To see the other types of publications on this topic, follow the link: Kabya bhasha.

Journal articles on the topic 'Kabya bhasha'

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 22 journal articles for your research on the topic 'Kabya bhasha.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Pramanick, Mrinmoy. "Kavya and Anuvad in the Age of Bhasha: Reading History of Bangla Literature." Translation Today 16, no. 1 (May 1, 2022): 111–31. http://dx.doi.org/10.46623/tt/2022.16.1.no2.

Full text
Abstract:
This essay discusses translation as the primary factor in the creation of Indian literature in general and Bangla literature in the medieval period. The term "translation" that was used to describe the accommodation of numerous literatures after reception, adaption, influence, and translation in mediaeval Bangla was liberal. We discover several facets and definitions of translation while reading mediaeval Bangla literature, despite the word translation not being used. However, identical actions took place while disguising them as resistance and social welfare. This study does not investigate the original mediaeval texts; instead, it surveys Bangla-language literary histories of Bangla literature and traces how the literary historian(s) viewed the process of mediaeval translation. In order to support the idea of the Indian school of translation, this study incorporated diverse objectives, strategies, and conceptions of the poets involved in translating a book from Sanskrit, Persian, or any other language into Bangla. The focus of this essay is on issues like the origin of language, linguistic and cultural identity, resistance, and the function of translation in relation to all these elements. It also reads mediaeval translation as a component of a larger literary, political, and cultural system.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

Nuraeni, Dewi. "STRUKTUR WACANA DALAM NOVEL RINDU KARYA TERE LIYE." Diksatrasia : Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 1, no. 2 (August 31, 2017): 39. http://dx.doi.org/10.25157/diksatrasia.v1i2.580.

Full text
Abstract:
Penelitian ini berjudul Struktur Wacana dalam Novel Rindu Karya Tere Liye. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur sastra dalam novel Rindu karya Tere Liye. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah struktur wacana novel Rindu. Indikator dari struktur wacana adalah struktur makro dan super struktur, struktur makro terdiri dari tema/topik yang dikedepan dalam novel tersebut, superstruktur terdiri dari unsur yang membangun novel teesebut yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sebuah novel, . unsur intrinsik terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, amanat latar, sudut pandang, dan gaya bhasa. Unsur ekstrinsik terdiri dari nilai moral, nilai agama, nilai sosial.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Lingga, Wedar Pahala, N. Rinaju Purnomowulan, and Muhamad Adji. "PEMBENTUKAN IDENTITAS HIBRID TOKOH IMIGRAN DALAM ROMAN LANDNAHME KARYA CHRISTOPH HEIN." Metahumaniora 9, no. 2 (January 6, 2020): 179. http://dx.doi.org/10.24198/metahumaniora.v9i2.22674.

Full text
Abstract:
Artikel ini berjudul “Pembentukan Identitas Hibrid Tokoh Imigran dalam Roman Landnahme Karya Christoph Hein”. Artikel ini bertujuan untuk mengemukakan pembentukan identitas hibrid tokoh imigran dalam Roman Landnahme Karya Christoph Hein. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan deskriptif. Penenlitian ini menggunakan teori hibriditas Bhabha (1994) dan integrasi imigran Heckmann (2015). Hasil dari penelitian ini adalah (1) tokoh mengalami pe-liyan-an karena ia seorang imigran, (2) adaptasi tokoh dengan budaya Jerman yakni melalui pengaitan diri dengan masa lalu dan peniruan budaya lain, dan (3) identitas hibrid yang dimanifestasikan tokoh yakni menggunakan dialek campuran dalam berkomunikasi. Penelitian ini membuktikan bahwa identitas adalah konsep yang cair.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Lingga, Wedar Pahala, N. Rinaju Purnomowulan, and Muhamad Adji. "PEMBENTUKAN IDENTITAS HIBRID TOKOH IMIGRAN DALAM ROMAN LANDNAHME KARYA CHRISTOPH HEIN." Metahumaniora 9, no. 2 (January 6, 2020): 179. http://dx.doi.org/10.24198/mh.v9i2.22674.

Full text
Abstract:
Artikel ini berjudul “Pembentukan Identitas Hibrid Tokoh Imigran dalam Roman Landnahme Karya Christoph Hein”. Artikel ini bertujuan untuk mengemukakan pembentukan identitas hibrid tokoh imigran dalam Roman Landnahme Karya Christoph Hein. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan deskriptif. Penenlitian ini menggunakan teori hibriditas Bhabha (1994) dan integrasi imigran Heckmann (2015). Hasil dari penelitian ini adalah (1) tokoh mengalami pe-liyan-an karena ia seorang imigran, (2) adaptasi tokoh dengan budaya Jerman yakni melalui pengaitan diri dengan masa lalu dan peniruan budaya lain, dan (3) identitas hibrid yang dimanifestasikan tokoh yakni menggunakan dialek campuran dalam berkomunikasi. Penelitian ini membuktikan bahwa identitas adalah konsep yang cair.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Subekti, Mega. "IDENTITAS BUDAYA HIBRID DALAM TIGA CERPEN PENGARANG AFRIKA DALAM BUKU KUMPULAN CERPEN L’EUROPE VUE D’AFRQUE (Identity of Hybrid Culture in Three Short Stories of African Authors in the Book of the Short Story Collection “L’Europe Vue D’afrque”)." METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra 9, no. 2 (January 5, 2017): 225. http://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2016.v9i2.225-238.

Full text
Abstract:
Tulisan ini ditujukan untuk mengungkapkan identitas budaya hibrid yang ditampilkan dalam tiga cerpen yang ditulis oleh pengarang Afrikadalam buku kumpulan cerpen L’Europe Vue D’Afrique (Eropa dilihat Afrika). Tiga cerpen itu berjudul ”Femme de Gouverneur” (LFG) karya Ken Bugul, “La Bibliothèque d’Ernst” (LBE) karya Patrice Nganang, dan “Âllo” karya Aziz Chouaki. Identitas budaya hibrid itu tercermin melalui pandangan Eropasentris para tokoh utama dan mimikriyang mereka lakukan sebagai individu hibrid (Afrika-Eropa). Homi Bhabha (1994) dalam The Location of Culture, mengungkapkan bahwa konsep mimikri tidak berarti sepenuhnya meniru karena terkandung juga unsur mengejek (mockery). Oleh karena itu, budaya hibrid yang muncul itu dapatdianggap sebagai senjata untuk meresistensi pengaruh budaya Eropa pada diri mereka, juga untuk mengkritik pengaruh budaya Eropa yang selama ini telah dianggap baik oleh masyarakat Afrika.Abstract: This paper aims to describe the hybrid cultural identity shown in three short stories, which were written by African authors in the book of the short story collection “L’Europe Vue D’Afrique”. The three short stories are Ken Bugul’s La Femme de Gouverneur (LFG), Patrice Nganang’s La Bibliothèque d’Ernst (LBE) , and Aziz Chouaki’s Allo. The hybrid cultural identity is reflected through the Eurocentric perspective and mimicry of the main character as individual hybrid (African-European). Homi Bhabha (1994) in “The Location of Culture” describes that the concept of mimicry not only mimics something but also contains mockery. Therefore, the hybrid culture represented in the short stories can be considered a weapon to resist the influence of European culture on them and to criticize the influence of European culture, which has been considered superior by the African society.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Abdullah, Risen Dhawuh, and Ilham Rabbani. "IDENTITAS TOKOH PRIBUMI DALAM CERPEN PENUNJUK JALAN KARYA IKSAKA BANU: KAJIAN PASCAKOLONIAL HOMI K. BHABHA." MIMESIS 3, no. 1 (January 31, 2022): 10–23. http://dx.doi.org/10.12928/mms.v3i1.5247.

Full text
Abstract:
This study aims to uncover an Indigenous character named Oentoeng in the short story “Penunjuk Jalan”. The short story is one of Iksaka Banu's works contained in the book Semua untuk Hindia. The identity of the character that is trying to be dismantled includes hybridity, mimicry, and ambivalence. The theory used in this study is the postcolonial theory initiated by Homi K. Bhabha. The study used a qualitative descriptive method. There are three findings in this study. First, the identity of Oentoeng is a hybrid. Oentoeng absorbs Western values continuously, namely from his upbringing, education, and his association in the Dutch family environment. Second, mimicry as mockery by the character can be seen from three aspects, specifically the ability to speak Dutch, possess Western medical knowledge, and to be able to devise a strategy of rebellion that made the VOC troubles as invaders. Third, Oentoeng's attitude of wanting to be angry and willing to provide assistance, treatment, and entertainment to the Dutch doctor and his porter who had an accident could be interpreted as a form of ambivalence in the Indigenous character.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Ayu Ratna Ningtyas. "ISU IDENTITAS DAN HIBRIDITAS DALAM NOVEL THE GOD OF SMALL THINGS (1996) KARYA ARUNDHATI ROY." DIALEKTIKA: JURNAL BAHASA, SASTRA DAN BUDAYA 6, no. 1 (April 4, 2023): 97–105. http://dx.doi.org/10.33541/dia.v6i1.4754.

Full text
Abstract:
The God of Small Things karya Arundhati Roy mengangkat narasi tentang potret masyarakat India pascakemerdekaan. Isu sosial dan permasalahan identitas budaya yang tergambar dari tokoh-tokoh dalam novel terkait erat dengan wacana pascakolonial. Warisan historis dan kodisi sosial masyarakat pascakolonial menjadi jembatan terbentuknya krisis identitas yang dipenuhi dengan ambiguitas. Para tokoh perlu memiliki strategi dalam merespon krisis identitas sehingga memunculkan hibriditas para tokoh dalam novel. Teori hibriditas Homi Bhabha digunakan untuk menganalisa hibriditas tokoh yang terbentuk melalui pengamatan terhadap tokoh-tokoh yang merepresentasikan hibriditas. Hibriditas kemudian digunakan sebagai media negosiasi para tokoh dalam merespon keberadaan “ruang ketiga” yang mereka huni.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Faizah, Afifah. "Ambivalensi Identitas dalam Novel Black Bazar karya Alain Mabanckou." Jurnal Bahasa dan Sastra 9, no. 2 (May 4, 2021): 79. http://dx.doi.org/10.24036/jbs.v9i2.112003.

Full text
Abstract:
Black Bazar merupakan salah satu novel karya penulis frankofon yang berasal dari Republik Kongo, yaitu Alain Mabanckou. Novel ini bercerita tentang kehidupan tokoh Fessologue di Paris sebagai seorang pria imigran kulit hitam yang berasal dari Republik Kongo. Lingkungan sosial yang baru membuatnya harus meniru perilaku orang Prancis agar dapat berintegrasi di sana. Artikel ini membahas pencarian identitas Fessologue melalui peniruan yang menyebabkan keadaan ambivalen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan kajian naratologi Gérard Genette dan analisis struktur naratif Roland Barthes dengan diperdalam menggunakan teori representasi dan identitas Stuart Hall, serta teori hibriditas budaya Homi K. Bhabha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penokohan dan latar cerita menggambarkan ambivalensi identitas budaya tokoh Fessologue. Peniruan-peniruan yang dilakukan Fessologue tercermin dalam gaya berpakaian, gaya hidup, dan cara berpikirnya agar sama dengan orang Prancis. Proses peniruannya tersebut tidak terus berlanjut sehingga timbul ambivalensi dalam dirinya karena berada di antara dua budaya, yaitu budaya Prancis dan Kongo. Keadaan ambivalen menyadarkannya bahwa tidak ada budaya yang murni sehingga tidak perlu mengagungkan kemurnian suatu identitas budaya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Mayasari, Fitria. "NEGOSIASI BUDAYA DAN DIALEKTIKA KEKUASAAN DALAM DISKURSUS (POS)KOLONIAL: DISKUSI TENTANG A BACKWARD PLACE KARYA R. P. JHABVALA (Cultural Negotiation and Power Dialectics in (Post)Colonial Discourse: A Discussion on R. P. Jhabvala’s A Backward Place)." METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra 9, no. 2 (January 5, 2017): 201. http://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2016.v9i2.201-210.

Full text
Abstract:
Penyajian sejumlah teks sastra poskolonial berusaha mengubah citra dunia ketiga dalam dikotomi kaku dunia pertama/dunia ketiga, namun malah menunjukkan apa yang disebut Bhabha colonial mimicry di mana permasalahan ‘nativism’ justru mengasingkan isu identitas (origin) dan membentuk situs kekuasaan baru (Gandhi, 1998). Karya-karya Ruth Prawer Jhabvala, khususnya novel A Backward Place, mengindikasikan gejala tersebut. Esai ini membahas negosiasi budaya dan dialektika kekuasaan yang mengaburkan batasan-batasan biner kerangka pemikiran kolonial. Pendekatan yang digunakan dalam analisis adalah pendekatan poskolonial. Analisis dalam esai ini berfokus pada persilangan kedua ideologi yang bertentangan pada ranah publik dan pada ranah domestik. Esai terlebih dahulu memetakan relasi kuasa di antara pribumi dan ekspatriat dalam narasi. Selanjutnya, negosiasi budaya dan dialektika kekuasaan dibahas berdasarkan pemetaan tersebut. Persilangan dua ideologi yang bertentangan dalam pemetaan kekuasaan yang sudah dianalisis menghasilkan narasi yang ambivalen.Abstract: Many of postcolonial texts attempts to change the third world image within the rigid dichotomy first world/third world. However, their presentation ended up being what Bhabha called colonial mimicry in which the problem of ‘nativism’ alienates orginal identity and creates a new power site (Gandhi, 1998). Ruth Prawer Jhabvala’s works, specifically the novel A Backward Place, indicate the exact symptoms. This essay discusses cultural negotiation that blur boundaries between colonial dichotomy using postcolonial approach. Analysis focuses on the crossings of two contradicting ideologies both in public and domestic spheres. First, power relation between the natives and expatriats in the narrative is mapped. Second, cultural negotiation and power dialectics is discussed based on that power relation mapping. The crossings of two conflicting ideologies is making the narrative ambivalent.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Kusumaningrum, Ayu Fitri. "KRISIS IDENTITAS DALAM CERPEN A PAIR OF JEANS KARYA QAISRA SHAHRAZ." Poetika 7, no. 1 (July 30, 2019): 51. http://dx.doi.org/10.22146/poetika.v7i1.43500.

Full text
Abstract:
Multikulturalisme menjadi wacana yang diagung-agungkan di abad 21 karena men-cerminkan kemodernan yang mana pertemuan dan percampuran dua atau lebih kebudayaan dianggap sebagai cerminan masyarakat modern yang terbuka dengan akulturasi. Dewasa ini, multikulturalisme menjadi fenomena yang biasa terjadi di berbagai belahan dunia karena proses migrasi yang terus berlangsung di berbagai negara, salah satunya Inggris (Britania Raya). Berdasarkan sensus pada tahun 2011, tercatat Inggris menjadi rumah bagi delapan belas kelompok etnis berbeda yang tersebar di seluruh penjuru Inggris dan Pakistan adalah salah satu kelompok etnis tersebut, menduduki peringkat ketiga dengan persentase sebanyak 2% dari total populasi di Inggris. Kedelapan belas kelompok etnis ini pun hidup bersama sehingga kebudayaan mereka bertemu dan bercampur dalam ruang multikulturalisme. Multikulturalisme inilah yang kemudian memicu munculnya krisis identitas. Menggunakan karya sastra kontemporer yang diterbitkan pada abad 21, kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana krisis identitas tokoh Miriam, seorang perempuan muslim Pakistan yang tinggal di Inggris, digambarkan dalam cerpen “A Pair of Jeans” karya Qaisra Shahraz. Dengan mengaplikasikan metode analisis pascakolonialisme Homi K. Bhabha, kajian ini menemukan bahwa proses hibriditas dan mimikri dalam multikulturalisme dapat menimbulkan ambivalensi yang berupa krisis identitas.Kata Kunci: multikulturalisme; hibriditas; mimikri; ambivalensi; krisis identitas Multiculturalism becomes a glorified discourse in the twenty-first century because it reflects the modernity in which the meeting and mixing of two or more cultures are considered as a reflection of a modern society that is open to acculturation. Today, multiculturalism is a common phenomenon in various parts of the world because of the ongoing process of migration in various countries, one of which is Britain (United Kingdom). According to the 2011 census, it was recorded that Britain was home to eighteen different ethnic groups scattered throughout Britain and Pakistan is one of the ethnic groups, ranking third with 2% of the total population in the UK. These eighteen ethnic groups live together so their cultures meet and are mixed in the space of multiculturalism. This multiculturalism then triggers an identity crisis. Using contemporary literature published in the twenty-first century, this study aims to reveal how Miriam's identity crisis, a Pakistani Muslim woman living in Britain, is described in Qaisra Shahraz’s “A Pair of Jeans”. By applying the method of post-colonialism analysis of Homi K. Bhabha, this study finds that the process of hybridity and mimicry in multiculturalism can lead to ambivalence in the form of identity crisis.Keywords: multiculturalism; hybridity; mimicry; ambivalence; identity crisis
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Setyawan, Eko, and Dimas Ridho W. S. "MIMIKRI, HIBRIDITAS, DAN AMBIVALENSI DALAM CERPEN “KITA GENDONG BERGANTIAN” KARYA BUDI DARMA: KAJIAN PASCAKOLONIAL." Alayasastra 18, no. 1 (May 31, 2022): 43–60. http://dx.doi.org/10.36567/aly.v18i1.899.

Full text
Abstract:
Pascakolonial memberi pengaruh dan dampak dalam kehidupan masyarakat di tanah bekas jajahan. Dampak tersebut juga tercermin dalam “Kita Gendong Bergantian” karya Budi Darma. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan bentuk-bentuk dampak dan pengaruh pascakolonial yang berupa mimikri, hibriditas, dan ambivalensi. Metode yang digunakan meliputi tahapan identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi. Teori yang digunakan berfokus pada teori Homi K. Bhabha dengan hasil penelitian berupa mimikri yang dilakukan oleh kelompok subordinasi, yakni cara berpakaian dan penggunaan aksesoris serta sumber bahan bakar dan makanan. Hibriditas berupa penghormatan dan upacara, perilaku kekerasan fisik dan verbal, serta pemberian perintah tidak logis. Ambivalensi berupa ketidaksampaian pada tahap peniruan penjajah dan berujung pada peringatan dari sesama pihak subordinasi dengan tujuan menyadarkan bahwa tindakan yang dilakukan adalah sesuatu yang sia-sia.Kata kunci: ambivalensi, cerpen, hibriditas, mimikri, pascakolonial
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Raini, Ela Ang, and Noni Andriyani. "Postkolonialisme dalam Novel Air Mata Api Karya P.A. Redjalam." J-LELC: Journal of Language Education, Linguistics, and Culture 3, no. 1 (February 18, 2023): 73–83. http://dx.doi.org/10.25299/j-lelc.2023.12096.

Full text
Abstract:
This study aims to reveal the forms of mimicry and subaltrends in the novel Air Mata Api by P.A. Redjalam. Mimicry forms and subaltrends can be described using views from Homi.K. Bhabha and Gayatri Spivak as the scalpel. The data of this research were processed by the stages of identification, classification, analysis, and interpretation as well as a description of the findings. The objects of this study are words, phrases, clauses, sentences and paragraphs that contain mimicry and subaltrend forms. The results of this study indicate that, first, mimicry in the novel Air Mata Api by P.A.Redjalam is found in the forms of thoughts, attitudes, and behaviors that use imitation by the colonized to be able to feel that they have power and are in a higher position than the colonized. other. The two forms of subaltrance found in the novel Air Mata Api by P.A. Redjalam are found in the form of physical and psychological violence perpetrated by the colonized. The physical and psychological violence that was carried out by the colonized was oppression, namely by hitting, kicking, choking and sexually abusing women which made the terjah feel that, by carrying out this oppression, the colonized felt that they had power.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Abdullah, Risen Dhawuh. "JEJAK KOLONIAL CERPEN “BATAVIA YANG TAK SESUAI RENCANA LUCRETIA” KARYA SASTI GOTAMA." SEMIOTIKA: Jurnal Ilmu Sastra dan Linguistik 24, no. 2 (July 14, 2023): 345. http://dx.doi.org/10.19184/semiotika.v24i2.38491.

Full text
Abstract:
This study aims to describe the colonial trace contained in the short story "Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia" by Sasti Gotama which was published in Harian Kompas on January 15, 2023 from the perspective of hybridity, mimicry, and ambivalence. The approach used is a postcolonial study developed by Homi K. Bhabha. The qualitative-descriptive method was chosen in this study. The findings in this study are: first, the character Lucretia van der Maas absorbs Eastern cultural values due to living in indigenous areas for quite a long time, namely practicality in dress and this is opposed by Bastiaan van der Maas; secondly, the character Lucretia van der Maas experiences ambivalence in the form of refusing that she is equal to the character Catia while at the same time accepting that on the basis of religion, the moral mimicry as mockery is carried out by the character Catia; and third, the mimicry of language used by the coachman when addressing the figure of Lucretia van der Maas and the response to it which represents a more respectable European nation.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Furqon, Syihabul, and NFN Busro. "HIBRIDITAS POSTKOLONIALISME HOMI K. BHABHA Dalam Novel Midnight’s And Children Salman Rushdie." JENTERA: Jurnal Kajian Sastra 9, no. 1 (June 30, 2020): 73. http://dx.doi.org/10.26499/jentera.v9i1.494.

Full text
Abstract:
Postcolonialism is a branch of the cultural studies that focuses on socio-cultural analysis, including signs and languages. Colonialism had clear implications in the actions of postcolonial society. Homi K. Bhabha found identification that in postcolonialism there emerged what he called as hybridity. Hybridity is a cross-culture (both intrinsic and extrinsic) that appears in society in many forms, one of which is language and attitude. This research will review Salman Rushdie's Midnight’s Children novel to reveal which aspects are hybridities. As a methodological tool, the authors use descriptive analysis (intrinsic-extrinsic). In this study, the authors found a large number of hybridity identifications in the novel Midnight’s Children. Especially in the aspects of identity (especially the formation of the subject), language, and inner struggle of characters in the novel. AbstrakPoskolonialisme merupakan cabang kajian studi budaya yang berfokus pada analisis sosiokultural, termasuk tanda-tanda dan bahasa. Kolonialisme memunculkan implikasi yang terbaca jelas dalam tindakan masyarakat poskolonial. Homi K. Bhabha menemukan identifikasi bahwa dalam poskolonialisme muncul apa yang disebutnya sebagai hibriditas. Hibriditas adalah silang budaya, baik intrinsik maupun ekstrinsik, yang muncul di masyarakat dalam banyak bentuk, seperti bahasa dan sikap. Dalam penelitian ini akan ditinjau novel Midnight’s Children karya Salman Rushdie untuk mengungkapkan aspek mana saja yang merupakan hibriditas. Sebagai alat metodologi, penulis menggunakan analisis deskriptif (intrinsik-ekstrinsik). Dalam penelitian ini penulis menemukan sejumlah identifikasi hibriditas dalam novel Midnight’s Children, terutama dalam aspek identitas (pembentukan subjek), bahasa, serta pergulatan batin tokoh..
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

Julianno, Ivo Trias. "Antonio José Bolivar adalah Kita: Wacana Pascakolonial dalam Novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda." Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora 11, no. 2 (December 31, 2023): 133–55. http://dx.doi.org/10.24071/ret.v11i2.6126.

Full text
Abstract:
The Old Man Who Read Love Stories is a novel by Luis Sepúlveda that was translated and published for the first time in Indonesia by Marjin Kiri at the end of 2005. The novel, originally titled Un viejo que leía novelas de amor, is a canon­ical work of Latin American literature that was published in 1989. The plot clear­ly depicts the postcolonial situation in Latin America. Unfortunately, postcolonial readings of this translated novel are very minimal. In a postcolonial context, the work of translating texts cannot be considered as a job that is arbitrarily chosen, whimsical, or even without political charges behind the scenes. Especially if the text being translated comes from third world and/or formerly colonized countries. The translator will certainly have fundamental reasons in selecting and choosing a text (postcolonial literature) to be translated. Thus, I decided to do an alternative reading that can be used on this translated novel using the concept of hybridity by Homi K. Bhabha. On the other hand, I also want to see how far Luis Sepúlveda depicts the postcolonial phenomenon in Latin American society as a formerly colonized society represented through conflicts in his novel. Because the reality in the novel is the real­ity experienced by Luis Sepúlveda when he was on an expedition with UNESCO for seven months in the territory of the indigenous Shuar tribe in Ecuador. Reading the novel The Old Man Who Read Love Stories means reading how the author positions himself as the other in a different cultural institution. Then understanding these two contexts means we are trying to realize what the condition of our society in Indonesia is, as a fellow postcolonial society.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Saputra, Iwan. "HEGEMONI WACANA KOLONIAL DALAM CERPEN “MEREKA BILANG, SAYA MONYET” KARYA DJENAR MAHESA AYU: KAJIAN PASCAKOLONIAL." Kibas Cenderawasih 17, no. 1 (April 14, 2020): 75–85. http://dx.doi.org/10.26499/kc.v17i1.247.

Full text
Abstract:
Hegemoni merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan hegemoni tersebut, penjajah akan terus menjadi dominan terhadap kaum terjajah. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengelaborasi tentang bentuk dan model hegemoni wacana kolonial yang terdapat dalam cerpen mereka bilang, saya monyet karya Djenar Mahesa Ayu dengan menggunakan teori pascakolonial. Adapun teori yang digunakan untuk menganalisis cerpen tersebut adalah konsep pascakolonial Homi K. Bhabha, yaitu tentang stereotype, mimicry dan hibriditas. Ketiga konsep tersebut dilakukan untuk melanggengkan hegemoni kolonial terhadap kaum terjajah. Kecemasan kolonial terhadap negara jajahan mendorong mereka untuk selalu berbagai upaya untuk meyakinkan pengaruh kolonial terhadap negara jajahan. Salah satu bentuk keyakinan tersebut adalah dengan menanamkan wacana kolonial dengan terus-menerus (repetition). Berdasarkan dari hasil analisis pada cerpen mereka bilang, saya monyet, peneliti menemukan bahwa hegemoni wacana kolonial dilakukan dengan cara penanaman identitas terhadap tokoh saya yang dianggap sebagai kelompok minoritas. Di sisi lain, peniruan yang dilakukan oleh tokoh saya merupakan upaya untuk mendapatkan pengakuan sebagai subjek yang memiliki identas. Peniruan tersebut sebagai bentuk hegemoni wacana kolonial pada tokoh saya agar terlihat sama dengan Kepala Anjing yang merepresentasikan kaum penjajah. Pengulangan (repetition) sikap yang ditunjukkan oleh Kepala Anjing pada tokoh saya merupakan bentuk hegemoni untuk meyakinkan tokoh saya. Key Words: Hegemoni, dominasi, penjajah, terjajah. Abstract Hegemony is the colonial’s effort done to legitimate its domination. By this hegemony, the colonizer is dominant to colonize. In this research, the writer attempts to elaborate about form and model of hegemony of colonial’s discourse in Djenar Mahesa Ayu’s short story “mereka bilang, saya monyet, by using postcolonial theory. To analyses this short story, the researcher would use the Homi K. Bhabha’s theory about postcolonial, that are stereotype, mimicry, and hybridity. The third concept is conducted to keep colonizer’s hegemony to colonized. The colonizer’s anxiety to colony encourages colonizer to do all effort to convince colonizer’s influence to colony. The colonizer attempts to do more ways by repetition of colonizer’s discourse. Based on the results of the analysis on their short story “mereka bilang, saya monyet”, the researcher found that the hegemony of colonial discourse was carried out by means of inculcating the identity of character “saya” who was considered a minority group. On the other hand, the mimicry made by character “saya” is an attempt to get recognition as a subject that has identity. The impersonation was a form of colonial discourse hegemony in character “saya” to make it look the same as the Dog's Head representing the invaders. Repetition of the attitude shown by the Dog Head to character “ saya” is a form of hegemony to convince. Key Words: Hegemony, domination, colonizer, colonized.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Rikma Dewi, Nenden, Aquarini Priyatna, and Yati Aksa. "MASKULINITAS KULIT PUTIH DALAM BURMESE DAYS DAN SHOOTING AN ELEPHANT KARYA GEORGE ORWELL (The Masculinity of White Men in George Orwell’s Burmese Days and Shooting An Elephant)." METASASTRA: Jurnal Penelitian Sastra 6, no. 2 (March 14, 2016): 103. http://dx.doi.org/10.26610/metasastra.2013.v6i2.103-114.

Full text
Abstract:
Orwell menjadikan pengalaman hidupnya sebagai bagian dari setiap karyanya dan menggunakannya untuk menyampaikan berbagai gagasannya. Melalui novel Burmese Days dan sebuah esai berjudul Shooting an Elephant yang keduanya saling berkaitan, Orwell mengemukan gagasannya mengenai wacana kolonialisme di wilayah koloni Inggris di Burma. Isu yang terkadang luput dalam pembacaan karya Orwell adalah isu gender. Oleh karena itu, kajian ini akan menganalisis bagaimana maskulinitas laki-laki kulit putih dipaparkan dan faktor-faktor pendorong atau penghalang maskulinitas tersebut. Agar dapat menganalisis isu tersebut, kajian ini menggunakan pendekatan yang ditawarkan Mosse, Bhabha dan Sinha mengenai maskulinitas dalam wacana poskolonial. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kajian ini dapat menunjukkan bahwa maskulinitas laki-laki kulit putih koloni Inggris di wilayah Burma, khususnya Kyauktada disebabkan oleh konsep mereka mengenai isu superioritas dan inferioritas.Abstract:Orwell made his life experiences as a part of his works and used them to convey a variety of his ideas. Through his novel entitling Burmese Days and his essay called Shooting an Elephant, both of them were related to, Orwell wrote his ideas about discourse of colonialism in the British colony in Burma. A peculiar issue in Orwell’s work is the gender issue. Therefore, this study shows masculinity of white men, and the factors motivating or obstructing such masculinity. In order to analyze these issues, this study applies George Mosse’s (1996), Homi K. Bhabha’s (1995) and Mrinalini Sinha’s (1995) approach on masculinity in postcolonial discourse. Based on the analy- sis, this study is to provide the assumption that masculinity of white men in the British colony in Burma, particularly Kyauktada, was caused by their concept of superiority and inferiority.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Andayani, Ambar, Edi Pujo Basuki, and Ali Mustofa. "Conflict of Irish Cultural Identity in Brian Friel’s Translation." JENTERA: Jurnal Kajian Sastra 12, no. 1 (July 26, 2023): 169. http://dx.doi.org/10.26499/jentera.v12i1.6281.

Full text
Abstract:
This research purposes to analyze Irish cultural identity conflict in Brian Friel’s Translation, namely by analyzing why it happens and how it impacts to Irish. The method applied to analyze is descriptive qualitative method by doing content analysis through data collecting technique in the form of library research. From the data source of Brian Friel’s Translation, the researcher does the technique of interpretation by using Homi K. Bhabha’s postcolonialism theory of mimicry concept to identify the conflict of Irish cultural identity found in the literary work. The result of the research shows that the setting in Brian Friel’s Translation is Northern Ireland in the 19th century. Irish people are surrendered to be the British colony. British people colonize Irish in various ways; destroying Irish rights by forcing them to work very hard on potato plantation in the area where they live to fulfill British people food, forbidding Irish to use their own language or do their Catholic religious worship, executing Ordnance survey namely by replacing names of local places in Northern Ireland for the importance of imperialism forcibly. That colonialism causes suffering, starving and poverty. Through the dialogues, it reflects that British people want to abolish Irish language and culture to replace it to British language and culture which is considered more modern. AbstrakPenelitian ini bertujuan menganalisis konflik identitas budaya bangsa Irlandia dalam drama Translation karangan Brian Friel, yaitu dengan mengupas mengapa konflik itu terjadi, dan bagaimana akibatnya terhadap bangsa Irlandia. Metode yang diterapkan adalah metode deskriptif kualitatif, dengan menganalisa isi melalui teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Dari sumber data drama Translation karangan Brian Friel, peneliti memakai teknik interpretasi melalui teori postkolonialisme konsep mimikri dari Homi K Bhabha untuk mengidentifikasi konflik identitas budaya bangsa Irlandia yang ditemukan pada karya sastra tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seting yang terdapat pada drama tersebut adalah pedesaan Irlandia Utara pada abad 19. Bangsa Irlandia takluk menjadi koloni bangsa Inggris. Bangsa Inggris menjajah dengan berbagai cara, menghancurkan hak-hak bangsa Irlandia dengan memaksa mereka kerja paksa di perkebunan kentang tempat tinggal mereka untuk memenuhi kebutuhan makanan rakyat Inggris, melarang mereka menggunakan bahasa asli atau melakukan ibadah agama Katolik, dan melakukan survei Ordnance yaitu mengganti paksa nama-nama lokal di Irlandia utara ke bahasa Inggris untuk kepentingan imperialisme. Penjajahan tersebut menyebabkan penderitaan, kelaparan dan kemiskinan. Melalui dialog-dialognya tercermin bahwa bangsa Inggris ingin melenyapkan budaya serta bahasa Irlandia, lalu menggantinya dengan budaya dan bahasa Inggris yang dianggap lebih modern.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Widiyanti, Dhyani. "Fashion Lurik Kontemporer sebagai Hibriditas dalam Budaya Urban." Urban: Jurnal Seni Urban 3, no. 2 (February 18, 2020): 91–98. http://dx.doi.org/10.52969/jsu.v3i2.34.

Full text
Abstract:
Lurik is a fabric that has a stripe motif and is made with a non-machine loom (Alat Tenun Bukan Mesin - ATBM). Lurik’s stripes can be divided into three motifs, namely lajuran, pakan malang, and cacahan. In the beginning lurik was only worn in the palace circles, not just by anyone, especially common people. In its development, lurik becomes a general public consumption; especially among urbanites lurik is a means to build their identities. This research studies contemporary works in lurik fashion, which are hybridity between elements in traditional lurik and elements existing in the culture or lifestyle of urbanites in building their new identity; it is a combination of qualitative research and the utilization of literary exploration. The primary data objects are various examples of contemporary lurik, which are analysed through content analysis. The content analysis applied here is Homi Bhabha’s post colonialism, which is a part of the deconstructive postmodern text interpretation method. The results show the following: (1) contemporary lurik fashion is a fusion between elements representing Eastern culture, viz. lurik with lajuran motifs, pakan malang, and cacahan, with elements that represent Western culture, viz. long wrap dresses, midi dress, and semi billowy airy dress, (2) based on an elucidation of internal aspects, contemporary lurik fashion expresses a dualism in meaning, viz. the popular meanings that is the superficial appreciations enjoyed by the common people and the subliminal meanings indicating depth of lurik motifs the meaning of which are studied by people who understand their significance. (3) Based on the interpretation of external aspects, contemporary lurik fashion is a form of resistance to modern Western fashion as well as being a Keraton tradition. Posed against Western fashion, hybridity is used as a way to de-colonialize Western influences that are considered incompatible with Eastern culture. Meanwhile, in the perspective of Keraton tradition, hybridity is carried out as a form of desacralization so that lurik can be utilized by as many people as possible as an individual expression, (4) the hybridity in contemporary lurik fashion creates a new identity, namely its placement in urban spaces and lifestyles more broadly, especially in relation to its access in semi-formal environment.Lurik merupakan kain yang mempunyai motif garis-garis dan dibuat dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Motif garis-garis pada lurik dapat dibagi ke dalam tiga macam motif, yaitu lajuran, pakan malang, dan cacahan. Lurik sendiri pada awalnya hanya digunakan di keraton dan tidak boleh digunakan oleh sembarang orang apalagi rakyat biasa. Pada perkembangannya, lurik kemudian menjadi konsumsi umum terutama bagi kaum urban dalam membangun identitasnya. Penelitian ini mengkaji karya-karya fashion lurik kontemporer yang merupakan hibriditas antara unsur-unsur dalam lurik tradisional dengan unsur-unsur yang ada dalam budaya atau gaya hidup kaum urban dalam rangka membangun identitas baru yang merupakan hasil peleburan atau fusi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data-data kepustakaan. Objek data primer ini adalah berbagai contoh busana lurik kontemporer untuk kemudian dianalisis dengan analisis konten. Analisis konten yang digunakan adalah dengan menggunakan poskolonialisme Homi Bhabha yang merupakan satu bagian dari metode tafsir teks posmodern dekonstruktif. Hasil penelitian kemudian menunjukkan hal-hal berikut ini: (1) fashion lurik kontemporer adalah peleburan atau fusi antara unsur yang merepresentasikan budaya Timur, yaitu lurik dengan motif lajuran, pakan malang, dan cacahan dengan unsur-unsur yang merepresentasikan budaya Barat, yaitu gaun panjang (long wrap dress), midi dress, dan gaun airy semi billowy, (2) berdasarkan interpretasi terhadap aspek internal, fashion lurik kontemporer melahirkan dualisme makna, yaitu makna populer yang cenderung dinikmati secara permukaan untuk diapresiasi orang awam dan makna subliminal yang menunjukkan adanya kedalaman pada motif-motif lurik yang digunakan untuk dikaji secara mendalam oleh orang yang paham makna lurik secara mendalam, (3) berdasarkan interpretasi terhadap aspek eksternal, fashion lurik kontemporer adalah bentuk resistensi terhadap fashion modern Barat sekaligus tradisi keraton. Terhadap fashion modern Barat, hibriditas dilakukan sebagai cara untuk dekolonialisasi terhadap pengaruh-pengaruh Barat yang dianggap tidak sesuai sepenuhnya dengan budaya Timur. Sementara terhadap tradisi keraton, hibriditas dilakukan sebagai bentuk desakralisasi agar lurik dapat dikonsumsi oleh sebanyak mungkin orang sebagai ekspresi individual, (4) hibriditas yang dilakukan pada fashion lurik kontemporer melahirkan identitas baru, yaitu penempatan lurik pada ruang dan gaya hidup urban secara lebih luas terutama terkait aksesnya pada situasi semiformal.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Priyo Pratikno. "Membaca Pesan YB Mangunwijaya Lewat Wastu Citra Berdasar Konsep Hibriditas dan Otentisitas." Talenta Conference Series: Energy and Engineering (EE) 3, no. 1 (September 30, 2020). http://dx.doi.org/10.32734/ee.v3i1.856.

Full text
Abstract:
Buku teks arsitektur setebal 352 halaman berjudul: ”Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis” terbit tahun 1987 merupakan karya besar YB Mangunwijaya. Buku ini menjadi penting diperbincangkan kembali karena hingga tahun ini, setelah 32 tahun kemudian, belum tergantikan dan masih relevan diajarkan di perkuliahan arsitektur maupun program studi seni pada umumnya. Berisi bagaimana arsitektur seharusnya diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat melalui kecerdasan lokal dan kekayaan budaya setempat. Pembacaan ulang Wastu Citra ini menggunakan konsep hibriditas dan otentitas yang dipopulerkan oleh Homi K Bhabha dengan maksud untuk mendapatkan penegasan bahwa buku ini merupakan cara bagaimana sebaiknya orang Indonesia berarsitektur. Sembari menggali kecerdasan lokal keindonesiaan ini Mangunwijaya ingin mengatakan bahwa konsep berarsitektur dari ’barat’ yang berkonotasi ’penjajah’ [baik secara fisik maupun secara mental hingga hari ini] perlu dikoreksi dengan menginterlepasinya melalui cara Bhabha menghibridkan pemikiran keindonesiaan. Disimpulkan bahwa Wastu Citra karya Mangunwijaya selain menggali khasanah dan pemikiran arsitektur Indo-nesia untuk masa depan, juga merupakan jalan untuk melakukan perlawanan menyingkirkan cara-cara berfikir yang tidak memerdekakan bangsa Indonesia dari cara berfikir liyan yang memang kontras berbeda. A 352-page architecture textbook entitled: "Wastu Citra, Introduction to Cultural Sciences Forms of Joint Architecture Philosophy and Practical Examples" published in 1987 is a major work of YB Mangunwijaya. This book is important to be discussed again because until this year, after 32 years later, it has not been replaced and is still relevant to be taught in architecture lectures and art study programs in general. Contains how architecture should be directed to the benefit of society through local intelligence and local cultural wealth. This re-reading of Wastu Citra uses the concepts of hybridity and authenticity popularized by Homi K Bhabha with the intention of getting confirmation that this book is a way for Indonesians to have an architecture. While exploring local Indonesian intelligence, Mangunwijaya wanted to say that the concept of architecture from the 'west' which connotes 'invaders' [both physically and mentally to this day] needs to be corrected by interrupting it by way of Bhabha hybridizing Indonesian thought. It was concluded that Wastu Citra's work by Mangunwijaya aside from exploring the treasures and thoughts of Indonesian architecture for the future, is also a way to take the fight to get rid of ways of thinking that do not liberate the Indonesian people from other ways of thinking that are in contrast.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Taula'bi', Dewi Sartika, Nensilianti Nensilianti, and Hajrah Hajrah. "Mimikri dan Hibriditas dalam Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur (Tinjauan Poskolonial)." Indonesian Journal of Social and Educational Studies 2, no. 2 (August 30, 2021). http://dx.doi.org/10.26858/ijses.v2i2.23162.

Full text
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bentuk-bentuk mimikri dan hibriditas dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur. Bentuk mimikri dan hibriditas diuraikan dengan menggunakan pandangan Homi K. Bhabha sebagai pisau bedah. Data penelitian ini diolah dengan tahapan identifikasi, klasifikasi, analisis dan interpretasi, serta deskripsi hasil temuan. Objek penelitian ini adalah teks-teks yang memuat bentuk mimikri dan hibriditas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, mimikri dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur ditemukan dalam bentuk pemikiran, sikap dan perilaku yang menggambarkan peniruan yang dilakukan oleh kaum terjajah untuk dapat merasakan superioritas kaum penjajah. Dengan melakukan peniruan tersebut, kaum terjajah merasakan bahwa mereka memiliki kuasa lebih dan berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum terjajah lainnya. Kedua, bentuk hibriditas yang ditemukan dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur yakni dalam bentuk pola pikir dan perilaku masyarakat yang berlomba-lomba menemukan jalan meniru dan membudayakan kebudayaan kolonial sebagai bentuk kebudayaan bayangan kolonial. Kebudayaan tersebut tidaklah asli namun tidak juga palsu melainkan tercipta dari pergeseran kebudayaan pribumi yang tidak dapat mencapai kebudayaan penjajah. Selain itu hibriditas tidak hanya berfokus pada hibriditas yang terjadi antar dua kebudayaan tetapi juga pada penempatan kebudayaan tersebut dalam kehidupan masyarakat. Kata Kunci: Mimikri, Hibriditas, Poskolonialisme
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

SETIAWAN, IKWAN. "CULTURAL HYBRIDITY AND ITS COMPLEXITY IN ESMERALDA SANTIAGO’S ALMOST A WOMAN." JENTERA: Jurnal Kajian Sastra 9, no. 2 (December 30, 2020). http://dx.doi.org/10.26499/jentera.v9i2.2495.

Full text
Abstract:
Abstrak. Tulisan ini mendiskusikan hibriditas dalam novel Almost A Woman karya Esmeralda Santiago. Novel ini menceritakan permasalahan kultural yang dialami Negi, tokoh utama, sebagai imigran Puerto Rico di New York, di mana ia harus mengapropriasi budaya Amerika agar bisa diterima oleh masyarakat induk. Untuk membahas permasalahan tersebut, kami akan menggunakan teori poskolonial Bhabha. Analisis tekstual digunakan untuk menjelaskan data terpilih dengan cara pandang poskolonial tanpa mengabaikan keterkaitan kontekstualnya dengan dinamika imigrasi dan diaspora. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tokoh utama harus menjalankan strategi kultural berupa mimikri dan hibriditas agar bisa diterima di masyarakat induk dan bisa mendukung impian modernnya. Meskipun menikmati budaya Amerika secara apropriatif, ia masih berusaha untuk tidak melupakan budaya Puerto Rico. Dengan strategi ini subjek diasporik bisa menegosiasikan kepentingannya di tengah-tengah masyarakat induk dan kuasa budaya dominan, tanpa harus meninggalkan sepenuhnya budaya Puerto Rico. Abstract. This paper discusses hybridity in Esmeralda Santiago’s Almost A Woman. This novel tells about cultural problems experienced by Negi, the main character, as a Puerto Rican immigrant in New York, where she must appropriate American cultures in order to be accepted by the host community. To discuss this problem, we will apply Bhabha's postcolonial theory. Textual analysis is used to explain selected data from a postcolonial perspective without ignoring its contextual relationship with the dynamics of immigration and diaspora. The results of this study show that the main character must carry out a cultural strategy in the form of mimicry and hybridity in order to be accepted in the parent community and be able to support his modern dreams. Despite enjoying appropriately American culture, she still tries not to forget Puerto Rican cultures. With this strategy the diasporic subject can negotiate its interests in the midst of the host society and the dominant cultural power, without having to completely abandon Puerto Rican culture.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography