Journal articles on the topic 'Agama filsuf tasawuf sufi'

To see the other types of publications on this topic, follow the link: Agama filsuf tasawuf sufi.

Create a spot-on reference in APA, MLA, Chicago, Harvard, and other styles

Select a source type:

Consult the top 39 journal articles for your research on the topic 'Agama filsuf tasawuf sufi.'

Next to every source in the list of references, there is an 'Add to bibliography' button. Press on it, and we will generate automatically the bibliographic reference to the chosen work in the citation style you need: APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver, etc.

You can also download the full text of the academic publication as pdf and read online its abstract whenever available in the metadata.

Browse journal articles on a wide variety of disciplines and organise your bibliography correctly.

1

Rahmawati, Desty, and Resti Abidah Sulistyaningrum. "Kepemimpinan Sufistik Menurut Perspektif Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah." Spiritualita 7, no. 1 (June 30, 2023): 14–25. http://dx.doi.org/10.30762/spiritualita.v7i1.1010.

Full text
Abstract:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepemimpinan sufistik menurut perspektif Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan menguraikan tentang karakteristik kepemimpinan mnurut kedua tokoh sufi tersebut. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu terdapat benyak persamaan mengenai kepemimpinan Al Ghazali dengan Ibnu Taimiyah. Karakteristik pemimpin menurut keduanya memiliki persamaan yaitu amar ma’ruf nahi munkar, adil, dan berdasar pada Al Qur’an dan Hadits Sedangkan perbedaan kepemimpinan keduanya terletak pada pada proses pola pikir mereka. Al Ghazali yang merupakan seorang filsuf dan salah satu tokoh tasawuf menekankan pada akal dan batin yang dibuktikan bahwa terdapat 3 poin kepemimpinannya yang berisi intelektual, agama, dan akhlak. Sedangkan Ibnu Taimiyah menekankan pada hukum-hukum fiqh yang mengharuskan sebuah kepemimpinan itu mengikuti hukum Islam seeprti zakat, qurban, dan infaq.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
2

A. Samad, Sri Astuti, Abidin Nurdin, Munawwarah Samad, and Fihriani Gade. "AGAMA DAN PROBLEMATIKA MASYARAKAT: FUNGSI TASAWUF DALAM PENDIDIKAN, SOSIAL DAN AKHLAK." Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) 5, no. 1 (June 30, 2024): 111. http://dx.doi.org/10.29103/jspm.v5i1.15042.

Full text
Abstract:
Islam entered the archipelago peacefully brought by Sufi scholars and is influential to this day. Sufism is a dimension of Islamic teachings that is able to answer the problems of society from the past to the present. Sufi scholars also fought against colonialism supported by Sufi brotherhood or tariqa in which there was a concept of obedience to the teacher. The reformulation of classical Sufism which is individual, personal, is important enough to become a communal collective. This article is a qualitative study analyzed using the perspective of sociology of religion. Today, Sufism remains important in various aspects of education, social movements, and moral improvement. If using the perspective of sociology of religion, Sufism is able to provide spirit and strength to humans so that Sufism values transform for the better. The values of Sufism in question are for example, qana'ah, patience, gratitude which provide solutions to the problems of human life. Not only limited to educational, social and moral improvement aspects but more than that.Islam masuk ke Nusantara secara damai dibawa oleh para ulama sufi dan berpengaruh sampai saat ini. Tasawuf merupakan dimensi ajaran Islam yang mampu menjawab problematika masyarakat sejak pada masa lalu sampai sekarang. Ulama sufi juga melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang didukung oleh persaudaraan sufi atau tarekat yang di dalamnya terdapat konsep ketaatan pada guru. Reformulasi tasawuf klasik yang bersifat individual personal cukup penting menjadi kolektif komunal.Artikel ini merupakan studi kualitatif yang dianalisis dengan menggunakan perspektif sosiologi agama. Saat ini kemudian bangsa Indonesia semakin maju sufisme tetap menjadi sesuatu yang urgen dalam berbagai aspek pendidikan, gerakan sosial, dan perbaikan akhlak. Jika menggunakan perspektif sosiologi agama, bahwa tasawuf mampu memberikan spirit dan kekuatan pada manusia sehingga nilai-nilai tasawuf bertransformasi ke arah yang lebih baik. Nilai-nilai tasawuf yang dimaksud misalnya, qana’ah, sabar, syukur yang memberikan solusi problematika kehidupan manusia. Tidak hanya sebatas aspek pendidikan, social dan perbaikan akhlak akan tetapi lebih dari itu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
3

Widayani, Hana. "MAQAMAT (TINGKATAN SPIRITUALITAS DALAM PROSES BERTASAWUF)." EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis 8, no. 1 (June 2, 2019): 11. http://dx.doi.org/10.29300/jpkth.v8i1.2023.

Full text
Abstract:
Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian Islam yang menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji. Ia merupakan salah satu tema yang mendapatkan perhatian luas baik di kalangan peneliti muslim, maupun non-muslim. Namaun demikian, hal ini pada akhirnya mempunyai konsekuensi tersendiri terhadap pemahaman tasawuf, yang terkadang bertentangan dengan pemahaman para pengamal tasawuf, dalam hal ini adalah sufi. Sebagaimana pendapat Nicholson misalnya, yang menyatakan bahwa salah satu maqamat yang ada di dalam tasawuf, yaitu az-Zuhd, merupakan ajaran yang juga telah dipraktikan dan ditemukan dalam penganut agama yang lain, dalam hal ini adalah Kristen. Tulisan ini akan berupaya membahas konsep maqamat dan ahwal dalam perspektif para sufi dalam proses bertasawufnya, yang bertujuan untuk melihat apakah konsep maqamat dan ahwal ini mendapatkan pengaruh dari agama lain di luar Islam, atau justru sebaliknya bahwa ia muncul secara original dari ajaran Islam itu sendiri.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
4

Sumarjoko, Sumarjoko, and Hidayatun Ulfa. "Pandangan Islam Terhadap Seni Musik (Pergolakan Pemikiran Hukum Islam dan Tasawuf)." Syariati : Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hukum 4, no. 02 (November 1, 2018): 203–12. http://dx.doi.org/10.32699/syariati.v4i02.1177.

Full text
Abstract:
Kesenian dalam filsafat hukum Islam (uṣûl fiqh) menduduki tingkat tersier(tahsîniyah). Secara khusus kesenian juga menjadi bagian objek keindahan dalam filsafat estetika. Keberadaan kesenian meskipun hanya tingkat penyempurna dikalangan fuqaha (ahli fiqh) tetapi bagi kaum sufi (ahli tasawuf) sangat berkaitan dengan nilai Ilahiah. Kesenian juga memiliki peran besar terhadap kemajuan budaya dan peradaban umat Islam. Al-Qur’an sebagai kalam Ilahi juga memiliki dimensi keindahan dan sumber inpirasi kesenian yang sangat representatif. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkapkan hal-hal keindahan. Meskipun demikian, ulama muslim berbeda pendapat tentang kesenian secara umum. Ulama yang paling terbuka (inklusif) terhadap kesenian mayoritas dari kalangan para filsuf dan sufi. Golongan ulama ini lebih memandang seni dari estetika yang terkandung dalam subtansi. Estetika merupakan bagian penting dari filsafat dan tasawuf. Sedangkan golongan ulama yang eksklusif dan sangat membatasi seni adalah kalangan ahlifiqh/hukum Islam (fuqaha). Ketegangan kedua golongan ulama ini disebabkan adanya prioritas antara legal formal dan subtansi. Fuqaha lebih mengutamakan legal formal berdasarkan nash atau teks al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan Ulama sufi lebih memilih subtansi ajaran Islam secara umum.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
5

Maisyaroh, Maisyaroh. "TASAWUF SEBAGAI DIMENSI BATIN AJARAN ISLAM." At-Tafkir 12, no. 2 (December 4, 2019): 141–51. http://dx.doi.org/10.32505/at.v12i2.1243.

Full text
Abstract:
Islam merupakan agama yang memiliki dimensi internal yang disebut dengan al-ihsan. Sebagai dimensi internal Islam, para ahli memberikan respons berbeda terhadap ajaran para sufi. Sebagian ahli menerima tasawuf sebagai dimensi batin dari ajaran Islam, dan sebagian ahli mengkritik bahkan menolak ajaran tasawuf tertentu karena mereka menilai bahwa ajaran tasawuf bukan berasal dari Islam. Artikel ini mengkaji tasawuf sebagai dimensi batin ajaran Islam. Studi ini merupakan hasil kajian kepustakaan dimana data diperoleh dari kegiatan studi dokumen. Studi ini mengajukan temuan bahwa tasawuf merupakan dimensi ajaran Islam. Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lahir dari peradaban Islam, dan sumber ajarannya berasal dari Alquran dan hadis. Memang para orientalis cenderung menyebutkan bahwa ajaran Kristen atau agama lain menjadi pendorong kelahiran tasawuf di dunia Islam, tetapi para ahli dari kalangan Islam menolak pendapat mereka.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
6

Nuralim, Iik, and Dony Khoirul Azis. "INTEGRASI AGAMA DAN BUDAYA MODEL TASAWUF." Tasamuh: Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (April 5, 2023): 1–17. http://dx.doi.org/10.47945/tasamuh.v15i1.801.

Full text
Abstract:
Abstrak Di dunia Islam, perkembangan tasawuf tampaknya dimulai dari aktivitas individu para ahli sufi. Mereka hampir tidak memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan mereka kepada orang lain. Sebab, tasawuf sebenarnya tidak tepat disebut ilmu dalam arti ia terdiri atas fakta-fakta empiris, logis, rasional, dan sistematis. Tasawuf paling tepat digambarkan sebagai kumpulan pengalaman berkomunikasi dengan Nur Ilahi yang penuh cita rasa dan memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk kehidupan yang menghindari kemewahan, menghabiskan waktu untuk beribadah, ingin bertemu Tuhan dan siap sedia dalam segala hal. waktu. dipanggil kepada Tuhan. Integrasi agama, tasawuf dan budaya ke dalam hubungan mereka akan menunjukkan Perkara sama. Begitu pula yang tercantum dibudaya, karena budaya adalah penjelmaan, yang diproduksi, dibentuk dan diatur dalam suatu lembaga. Sehingga sebenarnya agama selalu serupa dengan budaya, karena tradisi adalah ungkapan kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang sakral. Apabila interaksi agama dan budaya dikedepankan sebagai bentuk interpretasi budaya, akibatnya seluruh ranah agama terkait dengan kreativitas manusia. Maksudnya adalah kebenaran yang dipercayai oleh setiap orang sebagai "kebenaran" pada hakekatnya hanya terbatas pada apa yang dapat ditafsirkan dan diungkapkan orang tentang "kebenaran", Tuhan itu mutlak. Kata Kunci: Integrasi Agama, Budaya, Tasawuf.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
7

Maola, Mochammad. "Sufisme Ibnu Arabi dalam Resepsi Aboebakar Atjeh." Journal of Islamic Studies and Humanities 5, no. 1 (December 17, 2020): 72–81. http://dx.doi.org/10.21580/jish.v5i1.7137.

Full text
Abstract:
Ibnu Arabi sebagai filsuf sufi adalah khazanah yang tak habis untuk digali. Sebagai tokoh utama dalam tasawuf falsafi, tidak sedikit ulama klasik atau kontemporer yang menolaknya. Di Indonesia, Ibnu Arabi mendapat banyak tempat, pun penolakan yang tidak sedikit. Aboebakar Atjeh sebagai ulama kontemporer yang berasal dari daerah yang kental keislaman, menulis beberapa tulisan tentang Tasawuf. Dua di antaranya secara khusus membahas Ibnu Arabi. Makalah ini membahas Ibnu Arabi dalam konstruksi Aboebakar Atjeh. Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa Aboebakar Atjeh mendukung pemikiran Ibnu Arabi akan tetapi beliau menulis beberapa hal kontradiktif tentang Ibnu Arabi terkait madzhab akidah antara Bathiniyah, Jabbariyah, atau Asy’ariyah. Selain itu Atjeh juga kurang bisa memahami fenomena ekstase spiritual Ibnu Arabi ketika menulis kitab Tarjuman al-Asywaq. Pembelaan Atjeh terhadap Ibnu Arabi dinilai kental subjektifitas dan kurang kritis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
8

Mukhlis, Imam, and Muhammad Syahrul Munir. "Konsep Tasawuf dan Psikoterapi dalam Islam." Spiritualita 7, no. 1 (June 30, 2023): 62–74. http://dx.doi.org/10.30762/spiritualita.v7i1.1017.

Full text
Abstract:
Tasawuf menawarkan sebuah pendekatan baru terhadap problem-problem psikologis, yaitu untuk memberikan solusi yang menjadi tujuan utama daripada diskursus psikoterapi. Oleh karena itu tasawuf sangat penting terhadap solusi-solusi spiritual berkenaan dengan masalah kejiwaan. Hal ini kemudian menyebabkan munculnya studi tasawuf psikoterapi di Lembaga-lembaga Pendidikan, khususnya di Indonesia. Manusia dikenal sebagai homo religiosus, yakni manusia tidak akan bisa terpisah dari agama, Keadaan manusia yang selalu tak lepas dari agama, di mana pun itu, meniscayakan keterikatan agama dan kondisi psikologis manusia. Agama, sebagai subjek, menjadikan jiwa manusia sebagai salah satu objeknya. Di sinilah agama dan psikologi bersimpangan. Teori asal usul tasawuf bersumber dari ajaran Islam. Semua praktek dalam kehidupan para tokoh-tokoh sufi dalam membersihkan jiwa mereka untuk mendekatkan diri pada Allah mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Teori-teori mereka tentang tahapan-tahapan menuju Allah (maqomat) seperti taubat, syukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas, atau pengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran Islam. Istilah psikoterapi (psychotherapy) mempunyai pengertian cukup banyak dan kabur, terutama karena istilah tersebut digunakan dalam berbagai bidang operasional ilmu empiris seperti psikiatri, psikologi, bimbingan dan penyuluhan (Guidance and Counseling), Kerja Sosial (Case Work), Pendidikan dan Ilmu Agama. persoalan yang ditangani oleh psikoterapis barat menyangkut masalah-masalah yang bersifat fisiologis- emosional-kognitif-behavioral-sosial. Meskipun jangkauannya bervariasi, seringkali konotasi menjadi sempit, yaitu hanya mengarah kepada suatu usaha dalam proses penyembuhan, menghilangkan persoalan dan gangguan. Sedangkan, Psikoterapi Islam adalah proses pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit, baik mental, spiritual, moral maupun fisik dengan melalui bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. tasawuf psikoterapi adalah suatu pendekatan dengan corak tasawuf, kepada proses pengobatan isu-isu kejiwaan dengan cara-cara psikologis klinis non-medis (tanpa obat-obatan). Tasawuf psikoterapi merupakan reaksi Islam terhadap isu-isu kejiwaan, dan merupakan corak islami dalam ilmu kejiwaan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
9

Listiana, Anisa. "MENIMBANG TEOLOGI KAUM SUFI MENURUT AL-QUSYAIRI DALAM KITAB AL-RISĀLAH AL-QUSYAIRIYAH." KALAM 7, no. 1 (March 2, 2017): 201. http://dx.doi.org/10.24042/klm.v7i1.441.

Full text
Abstract:
Teologi adalah disiplin yang menyangkut Tuhan (atau Realitas Ilahi) dan hubungan Tuhan dengan dunia. Dunia dan Allah adalah realitas yang berbeda. Dunia merupakan ciptaan sedangkan Allah adalah sang pencipta. Tulisan ini membahas tentang konsep teologi dalam ajaran tasawwuf Imam al-Qusyairi. Tasawuf yang dianut dan diajarkan oleh al-Qusyairi adalah tasawuf yang sejalan dengan ajaran syariat. Dari tulisan-tulisannya terlihat bahwa ia berupaya menyadarkan orang bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang bersandarkan pada akidah yang benar dan tidak menyalahi ketentuan syariat, seperti yang dianut oleh para salaf atau Ahl al-Sunnah,. Dalam perspektif al-Qusyairi, pemurnian tauhid sangatlah prinsip dan urgen, karena Islam dibangun di atas kekuatan tauhid, bahkan kekuatan Islam justru terletak pada fondasi tauhid. Apabila tauhid yang dimiliki oleh umat Islam kuat, maka agama Islam menjadi kuat dan tangguh. Tauhid adalah kekayaan yang terbesar yang dimiliki oleh umat Islam, sekaligus sebagai senjata yang ampuh dalam menghadapi berbagai rongrongan hawa nafsu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
10

Muzakkir, Muzakkir. "TOLERANSI BERAGAMA DAN MAHABBAH DALAM PERSPEKTIF SUFI." Jurnal THEOLOGIA 23, no. 1 (September 4, 2017): 125–39. http://dx.doi.org/10.21580/teo.2012.23.1.1763.

Full text
Abstract:
Dalam kacamata kaum sufi, tidak ada orang lain (the other) di duniaini. Mereka melihat orang lain sebagai sebuah kesatuan makhlukyang bernaung di bawah kasih sayang Tuhan. Landasan cintamerupakan titik berpijak bagi mereka untuk melihat orang lain.Dalam pandangan kaum sufi, semua manusia adalah indah.Keindahan dalam pandangan itulah yang membimbing merekauntuk tidak melihat orang lain secara lebih rendah. Keindahanpandangan itu juga meliputi para penganut agama yang berbedabeda. Ajaran kedamaian, cinta dan kasih sayang yang diususng parasufi, bagian yang cukup menarik untuk disingkap, sekaligus sebagaiupaya membangun hubungan umat beragama yang harmonis.Tulisan ini akan memaparkan kasih sayang dan toleransi beragamadalam persektif tasawuf.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
11

Rijal, Syamsul, and Umiarso Umiarso. "SYARI’AH DAN TASAWUF: Pergulatan Integratif Kebenaran dalam Mencapai Tuhan." Jurnal Ushuluddin 25, no. 2 (December 14, 2017): 124. http://dx.doi.org/10.24014/jush.v25i2.3931.

Full text
Abstract:
Hukum Islam (syari’ah) dan tasawuf adalah dua entitas yang sampai saat ini masih terpancang sebagai varian yang berdiri sendiri, bahkan dua entitas ini sering dihadapkan secara vis a vis. Syari’ah yang berdiri secara konsisten pada dimensi eksoteris (lahiriah) mengklaim bahwa sufi secara keseluruhan mengabaikan ketentuan lahiriah hukum agama dan menggantikan praktik mendasar dengan inovasi desain mereka sendiri, sehingga menghapus diri dari komunitas muslim sejati. Sedangkan para sufi sendiri yang berkecipung di dunia esoteris menyatakan bahwa para fuqaha hanya melihat sisi eksplisit yang ada pada lembar-lembar al-Qur’an dan hanya bersikap formalitas belaka tanpa menangkap esensi atau substansi ajaran Islam. Syari’at, tarekat, hakekat, dan makrifat adalah langkah integratif dalam sufisme. Oleh karena itu, dua dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak saling menegasikan (integratif-monokhotomik) antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Antara dua dimensi ini terbuka ruang untuk menemukan “kebenaran hakiki” menuju satu Tuhan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
12

Rostitawati, Tita. "Pembaharuan dalam Tasawuf." Farabi 15, no. 2 (December 1, 2018): 67–80. http://dx.doi.org/10.30603/jf.v15i2.642.

Full text
Abstract:
Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial. Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu, manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan karena salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan. Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuk juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporer seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam. Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Menurut mereka, sufisme yang berkembang kebelakangan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Akhbar S Ahmed, pasca- modernisme membawa kita kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neosufisme.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
13

Kolis, Nur. "WAHDAT AL-ADYAN: MODERASI SUFISTIK ATAS PLURALITAS AGAMA." TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan 1, no. 2 (October 31, 2017): 166–80. http://dx.doi.org/10.52266/tadjid.v1i2.42.

Full text
Abstract:
Perkembangan hubungan antara umat beragama ccenderung kehilangan spirit kemanusiaannya yang universal, berganti dengan semangat kelompok dan individu. Isu agama diangkat untuk keepentingan individu, kelompok, dan kekuasaan. Gagasan tentang pembelaan terhadap Tuhan telah menjadi gagasan yang utopis. Iman kemudian tertuju pada institusi agama, bukan kepada Tuhan. Akhirnya penganut ajaran agama lain dianggap bukan peenyembah Tuhan. Secara bertubi-tubi sikap keagamaan tersebut memicu terjadinya peperangan atas nama agama. Berbagai langkah solutif telah coba diwacanakan. Dikalangan pemikir Islam sufistik, jauh sebelum muncul wacana pluralisme agama, terdapat satu gagasan tentang waḥdat al-adyân atau “kesatuan agama-agama”. Pemikir sufistik waḥdat al-adyân menawarkan satu gagasan moderat yang humanis, dan universal dalam konteks relasi agama-agama, mengandung pesan moral yang terkait secara langsung dengan masalah harmoni kehidupan sosial keagamaan. Universalitas konsep waḥdat al-adyân terdapat pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Konsep waḥdat al-adyân dalam tasawuf dipopulerkan oleh dua tokoh sufi ternama, yaitu Husin Mansur al-Ḥallâj (w. 922 M) dan Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi wahdat al-wujûd (w. 1240 M). Al-Ḥallâj menggandengkan konsep waḥdat al-adyân dengan hulûl, sedangkan Ibn ‘Arabi. Pemikiran dua sufi tersebut saling melengkapi, al-Ḥallâj sebagai penggagas waḥdat al-adyân sedangkan Ibn ‘Arabi membuat ide-ide al-Ḥallâj menjadi sistematis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
14

Fiqron, Mohamad Za'in, and Erina Dwi Parawati. "Relevansi Tasawuf Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah terhadap Problem Radikalisme Beragama di Indonesia." Hikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam 3, no. 2 (September 25, 2023): 75–85. http://dx.doi.org/10.58572/hkm.v3i2.26.

Full text
Abstract:
Abstract This article aims to understand and explain the significance of Rabi'ah al-Adawiyah's love of Sufism in the Contemporary religious context. Rab'iah Adawiyyah is a female Sufi who was admired by many Sufis after her and quoted by the Sufis of love in particular. Rab'ah al-Adawiyah made a huge contribution to the discipline of Sufism, namely al-Mahabbah. The method of this article is based on qualitative documentation as a data collection technique. Data were obtained from various literature relevant to this research topic, then analyzed using Hans-Georg Gadamer's hermeneutic theory. Gadamer's contribution in text interpretation is the concept of fusion horizons, in which there is a fusion of understanding between the horizons of the reader and the writer. The resulting meaning is not reproductive, but productive. So that the concept of Sufism Rabi'ah can be read in the contemporary horizon. The results of this study show that Rab'iah's ideas about love can be the answer in reviving the inner subjectivity or dimension of religious spirituality in the midst of religious problems. As is known, if religion is not lived with love, it will give birth to fundamentalism, radicalization, and religious conflict. This reading is very important, in the midst of the glitz of technology and the hustle and bustle of modernity, studying Sufism will more or less help in treating the crisis of spirituality. Keywords: Contemporary Religion, Women Sufi’s, Rabi'ah al-Adawiyah. Abstrak Artikel ini bertujuan memahami dan menjelaskan signifikansi tasawuf cinta Rabi’ah al-Adawiyah dalam konteks keberagamaan Kontemporer. Rab’iah Adawiyyah adalah sufi perempuan yang dikagumi oleh banyak sufi setelahnya dan dikutip oleh kalangan sufi cinta pada khususnya. Rab’ah al-Adawiyah memberikan sumbangsih amat besar bagi disiplin tasawuf, yakni al-Mahabbah. Metode artikel ini berbasis kualitatif dengan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data. Data diperoleh dari berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian ini, kemudian dianalisis memakai teori hermeneutika Hans-Georg Gadamer. Sumbangsih gadamer dalam penafsiran teks ialah konsep fusi horizon, di mana terjadi peleburan pemahaman antara horizon pembaca dengan penulis. Makna yang dihasilkan bukanlah reproduktif, melainkan produktif. Sehingga konsep tasawuf Rabi’ah dapat dibaca dalam horizon kekinian. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa gagasan Rab’iah tentang cinta mampu menjadi jawaban dalam menghidupkan innersubjektivitas atau dimensi spiritualitas agama di tengah problematika keagamaan. Sebagaimana diketahui, manakala agama tidak dihayati dengan cinta, akan melahirkan fundamentalisme, radikalisasi, dan konflik keagamaan. Pembacaan ini amat penting, di tengah gemerlapnya teknologi dan hiruk-piruk modernitas, mengkaji tasawuf sedikit-banyak akan membantu dalam mengobati krisis spiritualitas. Kata Kunci: Keberagamaan Kontemporer, Sufi Perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
15

J, Irwan Supriadin. "AL-GHAZALI : REKONSILIASI SYARIAT DAN TASAWUF." FiTUA: Jurnal Studi Islam 3, no. 1 (July 20, 2022): 67–81. http://dx.doi.org/10.47625/fitua.v3i1.378.

Full text
Abstract:
Tulisan ini merupakan studi literatur dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang bertujuan menguraikan gagasan al-Ghazali dalam merekonsiliasi antara syariat dan tasawuf. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun al-Ghazali percaya kepada Rasa (Dzawq) namun tidak menyebabkan ia meragukan akal sebagai alat dalam mencapai kepada kebenaran. Akal dituntut untuk menganalisa dan memahami soal-soal agama, sedangkan konsep ma’rifat yang menjadi ciri khas dari al-Ghazali merupakan pengembangan dari konsep-konsep yang telah ada sebelumnya.. Dalam upayanya mendamaikan Syari’ah dan sufisme, al-Ghazali mampu memberikan penjelasan tentang hubungan erat antara syari’ah dengan tasawuf, namun di balik itu, al-Ghazali belum sepenuhnya mampu mendudukkan keduanya pada derajat yang sama. Hal tersebut terlihat dari stratifikasi –awam dan khawas- bagi kaum muslim yang melakukan amal shalih, sehingga secara tidak sadar ia kembali terjebak pada kecenderungan superioritas kaum sufi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
16

Arvionita, Diah, Efendi Efendi, Eka Putra Wirman, and Zainal Zainal. "Tasawuf Urban dan Tasawuf Perenial dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan." Jurnal Pemikiran Islam 3, no. 1 (June 25, 2023): 1. http://dx.doi.org/10.22373/jpi.v3i1.16368.

Full text
Abstract:
Sufism is a concept within Islam that aims to lead individuals towards God. The practice of Sufism involves purifying the inner self through righteous deeds. In the journey of Sufism, there are three stages to be traversed: knowledge as the beginning, action as the middle, and God's grace as the culmination. By practicing Sufism, individuals can attain a deeper relationship with God and find inner peace. Through the process of purifying the inner self and engaging in righteous deeds, Sufism helps individuals enhance their spiritual quality and gain a profound understanding of their religion. In the contemporary era, Sufism has experienced development, marked by the emergence of new terms such as Urban Sufism and Perennial Sufism. Urban Sufism refers to the practice of Sufism in urban contexts, where individuals apply Sufi principles in their daily lives amidst the modern and complex urban environment. This demonstrates the adaptation of Sufism to the challenges and needs of the present time. On the other hand, Perennial Sufism refers to an approach that connects the essence of mystical and spiritual teachings from various religions. In Perennial Sufism, the common principles of spirituality and religious experiences are found across different religious traditions, serving as a bridge to understand and achieve unity with God.AbstrakTasawuf sebuah konsep dalam Islam yang memiliki tujuan untuk membawa manusia menuju Tuhan. Praktik tasawuf melibatkan pensucian batin dengan amal shaleh. Dalam perjalanan tasawuf, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu ilmu sebagai yang awal, amal sebagai yang tengah, dan karunia Allah sebagai yang akhir. Dengan mengamalkan tasawuf, individu dapat mencapai hubungan yang lebih mendalam dengan Tuhan dan memperoleh kedamaian dalam jiwa. Melalui proses pensucian batin dan pelaksanaan amal shaleh, tasawuf membantu manusia untuk meningkatkan kualitas spiritualitasnya dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang agama. Perkembangan tasawuf di era kontemporer saat ini, yang ditandai dengan munculnya beberapa istilah baru seperti Tasawuf Urban atau Tasawuf Perkotaan dan Tasawuf Perenial. Tasawuf Urban mengacu pada praktik tasawuf yang dilakukan dalam konteks perkotaan, di mana individu mengaplikasikan prinsip-prinsip tasawuf dalam kehidupan sehari-hari di tengah kehidupan perkotaan yang modern dan kompleks. Hal ini menunjukkan adaptasi tasawuf dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Sementara itu, Tasawuf Perenial merujuk pada pendekatan tasawuf yang menghubungkan inti dari ajaran-ajaran mistis dan spiritual dari berbagai agama. Dalam Tasawuf Perenial, kesamaan prinsip-prinsip spiritual dan pengalaman keagamaan ditemukan di seluruh tradisi agama, dan hal ini digunakan sebagai jembatan untuk memahami dan mencapai kesatuan dengan Tuhan
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
17

Shadiqin, Sehat Ihsan. "Tasawuf di Era Syariat: Tipologi Adaptasi dan Transformasi Gerakan Tarekat dalam Masyarakat Aceh Kontemporer." Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 20, no. 1 (April 18, 2018): 66. http://dx.doi.org/10.22373/substantia.v20i1.3406.

Full text
Abstract:
Abstract: Since the implementation of Sharia law in Aceh in 2001, the idea of Islam has always been related to Islamic yurisprudence. This has denied the aspect of spirituality in Sufi order (tariqa) which is actually the root of Islam in Aceh. Moreover, Sufi order in Aceh is like ducking and disappeared from the surface. Does the inconspicuious Sufi order attributable to the implementation of Sharia law? The answer is no. This paper attempts to explore the patterns of adaptation and transformation of Sufi orders movements in Aceh after the great wave in December 2004. I look at three different examples of Sufi orders; First, the Tawhid Tasawuf Study Council (Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf; MPTT) Syekh Haji Amran Wali who represents the Naqshabandi al-Khalidi congregation (South Aceh and Banda Aceh). Second, the Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) which led by Tgk. Sulfanwandi (Aceh Besar and Banda Aceh). Third, the Naqshabandi al-Haqqani order led by Ustaz Zamhuri (Banda Aceh). I found several patterns of tarekat adaptation to policies and Islamic society's trends in Islamic law. MPTT Amran Waly tends to re-interpret the classical Sufism doctrines, which considered contrary to the Sharia. TQN Sulfanwandi takes spirituality service while maintaining the urban lifestyle. While Haqqaniyah Ustaz Zamhuri made a pattern of cultural arts adaptation to show his tarekat as part of the life pattern of classical Acehnese Sufi scholars. The three tarekat groups seem to emphasize more on aspects of religious spirituality as an inseparable part of the development of modern society. Or in other words, it remains religiously valid even though it is modern in worldly life. Abstrak: Sejak penerapan syariat Islam di Aceh tahun 2001, ide tentang Islam selalu terkait dengan hukum Islam. Hal ini telah menafikan aspek spiritualitas dalam tarekat yang padahal merupakan akar Islam di Aceh. Apalagi kelompok-kelompok tarekat seperti merunduk dan tidak menampakkan diri ke permukaan. Namun, apakah kelompok tarekat benar-benar menghilang dari Aceh karena pemberlakukan syariat Islam? Kenyataannya tidak. Makalah ini akan mencoba menelusuri bagaiman pola adaptasi dan transformasi gerakan tarekat di Aceh pasca tsunami pada Desember 2004. Penulis mengambil tiga contoh tarekat yang berbeda; Pertama, Majelis Pengkajian Tawhid Tasawuf (MPTT) Syekh Haji Amran Wali sebagai representasi tarekat Naqsyabandi al-Khalidi (Aceh Selatan dan Banda Aceh). Kedua, Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) pimpinan Tgk. Sulfanwandi (Aceh Besar dan Banda Aceh). Ketiga, tarekat Naqsyabandi al-Haqqani pimpinan Ustaz Zamhuri (Banda Aceh). Dari penelusuran ini, penulis menemukan beberapa pola adaptasi tarekat terhadap kebijakan dan kecenderungan masyarakat Islam dalam hukum Islam. MPTT Amran Wali cenderung melakukan pemaknaan ulang atas doktrin-doktrin tasawuf klasik yang dianggap bertentangan dengan syariat. TQN Sulfanwandi mengambil pelayanan spiritualitas dengan tetap mempertahankan pola hidup masyarakat urban. Sementara Haqqaniyah Ustaz Zamhuri melakukan pola adaptasi seni budaya untuk menunjukkan tarekatnya sebagai bagian dari pola hidup ulama sufi Aceh klasik. Ketiga kelompok tarekat ini sepertinya lebih menekankan pada aspek spiritualitas agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan masyarakat modern. Atau dengan kata lain, tetap salih secara agama meskipun modern secara kehidupan duniawi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
18

Muzayanah, Fitrotul. "INTEGRASI KONSEP TASAWUF-SYARIAT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI (QUTUBUL AULIYA)." Mozaic : Islam Nusantara 7, no. 1 (April 24, 2021): 1–28. http://dx.doi.org/10.47776/mozaic.v7i1.168.

Full text
Abstract:
Di era serba milenial ini masih banyak masyarakat muslim yang menegasikan antara unsur spritual tasawuf dengan syariat, sehingga menimbulkan dekadensi moral atau demoralisasi kemerosotan akhlak. Masyarakat muslim awam masih beranggapan tasawuf dan syariat merupakan hal yang berbeda. Hal ini sebetulnya dalam agama Islam dari awal sudah menanamkan ajaran unsur spritual dan manajemen hati yang seimbang antara tasawuf dan syariat, karena mereka tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus saling berkesinambungan dalam laku kehidupan. Al-Jailani merupakan imamnya para sufi (Qutubul Auliya) menggambarkan tasawuf yang diintegrasikan ke dalam syariat ibadah manusia dalam keseharian aktivitas muslim pada umumnya. Penulisan ini menkonsepkan pemikiran Al-Jailani menggunakan pendekatan kualitatif metode deskriptif. Pengumpulan data yang diambil menggunakan teknik studi literatur library research. Teori yang digunakan menggunakan teori integrasi sosial menyatukan unsur yang berbeda sehingga menjadi pemahaman yang satu sehingga tidak menimbulkan konflik kesalahpahaman dalam masyarakat. Berdasarkan hasil penelusuran penelitian, diperoleh penjelasan bahwa tasawuf al-Jailani mampu mengintegrasikan antara tasawuf dan syariat secara praktis-aplikatif sebagai syarat mutlak untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Karena hakekatnya ma’rifat harus dilalui dengan mujahadah dan pembersihan diri. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif. Memandang dunia dalam keseimbangan akhirat.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
19

Ridwan, Abdul Mukit. "IBN ‘ARABI; EPISTEMOLOGI DAN KONTROVERSI." El-Furqania : Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman 2, no. 01 (February 10, 2016): 88–113. http://dx.doi.org/10.54625/elfurqania.v2i01.1421.

Full text
Abstract:
Perbincangan tentang tasawuf, sufi dan para pemukanya memang tidak pernah menemukan kata usai dan selesai. Karena ia mempunyai jangkauan meluas, akar mendalam yang harus benar-benar di perhatikan secara seksama oleh mereka yang ingin membahasnya. Terutama jika perbincangan tersebut berkaitan dengan salah satu pemuka tasawuf semacam Muhyiddin Ibn ‘Arabi> yang sudah tidak diragukan lagi otoritas dan kapasitas keilmuannya baik di Barat maupun di Timur. Di Timur, ia dikenal sebagai pemuka tasawuf yang jujur dalam perkataan dan menepatinya dengan tindakan dalam samudera rahasia ketuhanan. Sedangkan di Barat ia dikenal sebagai tabib yang dapat mengobati penyakit ganas Barat dengan ilmu dan pengetahuannya. Namun betapapun kekayaan wawasan, ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya, popularitasnya sebagai hamba yang begitu mencintai Tuhannya, terdapat beberapa sisi beliau yang harus segera dibahas tuntaskan karena menyangkut akidah dan agama. Yaitu seperti sangkaan bahwa beliau adalah pendiri agama cinta, penganut pluralisme, tokoh dalam transendent unity of religions serta pegiat paham wihdat al-wuju>d. Oleh sebab itu, penulis mengajukan judul, Ibn ‘Arabi>: epistemology dan kontroversi, agar dapat membahas tuntaskan masalah diatas. Metode yang penulis tempuh adalah library research dengan mengetengahkan pribadi Ibn ‘Arabi> dalam ratusan karya dan tulisannya untuk menjelaskan dan menuntaskan dugaan-dugaan dimaksud sehingga tuntas dan selesai. Semoga Allah memberi Taufiq dan kepada-Nya penulis pasrahkan segalanya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
20

Nur, Muhammad, and Muhammad Iqbal Irham. "Tasawuf dan Modernisasi: Urgensi Tasawuf Akhlaki pada Masyarakat Modern." Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 25, no. 1 (April 30, 2023): 107. http://dx.doi.org/10.22373/substantia.v25i1.16851.

Full text
Abstract:
Sufism is a part of Islamic religious teachings. Ethical Sufism is one of the Sufi teachings that can help shape individuals with noble character. Amidst the hedonistic and materialistic lifestyle that has contributed to the moral decline of modern society, the moral aspect of Sufism seeks to balance these opposing forces. By implementing Sufism in contemporary culture, values of goodness and nobility can be instilled, offering a solution to one of the major problems plaguing modern society: the fragmentation of the human soul, something that can undermine one's moral worth. In dealing with this glittering materialism and even neglecting God in one's life, modern life as it is today sometimes reveals undesirable tendencies. The ethical aspect of Sufism, particularly the moral teachings that should be applied in one's daily life to achieve optimal satisfaction, emphasizes the importance of Sufism for contemporary human beings. Learning the teachings of ethical Sufism is a path to developing one's character in a way that honors God, fellow humans, and one's own best interests. Good introspection in facing difficulties, purifying the soul from negative qualities (takhalli), and adorning oneself with praiseworthy qualities are just a few of the positive concepts of ethical Sufism that may form noble traits (tahalli). The teachings of Sufism can serve as a guide for one's actions, a source of normativity, inspiration, and moral compass.Abstrak: Tasawuf adalah bagian dari ajaran agama Islam. Tasawuf akhlaqi merupakan salah satu ajaran sufi yang dapat membantu membentuk manusia yang berakhlak mulia. Berada di tengah gaya hidup hedonistik dan materialistis yang turut menyebabkan kemerosotan moral masyarakat modern, sufisme moralitas berupaya menyeimbangkan antara dua kekuatan yang berlawanan tersebut. Dengan implementasi tasawuf dalam kebudayaan masa kini, nilai-nilai kebaikan dan keluhuran dapat terbentuk, menawarkan solusi atas salah satu persoalan besar yang melanda masyarakat kontemporer: fragmentasi ruh manusia. sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya secara moral. Dalam menyikapi materi gemerlap ini dan bahkan mengesampingkan Tuhan dalam hidupnya, kehidupan modern seperti sekarang ini terkadang menampakkan kecenderungan yang tidak terpuji. Tasawuf akhlak, khususnya ajaran-ajaran akhlak yang harus digunakan dalam kehidupan sehari-hari seseorang untuk memperoleh kepuasan yang optimal, menekankan pentingnya tasawuf bagi manusia kontemporer. Mempelajari ajaran tasawuf akhlaqi adalah jalan untuk mengembangkan karakter seseorang dengan cara yang memuliakan Tuhan, sesama manusia, dan kepentingan terbaiknya sendiri. Introspeksi diri yang baik dalam menghadapi kesulitan, membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk (takhalli), dan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji hanyalah beberapa dari konsep positif tasawuf akhlaqi yang mungkin membentuk sifat yang mulia (tahalli). Ajaran tasawuf dapat menjadi pedoman bagi tindakan seseorang, sumber normativitas, inspirasi, dan kompas moral.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
21

Sugiharto, Muhammad Samuel. "Relasi Ma’rifat Dan Wushul Dalam Pengalaman Spiritual K.H Mahfudz Dzulwafi." Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan 16, no. 6 (December 29, 2022): 2261. http://dx.doi.org/10.35931/aq.v16i6.1550.

Full text
Abstract:
<p>K.H Mahfudz Dzulwafi, atau sering dikenal dengan nama Ustadz Mahfudz. Beliau lahir di Cirebon pada tanggal 16 Februari 1971. Beliau adalah Alumni ke-3 Pondok Pesantren DARUL MUSTHAFA Hadramaut – Yaman pimpinan Guru Mulia Al Habib Umar bin Hafidz. Beliau merupakan pemuka agama Islam yang dikenal sebagai ulama di Kalimantan Selatan. K.H Mahfudz Dzulwafi adalah pengasuh (pimpinan) dari Pondok Pesantren Darussana yang berada di Sungai Cuka, Kintap. Beliau juga dikenal sebagai guru pengajar tasawuf yang memiliki banyak santri dan jama’ah. Kajian ini membahas bagaimana pandangan beliau mengenai ma’rifat dan wushul. Ma’rifat dan wushul sendiri merupakan pembahasan yang sangat menarik didalam dunia tasawuf. Penulis berusaha untuk menggambarkan bagaimana konsep dan pemikiran para ulama sufi pada umumnya dan KH. Mahfudz Dzulwafi khususnya mengenai relasi antara ma’rifat dan wushul dalam pengalaman spiritual.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
22

Aryadillah, Aryadillah. "Metabahasa Komunikasi Ibnu Arobi dalam Tarian Suf." Jurnal Public Relations (J-PR) 4, no. 1 (April 1, 2023): 1–8. http://dx.doi.org/10.31294/jpr.v4i1.1971.

Full text
Abstract:
Filsuf Ibnu Arabi memiliki pengaruh mendunia, Bahkan karya-karyanya dipelajari di beberapaMadrasah-Madrasah, ini disebabkan oleh teks yang ditulisnya, memantik siapapun yangmembacanya. Berbicara mengenai teks-teks yang tersampaikan oleh seorang tokoh Sufi, begituTeks itu keluar dari lisannya dan diketahui oleh orang banyak. Maka, Teks itu menjadi konsumsipublik. karena Teks itu sudah masuk ruang public (Public Spehere menurut Jurgen Habermas)yaitu ruang publik politik dan ruang publik sastra.Lalu Teksnya tersebut menjelma, merasuki pembaca dan dalam disiplin Ilmu Komunikasi. Pesantersebut tidak dapat ditarik kembali “Interpersonal Communication Is Irreversible”. Teks tersebutseperti gelombang energi positif yang merasuk para penari-tarian mistis, energi itu mengalirkeseluruh tubuh hingga IA (Read; Tuhan YME) menggerakkan indera untuk bergerak, menarikdirinya dari Mikrokosmos ke inti Atom Makrokosmos lalu menjelma menjadi hal yang tak mampudi bayangkan. Ini bukanlah “Hulul”, penulis meyakini bila Tuhan masuk ke dalam TubuhManusia. Boleh jadi, konsepsi ini merendahkan-Nya, Tuhan YME adalah Al-Karim (Yang MahaMulia), Ia tidak butuh tempat melainkan Makhluk-lah yang membutuh-Nya.Maka, Boleh jadi; Pemikiran Ibnu Arobi mampu membedah energi Bahasa Intersubjektif parapenari Mistis yang saling Interconnected antara Hamba dan Tuannya. Karena sejatinya, Manusiaadalah hamba yang memerlukan Tuannya dan pada gilirannya sang hamba menjadi wakil-wakilTuhan yang menebar kasih dan cintanya di muka bumi (Kholifah Fil Ardh).Keyds: Metabahasa; Konteks dan Level Komunikasi; Tarian Sufi dan Tasawuf
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
23

Kusuma, Amir Reza. "Konsep Hulul Menurut Al-Hallaj Dan Penempatan Posisi Tasawuf." Jurnal Penelitian Medan Agama 12, no. 1 (June 1, 2021): 45. http://dx.doi.org/10.58836/jpma.v12i1.10488.

Full text
Abstract:
<p><strong>Abstract</strong></p><p>This paper aims to discuss the thought of Hulul according to al-Hallaj and seek the placement of Sufism from among Sufis, The study of Hulul thought which is often identified with the recent attracted the attention of academics, researchers and religious scholars. The issue of Al-Hulul, by some parties is forcibly tried to be juxtaposed and equated with the thought of wihdatul wujud which is conceptualized by Sufi figures such as al-Hallaj. This paper aims to examine the model and practice of Sufism in the person of Abu Mansur Al-Hallaj who is mentioned by some as the bearer of the idea of Hulul. The life of al Hallaj, is a journey of total spirituality. " or unity of substance So far it turns out that the accusation is with respect to Al-Hallaj's view, that between man and God can be a love affair, which for the accuser means equating God with man. This paper is also a qualitative study with a philosophical-theological approach. The conclusion of the teachings of al-Hallaj is association with God in the form of al-hu1ul (taking place). According to his philosophy God has the nature of humanity and man himself has the nature of God, Nasrut and Lahut. But Sufi scholars criticize the concept of Hulul because many are inappropriate and deviant.</p><p> </p><p><strong>Keywords</strong><strong> </strong><strong>:</strong> Al-Hallaj, Unity, Al-Hulul<em></em></p><p> </p><p><strong>Abstrak</strong></p><p>Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan pemikiran Hulul menurut al-Hallaj dan mencari penempatan tasawuf dari kalangan tasawuf, Kajian pemikiran Hulul yang sering diidentikkan dengan belakangan menarik perhatian kalangan akademisi, peneliti dan para pengkaji agama agama. Isu Al-Hulul, oleh sebagian pihak secara paksa dicoba untuk disandingkan dan disamakan dengan pemikiran wihdatul wujud yang dikonsepsikan tokoh sufi seperti al-Hallaj. Tulisan ini bermaksud mengkaji model dan praktik tasawuf dalam pribadi Abu Mansur Al-Hallaj yang disebut oleh sebagian pihak sebagai pengusung ide Hulul. Kehidupan al Hallaj, adalah perjalanan spiritualitas yang total.” atau kesatuan substansi Sampai sejauh ini ternyata tuduhan tersebut adalah berkenaan dengan pandangan Al-Hallaj, bahwa antara manusia dengan Tuhan bisa terjalin hubungan cinta, yang bagi penuduhnya itu berarti penyamaan Tuhan dengan manusia Tulisan ini juga merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan filosofis-teologi. Yang berkesimpulan ajaran al-Hallaj adalah persatuan dengan Tuhan dalam bentuk al-hu1ul (mengambil tempat). Menurut falsafahnya Tuhan mempunyai sifat kemanusiaan dan manusia sendiri mempunyai sifat ke-Tuhanan, Nasrut dan Lahut. Tetapi para ulama sufi memberukan kritik terhadap konsep Hulul ini karena banyak yang tidak sesuai dan menyimpang.</p><p><strong>Kata Kunci</strong> : Al-Hallaj, Kesatuan, Al-Hulul</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
24

Arista, Mohammad. "RELEVANSI AJARAN BUDHA DAN TASAWUF." PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu dan Hikmah 2, no. 1 (March 31, 2017): 65–100. http://dx.doi.org/10.51498/putih.v2i1.49.

Full text
Abstract:
Tasawuf ibaratnya adalah ruh dari sebuah agama khusunya agama islam. Dengan tasawuf-lah seseorang dapat mengenali siapa dirinya dan dapat dijadikan sebagai refleksi degredasinya Akhlak seperti zaman sekarang. Tasawuf Dari segi linguistik (kebahasaan) dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia. Tasawuf beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup zuhud (menjauhi kemewahan duniawi) sehingga pada hidup yang modern. Dalam rangka menyucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup tersebut, diperlukan suatu riyadhah (latihan) dari satu tahap ke tahap yang lain yang lebih tinggi. Jadi, kesempurnaan rohani tidaklah dapat dicapai secara spontan dan sekaligus. Semua sufi sependapat bahwa untuk mencapai tujuan dekat atau berada di hadirat Allah swt. Satu-satunya jalan hanyalah dengan kesucian jiwa. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa diperlukan pendidilan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat. Masyarakat modern sering digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuaran hidup material yang sedemikian rupa, dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomat, manusia modern bukannya semakin mendekati kebahagian hidup, melainkan sebaliknya seringkali dihinggapi rasa cemas, tidak percaya diri dan krisis moral akibat mewahnya gaya hidup marealistik yang didapat., maka pelarian dan pencarian kepada kehidupan lain sebagaimana yang terdapat dalam tasawuf atau mistik adalah hal yang mungkin saja terjadi. Karena di sini mereka akan dapat melepaskan kejenuhan atau mengisi kekosongan jiwa setelah dunia modern mereka gapai dengan terpenuhinya kebutuhan materi yang didapat dengan mudah tersebut. Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidak jelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Mereka lewat spritualitas islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya. Namun menurut sebuah ungkapan ulama mengatakan ilmu tasawuf juga harus beriring imbang dengan syariat begitu sebaliknya, tidak patut hanya bertasawuf tanpa bersyariat terlebih dahulu. Ukuran bersyariat ini. Menurut Syaikh Ahmad Asrori adalah jika kau sudah paha akan hukum yang saat ini dibutuhkan bukan kok harus hatam fathulk muin atau kitab-kitab fiqih yang besar-besar. Maka dari itu tolok ukur bertasawuf ialah jika kau sudah mampu memahami apa itu yang membatalkan wudhu. Inilah yang di sebut sudah bersyariat. Karena memandang tasawuf merupakan unsur inti dari agama islam serta memberikan dampak yang jelas akan kemajuan islam maka Belajar tasawuf yang sangat penting bagi umat Islam bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Dari segi asal-muasal kata saja, sering terjadi pro dan kontra. Belum lagi aplikasi praktisnya untuk menjalani kehidupan ala tasawuf itu sendiri. Ilmu tasawuf bukan hanya teori, melainkan juga praktik. Berbagai pendapat yang sering membingungkan adalah apakah tasawuf itu sesat (mistik dari luar Islam) atau sebuah jalan yang hak sebagai ajaran Islam. Tulisan ini mengajak pembaca untuk bersama-sama meyakinkan bahwa ajaran tasawuf itu murni dari ajaran Islam bukan pengaruh dari luar Islam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits berbeda dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber dari keduanya. Dari sinilah para orientalis mencoba menyusupi pemikiran para generasi muda bahwa ajaran tasawuf hanyalah adopsi dari ajaran Budha dan agama lain, dengan cara yang sangat rapi dan terkesan bahwa itu sungguhan mereka juga meneragkan berbagai dalil yang dibua-buat untuk mendukung rencana akbar ini.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
25

Rosidi, Rosidi. "Koneksitas Ilmu Tasawuf dan Ilmu Nahw: Telaah atas Kitab Nahw Al-Qulub Karya Al-Qushayri." KACA (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin 12, no. 2 (August 9, 2022): 134–60. http://dx.doi.org/10.36781/kaca.v12i2.272.

Full text
Abstract:
Terdapat koneksi yang sangat erat dalam cabang-cabang ilmu bahasa Arab, bahkan bisa dikatakan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Lebih spesifik lagi terdapat interkoneksi antara ilmu nahw dengan semua ilmu dalam agama Islam seperti fikih, hadis, tafsir dan lain-lain. Sebab ilmu nahw menjadi instrumen yang fundamental dalam mengungkap makna yang bersifat eksoteris yang terdapat dalam teks-teks cabang ilmu-ilmu tersebut. Tulisan ini selain dalam rangka menggali aspek historis faktor lahirnya nahw bergenre tasawuf, sekaligus juga bermaksud menyanggah stigma yang mengatakan bahwa nahw sufi adalah ilmu yang tidak memiliki epistemologi yang kuat dan mendasar. Pertanyaan yang didiskusikan dalam tulisan ini adalah, 1) Bagaimana ontologi nahw sufi al-Qushayri?, dan 2) Bagaimana epistemologi nahw sufi al-Qushayri? Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah konsep epistemologi al-Jabiri, mengingat dalam nahw sufi terdapat dua nalar, yaitu nalar bayani dan nalar ‘irfani. Sedangkan objek yang dikaji adalah kitab Nahw al-Qulub karya al-Qushayri sebagai kitab yang pertama kali disusun dengan genre nahw sufi. Tulisan ini menemukan bahwa, 1) Kitab Nahw al-Qulub terdiri dari dua kitab, yaitu Nahw al-Qulub al-Saghir dan Nahw al-Qulub al-Kabir. Yang membedakan antara dua karya ini adalah ringkas dan tidaknya penjelasan, Nahw al-Qulub al-Kabir lebih luas penjelasannya sedangkan Nahw al-Qulub al-Saghir lebih ringkas. Adapun yang merupakan karya Al-Qushayri adalah Nahw al-Qulub al-Saghir. Sistematika pembahasan kitab Nahw al-Qulub al-Saghir cenderung acak. Tidak tersistematis seperti adanya kitab nahu konvensional. 2) Kitab Nahw al-Qulub menggunakan konsep epistemologi nalar ‘irfani saat mengungkap makna esoteris kaidah nahu, sedangkan untuk penulisan sistematikanya Al-Qushayri menggunakan nalar bayani. Terdapat temuan juga Al-Qushayri bahwa antara syari’at dan hakikat itu saling berhubungan, berkesinambungan dan tidak mungkin dipisahkan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
26

Irbah, Zukhruful, Ida Kurnia Shofa, and Hana Rahadatul Aisy. "KONSEP PENDIDIKAN TASAWUF DALAM KITAB FAIDHURRAHMAN SEBAGAI UPAYA PENANGANAN KRISIS SPIRITUAL." AT-TAISIR: Journal of Indonesian Tafsir Studies 3, no. 1 (January 30, 2023): 11–20. http://dx.doi.org/10.51875/attaisir.v3i1.98.

Full text
Abstract:
Pada zaman modern saat ini krisis spiritual tergerus oleh berbagai kemajuan peradaban. Tidak jarang saat ini banyak dijumpai banyaknya masalah yang berkaitan tentang moral dan etika. Pada kenyataannya keberhasilan secara material dan intelektual saja tidaklah cukup, pendidikan agama membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya dan membuat manusia tidak kehilangan kendali atas kehidupan, kehilangan akal atau bingung menghadapi dunia modern yang berkembang pesat yang penuh dengan persaingan dalam berbagai hal dan individualisme yang tinggi. Pendidikan sufi atau tasawuf merupakan usaha secara sadar ke arah yang diharapkan, yaitu terbentuknya generasi yang berilmu dan berakhlak mulia, serta tidak hanya berakhlak mulia di luar, tetapi juga berakhlak mulia berdasarkan hukum Islam, yaitu mendukung Al-quran dan Hadits, melalui hati dan pikiran yang mulia yang bertawakal kepada Allah swt (Tauhid). Dalam kepenulisan ini digunakan metode research library untuk menjawab permasalahan di atas, serta literasi dari kitab Faidhurrahman, jurnal dan artikel. Hasil penelitian ini ini memuat inti dari tasawuf yaitu Takhalli, Tahalli dan Tajalli yang mana masing-masing terdiri dari berbagai aktivitas yang dapat menyucikan jiwa seorang individu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
27

Ahmadi, Rizqa. "Sufi Profetik: Studi Living Hadis Jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kabupaten Trenggalek." Jurnal Living Hadis 2, no. 2 (March 15, 2018): 289. http://dx.doi.org/10.14421/livinghadis.2017.1331.

Full text
Abstract:
Pandangan miring terhadap kelompok tarekat oleh sebagian golongan yang mengklaim dirinya lebih nyunnah menjadi pemicu perdebatan akademik yang panjang. Seolah-olah ajaran para sufi bertentangan dengan sunnah padahal dengan membaca sirāh, Beliau adalah zāhid, ābid, nāsik sekaligus sufi sejati yang patut diteladani. Pada kasus muslim Indonesia, fenomena ini lebih menarik lagi dengan adanya fakta bahwa corak Islam awal yang muncul di Indonesia menurut para sejarawan, lebih bercorak sufisme. Selain fakta tersebut, cara beragama muslim Indonesia yang terbentuk perpaduan antara tradisi yang telah mengakar dan keyakinan agama yang dianut meneguhkan bahwa hubungan ajaran tasawuf baik dalam wujud tarekat maupun bukan, berbanding lurus dengan misi luhur kenabian. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini secara fenomenologis menarasikan berbagai ritual dan kegiatan yang diyakini oleh jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kabupaten Trenggalek, terinspirasi dari sunnah Nabi. Aktifitas tersebut terdiri dari dua kategori. Kategori pertama spiritualitas yang meliputi amalan-amalan sunnah dalam bentuk mujāhadah, riyādhah, dan berbagai zikir dan wirid yang diwajibkan. Dan kategori kedua berupa aktifitas sosial bermasyarakat, terwujud dalam internalisasi nilai-nilai luhur dalam membangun masyrakat yang makmur, rukun dan damai.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
28

Hasan, In'amul, and Ahmad Ahnaf Rafif. "POLARISASI SUFISTIK DAN HADIS PADA POPULARITAS IHYA’ ‘ULUMUDDIN DI NUSANTARA." Riwayah : Jurnal Studi Hadis 6, no. 1 (May 27, 2020): 159. http://dx.doi.org/10.21043/riwayah.v6i1.6615.

Full text
Abstract:
<p><a name="_Hlk39758655"></a><span>Imam al-Ghazali sebagai pengarang kitab <em>Ihya’ ‘Ulumuddin </em>memiliki latar belakang hidup yang beragam. Ia pernah menjadi filsuf (<em>ahlu al-ra’yi</em>) yang kemudian beralih menjadi seorang sufi pada masa tuanya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan karangan beliau yang menjadi <em>masterpiece</em>, yaitu kitab <em>Ihya’ ‘Ulumuddin</em>. Kitab ini menjadi populer di Nusantara dan dijadikan sebagai rujukan utama panduan hidup seorang muslim. Namun, dibalik kepopuleran kitab ini, banyak ulama hadis yang memberikan komentar yang kontroversial terhadap hadis yang dimuat dalam kitab ini. Walaupun komentar tersebut banyak berdatangan ke kitab ini, Kepopuleran kitab <em>Ihya’ ‘Ulumuddin</em> tidak lusuh di Nusantara, bahkan bisa bertahan hingga saat ini. Hal itu dapat terlihat pada saat Musabaqah Qira‘ah al-Kutub (MQK), kitab ini dijadikan kitab yang diperlombakan pada cabang akhlak tingkat ulya. Adapun tulisan ini membahas seluk-beluk serta alasan kitab ini tetap eksis dan dapat dipertahankan, terutama di Nusantara. Dengan pendekatan historis, atau lebih spesifiknya tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang diiringi dengan interpretasi sufi dan <em>muhaddisin</em> terhadap hadis-hadis yang ada dalam kitab ini, tulisan ini mengarah kepada sebab kepopuleran kitab ini di Nusantara. Di antara hasil penelitian ini adalah: (1) Masuknya Islam ke Nusantara dipelopori oleh ulama-ulama tasawuf, bukan ulama hadis, (2) kitab <em>Ihya’ ‘Ulumuddin </em>dipopulerkan oleh ulama-ulama taswauf yang berorientasi kepada syari’at (<em>neo-sufisme</em>), (3) komentar-komentar kontroversial yang berdatangan kepada kitab ini karena interpretasi ahli hadis (<em>muhaddisin</em>) yang terlalu ketat, serta (4) perbedaan interpretasi antara <em>muhaddisin </em>dan kaum sufi terhadap otentisitas hadis.</span></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
29

Rajab, Hadarah. "PENDIDIKAN DIMENSI TASAWUF MEMBANGUN MORAL ANAK DIDIK." LENTERNAL: Learning and Teaching Journal 1, no. 3 (October 6, 2020): 114–23. http://dx.doi.org/10.32923/lenternal.v1i3.1649.

Full text
Abstract:
Manusia modern semakin terkontaminasi oleh rasa cemas dan kehilangan visi keilahian serta kehilangan dimensi transdental, sehingga mudah dihinggapi kegersangan dan kritis spiritual.Sebagai akibatnya, manusia modern sering dihinggapi penyakit setress, depresi dan alusinasi.Mereka teralusisnasi dengan dirinya sendiri, dari lingkungan sosialnya dan yang terpenting lagi seolah-olah pesan dari Tuhannya.Kesenjangan antara identitas dan peran agama di satu sisi dan kenyataan masyarakat beragama di sisi lain sebagai dampak modernisme, menunjukkan lemahnya peran agama ditengah-tengah masyarakat. Karena agama yang dipahami oleh masyarakat tampaknya masih sebatas pemahaman dan pengalaman agama secara formalistik.Pemahaman dan pengamalan agama pada masyarakat belum sampai menyentuh pada tingkat penghayatan batiniyah dari hakikat agama.Pemahaman dan pengamalan seperti itu tidak banyak berpengaruh terhadap pembinaan moral.Apalagi jikalau agama hanya dijadikan sebagai simbol pengakuan belaka, tanpa pemahaman dan pengamalan. Bagi setiap insan manusia, baik secara pribadi maupun secara unversal, tentu saja menghendaki sebuah hasil pencapaian hidup yang maksimal agar biasa eksis. Untuk pencapaian level yang paripurna tersebut, membutuhkan upaya secara berkelanjutan dan konsisten pada jalan spiritual sembari menekenuni latihan dan olahan batin, dengan upaya maksimal itulah meberi jalan pintas bagi seseorang mencaoai suatu kecerdasan maksimal yang disebut intlek (intelektus). Media intelek inilah kemudian berfungsi sebagai untuk mengendalikan langkah hidup dan pencapaian yang layak sampai pada visi keabadian, sekaligus menapis sikap dan praktek pragmatism, kepentingan temporal manusia.Manusia dapat menoropong sendi-sendi kebaikan dirinya secara spesifik demi eksistensi kebaikan universal.Manusia pada dimensi ini, telah mencapai pengetahuan substantif secara filsafati dan damai dalam keabadaian hakiki secara spiritual.Maka degan inilah terbangun sebuah landasan spiriiutal tasawuf yang sekaligus actuality. Tasawuf dapat dihami sebagai bagian dari aspek keilmua Islam secara khusus meurpakan dimensi pembersihan jiwa ruhaniah manusia yang menjadi morot penggerak semangat dan jiwa moral yang penuh dengan sikap santun dan keperibadian sebagai ‘tauladan’. Sejatinya, ilmu tasawuf pada mulanya tidak terpisahkan dengan serangkaian olahan batin yang disebut dalam ilmu tasawuf sebagai tazkiyah an-nafs, pada aspek ini menjadi jalan yang mutlak dilalui bagi setiap insan yang menjalani atau pementasan spiritualitas dirinya. Dalam perjalanan spiritual para sufi adalah pengendalian diri dari intrik-intrik dunawiah, mengindarkan diri dari segala bentuk rangsangan (godaan) materi, sebab godaan materi ini dipandangan sebagai biang dari segala penghacuran menuju keabadian; yakni ‘insan suci’. Ini menggambarkan bahwa betapa detealnya perjalanan yang harus ditempuh selama hayat dikandung dikenal dengan mujahadah yakni perjuangan sepanjang hidup manusia. Mujahadah sebagai evisentrum terjalinnya hubungan timbal balik antara hamba dengan Tuhannya demikian sebalik, Tuhan yang dituju akan hadir dan senantiasa mengintai dirinya, menjaga sikap dan perilaku diri untuk selalu dan selamanya menjadi peribadi yang baik, teladan dan terpercaya, inilah model akhlak yang harus diinplementasikan dalam hidup keseharian manusia, menjadi terdidik dan intiqamah. ABSTRACT Modern humans are increasingly contaminated with anxiety and lose the vision of divinity and lose the transcendental dimension, so they are easily seized with spiritual aridity and criticality. As a consequence, modern humans are often afflicted with stress, depression, and hallucinations. They are hallucinating with themselves, from their social environment, and most importantly, as if it were a message from their God.The disparity between identity and the role of religion on the one hand and the reality of religious society on the other hand, as a result of modernism, shows the weak role of religion in society. Because the religion that is understood by the community seems to be still limited to understanding and experiencing religion in a formalistic manner. The understanding and practice of religion in society have not yet reached the level of inner appreciation of the nature of religion. Such understanding and practice have little effect on moral formation. Especially if religion is only used as a symbol of recognition, without understanding and practice. Humans, to be able to reach an existential level, of course, have to make the spiritual ascent and train their intellectual acuity. Fragmentary knowledge cannot be used to see the complete reality unless he has an intellectual vision of the whole. Whereas in every case complete knowledge about nature cannot be achieved but must be through knowledge from the center (center) because this knowledge also contains divine knowledge which can essentially be a link between the servant and his creation. Man can know himself perfectly, only if he has the help of God's knowledge because a relative existence will only be meaningful if he is tied to the Absolute, namely 'God' Sufism is a field of Islamic studies that focuses its attention on efforts to clean up aspects of the human inner self that can revive the noble morals. So as a science since the beginning of Sufism, it cannot be separated from the tazkiyah al-Nafs (purification of the mind/soul). This effort is then theorized in the stages of self-control and certain disciplines from one stage to the next so that it reaches a spiritual level (maqam) which is referred to by the Sufis as zhuhud (testimony), form (encounter), or mortal '(self-annihilation). With a clear heart, according to a Sufistic perspective, a person is believed to be able to give up his devotions and maintain behavior because he can feel a closeness to Allah SWT.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
30

Natsir, Muhammad. "REPRESENTASI POLA PERILAKU TASAWUF DALAM MEMBANGUN DINAMISASI MASYARAKAT GLOBAL." Wahana Akademika: Jurnal Studi Islam dan Sosial 6, no. 1 (September 29, 2020): 41. http://dx.doi.org/10.21580/wa.v6i1.3021.

Full text
Abstract:
<p align="center"><strong>Abstrak</strong></p><p>Islam agama Rahmatan lil ‘alamin yang mengajarkan sikap <em>wasathiyah</em> sesuai dengan metodologi Al-Qur’an, yaitu lembut, santun, ramah, berlapang dada, dan mengandalkan kekuatan doa. Wajah Islam Nusantara yang dibawa oleh para mujahid sufi wali sanga adalah sangat kental diwarnai oleh corak Tasawuf, yaitu corak keIslaman yang lembut, santun dan toleran. Para Ulama’ dari kurun waktu ke waktu yang lain telah memposisikan dirinya sebagai obor umat, yang senantiasa membimbing umat agar menjadi sebatang pohon yang indah. Akar keyakinan yang kokoh; batang, dahan, ranting dan dedaunannya adalah istiqomah; sedangkan buah pohon keIslaman adalah integritas akhlak, etika, dan moral.</p><p>Ajaran Islam memiliki tiga pilar; iman, Islam dan ihsan, kemudian berkembang menjadi akidah, syari’ah, dan akhlak atau tawhid, fikih dan Tasawuf. Ihsan merupakan essensi Tasawuf dan sebaliknya, keduanya merupakan pilar utama untuk membangun pribadi Muslim yang saleh, yaitu pribadi yang tercermin pada diri dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai Al-Qur’an hidup.</p><p>Indonesia telah masuk pada abad ke-21 atau abad global, banyak masyarakat muslim yang berhasil menduduki posisi strategis di segala ranah kehidupan; politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang seharusnya mewarnai Indonesia dengan nilai-nilai keIslaman semisal etos kerja, produktifitas, professional, dan integritas yang berujung pada <strong>kemaslahatan umat manusia</strong>. Akan tetapi, moralitas mereka kotor karena hanya menunjukkan simbol-simbol keIslaman saja. Ihsan (Tasawuf) dipahami secara inklusif; terbatas pada ranah perilaku peribadatan saja, sehingga Rekontekstualisasi nilai-nilai Tasawuf pada seluruh ranah kehidupan manusia akan menjadi wujud perilaku nyata sebagai representasi dari nilai ajaran tasawuf itu sendiri untuk mewujudkan <em>maslahah</em> bagi manusia yang dinamis seiring perkembangan zaman.</p><p><strong>Kata Kunci : Representasi, Tasawuf, masyarakat, global</strong></p><p align="center"><strong>Abstract</strong></p><p> </p><p>Islam Rahmatan lil 'alamin religion that teaches attitude wasathiyah accordance with the methodology of the Qur'an, that is gentle, courteous, friendly, diledang chest, and rely on the power of prayer. The face of Islamic archipelago brought by the Sufi sage mujahid is very strongly colored by the style of Sufism, ie the pattern of keIslaman gentle, polite and tolerant. The Ulama 'from time to time others have positioned themselves as the torch of the Ummah, who constantly guides the people into a beautiful tree. The root of firm beliefs; stems, branches, twigs and leaves are istiqomah; while the fruit of Islamic trees is the integrity of morals, ethics, and morals.</p><p>Islamic teachings have three pillars; faith, Islam and ihsan, then developed into aqidah, shari'ah, and morals or tawhid, fiqh and mysticism. Ihsan is the essence of Sufism and vice versa, both of which are the main pillars for building a pious Muslim personality, a person who is reflected in the self and behavior of Prophet Muhammad as the living Qur'an.</p><p>Indonesia has entered the 21st century or the global century, many Muslim societies have succeeded in occupying strategic positions in all spheres of life; political, economic, social and cultural rights, which should color Indonesia with Islamic values such as work ethic, productivity, professional, and integrity that lead to the benefit of mankind. However, their morality is dirty because it shows only the symbols of Islam. Ihsan (Sufism) is understood inclusively; confined to the domain of religious behavior only, so that Rekontekstualisasi the values of Sufism on the entire realm of human life will be a manifest behavior as a representation of the value of the teachings of Sufism itself to realize the maslahah for human dynamic as the times.</p><p><strong>Keywords: Representation, Sufism, society, global</strong></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
31

Lutfi, Ahmad. "PERGULATAN SYARIAH DAN TASAWUF DI NUSANTARA: Analisis Kuasa Pengetahuan Syariah Atas Sufi Siti Jenar Dalam Praktek Islam Politik." Dialogia 17, no. 2 (December 23, 2019): 161–80. http://dx.doi.org/10.21154/dialogia.v17i2.1858.

Full text
Abstract:
Abstract: The writing will reveal the relation of knowledge and power by taking the case of Sheikh Siti Jenar. The focus is on "aspects of thinking" that influence behavior. First, The problem sub-formulation, what is Sufi Siti Jenar thinking? Second, how does the relation of Siti Jenar's teachings dominate the body of its adherents to become its socio-political movement? Third, how is the practice of the power of walisongo knowledge in framing the truth of the teachings which has an effect on the marginalization of the Siti Jenar group?To do that, the writer will use a critical discourse analysis approach by utilizing his geneology theory Michel Foucault. The results of the discussion can be concluded are first, Sufism of Sufi Siti Jenar has the effect of liberation from humans themselves on the one hand, and has a deconstructive dimension to the meaning of power when placed in a socio-political space. Second, the form of mastery of his body is the birth of the perspective of the separation of religion and politics. However, because this thought was present at a time when the community did not yet have a referential awareness about secularization, the phenomenon of Siti Jenar and her followers was considered a rebel. Third, the locus of shari'ah walisongo actually makes Islam as something formalist. Formally, is an Islamic kingdom based on sharia enforcement itself. This makes the conflict of knowledge between sharia and Sufism. The clash is not only about interests but also because the basic character of the two sciences is indeed different and guides the behavior of adherents differently.الخلاصة : تهدف كتابة هذه المقالة للكشف عن صلّة المعرفة والسّلطة عند شيخ سيّد جنار. وركزت كتابة هذه المقالة على "ناحية الفكرة"، لوجود الأثر على السلوكية. وأما الفروع لمشكلة البحث فهو كما يلي: الأوّل: كيف فكرة التصوّف عند شيخ سيّد جنار؟ والثّاني: كيف الصلّة في تعاليم شيخ سيّد جنار عند رابط الجأش لتابعه حتي خطر في حركتهم السياسة الاجتماعية؟ والثالث: كيف تطبيق سلطة المعرفة لوالي سونجو عند صياغ حقائق التعاليم، وتأثر ذلك إلى إسقاط فرقة شيخ سيّد جنار؟ وللوصول إلى البيانات السابقة، استخدم الكاتب منهج تحليل السياقات النّقديّة، باستخدام النّظرية الأنساب (geneologi) من ميجال فوغات (Michel Foucault). وأما النتائج من كتابة هذه المقالة هي: الأوّل: تؤثّر فكرة التصوّف من شيخ سيّد جنار إلى الليبرالية لنفس الإنسان، وعلى الأبعاد يؤدّي إلى ظهور تّفكيكي السلطة إذا وضع فى مجال السياسية الاجتماعية. والثاني: تولد سلطة الأجسام على وجهات النظر بتفارق الدّين والسياسية. ولكن أصبحت الفكرة الظاهرة من شيخ سيّد جنار وتابعه حركة انتفاضة لعدم وعي المجتمع نحو العلمانية. والثالث : مواضع الشريعة لوالي سونجو يفضي الإسلام إلي صورة الشكلية. وأما صورة الرّسمية من دين الإسلام هي بصورة الممالك الإسلامية بمبدئي الشريعة. إذ يسبّب هذا الحال إلى ظهور الصدمة بين الشريعة والتصوّف، لإختلاف الخصائص والحاجات بينهما. Abstrak: Tulisan akan mengungkap relasi pengetahuan dan kekuasan dengan mengambil kasus Syekh Siti Jenar. Fokusnya pada “aspek pemikiran” yang berpengaruh terhadap perilaku. Sub-rumusan masalahnya adalah pertama, bagaimana pemikiran tasawuf Siti Jenar? Kedua, bagaimana relasi ajaran Siti Jenar menguasai tubuh para penganutnya hingga menjadi gerak sosial politiknya? ketiga, bagaimana praktek kuasa pengetahuan walisongo dalam membingkai kebenaran ajaranya yang berefek pada marginalisasi kelompok Siti Jenar?. Untuk mengkerangkai pembahasan tersebut, penulis akan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis dengan memanfaatkan teori geneologinya Michel Foucault. Hasil pembahasanya bisa disimpulkan pertama Pemikiran tasawuf Siti Jenar berdampak liberasi dari manusia itu sendiri di satu sisi, dan berdimensi dekonstrukstif pada makna kekuasaan bila diletakkan dalam ruang sosio-politik. Kedua, bentuk dari penguasaan tubuhnya adalah lahirnya perspektif pemisahan agama dan politik. Namun karena pemikiran ini hadir pada masa dimana masyarakat waktu itu belum mempunyai kesadaran referensial tentang sekularisasi, maka fenomena Siti Jenar dan pengikutnya dianggap sebagai pemberontak. Ketiga, lokus syari’ah walisongo justru menjadikan Islam sebagai sesuatu yang formalis. Bentuk formanyal adalah kerajaan Islam berbasis penegakan syariah itu sendiri. Hal ini menjadikan benturan pengetahuan antara syariah dengan tasawuf. Benturan itu bukan hanya adanya kepentingan tapi karena karakter dasar dari kedua ilmu itu memang berbeda dan menuntun perilaku penganutnya secara berbeda pula.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
32

Dahri, Harapandi. "Moderasi Islam Pespektif Sufi: Kajian Kitab Tajul ‘Arus Karya al-Syaikh Tajuddin Ibn ‘Athaillah al-Sakandari." Jurnal Fuaduna : Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan 4, no. 2 (December 31, 2020): 126. http://dx.doi.org/10.30983/fuaduna.v4i2.3740.

Full text
Abstract:
<p><em>Islam as one of the divine religions carries the message of peace, harmony between people and even between God's creatures (</em>rahmatan lil 'Ālamîn<em>). There is no single text either al-Qur'an or al-Hadith which instructs its adherents to do the opposite, think and act radically and are anti-establishment. This problem by the previous scholars has been explained in various strokes of their thoughta. This article focuses on the thoughts of al-Shaykh Tajuddin ibn 'Athaillah al-Sakandari as one of the classical Sufism scholars who concentrate on and focus on the harmonization and moderation of Islam. By using a text and context study approach to the </em>Kitab Tâjul 'Arus<em>, this article finds that Islamic moderation in the Sufi perspective is seen through concepts such as </em>al-taubah<em>, the nature of </em>ittibâ' al-Nabi<em>, </em>ahwâl al-qalb wa al-nafs, asrâr. al-Salah<em>, as well as a lover of the world and the hereafter. Therefore, moderation in Islam is the highest value that must be maintained and carried out by every human being, so that there are no words of swearing, insults, or persecution in the name of religion, race, and group. Faith in Allah and love for the Messenger of Allah should be able to be a force in stopping all forms of injustice against everyone, even other creatures of God.</em></p><p>Islam sebagai salah satu agama samawi membawa pesan perdamaian, keharmonian antara sesama bahkan antara makhluk Allah <em>(rahmatan lil ‘Ālamîn)</em>. Tiada satu teks baik al-Qur’an maupun al-Hadits yang menyuruh penganutnya melakukan perkara-perkara sebaliknya, berfikir dan bertindak radikal dan anti kemapanan. Persoalan tersebut oleh para ulama’ terdahulu telah dijelaskan dalam berbagai goresan pemikirannya. Artikel ini fokus pada pemikiran al-Syaikh Tajuddin ibn ‘Athaillah al-Sakandari sebagai salah satu dari ulama tasawuf klasik yang konsen dan fokus<em> </em>terhadap harmonisasi dan moderasi Islam. Dengan menggunakan pendekatan kajian teks dan konteks atas <em>Kitab</em> <em>Tâjul ‘Arus, </em>artikel ini menemukan bahwa pemikiran moderasi Islam dalam perspektif sufi terlihat melalui konsep-konsep seperti <em>al-taubah, </em>hakikat<em> ittibâ’ al-Nabi, ahwâl al-qalb wa al-nafs, asrâr al-Shalah</em>, serta pencinta dunia dan akhirat<em>. </em>Karenanya, moderasi dalam Islam adalah nilai (<em>value</em>) tertinggi yang mesti dijaga dan dijalankan oleh setiap insan, sehingga tiada terdengar kata-kata umpatan, cacian, maupun persekusi atas nama agama, ras, dan juga golongan. Keyakinan akan Allah dan kecintaan kepada Rasulullah mestinya dapat menjadi kekuatan dalam memberhentikan segala bentuk ketidakadilan terhadap setiap insan bahkan pada makhluk-makhluk Tuhan yang lain.<em></em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
33

Dahri, Harapandi. "Moderasi Islam Pespektif Sufi: Kajian Kitab Tajul ‘Arus Karya al-Syaikh Tajuddin Ibn ‘Athaillah al-Sakandari." Jurnal Fuaduna : Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan 4, no. 2 (December 31, 2020): 126. http://dx.doi.org/10.30983/fuaduna.v4i2.3740.

Full text
Abstract:
<p><em>Islam as one of the divine religions carries the message of peace, harmony between people and even between God's creatures (</em>rahmatan lil 'Ālamîn<em>). There is no single text either al-Qur'an or al-Hadith which instructs its adherents to do the opposite, think and act radically and are anti-establishment. This problem by the previous scholars has been explained in various strokes of their thoughta. This article focuses on the thoughts of al-Shaykh Tajuddin ibn 'Athaillah al-Sakandari as one of the classical Sufism scholars who concentrate on and focus on the harmonization and moderation of Islam. By using a text and context study approach to the </em>Kitab Tâjul 'Arus<em>, this article finds that Islamic moderation in the Sufi perspective is seen through concepts such as </em>al-taubah<em>, the nature of </em>ittibâ' al-Nabi<em>, </em>ahwâl al-qalb wa al-nafs, asrâr. al-Salah<em>, as well as a lover of the world and the hereafter. Therefore, moderation in Islam is the highest value that must be maintained and carried out by every human being, so that there are no words of swearing, insults, or persecution in the name of religion, race, and group. Faith in Allah and love for the Messenger of Allah should be able to be a force in stopping all forms of injustice against everyone, even other creatures of God.</em></p><p>Islam sebagai salah satu agama samawi membawa pesan perdamaian, keharmonian antara sesama bahkan antara makhluk Allah <em>(rahmatan lil ‘Ālamîn)</em>. Tiada satu teks baik al-Qur’an maupun al-Hadits yang menyuruh penganutnya melakukan perkara-perkara sebaliknya, berfikir dan bertindak radikal dan anti kemapanan. Persoalan tersebut oleh para ulama’ terdahulu telah dijelaskan dalam berbagai goresan pemikirannya. Artikel ini fokus pada pemikiran al-Syaikh Tajuddin ibn ‘Athaillah al-Sakandari sebagai salah satu dari ulama tasawuf klasik yang konsen dan fokus<em> </em>terhadap harmonisasi dan moderasi Islam. Dengan menggunakan pendekatan kajian teks dan konteks atas <em>Kitab</em> <em>Tâjul ‘Arus, </em>artikel ini menemukan bahwa pemikiran moderasi Islam dalam perspektif sufi terlihat melalui konsep-konsep seperti <em>al-taubah, </em>hakikat<em> ittibâ’ al-Nabi, ahwâl al-qalb wa al-nafs, asrâr al-Shalah</em>, serta pencinta dunia dan akhirat<em>. </em>Karenanya, moderasi dalam Islam adalah nilai (<em>value</em>) tertinggi yang mesti dijaga dan dijalankan oleh setiap insan, sehingga tiada terdengar kata-kata umpatan, cacian, maupun persekusi atas nama agama, ras, dan juga golongan. Keyakinan akan Allah dan kecintaan kepada Rasulullah mestinya dapat menjadi kekuatan dalam memberhentikan segala bentuk ketidakadilan terhadap setiap insan bahkan pada makhluk-makhluk Tuhan yang lain.<em></em></p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
34

Mudaimin, Mudaimin. "KONSEP CINTA ILAHI (MAHABBAH) RABI’AH ADAWIYAH." Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 16, no. 1 (July 21, 2020): 133–62. http://dx.doi.org/10.24239/rsy.v16i1.552.

Full text
Abstract:
We ​​need a handle on life, that is religion or belief that recognizes the existence of an all-powerful substance, whereas in daily life a person is required to maintain, improve, and improve the quality of faith and piety in the creator, to achieve that there are all several ways one of which is through the world of Sufism or commonly known as the mystical world. For attainment in the mystical world it can be done by way of meditation or spiritual practice. The pinnacle of the mystical world is mahaabah or divine love where these are the highest levels of attainment towards God. In this paper the author examine the theory of divine love (mahabbah) from the Sufi women who first expressed her love to God, namely Rabi'ah Adawiyah. This paper uses the type of library research, while the approach used is historical, philosophical. Data collection is done by the documentation method and analyzed by descriptive analysis method. According to Rabi'ah love is love that has no strings attached to it and does not expect a reward in the form of either reward or liberation of the law, but what is sought is only doing God's will and perfecting it. Dalam kehidupan ini kita membutuhkan pegangan hidup yaitu agama atau keyakinan yang mengakui adanya Zat yang maha kuasa, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari seseorang dituntut menjaga, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas iman dan takwa pada sang pencipta, untuk mencapai itu semua ada beberapa jalan salah satunya adalah melalui dunia tasawuf atau biasa dikenal dengan dunia mistik. Untuk pencapaian dalam dunia mistik itu dapat dilakukan dengan cara meditasi atau latihan spiritual. Puncak dari dunia mistik adalah mahaabah atau cinta Ilahi dimana ini semua merupakan tingkat tertinggi dalam pencapaian menuju Allah. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk menelaah teori cinta ilahi (mahabbah) dari toko sufi perempuan yang pertama kali mengemukakan kecintaanya pada sangkhalik yakni Rabi’ah Adawiyah. Penelitian dengan judul “Konsep Cinta Ilahi (Mahabbah) Rabi’ah Adawiyah” menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), adapun pendekatan yang digunakan adalah historis, folosofis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dan dianalisis dengan metode analisis deskritif. Menurut Rabi’ah cinta adalah cinta yang tidak ada pamrih di dalamnya dan tidak mengharapkan balasan baik yang berupa ganjaran maupun pembebasan hukum, tetapi yang dicari hanyalah melakukan keinginan Allah dan menyempurnakannya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
35

Mukharom, Rohmah Akhirul, and Jarman Arroisi. "MAKNA HIDUP PERSPEKTIF VICTOR FRANKL: KAJIAN DIMENSI SPIRITUAL DALAM LOGOTERAPI." TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 20, no. 1 (July 6, 2021): 91–115. http://dx.doi.org/10.30631/tjd.v20i1.139.

Full text
Abstract:
This article aims to reveal the concept of logotherapy of Victor Frankl. This study uses descriptive analysis. First, the concept of logotherapy has three pillars in its philosophical foundation, the freedom of will, in this context every human being free to make choices to determine his own choice and destiny. The will to meaning, which every human being has the desire to have meaning in life. The meaning of life is an awareness of the possibility to realize what is being done at that time which then if successfully fulfilled will produce happiness. Second, in logotherapy, there is a noetic dimension which equivalent to the spiritual dimension, which tends toward the anthropological dimension rather than the theological dimension and does not contain religion. Third, the spiritual logotherapy dimension is different from Sufism. If Sufism spiritual affirms the sharia, then logotherapy departs from human existence. The implications of these differences give to a variety of happiness, both spiritual and physical. Artikel ini bertujuan mengungkap konsep logoterapi yang diformulasikan oleh Victor Frankl. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis kajian ini menghasilkan beberapa kesimpulan: pertama, konsep logoterapi memiliki tiga landasan filosofis yaitu, kebebasan berkeinginan (the freedom of will). Dalam konteks ini setiap manusia bebas menentukan pilihan dan nasibnya sendiri. Keinginan akan makna (the will to meaning), yaitu manusia memiliki hasrat untuk memiliki makna hidup. Makna hidup adalah sebuah kesadaran untuk mengetahui apa yang dilakukan saat itu hingga menghasilkan kebahagiaan. Kedua, di dalam logoterapi terdapat dimensi spiritual yang cenderung ke arah antropologis daripada kearah teologis serta tidak mengandung konotasi agama. Ketiga, dimensi spiritual logoterapi berbeda dengan dimenssi dalam tasawuf. Jika para sufi mengafirmasi spiritual pada syariat maka logoterapi berangkat dari human exsistence. Implikasi dari kedua perbedaan tersebut melahirkan ragam kebahagiaan baik kebahagiaan ruhani dan ragawi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
36

Casmini, Casmini. "Konsep dan Etika Kebahagiaan Melalui Ekonomi Sufistik." WELFARE : Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial 11, no. 1 (December 30, 2022): 36–48. http://dx.doi.org/10.14421/welfare.2022.111-03.

Full text
Abstract:
This article aims to describe the thinking about economic practices that are not dichotomous with religion to get happiness. The offer of Sufistic spirituality becomes a bridge that connects economic activity with servitude to Allah SWT. This research is a literary study with primary sources of positive psychology literature, Sufistic economics and happiness, and secondary sources in the form of complementary sources, namely data about which supports a person can be happy such as economics and Sufism practices. Data analysis was carried out with stages of identification data collection, clarification between sources, classification of discussion themes, narrating, and discussing in a systematic and coherent system. The results showed that happiness is found in the course of economic practices inspired by Sufi spiritual values. Economic practice is guided by the foundation of life that relies on spiritual feelings namely, faith, Islam and ihsan through the stages of takhalli, tahalli and tajalli to find ultimate happiness. Economic behavior runs through the integration of physical and spiritual elements which are integrated into the spirit of economic practice in people's lives. Keywords: happiness, sufistic-economic, spirituality, economic action Artikel ini bertujuan mendeskripsikan pemikiran tentang praktik ekonomi yang tidak dikhotomis dengan agama untuk mendapatkan kebahagiaan. Tawaran spiritualitas sufistik menjadi jembatan yang menghubungkan kegiatan ekonomi dengan penghambaan kepada Allah SWT. Penelitian ini merupakan penelitian literartur dengan sumber primer literatur psikologi positif, ekonomi sufistik dan kebahagiaan, dan sumber sekunder berupa sumber komplementer yaitu data-data mengenai yang mendukung seseorang dapat bahagia seperti ekonomi dan praktik tasawuf. Analisis data dilakukan dengan tahapan pengumpulan data identifikasi, klarifikasi antar sumber, klasifikasi tema-tema bahasan dan menarasikan serta mendiskusikan dalam sistematika yang runtut dan jelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan ditemukan seiring perjalanan praktik ekonomi yang dijiwai oleh nilai-nilai spiritualitas sufistik. Praktik ekonomi tertuntun dengan landasan kehidupan yang bersandar pada perasaan spiritual yaitu, iman, Islam dan ihsan melalui tahapan takhalli, tahalli dan tajalli untuk menemukan kebahagiaan hakiki. Laku ekonomi berjalan melalui integrasi unsur jasmaniah dan ruhaniah yang menyatu menjadi ruh spiritualitas praktik ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Kata Kunci: kebahagiaan, ekonomi sufistik, spiritualitas, praktik ekonomi
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
37

M. Marki, Jamaluddin. "KAJIAN LINGUISTIK DALAM AL-QUR’AN DAN TASAWUF (Perkembangan Ajarannya di Indonesia)." Metalanguage: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia 1, no. 01 Maret (March 24, 2021). http://dx.doi.org/10.56707/jmela.v1i01/2021/03.16.

Full text
Abstract:
Tasawuf (sufisme) adalah suatu falsafah hidup yang tujuan utamanya adalah meningkatkan derajat kesempurnaan jiwa manusia dari sisi moralitas. Tujuan tersebut bisa diraih dengan penyucian jiwa; dengan melakukan amalan-amalan tertentu (ibadah) hingga mencapai kondisi fanā’ sebagai metode memperoleh pengetahuan tentang hakikat tertinggi (Allah). Dalam perkembangannya, tasawuf dibagi ke dalam dua bagian, tasawuf teoritis dan tasawuf praktis. Setiap tipologi tersebut memiliki ajaran masing-masing yang mengarah pada penyucian hati untuk sampai kepada yang Haqq. Ajaran-ajaran yang dipraktikkan oleh para sufi mendapat kecaman dari sebagian kalangan. Karena dianggap tidak memiliki dasar baik dari al-Qur’an ataupun sunnah. Para orientalis beranggapan bahwa tasawuf yang berkembang dalam agama Islam sumbernya dari ajaran Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu, Persia bahkan ada yang beranggapan ajaran tersebut bersumber dari Filsafat Yunani. Akan tetapi banyak peneliti yang pro akan tasawuf dan beranggapan bahwa tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan sunnah. Di Indonesia sendiri tasawuf memiliki tempat tersendiri di hati penduduknya. Pasalnya, para sufi yang mempraktikkan ajaran tasawuf memiliki sumbangsih besar dalam Islamisasi Indonesia. Di antara tokoh-tokoh pembawa ajaran tasawuf ke Indonesia yaitu, Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf Al-Sinkili.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
38

Nuraini, Nuraini, and Nelly Marhayati. "NILAI-NILAI TASAWUF GENERASI MILENIAL." Nuansa 12, no. 2 (January 17, 2020). http://dx.doi.org/10.29300/nuansa.v12i2.2759.

Full text
Abstract:
Nilai-nilai Tasawuf Generasi Milenial. Tasawuf atau sufi sme merupakan hasil dari peradaban Islam yang keberadaannya sudah ada sejak dulu. Tasawuf seperti mengalami fase Revitalisasi di era generasi millennial ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak diimbangi dengan ajaran agama yang luhur membuat generasi millennial menjadi rakus dan jauh dari Tuhan. Kehadiran Tasawuf semakin bermakna, ketika tasawuf mampu menjadi oase di padang pasir yang tandus dan gersang bagi masyarakat modern yang mengalami krisis spiritual. Tasawuf dalam bentuk tarekat ataupun dalam bentuk yang sudah termodifi kasi akan menjadi solusi yang tepat ataupun obat bagi modernisasi dengan segala dampak dan konsekuensinya. Tasawuf dengan ajaran kerohaniannya dan akhlak mulianya semakin berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang mulai terkikis dengan moral yang luhur. Tasawuf yang dulunya diklaim menjadi salah satu penyebab kemunduran Islam, dan ditanggapi dengan sikap yang negatif oleh beberapa tokoh Islam ketika itu, seperti Fazlur Rahman dan Al-Faruqi, kini semakin mendapat tempat di kalangan generasi millennial yang serba modern.
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
39

Saliyo, Saliyo. "Mencari Makna Hidup Dengan Jalan Sufi di Era Modern." ESOTERIK 2, no. 1 (March 15, 2017). http://dx.doi.org/10.21043/esoterik.v2i1.1910.

Full text
Abstract:
<p><em>T</em><em>ujuan ditulisnya artikel ini untuk mengetahui perilaku sufi di era modern berkaitan dengan makna hidup. Pertanyaannya apakah seseorang yang menempuh perilaku sufi mampu menemukan makna hidup. Masalahnya kehidupan di era modern banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi setiap orang. Salah satu cara seseorang menemukan makna hidup dengan menggunakan keyakinan-keyakinan spiritual dan agama. Spiritual yang dimiliki seseorang akan menghasilkan ibadah, amal shaleh, dan akhlak yang mulia. Pandangan tersebut merupakan pandangan para pemilih jalan kehidupan sufi.</em></p><p> </p><em>Kesalehan normatif adalah seseorang yang melaksanakan kewajiban sebagai orang Islam. Kewajiban tersebut adalah melaksanakan rukun Islam. Seseorang yang mengambil jalan sufi harus kuat pengetahuan syari’at, tarekat, dan hakikat. Sisi lain sikap sufi yang positif menjadi tasawuf positif atau dikenal dengan neosufisme. Sufisme merupakan spiritualitas yang sangat kompleks yang di dalamnya ada moral, emosi, kognitif dan spekulatif. Salah satu praktik perilaku sufi adalah puasa, meditasi, dan etika. Perilaku sufi merupakan representasi kebebasan spiritual yang melahirkan ketenangan, penyucian dan kebahagiaan yang luar biasa bersama Tuhan. Manusia tidak bisa lepas dari ikatan ikatan permasalahan psikologi yang san gat kompleks dan ikatan biologi. Kekuatan yang dimiliki manusia adalah apabila orang tersebut mampu menjalin hubungan dengan Tuhannya secara internal dengan kuat. Langkah-langkahnya dalam perilaku sufi dengan cara taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan cint a terhadap Allah</em>
APA, Harvard, Vancouver, ISO, and other styles
We offer discounts on all premium plans for authors whose works are included in thematic literature selections. Contact us to get a unique promo code!

To the bibliography