Academic literature on the topic 'Arkeologit'
Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles
Consult the lists of relevant articles, books, theses, conference reports, and other scholarly sources on the topic 'Arkeologit.'
Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.
You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.
Journal articles on the topic "Arkeologit"
1
Iskandar, Naswan. "Kompleks Candi Kedaton sebagai Subjek Film Dokumenter: Interpretasi Arkeologis melalui film." IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, & Media Baru 13, no. 3 (December 5, 2022): 232–50. http://dx.doi.org/10.52290/i.v13i3.85.
Full textAbstract:
Tanda visual dapat diekstraksi dari catatan arkeologi mana pun hampir tanpa batas, tetapi seseorang arkeolog biasanya kesulitan untuk memformalkan kriteria signifikan untuk apa yang secara intrinsik "visual", bahwa fitur visual yang berbeda hampir pasti penting untuk penjelasan yang berbeda. Sementara pembuat film dihadapkan pada upaya berfokus pada proses interpretasi film dan terlibat dalam penyelidikan masalah bagaimana makna yang berbeda dari film yang sama dapat hadir dan hidup berdampingan. Pembuat film dihadapkan dengan film sebagai dunia dan penonton film sebagai penafsir, menganggap interpretasi relatif melekat dan kontekstual. Penelitian yang didasarkan pada praktik ini merupakan upaya memberikan kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi teoritis dan kritis pembuatan film dokumenter, serta menyoroti proses pembuatan film dokumenter arkeologis dalam sudut pandang akademis. Komponen praktis dalam penelitian ini adalah pembuatan film dokumenter dengan subjek kompleks Candi Kedaton di Situs Muarajambi sebagai tempat pembelajaran keagamaan Buddha pada masa lalu. Kajian ini menyelidiki bagaimana pergeseran paradigma baru dalam teknologi digital dan pembuatan film dokumenter dapat memungkinkan pembuat film akademis memproduksi film dokumenter arkeologis melalui pelibatan kreativitas dan subjektivitas sebagai bagian dari praktik akademis tanpa mengorbankan integritas interpretasi.
2
Kosasih, E. A. "Aspek Prasejarah Di Wilayah Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan." Berkala Arkeologi 18, no. 2 (November 11, 1998): 92–101. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v18i2.786.
Full textAbstract:
Untuk melacak lebih lanjut potensi arkeologis yang ada di wilayah Kalimantan Selatan --khususnya di Kabupaten Tabalong-- akan disajikan hasil-hasil penelitian prasejarah (dan tradisinya) yang telah dilakukan selama ini oleh Balai Arkeologi Banjarmasin bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hasil penelitian ini perlu diungkapkan, untuk lebih memahami potensi arkeologi di wilayah Kabupaten Tabalong.
3
Bintarto, H. R. "Keterkaitan Manusia, Ruang Dan Kebudayaan." Berkala Arkeologi 15, no. 3 (November 30, 1995): 1–4. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v15i3.663.
Full textAbstract:
Dimensi ruang dan waktu sangat berarti bagi penelitian arkeologi, karena kesinambungan arkeologi itu berjalan melalui proses waktu yang berdomisii di wilayah atau kawasan tertentu di muka bumi. Difusi arkeologis itu terjadi melalui periode waktu yang cukup lama dan melalui kondisi geografi yang bervariasi. Oleh karena itu studi ruang dalam arkeologi meliputi berbagai aspek kehidupan manusia masa lalu, baik ditinjau dari segi sosial-budaya, sosial-ekonomi maupun dari segi eko-teknologinya.
4
Atmani, Agnes Karina Pritha, and Mohammad Arifian Rohman. "Rekonstruksi 3D Landmark Memvisualisasikan Perkampungan Peradaban Kuno Situs Liyangan Temuan Balai Arkeologi Yogyakarta." Rekam 17, no. 2 (October 30, 2021): 175–86. http://dx.doi.org/10.24821/rekam.v17i2.6033.
Full textAbstract:
Selama pandemi COVID-19, keterbatasan akses publik menjadi pemicu peningkatan pelayanan edukasi sejarah dan budaya, khususnya bagi lembaga perpustakaan dan museum di Indonesia. Inovasi virtualisasi akses publik dengan menghadirkan akses terbuka bagi dokumen digital atau rekaman sejarah yang disajikan melalui jaringan internet. Tujuan penelitian menghadirkan kembali kondisi situs seperti pada masa kejayaannya dengan menggunakan metode visualisasi 3D. Rekonstruksi 3D dilakukan semi manual dengan memanfaatkan data temuan arkeologis di lapangan dan catatan sejarah atau temuan terkait dimensi dan kondisi tekstur artefak. Proses rekonstruksi 3D dibantu peneliti arkeologi Balai Arkeologi DIY, sehingga obyektivitas dan validitas data terjaga secara keilmuan di bidang Arkeologi. Adapun situs yang menjadi obyek penciptaan seni digital adalah Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah.Proses penciptaan rekonstruksi 3D landmark Situs Liyangan dilakukan dengan pengumpulan data arkeologis di Balai Arkeologi DIY dan di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah. Proses penciptaan diawali dengan permodelan aset, tekstur, dan perancangan tata letak. Produksi rekonstruksi 3D menggunakan perangkat lunak 3Ds Max dan mesin game Unreal sebagai penyaji antarmuka akses bagi pengguna berikut interaksinya. Hasil tersebut kemudian menjadi bahan evaluasi pengujian dan publikasi karya. Berdasarkan capaian tersebut, maka hasil akhir yang didapat adalah purwarupa rekonstruksi 3D landmark Situs Liyangan.
5
Kasnowihardjo, Gunadi. "Penelitian Dan Pengembangan Situs Permukiman Lingkungan Danau Di Jawa Timur: Satu Upaya Menjalin Kemitraan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi." Berkala Arkeologi 27, no. 2 (November 11, 2007): 1–9. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v27i2.948.
Full textAbstract:
Kejelian para arkeolog dalam menangani hasil penelitiannya sangat menentukan akan dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat luas. Hal inilah yang selama ini belum banyak terfikirkan oleh sebagian dari para ahli arkeologi kita. Kebanyakan hasil penelitian arkeologi berakhir pada Laporan Penelitian Arkeologi (LPA) ataupun Berita Penelitian Arkeologi (BPA) yang hanya terbatas dibaca oleh para pemerhati arkeologi termasuk mahasiswa jurusan Arkeologi atau sejarah yang memerlukan untuk kepentingan akademis. Dengan berupaya menjalin kemitraan dan kerjasama dengan berbagai sector dan kepentingan, mudah-mudahan jangkauan, pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan model penelitian arkeologi akan dapat lebih meluas dan lebih membumi.
6
Suriyanto, Rusyad Adi. "ARKEOLOGI FORENSIK: PERKEMBANGAN DAN CAPAIANNYA DI INDONESIA." Berkala Arkeologi 36, no. 1 (May 31, 2016): 45–70. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v36i1.224.
Full textAbstract:
Forensic archeology is defined as the application of archaeological principles and techniques in medico-legal and/or humanity context related to buried evidence. Forensic archaeologist has two roles, as the expert who unearth buried objects systematically and reconstruct them. This paper discusses the role of archeology and archaeologists in the excavation of criminal, humanitarian and disaster victims. Archaeologist’s role to revealpaleoanthropological materials smuggled and theft is also discussed in this paper. Humanitarian missions to investigate mass grave of victims of war, political strife and genocide in the past and the present are other archaeologist’s role discussed in this paper. The existence, condition and development of forensic archaeology in Indonesia emphasize the significance of new paradigm in Indonesian archaeology. Forensic archeology not merely focusess on the study of cultural materials of the past, education and museum development, cultural resource management and its advocacy, but it also has role in medico-legal works. Forensic archaeologist also engages in disaster victim identification (DVI) that addresses issues related to victims buried by either natural or human disasters.Arkeologi forensik didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip dan teknik-teknik arkeologis dalam konteks medico-legal dan/atau dalam konteks kemanusiaan yang berkaitan dengan bukti-bukti terkubur. Ahli arkeologi forensik berperan sebagai ahli yang mampu menemukan benda-benda yang terkubur secara sistematis dan merekonstruksi apa yang mereka temukan itu. Makalah ini mendiskusikan peran arkeologi dan para arkeolog dalam ekskavasi korban-korban kriminal, kemanusiaan dan bencana. Makalah ini berusaha melihat apa yang telah mereka kerjakan meliputi pembuktian kasus-kasus penyelundupan dan pencurian material-materialpaleoantropologis, dan keterlibatan dalam misi-misi kemanusian untuk penyelidikan dan pengungkapan korban-korban kubur massal akibat perang, pertikaian politik dan genosida di masa lalu dan masa kini.Keberadaan, kondisi dan perkembangan arkeologi forensik di Indonesia menegaskan pentingnya pengembangan paradigma baru dalam arkeologi Indonesia. Arkeologi tidak semata berkonsentrasi pada kajian material-material budaya masa lalu, pendidikan dan pengembangan museum, manajemen dan advokasi sumberdaya budaya, namun juga berperan untuk pekerjaan medico-legal. Ahli arkeologi forensik bahkan terlibat dalam disaster victim identification (DVI) yang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan para korban yang terkubur oleh beragambencana baik yang diakibatkan oleh alam maupun manusia.
7
Haryono, Timbul. "Arkeologi Kawasan Dan Kawasan Arkeologis: Asas Keseimbangan Dalam Pemanfataan." Berkala Arkeologi 15, no. 3 (November 30, 1995): 139–43. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v15i3.686.
Full textAbstract:
Meskipun studi arkeologi mempelajari masa lampau manusia berdasarkan atas benda-benda yang ditinggalkan, namun dalam pelaksanaannya studi arkeologi tidak cukup hanya berorientasi pada artefak saja. Artefak tinggalan manusia masa lampau tidak dapat dipisahkan dengan konteks ruang, baik dalam skala mikro maupun makro.
8
Kusumohartono, Bugie M. H. "Formasi Tinggalan Budaya Permukaan Situs Medowo." Berkala Arkeologi 11, no. 1 (March 28, 1990): 48–67. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v11i1.550.
Full textAbstract:
Potensi situs Medowo dikenali berdasarkan peninjauan arkeologik oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada bulan Agustus 1986. Di permukaan situs dijumpai berbagai tinggalan arkeologik, di antaranya tembikar, bata, terakota, keramik asing, lumpang batu, dan batu calon prasasti andesitik, yang sepintas memperlihatkan corak budaya Indonesia kuna (klasik). Berbagai tinggalan tersebut tersebar di area yang relatif luas dan merupakan petunjuk bahwa situs Medowo pernah berfungsi sebagai lokasi suatu pusat kegiatan pada periode Indonesia kuna.
9
Lelono, Hari. "Pola Mobilitas Pedagang Pasar Tradisional." Berkala Arkeologi 15, no. 2 (November 30, 1995): 35–44. http://dx.doi.org/10.30883/jba.v15i2.659.
Full textAbstract:
Penelitian arkeologis tentang pasar sebenarnya sangat menarik untuk dikaji dalam rangka rekontruksi budaya masyarakat masa lampau. llmu arkeologi di Indonesia tidak dapat melakukan sendiri penelitian tersebut dengan metode pendekatan arkeologi, tetapi perlu dukungan dari ilmu lainnya seperti sosiologi dan antropologi. Hal tersebut disebabkan belun ditemukan dalam ekskavasi situs pasar, oleh karena itu untuk menelusur benang merah adalah dengan melakukan anologi terhadap pasar tradisional yang masih ada pada beberapa daerah.
10
Prakosajaya, Abednego Andhana, and Aziza Dwimas Hendarini. "PENGARUH ETIKA DAN KEBIJAKAN ARKEOLOGI TERHADAP KETIADAAN PERAN ARKEOLOGI DALAM DISKUSI KONFLIK PASCA G/30/S 1965 DI INDONESIA." Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi 7, no. 1 (July 23, 2021): 45–60. http://dx.doi.org/10.24832/ke.v7i1.82.
Full textAbstract:
Abstrak. Konflik pasca G/30/S tahun 1965 merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang banyak menuai kontroversi di masyarakat luas bahkan hingga saat ini. Konflik ini menjadi perhatian luas bidang ilmu politik dan sejarah, namun dalam pengungkapannya dibutuhkan metode dan ilmu arkeologi untuk menjelaskan fenomena hasil konflik kontemporer di lapangan. Tiga permasalahan yang akan diajukan adalah sejauh mana keterlibatan arkeolog dalam konflik pascaG/30S, apakah etika dan kebijakan arkeologi menjadi pembatas keterlibatan arkeolog dalam kasus ini, dan bagaimana kebijakan serta etika arkeologi di luar negeri menanggapi kasus serupa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat alasan ketiadaan peran arkeologi terhadap kasus ini dan keterkaitannya dengan etika dan kebijakan arkeologi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dengan pengolahan data menggunakan analisis konten. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa ketiadaan peranan arkeologi dalam diskusi perkembangan narasi sejarah pascaG/30/S merupakan akibat dari kontradiksi kebijakan dan etika profesi arkeolog Indonesia dengan etika arkeologi secara luas. Penelitian ini berkesimpulan bahwa ketiadaan peran arkeolog dalam perkembangan diskusi narasi sejarah pascaG/30/S memiliki keterkaitan dengan penafsiran kebijakan dan etika profesi arkeologi di Indonesia yang dalam beberapa aspek bertolak belakang dengan etika ilmu arkeologi secara luas. Untuk mencapai peranan arkeologi yang diharapkan sebagaimana telah ditunjukan oleh negara lain dengan kasus serupa, dibutuhkan etika ilmu arkeologi yang lebih diprioritaskan dibandingkan kebijakan nasional dan etika profesi arkeologi.
Abstract. The post-G/30/S conflict in 1965 is part of Indonesia's history, which has drawn a lot of controversy in the wide community even today. This conflict has received wide attention in the fields of political science and history. The disclosure requires archaeological methods and science to explain the phenomenon of contemporary conflict results in the field. this article will discuss the extent to which archaeologists are involved in the post-G/30S conflict, whether archaeology ethics and policies are a barrier to archaeologists' involvement in this case, and how foreign archaeological policies and ethics respond to a similar matter. This study aims to understand the reasons for the absence of archaeology's role in this case and its relationship to archaeology ethics and policies in Indonesia. This study uses library research methods collected through documentation techniques with content analysis data processing. The results obtained indicate that the absence of archaeology's role in the discussion of the development of post-G/30/S historical narratives is the result of the contradictions between the policies and ethics of the Indonesian archaeologist profession with archaeology ethics in general. Archaeological ethics need to be considered so that archaeology can play a better role in post-G/30/S historical narratives.
Dissertations / Theses on the topic "Arkeologit"
1
Sköld, Jenny. "Med örat mot jorden : Att kommunicera arkeologi och arkeologisk forskning." Thesis, Uppsala universitet, Institutionen för arkeologi och antik historia, 2016. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:uu:diva-295828.
Full textAbstract:
The archaeological communication process can be hard to grasp. There are laws to take into consideration, not to mention the Government structure for culture and arts. This essay explains and simplifies the Swedish organizational communication with focus on archaeology. This study is aiming to clarify all the steps archaeological research needs to pass before reaching the public. The essay will also explore why it is important to communicate archaeological results, and if it reaches out to the extent that is expected. If it is not, the study will present examples of solutions and actions that can be taken to improve the mediation. The essay only investigates the archaeology process in Sweden. There are several Government institutions that are affected by the laws that protect ancient monuments, this study will at first hand observe the ones that have a direct effect on the archaeology communication process. By a survey, interviews and literature studies, the purpose with this study has become clear. The results have been reached by positivism and empiricism as theoretical basis. The literature consisted largely of writings on the subject communication theory, Swedish law and Government structure. The conclusion is that in the archaeology process, there are many factors that effects the outcome of archaeological mediation. Laws, “cultural goals” and several Government institutions has a saying in how, why and where the archaeological research findings are distributed. The PR-model chosen by Government institutions is often “The Public Information model”, but in this case there is no specific common model used by all the institutions that have an influence on the distribution of archaeological results. There is no survey done to show how the public are receiving the results given by “The Public Information model”. According to a small survey done to complete this essay there would be much to gain for all parts if the results of archaeological investigations used another model, or if the stakeholders could agree on the issue of how archaeological results should be communicated to the population. A factor that complicates this kind of work is the attitude in the governing body that considers culture (including archaeology) a non-commercial subject. As a result, archaeology is not seen as a brand that could be marketed. A factor that can affect the popularity for the subject.
2
Castilla, Lisa. "Arkeologi, urfolk och rätten : En studie av relationen mellan arkeologi, arkeologer, urfolk och rättsprocesser i Sverige och Kanada." Thesis, Uppsala universitet, Institutionen för arkeologi och antik historia, 2021. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:uu:diva-449588.
Full textAbstract:
Archaeological evidence has become an important part of the argument for the Indigenous peoples of several countries in legal proceedings concerning their rights. This thesis aims to explore how archaeologists and archaeological research are affected by acting as expert witnesses or being used as evidence in these proceedings. Another aim is to explore the differences and similarities between Sweden and Canada in these matters. The main material consists of interviews with seven archaeologists, four Swedish and three Canadian, whose research in various ways have been involved in legal proceedings concerning the rights of Indigenous peoples: The Sámi in Sweden and the Indigenous peoples of Canada. The analysis of the interviews is based on seven themes: awareness, impact, responsibility, experience, objectivity, archaeology and law and consequences. The result shows several things. It shows that the issue of archaeology in legal proceedings is a sensitive matter, and that the archaeologists have somewhat ambivalent feelings about it. It also shows that the involvement of archaeologists and archaeological evidence in these legal proceedings raises discussions about ethics, objectivity, and reputation. One conclusion to be drawn is that there is need for more open discussion and education on the subject.
3
Vallulv, Sophie. "Arkeologihund : En studie i experimentell arkeologi om möjligheten att använda hund som arkeologisk prospekteringsmetod för att lokalisera humanosteologiskt material." Thesis, Linnéuniversitetet, Institutionen för kulturvetenskaper (KV), 2015. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:lnu:diva-44093.
Full textAbstract:
In today’s archaeology there’s a growing need for non-invasive prospection methods. However there’s a methodological gap and what’s missing is a method for locating human bones. In this study a specially trained German shepherd is put through scientific tests determining how good the dog is at telling the different between the scent of human and animal bones. The dog is also tested in an outdoor environment to simulate an actual archaeological site. The tests in this study show that the dog can distinguish between the smell of human and animal bones with an accuracy of 94,2 % and that he can detect human bones in the field. Further tests need to be conducted to calibrate the method.
4
Delic, Admira. "Forensisk arkeologi : Har forensisk arkeologi en framtid i Sverige?" Thesis, University of Kalmar, School of Human Sciences, 2008. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:hik:diva-295.
Full textAbstract:
ABSTRACT
Delic, Admira. 2007. Forensisk arkeologi: Har forensisk arkeologi en framtid i Sverige?
(Forensic archaeology: Is there a future for forensic archaeology in Sweden? C-uppsats i arkeologi. Högskolan i Kalmar ht 2007)
This paper is about what forensic archaeology means, how the work is done, what methods are used in a forensic investigation. It is discussed whether there is any difference between how archaeologists and forensic scientists work. Interviews with archaeologists, an osteologists and a forensic scientist are made in order to get a wider perspective of the subject.
Keywords: Sweden, Forensic archaeology, criminal science, ostoelogy, AFFA
5
Helles, Benjamin, and Sara Hedman. "Arkeologin i nyhetsmedierna." Thesis, Stockholms universitet, Institutionen för journalistik, medier och kommunikation (JMK), 2011. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:su:diva-58909.
Full textAbstract:
I den här studien undersöks hur arkeologi framställs i svenska, tryckta nyhetsmedier. Arbetet har sina teoretiska utgångspunkter dels i att det arkeologiska fältet populariseras när det förekommer i nyheter, dels att allt meningsskapande sker utifrån institutionella diskursiva praktiker. Centralt är att relationen mellan nuet och det förflutna får effekter för synen på samhället och att arkeologi och kulturarv har stor betydelse för identitetsskapande. Med hjälp av kritisk diskursanalys som teoretisk fond och metod analyseras ett urval av artiklar som förekommit i storstädernas dagspress under det gångna året. Båda institutionerna, tidningarna samt arkeologfältet, producerar en dominerande diskurs som har ett marknadsanpassat och liberalt perspektiv utom då hotet mot kulturarvet står i fokus då tongångarna blir mer inriktade på konservativa värden såsom bevarande och beskyddande. Både de liberala och konservativa diskurserna reproducerar en icke-problematiserande syn på det förflutna och dagens förhållanden och får därför ideologiska bäringar. Studien ser en avsaknad av alternativa förklaringar – motbilder – som istället för att legitimera ifrågasätter gängse uppfattningar om både det samtida och förhistoriska samhället.
6
Borg, Julius. "Metalldetektorn som ett arkeologiskt redskap – ris eller ros? : En studie kring metalldetektorns bidrag till arkeologin med exempel från undersökningarna i Uppåkra och Gudme." Thesis, Umeå universitet, Institutionen för idé- och samhällsstudier, 2018. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:umu:diva-152564.
Full textAbstract:
The metal detector as an archaeological tool: good or bad? Over the past six decades, the metal-detector has taken both the public as the archaeology by storm. The amount of people that has started to use it both as a hobby and in their jobs, is consistently growing, and the finds that it has provided has been of great value to the archaeologists. This paper examines how the metal-detector has been used and what kind of information it has provided for archaeologists. Firstly, there will be a short presentation of the metal-detector as a tool where its history and function get depicted. Thereafter a short summary around the legislation concerning metal-detectors follows of both Sweden and Denmark, which will end with a comparison. Then, the archaeological excavations with metal-detectors that has taken place in Uppåkra and Gudme during the last 40 years gets presented. There will be a short historical comprehension around both places which is followed by the surveys that has been conducted with metal-detectors and some of the finds that has been made. Finally, there will be a short summary around the debate in Sweden whether the legislation concerning metal-detectors should be liberalized or not. The text will end with a discussion where the author talks about his thoughts of metal-detectors in archaeology.
7
Oikarinen, T. (Teija). "Arkeologia digitaalisen aikakauden kynnyksellä." Doctoral thesis, Oulun yliopisto, 2015. http://urn.fi/urn:isbn:9789526209746.
Full textAbstract:
Abstract Digitalisation is changing society and the sciences. In the future, it will increasingly affect Finnish archaeology and the preservation of cultural heritage data as a cross-cutting factor for materials and work practices. The research focused on the current state and characteristics of the digitalisation of both global and Finnish archaeology. This study is the first doctoral dissertation that discusses the digitalisation of Finnish archaeology. Technologisation and computerisation of archaeology have been going on for decades, but even in a global context, the concept of digitalisation is rarely attached to archaeological discussion of these trends. In this study, archaeology is examined through an interdisciplinary conceptual (theoretical) framework, which allowed comparison of the characteristics of digitalisation between global and Finnish archaeology. The aim was also to recognise digital development goals that may be either shared between various disciplines or specific to the field of archaeology. Archaeology was studied by utilising a variety of data sources and case examples. The answers to questions regarding digital development needs can be generalised to Finnish archaeology in its entirety. The evolution towards digitalisation of global archaeology is a consequence of the development of information technologies. The internal development of discipline and emerging needs have also contributed to it. Archaeological concepts and paradigms related to digital transition are partly internal and continuously evolving. Technological development is uneven at the global level: there are trailblazers who already utilise the latest technologies. These trailblazers are currently developing digital infrastructures of various sizes, even transnationally. This trend is common in various disciplines, and during research work, it was identified as a predominant trend of international archaeology. The internationally-recognised digital development goals of archaeology have not been widely discussed in Finland. Important areas of development include guidelines and best practices for digitality, understanding the importance of digital management and the digital data life-cycle, creating opportunities for the digitalisation of archaeological projects and processes, and providing access to original data collectionsTiivistelmä Digitalisaatio muokkaa yhteiskuntaa ja tieteitä. Se tulee vaikuttamaan yhä kattavammin Suomen arkeologiaan ja kulttuuriperinnön säilyttämiseen aineistot ja työkäytännöt läpileikkaavana tekijänä. Väitöstutkimuksessa kartoitettiin globaalin ja suomalaisen arkeologian digitalisoitumisen nykytilaa ja ominaispiirteitä. Tutkimus on ensimmäinen arkeologian digitalisaatiota käsittelevä väitöskirja Suomessa. Arkeologian teknologisoituminen ja tietokoneistuminen on jatkunut jo vuosikymmeniä, mutta yleismaailmallisestikin tämä kehityskulku liitetään aiheen tiimoilta käytävässä arkeologisessa keskustelussa vain harvoin digitalisaatio-käsitteeseen. Tutkimuksessa arkeologiaa tarkastellaan tieteidenvälisen käsitteellisteoreettisen viitekehyksen kautta, mikä mahdollisti globaalin ja Suomen arkeologian digitalisoitumisen ominaispiirteiden vertailun. Tutkimuksessa kartoitettiin sekä tieteenaloille yhteisiä että arkeologian alalla todennettuja digitaalisia kehittämiskohteita. Arkeologiaa tutkittiin erilaisten aineistolähteitä ja esimerkkitapauksia hyödyntäen. Digitaalisiin kysymyksiin saadut vastaukset ja digitaaliset kehittämistarpeet ovat yleistettävissä koskemaan koko suomalaista arkeologiaa. Globaali arkeologian kehitys kohti digitalisaatiota tapahtuu sekä yleisen informaatioteknologisen kehityksen että tieteenalan sisäisen kehityksen ja muotoutuvien tarpeiden myötä. Digitalisaatioon liittyvät käsitteet ja paradigmat ovat osin tieteen sisäisiä ja jatkuvasti uudelleenmuotoutuvia. Teknologisoitumisen kehityskulku on arkeologian globaalilla tasolla epätasainen: on olemassa edelläkävijätahoja, jotka hyödyntävät uusimpia teknologioita. Edelläkävijät kehittävät parhaillaan vaihtelevan laajuisia, jopa valtioiden välisiä, digitaalisia infrastruktuureja. Tämä kehityskulku on eri tieteiden aloille yhteinen, ja se tunnistettiin tutkimuksen teon aikana vallitsevaksi trendiksi kansainvälisessä arkeologiassa. Kansainvälisesti arkeologiassa todennetut kehittämiskohteet eivät ole olleet juuri esillä Suomessa. Tärkeitä kehittämisen aihealueita ovat digitaalisuuteen liittyvät ohjeet ja käytännöt, digitaalisen aineistonhallinnan ja elinkaaren merkityksen ymmärtäminen, projekteille ja prosesseille suunnattujen digitalisoitumismahdollisuuksien luominen ja niiden hyödyntäminen sekä alkuperäisten dataoriginaalien saatavuuden kehittäminen
8
Njord-Westerling, Peter. "Arkeologi och den senmedeltida ödeläggelsen." Thesis, Högskolan på Gotland, Institutionen för kultur, energi och miljö, 2011. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:hgo:diva-1112.
Full textAbstract:
This essay discusses the width of the late medieval desertion of farms in Sweden from an archaeological perspective. The object of the essay is to investigate if archaeological investigations and research during the last 10-15 years have changed the view of the late medieval desertion in relation to the Scandinavian research project on deserted farms and villages. The essay also deals with questions on causes to the desertion and when desertion occurred. An ambition of the essay is also to give a general picture of archaeological investigations during the last 10-15 years considering the late medieval desertion. The analyses-material consists mainly of reports from archaeological investigations. Most of the investigations analysed in this essay are investigations of single farms. Because of this it is natural these investigations do not say much about the width of the desertion. As long as an archaeological investigation is not a part of a large project, where the purpose is to show the width of the desertion, one cannot expect that one single investigation will give much information or knowledge about the width. However, if the ambition is to obtain a complete picture of a medieval deserted farm or village, this essay confirms that an archaeological investigation is necessary, willingly in an interdisciplinary cooperation.
9
Boström, Sebastian. "Kunskapsproduktion under Arkeologi E4 Uppland projektet." Thesis, Uppsala universitet, Arkeologi, 2017. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:uu:diva-336627.
Full text
10
Östrand, Anne. "Publik arkeologi från ett publikt perspektiv." Thesis, Uppsala universitet, Arkeologi, 2019. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:uu:diva-389851.
Full textBooks on the topic "Arkeologit"
1
Gustafsson, Anders. Arkeologihistoria som historia och som arkeologi: Studier i arkeologins egenhistorier. Göteborg: Göteborg University, Dept. of Archaeology, 2001.
Find full text
2
Sutaba, I. Made. Khasanah arkeologi: Pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Denpasar: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Bali, Balai Arkeologi Denpasar, 2005.
Find full text
3
1946-, Aziz Fachroel, ed. Cakrawala arkeologi. [Bandung]: Balai Arkeologi Bandung, 2000.
Find full text
4
Hardiati, Endang Sri. Nuansa arkeologi. Banten: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2003.
Find full text
5
Chahboun, Naima. Okunskapens arkeologi. Stockholm: Norstedts, 2011.
Find full text
6
Aris, Munandar Agus, ed. Mosaik arkeologi. [Bandung]: Ikatan ahli arkeologi indonesia, 2003.
Find full text
7
1971-, Akış Ayhan, and Kunt Halil İbrahim, eds. Zonguldak bölgesi arkeoloji, eskiçağ tarihi ve coğrafya araştırmaları: Arkeolojik yerleşmeler, kalıntılar, buluntular ile Kdz. Ereğli ve Amasra Arkeoloji Müzesi'nden bazı eserler. Konya: Çizgi Kitabevi, 2010.
Find full text
8
Diskusi, Ilmiah Arkeologi (2nd 1985 Jakarta Indonesia). Estetika dalam arkeologi Indonesia: Diskusi Ilmiah Arkeologi II. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987.
Find full text
9
Wahyudi, Wanny Rahardjo. Arkeologi: Identitas dan karakter budaya dalam kajian arkeologi. Jatinangor, Sumedang, Bandung: Alqaprint Jatinangor, 2012.
Find full text
10
Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti. Kontribusi arkeologi, kebijakan, dan pengembangan praktisnya: Bunga rampai arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, 2009.
Find full textBook chapters on the topic "Arkeologit"
1
Kroetsch, Robert. "4.1 An Arkeology of (My) Canadian Postmodern." In Comparative History of Literatures in European Languages, 307. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 1997. http://dx.doi.org/10.1075/chlel.xi.36kro.
Full text
2
Özdemir, Sibel. "Disiplinlerarası Bakış Açısıyla Arkeoloji ve Turizm Etkileşimi." In Turizm Araştırmaları II. Özgür Yayınları, 2023. http://dx.doi.org/10.58830/ozgur.pub399.c1564.
Full textAbstract:
Arkeoloji, turizme sağladığı katkıları, tarih ve kültürle sentezleyerek turistik destinasyonlara anlam ve derinlik kazandırma rolünde önemli bir işlev üstlenmektedir. Arkeolojik kazılar, geçmişin izlerini gün yüzüne çıkartarak turistlere benzersiz keşif fırsatları sunmaktadır. Bu bağlamda, ziyaretçiler antik kalıntıları inceleyerek sadece fiziksel olarak değil, aynı zamanda tarihi ve kültürel bağlamda zengin bir deneyim yaşamaktadırlar. Arkeolojik sitlerin turistik potansiyeli artırması, bir destinasyonun çekiciliğini güçlendirmekte ve buna bağlı olarak daha fazla ziyaretçiyi cezbetmektedir. Bu durum, turizmin ekonomik anlamda kalkınmaya olan katkısını artırarak yerel ekonomiyi canlandırmaktadır. Arkeoloji, turistlere sadece gezi fırsatı sunmakla kalmayıp, aynı zamanda rehberlik ve eğitim programları aracılığıyla ziyaretçilere bölgenin tarihine ve kültürüne dair derinlemesine bilgi edinme şansı vermektedir. Bu da turistlerin sadece tatillerini geçirmekle kalmayıp, aynı zamanda bilinçlenerek dönme potansiyelini artırmaktadır.
Sonuç olarak arkeoloji bilim, açısından turizm, bir bölgenin kültürünü, tarihini ve ekonomisini bir araya getirerek turistlere zengin bir deneyim sunmaktadır. Ancak, bu değerli dengeyi sürdürmek, arkeolojik zenginliklerin gelecek kuşaklara aktarılmasını ve turizmin sürdürülebilir bir şekilde yönetilmesini sağlamak adına hayati bir önem taşımaktadır. Bu bağlamda, arkeoloji ile turizm arasındaki ilişki, kültürel mirasın etkili bir şekilde korunması ve turistik deneyimin kalitesinin artırılması konularında önemli bir denge noktası oluşturmalıdır. Arkeolojik sitlerin sürdürülebilir bir şekilde yönetilmesi, turist akınına karşı korunması ve eğitim programları aracılığıyla ziyaretçilere bilinçli bir şekilde rehberlik edilmesi, bu dengeyi sağlamanın anahtar unsurlarıdır. Ayrıca, turizmin etkilerini yönlendirmek ve arkeolojik alanların korunmasını sağlamak için yerel topluluklar, sivil toplum kuruluşları ve turizm sektörü arasında işbirliği ve iletişim önemlidir. Bu sayede, turizm sürdürülebilir bir şekilde geliştirilirken, aynı zamanda arkeolojik mirasın değeri korunabilir ve gelecek nesillere aktarılabilir.
3
Güçlü, Eda. "Arkeoloji ve kent." In İstanbul Bİblİyografyası, 207–8. Institut français d’études anatoliennes, 2014. http://dx.doi.org/10.4000/books.ifeagd.833.
Full text
4
AYTEKİN, Osman. "ARDANUÇ - GEVHERNİK KALESİ ARKEOLOJİK KAZI ÇALIŞMALARI." In CUMHURIYETIN BIRINCI YÜZYILINDA ANADOLU’DA TÜRK DÖNEMI ARKEOLOJI ÇALISMALARI, 583–603. Türkiye Bilimler Akademisi, 2023. http://dx.doi.org/10.53478/tuba.978-625-8352-61-0.ch27.
Full textAbstract:
Ardanuç, one of the districts of Artvin province and located at the easternmost edge of the Eastern Black Sea Region, was conquered in 1551, during the reign of Suleiman the Magnificent, and joined the Ottoman lands. Until 1878, many Turkish- Islamic works were built and put into service of the society in today’s Adakale campus under Ottoman rule. The first mosque structure all across the province of Artvin was built in 1553 by Erzurum Governor Çerkez İskender Pasha, who conquered Ardanuç Castle and as it can be understood from the foundation certificate-charter dated 1565, continuation of the service was provided by donating commercial buildings, such as dye-house and arasta (shops), for the execution of mosque services. In 2012, Adakale was registered as an urban archaeological site, and Gevhernik Castle (İçkale) was registered as a first degree archaeological site. The inner castle attracts attentions with the remains of buildings such as medieval walls and churches, in Adakale; mosques, graveyards, madrasahs, tombs, baths, fountains, mansions and many civil architectural works have survived to the present day. Having adopted the conservation plan including Adakale and the Gevhernik Castle in 2023, it has been documented as having a distinct historical significance. ”Ardanuç-Gevhernik Castle Archaeological Excavations”, initiated by the scientific team headed by Dr. Lecturer Osman Aytekin on behalf of Van Yuzuncu Yil University and with the permission and support of the Ministry of Culture and Tourism in 2021, continues without interruption and is planned to continue for many years. In the 2021 excavation season, the interior and exterior excavations of the tombs located in the graveyard of the İskender Pasha Mosque were carried out, and important scientific data was obtained about for whom the tombs were built. It is understood that all three tombs belong to Meskhetian pashas and their family members in the 17th century. Since there are no inscriptions belonging to the graves in the burial ground, a definite definition could not be made. As for 2022, the city church, located at the lowest part of the Adakale, was studied. It has become clear that the church building, which has survived only at its foundation level, was probably built in the 9th century during the time of the Bagratlı Christian administration, which was dominant in the region. Contrary to what is said, the vaulted space in the southeast corner of the church, below the floor level, was found to be a cistern rather than a tomb structure. Apart from these, cleaning works have also been started in the city bath and fountain, which are now privately owned. Adakale; with restorations of immovable cultural assets after archaeological excavations, Artvin is expected to be one of the most important cultural and tourism areas. For more detailed information, please refer to the Extended Abstract at the end of the text
5
EZER, Feyzullah, and Ülkü ULUKAYA ÖTELEŞ. "Sosyal Bilgiler Eğitimi Antropoloji ve Arkeoloji İlişkisi." In Sosyal Bilgilerin Temelleri, 145–67. Pegem Akademi Yayıncılık, 2019. http://dx.doi.org/10.14527/9786052415740.09.
Full text
6
"Tekirdağ (Tekirdağ Arkeoloji ve Etnografya Müzesi) (555–950)." In Antike Münzen von Thrakien und Moesien, 73–114. De Gruyter, 2021. http://dx.doi.org/10.1515/9783110755619-007.
Full text
7
Sönmez, Barış Emre. "Philomelion’dan Roma İmparatorluk Dönemi Adak Hekate Heykelciği." In Sosyal Bilimler Üzerine Araştırmalar - II. Özgür Yayınları, 2023. http://dx.doi.org/10.58830/ozgur.pub56.c184.
Full textAbstract:
Bu çalışma Antik Dönem’de Phrygia Paroreia’sı olarak adlandırılan bölgede yer almakta olan bugün Konya iline bağlı Akşehir ilçesinde bulunan Konya Akşehir Müze Müdürlüğü’ne bağlı Nasreddin Hoca Arkeoloji ve Etnografya Müzesi’nde sergilenmekte olan Hekate heykelciğini kapsamaktadır. Eserin belli kısımlarında eksiklikler olmasına rağmen tek parça olarak bulunması ve özellikle baş kısmının korunması eseri değerlendirmemize olanak sağlamaktadır. Hekate heykelciği bölgede yerel kutsal alanların varlığını göstermektedir. Heykelcik için belirlenen tipolojik ve ikonografik özellikleri ile birlikte değerlendirildiğinde, bölgedeki ya da yerleşim yerindeki inanç yapısını ve adak kültürlerini belirlemek önemlidir. Heykelcik büyük bir olasılıkla ya ev içi bir külte ya da adak sunusu olarak kullanılmasına işaret etmektedir. Hekate heykelciği ikonografik ve stilistik değerlendirmesi yapılmış olup, M.S. 2. yüzyılın ilk yarısına tarihlendirilmesi için uygun görülmektedir.
8
Sastri Sunarti, Atisah, and Jonner Sianipar. "REKONSTRUKSI MAJAPAHIT DALAM CERITA LISAN NTB, KALIMANTAN SELATAN, DAN SUMATRA UTARA: PERSPEKTIF SEJARAH LISAN." In PROSIDING SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN SASTRA KEBINEKAAN DALAM PERSPEKTIF BAHASA DAN SASTRA. Penerbit BRIN, 2022. http://dx.doi.org/10.55981/brin.305.c417.
Full textAbstract:
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Rekonstruksi Jejak Majapahit dalam Cerita Lisantahun lalu dengan perluasan wilayah pengamatan data di tiga wilayah yakni Nusa Tenggara Barat(NTB), Kalimantan Selatan, dan Sumatra Utara. Penelitian mengenai Majapahit selama ini lebihbanyak dibahas dari sudut pandang sejarah dan arkeologi belaka. Aspek cerita lisan yang tersimpandalam ingatan para tetua adat dan masyarakat hampir belum pernah dibahas dan diteliti. Penelitianini bertujuan menggali cerita lisan Majapahit yang berada di luar pusat kekuasaan Majapahit diJawa (Trowulan) melalui pendekatan kualitatif dan kajian lapangan. Data digali dari informankunci dan informan pendukung dengan teknik wawancara mendalam serta perekaman audiodan visual. Cerita lisan yang berhasil dikumpulkan direkonstruksi untuk menemukan hubunganMajapahit dengan daerah penelitian. Cerita lisan dengan berbagai versi tersebut menggambarkanhubungan daerah penelitian dengan Majapahit pada masa lalu, termasuk sejarah lisan daerahitu sendiri. Rekonstruksi terhadap cerita lisan Jejak Majapahit ini juga memperkuat pandanganmengenai keindonesian kita sebagai bangsa bhari ini yang ternyata sudah dibentuk sejak kehadiranMajapahit di Nusantara dan bukan dibentuk oleh penjajah Belanda sebagaimana yang diajarkandalam sejarah tertulis selama ini di ruang sekolah.
9
Balogh, Csılla. "Bir Avar Soylu Kadın Başlığının Orta Asya İlişkileri – Arkeolojik ve İkonografik İncelemesi." In 9. Milletlerarası Türkoloji̇ Kongresi̇ Bildiriler Kitabi, 171–94. Istanbul University Press, 2023. http://dx.doi.org/10.26650/pb/aa10aa14.2023.001.014.
Full text
10
BAŞ, Gülsen. "ESKİ VAN ŞEHRİ KAZISI." In CUMHURIYETIN BIRINCI YÜZYILINDA ANADOLU’DA TÜRK DÖNEMI ARKEOLOJI ÇALISMALARI, 299–325. Türkiye Bilimler Akademisi, 2023. http://dx.doi.org/10.53478/tuba.978-625-8352-61-0.ch14.
Full textAbstract:
Old Van is located approximately 5 km west of the current city settlement, east of Lake Van. The city, which was the capital of the Urartian civilization, was used uninterruptedly until the beginning of the 20th century, and then became abandoned and ruined. Most of the architectural structures known today in the city, where many cultures left their mark, belong to the Middle Ages and Ottoman periods. The city has an intertwined and congested architectural texture shaped around the main roads running east-west and north-south and the narrow streets connecting to these roads. When city photographs taken at the beginning of the 20th century are examined, it is seen that the urban texture of Van consists of adjacent mud brick buildings, except for a few monumental buildings with stone architecture. Past research on Old Van has largely focused on the city’s archaeological phases before Christ. The first systematic excavation work in Old Van was carried out in the Ulu Mosque by Oktay Aslanapa between 1970 and 1972. The project, which was launched in 2022 regarding Old Van, aims to transform the city into a holistic cultural value. Within the scope of the project, which includes excavation, conservation, restoration, reconstruction, re-functioning and landscaping works, to make correct scientific interventions to the architectural structures that have survived to the present day within the urban fabric; It is aimed to obtain findings about the cultural history of the region through archaeological excavations and to revitalize the society’s perception of Old Van. In the excavations carried out in 2022 with the official permission of the Ministry of Culture and Tourism, the southern inner wall and the original road network of the city were studied. The inner wall displays a stronger architecture than the outer wall, with its adobe-filled and stone-covered structure. The outer wall has not survived to the present day. It has been understood that the walls have been subjected to a lot of intervention due to their role in defending the city throughout history. While the location of the circular and quadrangular bastions on the walls, which had to be constantly renewed, were clearly determined through excavations, some new data was also obtained about the entrance gates through which the city was entered. The need for new building types in the 19th century caused the architectural texture to extend beyond the city walls. The tight texture within the city resulted in the construction of small spaces even at the base of the city walls. It has been determined that the spaces created with adobe architecture were functional for civilian life and military purposes. While some findings indicating a blacksmith workshop were associated with civilian commercial life, traces of attack, fire and burnt documents found in a place unearthed near the Aziziye Barracks at the western end of the city revealed new thoughts that this place could be a document recording and storage unit. During the studies, groups of finds were encountered, most of which date back to the Ottoman period. Most of these are glazed and unglazed ceramic pieces that represent examples of daily use items of the civilian population. Additionally, Ottoman bronze coins, tobacco pipes, metal items, cannonballs and shrapnel, and burnt pieces of paper are among the artifacts recovered. For more detailed information, please refer to the Extended Abstract at the end of the text
Conference papers on the topic "Arkeologit"
1
"Photography in Indonesian Archaeology of the 19th to the Early 20th Century | Fotografi dalam Arkeologi Indonesia pada Abad ke-19 sampai Awal Abad ke-20 Masehi." In The SEAMEO SPAFA International Conference on Southeast Asian Archaeology and Fine Arts (SPAFACON2021). SEAMEO SPAFA, 2021. http://dx.doi.org/10.26721/spafa.pqcnu8815a-28.
Full textAbstract:
In Dutch East India, photographic documentation for antiquities was as up-to-date as in Europe that was developed in the last half of the 19th century. Photography became a tool for archaeological surveys which resulted in thousands of enormous resources. In this paper, the historical background regarding how these old photographs were collected and how the material circulated within archaeological activities will be elaborated. The timeline studied is limited to pre-independence Indonesia with the subject mostly focused on Hindu-Buddhist remains. The method used is literature review of both relevant new publications as well as significant old publications. Its turns out that photographic surveys of archaeology in Indonesia during the colonial period developed from early archaeological activities into systematic institutional programs. The qualities of photography were appreciated in miscellaneous application and offered substantial benefits. Photography became a documentation medium, publication complementary, archive, and object representation and substitution. This historical background of photography in the context of Indonesian archaeology marks the significant value of these photographs so that it can be the foundation of preservation for the future. Di Hindia Belanda, dokumentasi fotografis pada tinggalan purbakala sangat mutakhir sebagaimana di Eropa yang dikembangkan sejak paruh terakhir abad ke-19 M. Fotografi menjadi perangkat untuk survei arkeologi yang menghasilkan ribuan sumber daya. Dalam tulisan ini, latar belakang sejarah terkait pengumpulan foto lama tersebut serta penggunaannya dalam berbagai aktifitas arkeologi akan dijabarkan. Lini masa yang dikaji dibatasi pada Indonesia pra-kemerdekaan dengan subjek yang berfokus pada tinggalan Hindu-Buddhis. Metode yang digunakan adalah kajian pustaka, baik terbitan terbaru yang relevan maupun terbitan lama yang penting. Ternyata survei fotografi pada arkeologi Indonesia selama periode kolonial berkembang sejak aktifitas arkeologis yang masih dini hingga menjadi program institusi yang sistematis. Kualitas fotografi juga diapresiasi dalam beragam penerapan serta menawarkan manfaat yang substansial, Fotografi menjadi media dokumentasi, pelengkap publikasi, arsip, serta representasi dan substitusi objek. Latar belakang sejarah fotografi dalam konteks arkeologi Indonesia semacam ini menjadikan nilai penting dari foto-foto tersebut sehingga dapat dijadikan fondasi dalam pelestarian untuk masa depan.
2
Agirre Mauleon, Juantxo, Mikel Edeso Egia, Manex Arrastoa Mendizabal, Josu Narbarte Hernández, Dani Ruiz González, Mattin Aiestaran De la Sotilla, and Oihane Mendizabal Sandonís. "Arkeologia eta auzolana. Hamar urteko esperientzia bat Nafarroan." In V. Ikergazte. Nazioarteko ikerketa euskaraz. Bilbao: UEU arg, 2023. http://dx.doi.org/10.26876/ikergazte.v.02.19.
Full text
3
Widianto, Harry, and Sofwan Noerwidi. "DIASPORA AUSTRONESIA DI INDONESIA BERDASARKAN TINGGALAN RANGKA MANUSIA." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.2.
Full text
4
Hendayana, Yayat. "TEKS DAN KONTEKS DALAM JEJAK BUDAYA TAKBENDA STUDI KASUS: BABASAN DAN PARIBASA SUNDA." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.24.
Full textAbstract:
Babasan (perumpamaan) dan paribasa (peribahasa) yang terdapat dalam bahasa Sunda, merupakan warisan budaya takbenda yang masih tetap hidup dan digunakan oleh masyarakat Sunda hingga saat ini. Bahasa Sunda termasuk rumpun bahasa-bahasa Austronesia, yang mempunyai hubungan erat dengan rumpun bahasa Austro-Asia. Keduanya disebut sebagai rumpun bahasa Austris. Bahasa Sunda merupakan anggota dari keluarga bahasa yang besar dan penting sekali di dunia. Bahasa Sunda mengenal tiga tahapan perkembangan, yaitu bahasa Sunda Buhun (kuno), bahasa Sunda Klasik (peralihan) dan bahasa Sunda Kiwari (Masa Kini), yaitu bahasa Sunda yang mulai digunakan sejak tahun 1900-an, ketika kolonialisme Belanda mulai melancarkan politik balas budi (politik etis). Sejak saat itulah awal mula berkembangnya perumpamaan dan pribahasa dalam bahasa Sunda, yang masih tetap digunakan di zaman kini. Babasan dan paribasa tersebut merupakan teks yang diciptakan oleh para leluhur (Sunda) ketika itu, yang sudah tentu disesuaikan dengan kebutuhan zamannya, dengan konteksnya. Zaman sudah berubah. Konteks pun berubah pula. Babasan dan paribasa produk para leluhur Sunda itu tentu saja tidak semuanya cocok untuk digunakan pada masa sekarang, yang sudah jauh berubah dari masa lalu. Pikiran bahwa semua produk masa lalu bersifat adiluhung (berkualitas sangat tinggi) tidak sepenuhnya benar.. Terhadap babasan dan paribasa yang merupakan produk masa lalu itu harus dilakukan langkah-langkah penyesuaian bertahap agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari zaman kini. Langkah-langkah bertahap itu ialah: (1) reseleksi, (2) redeskripsi, (3) reorientasi, dan (4) reimplementasi.
5
Susilowati, Nenggih. "GAMBARAN NILAI TRADISI AUSTRONESIA PADA MASYARAKAT MINANGKABAU DI SALIMPAUNG, KABUPATEN TANAH DATAR, PROVINSI SUMATERA BARAT." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.8.
Full textAbstract:
Penutur Bahasa Austronesia diketahui sebagian tersebar di beberapa wilayah nusantara, diantaranya Sumatera Barat. Sebagian jejak tinggalan arkeologisnya terdapat di Nagari Situmbuk, dan Nagari Supayang, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar. Kedua nagari tersebut menjadi miniatur tempat berkembangnya budaya yang menggambarkan nilai – nilai tradisi Austronesia. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui ciri perkembangan tradisi Austronesia pada bangunan tradisional dan artefaknya. Selain itu juga menggali nilai-nilai tradisi Austronesia pada masyarakat Minangkabau yang berada di wilayah Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan alur penalaran induktif. Data-data diperoleh melalui kegiatan survei dan ekskavasi, dengan memperhatikan kerangka bentuk, ruang, dan waktu, meliputi konteks temuan serta lingkungan alam dan budayanya. Keberadaan artefak, situs, dan kawasannya membentuk bingkai budaya yang menggambarkan keberadaan nilai-nilai tradisi Austronesia pada masyarakat Minangkabau. Nilai-nilai itu diantaranya nilai-nilai kepemimpinan, kegotongroyongan, demokrasi yang berkaitan dengan unsur religi, matapencaharian bidang pertanian dan tradisi sirih.
6
Kasnowihardjo, Gunadi. ""MELACAK JEJAK BUDAYA AUSTRONESIA DI KAWASAN PANTURA P. MADURA PADA MASA PRASEJARAH – PROTOSEJARAH "." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.3.
Full textAbstract:
Terinspirasi oleh teori “Out of Taiwan” atau “Express Train Hypothesis”, bahwa imigran penutur bahasa Austronesia mencapai Pulau Jawa kira-kira 500 BC. Melacak jejak budaya Austronesia di kawasan pantai utara Pulau Madura ini adalah penelitian lanjutan dari tema penelitian “Melacak Jejak – Jejak Budaya Austronesia di Kawasan Pantai Utara Jawa”. Dalam pelacakan jejak budaya Austronesia digunakan tiga kajian yaitu Geomorfologi, Arkeologi, dan Etnografi yang dilakukan dengan kegiatan lapangan yaitu survey dan ekskavasi. Sedangkan kegiatan pasca lapangan antara lain analisis laboratorium yang hasilnya sebagai data pendukung dalam interpretasi.
7
Yondri, Lutfi. "PENELITIAN JEJAK MANUSIA DAN BUDAYA AUSTRONESIA DI SITUS SUBANGLARANG, KABUPATEN SUBANG PANTAI UTARA JAWA BARAT." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.6.
Full textAbstract:
Proses awal penghunian rumpun Austronesia di wilayah Jawa bagian barat atau khususnya Jawa Barat sampai sekarang masih menjadi misteri. Sebagian ahli berpendapat hal itu sulit ditemukan disebabkan karena situs-situs neolitik awal di pantai utara Jawa Barat telah terkubur oleh di bawah endapan aluvial. Gagasan untuk pencarian lokasi awal pendaratan Masyarakat Austronesia di pantai Utara Jawa sudah dikembangkan sejak beberapa tahun belakangan, termasuk yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada November 2015 di daerah Cilamaya (Karawang). Lokasi lain yang patut diduga sebagai bagian dari kawasan hunian awal dari pendaratan Austronesia di masa lalu adalah situs Subanglarang, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Lokasi tersebut berada di kawasan aliran sungai yang cukup ideal sebagai lokasi hunian pada masa lalu dan berada di ketinggian garis pantai yang termasuk dalam penafsiran para ahli sebagai lokasi hunian masyarakat berbudaya Austronesia pada masa lalu. Untuk menjajaki tinggalan tersebut dilakukan survey dan ekskavasi. Dari hasil dua kegiatan tersebut memberikan beberapa bukti arkeologi berupa sisa rangka manusia dengan temuan serta berupa gigi babi, tembikar selip merah, beliung persegi, dan manik-manik dari berbagai bahan, bentuk, ukuran dan bahan yng terkait erat dengan keberadaan budaya Austronesia pada masa lalu di lokasi tersebut.
8
Ken Satya Dien, Zukhrufa. "INTERAKSI BUDAYA ANTARA AUSTRONESIA DENGAN NON AUSTRONESIA MEMENGARUHI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DI MASA AUSTRONESIA." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.19.
Full textAbstract:
Indonesia merupakan salah satu bagian dari peradaban Austronesia. Sebelumnya peradaban Austronesia berasal dari Taiwan yang mana teori mengenai ini banyak diikuti oleh peneliti yang mendukung adanya peradaban budaya Austronesia. Populernya teori tersebut tidak lepas dari dukungan data linguistik, antropologi, DNA, pertanggalan dan data dari arkeologis. Interaksi antar budaya yang kolonisasi Austronesia di Kepulauan Indonesia dapat dirangkum dalam kebudayaan masa neolitik datang di Kepulauan Indonesia, budaya tersebut di bawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia. Akibat dari peristiwa tersebut, terjadi perkembangan budaya Neolitik di Kepulauan Indonesia, terjadinya evolusi dan interaksi antara masyarakat pendatang Austronesia dengan komunitas Non Austronesia yang telah menghuni kawasan ini sejak masa sebelumnya. Ketika masyarakat Austronesia datang di kawasan Non Austronesia, komunitas Non Austronesia juga telah memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama dengan bangsa Austronesia bahkan lebih bersifat adaptif dalam beberapa penguasaan teknologi seperti alat kerang dan alat tulang, teknologi pelayaran, teknologi dalam pembudidayaan tanaman umbi-umbian.
9
Fitriani, Rani Siti, and Riva Nabila. "INTERFERENSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI RUMPUN BAHASA AUSTRONESIA." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.22.
Full textAbstract:
Perubahan sosial budaya di masyarakat membawa perubahan pada perkembangan bahasa Indonesia sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Interferensi bahasa Indonesia merupakan salah satu bentuk dari perkembangan bahasa Austronesia yang terjadi pada penutur bilingual atau multilingual dalam masyarakat heterogen. Interferensi dipengaruhi oleh tiga usur yaitu, bahasa sumber, bahasa resipien, dan importasi. Penelitian ini untuk mendeskripsikan interferensi bahasa Indonesia ditinjau dari gejala bahasa. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah interferensi Weinreich (1968) dan teori tentang akar melayu Mahayana (2010). Data kebahasaan yang dijadikan sumber penelitian ini diperoleh dengan teknik pengumpulan data berupa, wawancara, simak, Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interferensi dalam bahasa Indoenesia sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bentukan kata seperti penghilangan fonem dan penambahan fonem.
10
Hermawan, Iwan. "TRANSPORTASI DI TATAR SUNDA." In Seminar Nasional Arkeologi 2019. Balai Arkeologi Jawa Barat, 2020. http://dx.doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.17.
Full textAbstract:
Pengangkutan merupakan salah satu bentuk upaya manusia dalam menjalani kehiduan di muka bumi dan kegiatan ini telah berlangsung secara turun temurun, termasuk pada masyarakt Sunda. Proses pengangkutan yang berkembang di masyarakat akan dipengaruhi oleh barang yang harus diangkut dan waktu serta jarak tempuh. Kondisi ini mendorong perkembangan teknologi pengangkutan. Pengangkutan secara individual (dijinjing, dijunjung, atau dipikul) berkembang dengan memanfaatkan gerobak ketika jumlah barang yang harus diangkut lebih banyak. Perkembangan teknologi pengangkutan semakin berkembang ketika tenaga mesin mulai diaplikasikan di sarana angkutan. Kondisi ini mendorong meningkatnya volume barang dan penumpang yang diangkut, serta waktu tempuh semakin cepat dan jarak tempuh semakin jauh. Perkembangan teknologi pengangkutan tersebut, tidak secara total menggantikan peran teknologi angkutan tradisional di tengah masyarakat namun saling melengkapi.