi dan sosial budaya. Melakukan social mapping untuk menjaring keinginan dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam kajian ini berupaya agar kampung tua bersejarah tidak tergusur dan menjadi kampung yang layak huni tetap eksis dengan usaha mencegah timbulnya permukiman kumuh di sempadan Sungai Cisadane sekaligus terpenuhinya air bersih, menciptakan lingkungan yang layak, adanya ruang komunitas untuk bersosial dan berbudaya, berpeluang pengembangan ekonomi bagi warga kampung yang dapat berselaras dengan permukiman skala besar.Kata kunci : kampung terjepit (enclave), layak huni, eksistensi, ruang komunitasÂ
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
45

Perdanaputra, Fauzi, and Nuraini Wahyuning Prasodjo. "Ketahanan Pangan di Kampung Adat dan Non-Kampung Adat." Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] 2, no. 5 (September 3, 2019): 567. http://dx.doi.org/10.29244/jskpm.2.5.567-580.

Full text
Abstract:
The aims of this research are to analyze the differences of local wisdom and food security household in an indigenous village and non-indigenous village and to analyze the correlation between local wisdom and food security. Research respondents are housewives or housewives who also act as head of household. The research method used a quantitative approach with questionnaire instruments supported by qualitative data with in-depth interview. The results show that there are the difference of food security in Ciptagelar Village and Tonjong II Village which the level of household local wisdom and food security in Kampung Ciptagelar is higher than in Kampung Tonjong II. In addition, from the three dimensions of local wisdom tested, there are two dimensions that have a positive and quite strong relationship with food security, that is the dimensions of local knowledge and community solidarity and compliance with rules and leaders.Keywords: Food Security, Indigenous Village, Local Wisdom, Non-Indigenouse VillageABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kearifan lokal dan ketahanan pangan rumah tangga di Kampung adat dan non-kampung adat serta menganalisis hubungan antara kearifan lokal dengan ketahanan pangan. Responden penelitian merupakan ibu rumah tangga atau ibu rumah tangga yang juga berperan sebagai kepala rumah tangga. Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan instrumen kuesioner yang didukung dengan data kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat ketahanan pangan di Kampung Ciptagelar dan Kampung Tonjong II yang mana tingkat kearifan lokal dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kampung Ciptagelar lebih tinggi dibandingkan dengan Kampung Tonjong II. Selain itu, dari tiga dimensi kearifan lokal yang diuji, terdapat dua dimensi yang memiliki hubungan positif dan cukup kuat dengan ketahanan pangan yakni dimensi pengetahuan lokal dan solidaritas masyarakat dan kepatuhan pada aturan serta pemimpin. Kata kunci: Kampung Adat, Kearifan Lokal, Ketahanan Pangan, Non-kampung Adat
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
46

Letfiani, Emiria, and Arlita Widyasari. "KAMPUNG MASPATI AS A SUSTAINABLE KAMPUNG IN SURABAYA CITY." Journal of architecture&ENVIRONMENT 14, no. 2 (October 1, 2015): 163. http://dx.doi.org/10.12962/j2355262x.v14i2.a2937.

Full text
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
47

Pertiwi, Shifa Nurul Indah, Winny Astuti, and Hakimatul Mukaromah. "Kesiapan Sosial Kampung Cibunut sebagai Kampung Kreatif Berwawasan Lingkungan." Desa-Kota 2, no. 1 (February 19, 2020): 45. http://dx.doi.org/10.20961/desa-kota.v2i1.32514.45-57.

Full text
Abstract:
<p><em>Kota Bandung terpilih menjadi salah satu kota kreatif dari UNESCO. Kampung kreatif adalah salah satu bagian dari penerapan kota kreatif. Kampung Cibunut diresmikan menjadi kampung kreatif yang berwawasan lingkungan pada tahun 2017. Kampung Cibunut membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk diresmikan sebagai kampung kreatif berwawasan lingkungan. Sedangkan, di sisi lain, beberapa kampung yang menerapkan konsep berwawasan lingkungan membutuhkan waktu minimal 5 tahun untuk diresmikan atau mendapatkan penghargaan yang berkaitan dengan berwawasan lingkungan. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat tingkat kesiapan sosial dari Kampung Cibunut sebagai kampung kreatif berwawasan lingkungan. Penelitian ini menggunakan analisis skoring. Tingkat kesiapan dibagi menjadi 3, yakni tidak siap, cukup siap, dan siap. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial Kampung Cibunut tergolong cukup siap dalam menjadi kampung kreatif berwawasan lingkungan. Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa tingat kemampuan masyarakat dalam hal berwawasan lingkungan tergolong tinggi, selain itu kelembagaan di Kampung Cibunut juga cukup baik dalam mendukung kampung kreatif berwawasan lingkungan.</em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
48

Kharis, Ahmad. "Kampung Wisata Berbasis Masjid di Kampung Sayidan Prawirodirjan Yogyakarta." Islamic Management and Empowerment Journal 1, no. 1 (September 11, 2019): 101. http://dx.doi.org/10.18326/imej.v1i1.101-128.

Full text
Abstract:
This article aimed to describe the organizing process to empower village communities through mosque-based tourism in Sayidan Village. This research was a descriptive qualitative research which aimed to explain the process of organizing village tours through mosques. The procedure of this study resulted in descriptive data consisting of written words, oral words of the people who were received. Snowball techniques were used to collect data, interviews, observation and documentation. The results in this study were the Sayidan Tourism Village which originated from the assumption that people in the community needed to be restless because the river sometimes caused flooding. But the community was able to turn disaster into a blessing through Tourism Village. More than the mosque basecamp was delivered during a scussion meeting which led to the idea of a tourist village. When the process of organizing the community makes Mosque-Based Tourism Village among others, a. Emergence of Ideas: Discovery (Discovery) to Dreams (Dreams), b. Planning (Design): Detailing not what was needed, c. Defining (Defining): Raising mutual strength, d. Implement (Destiny): Ensure the plan has been implemented
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
49

Sutarsih, Asih. "CAMPUR KODE DARI BAHASA KE DALAM BAHASA INDONESIA TUTURAN MASYARAKAT KETURUNAN ARAB DI KAMPUNG PEKOJAN SEMARANG (CODE MIXING FROM ARABIC INTO INDONESIAN OF ARAB DESCENT SPEECH SOCIETY IN SEMARANG PEKOJAN KAMPONG)." Widyaparwa 44, no. 2 (December 29, 2016): 175–83. http://dx.doi.org/10.26499/wdprw.v44i2.139.

Full text
Abstract:
Campur kode terjadi dalam tuturan masyarakat keturunan Arab di KampungPekojan Sema-rang.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui campur kode dan penyebab terjadinya campur kode tuturan masyarakat keturunan Arab di Kampung Pekojan Semarang. Oleh karena itu, pene-litian ini menggunakan metode deskriptif padan intralingual. Campur kode dalam bahasa tutur masyarakat tersebut terjadi di tataran kata. Campur kode berupa pencampuran bahasa Indonesia dengan kata dari bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa Betawi. Campur kode bahasa Indonesia, Arab,dan Betawi dilakukan oleh mereka yang menjalin hubungan sosial yang sangat tinggi dengan masyarakat berbeda etnik di lingkungan tempat tinggal. Campur kode dengan meng-gunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu masyarakat penduduk asli kampung Pekojan hanya dila-kukan oleh yang sudah tua. Demikian pula halnya dengan campur kode dengan bahasa Betawi hanya dilakukan oleh masyarakat keturunan Arab yang sudah tua.Code-mixing occurs in the speech of community of Arab descent in Kampung Pekojan Semarang.This study is conducted to determine the code-mixing and the cause of code-mixing on Arab descent utterances in Pekojan Kampong, Semarang. Therefore, this study uses descriptive method of intralingual equivalent. Code-mixing in Pekojan kampong occurs at the level of words in the form of blending Indonesian words with Arabic, Javanese and Betawi language. The code-mixing between Indonesian, Arabic, and Betawi language is done by those who have high social relationship with different ethnic communities in their environment. Code-mixing using Javanese as native language of indigenous peoples of Pekojan kampong is only performed by the elderly. Similarly, code-mixing with Betawi language is only used by the elderly of Arab descent people.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
50

Damayanti, Fifi, and Handika Setya Wijaya. "KAJIAN PERUBAHAN TINGKAT KEKUMUHAN KAMPUNG TUMENGGUNGAN LEDOK SEBELUM dan SESUDAH BERUBAH MENJADI KAMPUNG WISATA TRIDI." Pawon: Jurnal Arsitektur 3, no. 02 (December 21, 2019): 37–50. http://dx.doi.org/10.36040/pawon.v3i02.880.

Full text
Abstract:
Salah satu permukiman kumuh yang ada di kota Malang adalah kampung Tumenggungan Ledok, di RW 12, Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing. Kampung ini telah menjadi sebuah kampung wisata sejak tahun 2016 dengan nama Kampung 3D (Kampung Tridi). Dengan adanya kampung wisata tersebut, masyarakat telah berupaya untuk meningkatkan kualitas kampung dengan cara melakukan perbaikan drainase, jalan kampung serta melakukan pengolahan sampah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan kampung Tumenggungan Ledok menjadi kampung wisata 3D terhadap tingkat kekumuhan kampung tersebut. Penelitian mengenai slum area ini menggunakan metode kuantitatif dengan membandingkan tingkat kekumuhan kampung sebelum dan sesudah adanya Kampung Tridi. Berdasarkan hasil observasi dan analisis menunjukkan bahwa meski terjadi penurunan nilai kekumuhan kampung dari 580 menjadi 510, tapi tidak terjadi perubahan tingkat kekumuhan kampung. Tingkat kekumuhan kampung Tumenggungan Ledok tetap berada di tingkat kawasan kumuh sedang. Sehingga dapat diartikan bahwa adanya perubahan kampung menjadi kampung wisata tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kekumuhan kampung tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya pembenahan di Kampung 3D dengan melihat faktor-faktor penyebab kekumuhan kampung. Selain itu penilaian tingkat kekumuhan perlu dilakukan secara berkala sebagai evaluasi dari setiap solusi yang dilakukan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography