Auswahl der wissenschaftlichen Literatur zum Thema „Kupu“

Geben Sie eine Quelle nach APA, MLA, Chicago, Harvard und anderen Zitierweisen an

Wählen Sie eine Art der Quelle aus:

Machen Sie sich mit den Listen der aktuellen Artikel, Bücher, Dissertationen, Berichten und anderer wissenschaftlichen Quellen zum Thema "Kupu" bekannt.

Neben jedem Werk im Literaturverzeichnis ist die Option "Zur Bibliographie hinzufügen" verfügbar. Nutzen Sie sie, wird Ihre bibliographische Angabe des gewählten Werkes nach der nötigen Zitierweise (APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver usw.) automatisch gestaltet.

Sie können auch den vollen Text der wissenschaftlichen Publikation im PDF-Format herunterladen und eine Online-Annotation der Arbeit lesen, wenn die relevanten Parameter in den Metadaten verfügbar sind.

Zeitschriftenartikel zum Thema "Kupu"

1

Fernando, Riki. „Simbol Kupu-Kupu dalam Cerpen Seto Menjadi Kupu-Kupu Karya A.S. Laksana: Kajian Semiotika“. Kelasa 16, Nr. 1 (30.06.2021): 86–103. http://dx.doi.org/10.26499/kelasa.v16i1.164.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Sitompul, Amiruddin. „Metamorfosis Kupu-kupu: Sebuah Komposisi Musik“. PROMUSIKA 5, Nr. 1 (25.04.2017): 17–24. http://dx.doi.org/10.24821/promusika.v5i1.2283.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Gagasan menciptakan karya seni terkadang berasal dari lingkungan sekitar, di antaranya yang banyak digunakan sebagai ide ialah kupu-kupu yang perkembangbiakannya melalui proses metamorfosis. Metamorfosis Kupu-kupu dipilih sebagai gagasan komposisi musik karena memiliki metamorfosis sempurna, atau holometabolisme. Penerapan gagasan Metamorfosis Kupu-kupu dalam komposisi ini menggunakan unsur ekstra-musikal sebagai gagasan dasar penciptaannya. Elemen ekstra musikal tersebut ditransformasikan ke dalam ide musikal dengan menggunakan unsur musikal di wilayah musik tonal. Karya ini dibuat oleh sumber program musik apelatif, yaitu yang dapat menempatkan karakter tertentu menjadi judulnya. Musik program musikal ini dibudidayakan dengan mengeksplorasi bentuk dan harmonisasinya. Pada karya ini penulis memperdalam ide dengan konsep-konsep harmoni, melodi, dinamika dan timbre. Penggunaan ukuran elemen eksplorasi dan pengolahan konsep-konsep tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap orisinalitas karya. Metamorfosis Kupu-kupu dilambangkan dengan catatan kunci soprano yang tenang pada bagian awal, kemudian menjadi lebih kompleks, dan didasarkan atas harmoni dan ritme yang dipertahankan sebagai iringan dengan penggunaan arpeggio sehingga menciptakan amosfir tenang pada proses tahap metamorfosis. Pemilihan alat musik yang tepat, penggunaan teknik-teknik kontrapung stretto, modus, polikordal, metrik, dan juga motif ekspansi maupun penyempitan yang digunakan dalam budidaya, diharapkan dapat memberi warna baru dalam penciptaan karya seni musik dan orisinalitasnya.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
3

Ngatimin, Sri Nur Aminah, Andi Nasruddin, Ahdin Gassa und Tamrin Abdullah. „Keanekaragaman Hayati Kupu-kupu Berbasis Pelestarian Lingkungan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung“. BIOMA : JURNAL BIOLOGI MAKASSAR 4, Nr. 2 (03.07.2019): 145. http://dx.doi.org/10.20956/bioma.v4i2.6915.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung adalah salah satu habitat kupu-kupu di Sulawesi Selatan. Sejak beberapa tahun yang lalu terjadi penurunan populasi kupu-kupu yang sangat cepat karena kerusakan hutan dan perburuan liar oleh masyarakat. Tujuan penelitian yang telah dilakukan adalah mempelajari habitat dan preferensi kupu-kupu terhadap tumbuhan pakan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Pelaksanaan kegiatan menggunakan metode survei dengan pemasangan transek berdasarkan habitat kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung Kabupaten Maros mulai bulan Juli sampai September 2017. Hasil pengamatan habitat kupu-kupu menunjukkan kupu-kupu paling banyak berada di lapangan terbuka yakni 18 ekor (35.3%), 12 ekor (23.5%) berada di hutan sekunder dan 6 ekor (11.8%) memilih berada dekat aliran air. Berdasarkan fungsi tumbuhan, 3 famili kupu-kupu menunjukkan preferensi terhadap tumbuhan penghasil nektar dan 4 famili kupu-kupu memilih tumbuhan penghasil daun untuk meletakkan telurnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lapangan terbuka (mating area) dan hutan sekunder merupakan habitat yang paling disukai oleh kupu-kupu untuk perkembangannya. Caesalpinia pulcherrima dan Clerodendron japonicum dapat digunakan sebagai sumber nektar kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Untuk jangka panjang diperlukan kerjasama antara Perguruan Tinggi, pemerintah daerah dan instansi terkait dalam melakukan pelestarian lingkungan hidup kupu-kupu di Sulawesi Selatan.Kata kunci : Bantimurung, habitat, keanekaragaman hayati, kupu-kupu, tumbuhan pakan
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
4

Ngatimin, Sri Nur Aminah, Tamrin Abdullah, Andi Nasruddin und Ahdin Gassa. „Pengenalan Jenis Kupu-kupu pada Murid SD 129 INPRES Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan“. Jurnal Hutan dan Masyarakat 9, Nr. 1 (30.07.2017): 30. http://dx.doi.org/10.24259/jhm.v9i1.1975.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Tujuan kegiatannya adalah : a) inventarisasi dan identifikasi jenis kupu-kupu di TWA Gua Pattunuang dan b) meningkatkan pemahaman murid Sekolah Dasar tentang peranan kupu-kupu di alam dan sumber keanekaragaman hayati. Manfaatnya adalah : kupu-kupu dapat menjadi sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat di TWA Gua Pattunuang jika dilakukan secara berkelanjutan. Penelitian berbentuk survei dilaksanakan di TWA Gua Pattunuang dan pengenalan jenis kupu-kupu untuk murid SD 129 Inpres Bantimurung Kabupaten Maros, yang berlangsung pada bulan Maret sampai Mei 2017. Tahapan pelaksanaan kegiatan : 1) pemasangan transek dan pengamatan jenis kupu-kupu; 2) identifikasi kupu-kupu dan menghitung keanekaragamannya dengan Indeks Shannon-Wiener; dan 3) pengenalan jenis kupu-kupu ke murid Sekolah Dasar. Jenis kupu-kupu yang diperoleh sebanyak 20 individu yang terdiri dari 6 jenis famili Papilionidae (T. haliphron, T. helena, P. demoleus, P. demolion dan G. agamemnon) dan D. chrysippus dari famili Nymphalidae. Berdasarkan nilai Indeks Shannon-Wiener untuk semua jenis kupu-kupu mempunyai kriteria sangat rendah (H < 1). Saat kegiatan berlangsung, lokasi pengamatan berada dalam peralihan musim hujan ke musim kemarau. Kesimpulannya : 1) kupu-kupu yang ditemukan sebanyak 20 individu terdiri dari 6 jenis yang berasal dari famili Papilionidae dan Nymphalidae; 2) sebanyak 57.3% murid Kelas 5 SDN 129 Inpres Bantimurung telah mengenal jenis kupu-kupu dan 28.8% dari murid SD berprofesi sebagai penangkap kupu-kupu. Rekomendasi untuk kegiatan ini adalah kerjasama Universitas dan Pemda Kabupaten Maros untuk memperbanyak kegiatan sosialisasi manfaat kupu-kupu kepada murid sekolah yang bermukim di sekitar TWA Gua Pattunuang.Kata Kunci : kupu-kupu, Gua Pattunuang, Papilionidae, Nymphalidae
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
5

Dalem, Anak Agung Gde Raka. „Kupu-Kupu Sebagai Daya Tarik Ekowisata Di Kawasan Pariwisata Lebih, Gianyar, Bali“. Metamorfosa: Journal of Biological Sciences 8, Nr. 1 (31.03.2021): 178. http://dx.doi.org/10.24843/metamorfosa.2021.v08.i01.p20.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Penelitian tentang kupu-kupu sebagai daya tarik ekowisata di kawasan pariwisata Lebih, Gianyar dilaksanakan pada tahun 2019. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis kupu-kupu yang ditemukan di kawasan tersebut serta mengetahui potensinya sebagai daya tarik ekowisata. Sampel kupu-kupu diambil melalui eksplorasi lokasi-lokasi penelitian, serta data lain diambil melalui wawancara. Kupu-kupu yang ditemukan di lokasi ini diidentifikasi kemudian dicatat. Potensi kupu-kupu sebagai daya tarik ekowisata dianalisis berdasarkan persepsi wisatawan. Lokasi dimana kupu-kupu telah dipakai sebagai daya tarik ekowisata, serta bagaimana membuat paket ekowisata berbasis kupu-kupu (jika ada) dilaporkan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ada 30 species kupu-kupu teridentifikasi di Kawasan Pariwisata Lebih. Berdasarkan hasil observasi serta wawancara dapat disimpulkan, bahwa ekowisata berbasis kupu-kupu atau produk ekowisata berbasis kupu-kupu sudah ada satu buah di Kawasan Pariwisata Lebih. Kawasan Pariwisata Lebih memiliki potensi untuk mengembangkan ekowisata berbasis kupu-kupu. Potensi ini dapat dilihat dari adanya kupu-kupu beragam, 30 jenis sebagai atraksi ekowisata. Potensi ini dapat ditingkatkan dengan keberadaan atraksi lainnya termasuk diantaranya keberadaan atraksi budaya dan atraksi buatan. Dari segi aksesibilitas: Kawasan Pariwisata Lebih termasuk relatif mudah diakses, khususnya oleh fasilitas transport yang dikelola berbasis online. Keberadaan fasilitas pariwisata di kawasan Lebih telah meningkat. Dukungan untuk pengembangan Kawasan Pariwisata Lebih telah diberikan oleh pemerintah. Setelah menetapkan sembilan desa serta beberapa desa di sekitarnya sebagai kawasan pariwisata, pemerintah serta pihak-pihak lainnya telah mengembangkan fasilitas dan menyelenggarakan even-even pariwisata pada kawasan ini. Kata Kunci— Bali, ekowisata, Kawasan Pariwisata Lebih, kupu-kupu, potensi ekowisata
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
6

Supriyanto, Ageng, Paska Sukandar und Susanti Murwitaningsih. „Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu (Lepidoptera) di Kawasan Penangkaran Wana Wisata Curug Cilember sebagai Sumber Belajar Sekolah Sekitarnya“. BIOEDUSCIENCE 2, Nr. 2 (31.12.2018): 129. http://dx.doi.org/10.29405/j.bes/22129-1342467.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Background: Penelitian keragaman kupu-kupu dilaksanakan di Penangkaran kupu-kupu di Wana Wisata Curug Cilember. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang keragaman jenis kupu-kupu. Mengetahui sekolah mana saja yang sudah memanfaatkan Kawasan Penangkaran kupu-kupu di Wana Wisata Curug Cilember sebagai sumber dan sarana belajar di luar kelas. Metode: penelitian ini dibagi menjadi dua tahap penelitian yaitu kegiatan pertama observasi habitat dan pengamatan jenis kupu-kupu, sedangkan kegiatan kedua observasi dan wawancara ke sekolah. Hasil: Hasil pengamatan pada penelitian tahap satu menunjukkan total kupu-kupu yang tercatat di area Penangkaran Wana Wisata Curug Cilember sebanyak 14 jenis yang terdiri dari 2 famili Papilionidae dan Nymphalidae, Stasiun parit/kolam memiliki indeks keanekaragaman jenis lebih tinggi (H’=2,33) dibanding stasiun rumput/semak (H’=1,64). Hasil penelitian tahap dua observasi wawancara menunjukkan 3 dari 8 sekolah responden yang lokasinya dekat dengan Penangkaran kupu-kupu 37,5 % sekolah yang sudah menggunakan Penangkaran kupu-kupu sebagai sumber belajar dan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Kesimpulan: hasil penelitian mendapatkan dua famili kupu-kupu, Stasiun parit secara umum memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu lebih tinggi (H‘= 2,33) dibanding stasiun semak/rumput (H‘= 1,64).
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
7

Mutiasari, Nadila Restu, Nurlaela Widyasari, Fitria Kristanti Eka Putri, Ihiya Aprisia Wanti, Refirman Djamahar und Nurmasari Sartono. „Keanekaragaman kupu-kupu (Lepidoptera) di Danau Kenanga, Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, Indonesia“. Proceeding of Biology Education 4, Nr. 1 (31.01.2021): 63–71. http://dx.doi.org/10.21009/pbe.4-1.6.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Penelitian mengenai Keanekaragaman kupu-kupu (Lepidoptera) di Danau Kenanga Universitas Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2020. Metode yang digunakan ialah eksploratif dengan menjelajahi jalur lokasi penelitian. Hasil dari data yang telah diperoleh yaitu 6 spesies kupu-kupu yang berasal 3 famili yaitu Lycaenidae, Pieridae, dan Nymphalidae, serta berjumlah 40 individu kupu-kupu. Hasil dari analisis indeks keanekaragaman pada kupu-kupu dengan menggunakan rumus Shanon-Wienner didapatkan (H’) sebesar 1,54 yang artinya memiliki keanekaragaman sedang dan hasil dari analisis indeks dominansi kupu-kupu dengan menggunakan rumus dominansi Simpson diperoleh (D) sebesar 0,25 yang artinya memiliki kategori rendah yaitu hampir tidak ada spesies yang mendominasi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa Ruellia simplex (kencana ungu) merupakan tumbuhan pakan serta tumbuhan inang kupu-kupu, Oxalis barrelieri (calincing tanah) merupakan tumbuhan pakan kupu-kupu, dan Dimocarpus longan (kelengkeng) merupakan tumbuhan inang kupu-kupu.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
8

Wahyudi, Andria Kusuma, Freandy Fernando Mewo und Sabatino Ganda. „Perangkat Visualisasi Metamorfosis Kupu-kupu Menggunakan Animated Augmented Reality“. SISFOTENIKA 8, Nr. 1 (10.01.2018): 69. http://dx.doi.org/10.30700/jst.v8i1.180.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
<p>Aplikasi ini menampilkan visualisasi metamorfosis kupu-kupu dan jenis jenis kupu kupu. Pada saat ini media visualisasi metamorfosis kupu-kupu masih terbatas pada tampilan 2D dan belum bisa di lihat secara keseluruhan. Umumnya media pengenalan metamorfosis kupu-kupu masih menggunakan buku ataupun poster yang terbatas 2D saja dan ukurannya tidak sama persis seprti ukuran aslinya. Aplikasi ini merupakan aplikasi augmented reality pada smartphone yang dapat menampilkan proses metamorfosis kupu-kupu dan jenis-jenis kupu-kupu dengan menampilkan gambar 3D dari setiap objek metamorfosis dan jenis-jenis kupu-kupu secara detail dan dengan skala yang sesunguhnya. Paper ini membahas cara pembuatan, pengumpulan data, perancangan aplikasi dan implementasi. Hasilnya adalah aplikasi visual 3D disempurnakan dengan animasi, text, narrator, yang dapat menstimulasi lebih dari satu indra dan model game kuis yang dapat di jalankan dalam smartphone berbasis android.</p><p>Kata kunci— Augmented Reality, Metamorfosis Kupu-kupu, interaktif media, Animasi.</p>
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
9

Latipah, Asslia Johar, Naufal Azmi Verdhika und Siti Puspita Hida Sakti MZ. „Rancang Bangun Aplikasi Klasifikasi Jenis Kupu- Kupu Awetan Family Papilionidae Dengan Metode SVM“. Jurnal Rekayasa Teknologi Informasi (JURTI) 2, Nr. 2 (11.12.2018): 143. http://dx.doi.org/10.30872/jurti.v2i2.1868.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Kupu-kupu dari family Papilionidae adalah jenis kupu-kupu yang paling banyak diminati untuk dijual dalam bentuk telah diawetkan. Dalam kegiatan laboraturium taksonomi, kupu-kupu family Papilionidae juga menjadi jenis yang paling sering digunakan karena bentuk sayap yang lebar dan kokoh membuat pembuangan sisik atau warna sayap berlangsung lebih mudah serta mengurangi resiko sobeknya sayap. Aplikasi klasifikasi jenis kupu-kupu bersifat stand alone dan dibangun dengan menggunakan model klasifikasi SVM Non Linear sebagai sistem klasifikasi. Data dalam aplikasi ini adalah citra kupu-kupu awetan. Pada tahap awal, data masukan akan dipraproses terlebih dahulu dan diestraksi fiturnya sebelum diklasifikasi oleh model klasifikasi. Aplikasi berjalan dengan baik dan mampu melakukan pemilihan wilayah yang akan diklasifikasi atau ROI(Region of Interest). ROI dalam penelitian ini adalah sayap kupu-kupu sebelah kanan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
10

Lamatoa, Debry C., Roni Koneri, Ratna Siahaan und Pience V. Maabuat. „POPULASI KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA ) DI PULAU MANTEHAGE, SULAWESI UTARA“. JURNAL ILMIAH SAINS 13, Nr. 1 (15.05.2013): 52. http://dx.doi.org/10.35799/jis.13.1.2013.2032.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
POPULASI KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA ) DI PULAU MANTEHAGE, SULAWESI UTARA ABSTRAK Kupu-kupu berperan penting dalam ekosistem dan dapat membantu proses penyerbukan pada tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji populasi kupu-kupu di Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Pengambilan sampel kupu-kupu dilakukan dari Maret sampai Mei 2013 di Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Kupu-kupu dikoleksi dengan menggunakan metode sweeping yang diterapkan secara acak sepanjang 500m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kupu-kupu di Pulau Mantehage ada 19 spesies yang termasuk ke dalam 4 famili yaitu Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae dan Riodinidae. Spesies kupu-kupu yang paling banyak ditemukan yaitu Catopsilia scylla asema. Famili yang paling banyak ditemukan yaitu Famili Nymphalidae dengan jumlah spesies sebanyak 11 spesies. Kupu-kupu yang paling sedikit yaitu Famili Riodinidae yang memiliki jumlah satu spesies. Kata kunci : Populasi kupu-kupu, Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. POPULATION OF BUTTERFLY (LEPIDOPTERA) IN MANTEHAGE ISLAND, NORTH SULAWESI ABSTRACT Butterfly has ecological functions for pollination and as biodicator of ecosystem change. This study was conducted for studying butterfly population in Mantehage Island, North Sulawesi. Butterfly sampling conducted in March until May 2013 in Mantehage island, North Sulawesi. Butterfly were collected by using random sweeping along 500 m. The result showed there were 19 species in 4 families i.e. Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae dan Riodinidae. The most commonly butterfly found was Catopsilia scylla asema. The most common family was Nymphalidae with numbers of species were 11 species. The least family was Riodinidae with only 1 species. Keywords: Butterfly population, Mantehage Island, North Sulawesi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen

Dissertationen zum Thema "Kupu"

1

Higgins, Rawinia R., und n/a. „He kupu tuku iho mo tenei reanga : Te ahua o te tuku korero“. University of Otago. Te Tumu - School of Maori, Pacific and Indigenous Studies, 1999. http://adt.otago.ac.nz./public/adt-NZDU20070524.121050.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
The primary objective of this thesis focuses on the nature of transmission of oral narratives, based on the relationship formed between the recipient and the source. It will be argued that based on the nature of the relationship between these people knowledge is passed on. It will highlight these relationships within a whanau context, especially the koroua and the mokopuna.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Wilson, Christine, University of Western Sydney, of Arts Education and Social Sciences College und School of Humanities. „Kuru in contexts“. THESIS_CAESS_HUM_Wilson_C.xml, 2001. http://handle.uws.edu.au:8081/1959.7/269.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
It has been a widely accepted belief in scientific and public discourse at the end of the twentieth century that cannibalism was the principal means of transmission of the disease call 'Kuru'.The study argues that other explanations might have been excluded from consideration, in particular, iatrogenic transmission.Circumstantial evidence in support of this proposition is examined.The work begins with an examination of the relationship between a number of diseases including, X disease, poliomyelitis, louping ill, scrapie and kuru through the first half of the twentieth century. Major themes of the work revolve around the boundary between research on animal and human disease, the complexities of research in this area, and the different messages that exist simultaneously in three domains: scientific research and publications, government and institutional archives, and the public domain. The thesis argues that the circumstantial evidence presented needs to be considered seriously and that further research in the area is required before we can come to a reliable understanding of the factors involved in the transmission of kuru
Doctor of Philosophy (PhD)
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
3

Wilson, Christine. „Kuru in contexts /“. View thesis View thesis, 2001. http://library.uws.edu.au/adt-NUWS/public/adt-NUWS20030422.110109/index.html.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Thesis (Ph.D.) -- University of Western Sydney, 2001.
"A thesis submitted to the University of Western Sydney in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy" Bibliography : leaves 235-249.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
4

Duckett, Serge. „L'Histoire de l'épidémie de la maladie de Kuru“. Paris, EPHE, 2001. http://www.theses.fr/2001EPHE4045.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Résumé français : Le Kuru est une maladie dégénérative du système nerveux qui tua près de 2500 résidents d'une région située dans le sud des Terres Hautes de l'Est de la Nouvelle -Guinée de 1950 à 1965. Le premier signe de la maladie était un tremblement involontaire qui graduellement s'étendait à tout le corps avec mort en quelques mois. La pathogenèse du Kuru fut expliquée différemment par deux équipes de médecins. Le groupe dirigé par C. D. Gajdusek proposa que le Kuru fut une "nouvelle maladie extrapyramidale" dont la pathologie était du type héréditaire comme la maladie de "Creutzfeldt-(Hans) Jacob". Eventuellement ils proposèrent que le Kuru fût causé par un "virus lent", qui n'était pas un vrai virus. Ce "virus lent" était transmis par "endocannibalisme", c'est-à-dire par des parents qui mangent leurs parents tués par le Kuru. Ces théories méritèrent un prix Nobel pour Gadjusek en 1983 bien que la théorie du "virus lent" fut mise de côté remplacée par la théorie du prion. L'autre équipe constituée de neurologues et neurophatologues professionnels australiens conclut que le Kuru était une maladie dégénérative non-inflammatoire du cervelet dont la cause était probablement toxique. Le mercure (Hg) était haut placé sur les listes comme cause du Kuru mais fut exclu ainsi que d'autres métaux par un examen spectroscopique. Le problème est que cette méthode est inutile pour la détection du Hg parce qu'il est chauffé. Néanmoins l'étude toxicologique fut abandonnée. Aujourd'hui, 52 ans plus tard, la cause du Kuru n'a pas encore été démontrée de façon irréfutable
English summary: Kuru is a degenerative disease of the CNS which afflicted the residents in a region of the south of the Eastern Highlands in New Guinea between 1950 and 1965. The patients presented an involuntary type tremor of the extremities which gradually spread to the rest of the body eventually incapaciting the patient until death in a few months. There were no signs on an inflammation. The pathogenesis of Kuru was explained by two groups of physicians. One group led by C. D. Gadjusek proposed that Kuru was a "new type of extrapyramidal disease" with a hereditary type of neuropathology similar to what they called the "Creutzfeld-(Hans) Jacob disease". They proposed that the transmission of Kuru was endocannibalism, that it parents eating dead parents killed by Kuru. They also proposed that Kuru was caused by a "slow virus" which in fact was not a true virus, a theory that was eventually dropped in favor of the prion theory. The other group of physicians consisted of professional Australian neurobiologists and neuropathologists who concluded that Kuru was a non-inflammatory degenerative disease of the cerebellum. To them the most likely cause was toxic, with Hg high on their list. 52 years after the first description of a case of Kuru, ist cause has not been identified irrefutably
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
5

Andrus, Raquel Malia. „A Maoli-Based Art Education: Ku'u Mau Kuamo'o 'Ōlelo“. BYU ScholarsArchive, 2014. https://scholarsarchive.byu.edu/etd/3899.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Leaders in K-12 education in Hawai'i are increasingly advocating for and utilizing the culture and knowledge of the kānaka Maoli, the native people of these islands, as a context for learning in a variety of curricular disciplines and approaches (Benham & Heck, 1998; Kani'iaupuni, Ledward & Jensen, 2010; Kana'iaupuni & Malone, 2006; Kahakalau, 2004; Meyer, 2004). To expand upon this trend, this thesis uses a combination of autoethnographic and critical indigenous methodologies to present a personal narrative that looks specifically at approaching art education from a Maoli perspective. Through extensive participant/observer reflections, two place-based and culture-based art education experiences are juxtaposed with an experience working on a culturally-based collaborative mural project. Four significant kuamo'o, a concept which holds multiple meanings, including: "backbone, spine; road, trail path; custom, way," (Puku'i & Elbert, 1986), emerge as significant markers of meaningful Maoli-based art education: 1) mo'oku'auhau, genealogy and acknowledgement of those who have come before us, 2) mo'olelo, stories which belong to our place, 3) an idea that I am labeling pili ka mo'o, which literally means, the lizard is intertwined but can be translated through metaphor to mean someone who is intimate and deeply connected, and 4) aloha, a profound and honest love.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
6

Lernedal, Helen. „KUPP - Kvalitet ur patientens perspektiv för patienter med sarkom“. Thesis, Sophiahemmet Högskola, 2016. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:shh:diva-2737.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Intresset av att ta reda på personers upplevelser inom vård är viktigt. Det kan ge en indikation på vad som skall ändras och om ändringen har inneburit en positiv förändring. Denna ändring kan då mätas i ny uppföljning. En personcentrerad vård är en viktig faktor i vården av svårt sjuka patienter. Denna bygger på kommunikation mellan patient, personal, delaktighet och partnerskap. Bra ledarskap ger förutsättningar för personcentrerad vård samt kan leda till kvalitetsförbättrande åtgärder. Populationen bestod av patienter över 18 år som hade diagnostiserats med ett högmalignt sarkom i mjukdelar eller skelett under perioden 1 januari 2011-31 december 2012. Urvalet bestod av 90 patienter som tillfrågades om att besvara en enkät. Syftet med denna studie var att utvärdera hur patienter med sarkom upplevde vårdkvalitet under hela behandlingsperioden som innefattar operation och eventuell onkologisk behandling samt identifiera eventuella förbättringsområden. För att mäta personers uppfattning om given vårdkvalitet och hur pass viktigt det ansågs vara för patienten har en enkät använts. Enkäten som använts är KUPP (Kvalitet Ur Patientens Perspektiv) och svaren bedöms med hjälp av en skattningsskala. Studien är en deskriptiv retrospektiv studie med kvantitativ ansats. Sextiotre personer har besvarat enkäten där de skattar de faktiska förhållandena i vården och vilken subjektiv betydelse frågan har. Resultatet presenteras i form av ett åtgärdsindex utifrån begreppen: Bristande kvalitet, Balans låg, Balans hög och Övergod kvalitet. Resultatet visade att de områden som patienten upplevde bristfälliga var information, tillfredställelse, väntetider och bemötande. Resultatet visade även att patienterna upplevde brist avseende samarbetet mellan olika vårdinstanser. Slutsatsen visar att det finns ett antal kvalitetsåtgärder att arbeta med framöver och att information och delaktighet från patientens sida är en viktig aspekt. Fler uppföljande studier behövs.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
7

Landgraf, Dirk, Manuela Bärwolff und Ralf Pecenka. „Bewirtschaftung von KUP im mittelfristigen Umtrieb“. Saechsische Landesbibliothek- Staats- und Universitaetsbibliothek Dresden, 2016. http://nbn-resolving.de/urn:nbn:de:bsz:14-qucosa-202358.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
8

Kuru, Yener [Verfasser]. „Interrelationships of microstructure, stress and diffusion / vorgelegt von Yener Kuru“. Stuttgart : Max-Planck-Inst. für Metallforschung, 2008. http://d-nb.info/997172339/34.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
9

Mostert, Analene C. „Meat quality of kudu (Tragelaphus strepsiceros) and impala (Aepyceros melampus)“. Thesis, Stellenbosch : Stellenbosch University, 2007. http://hdl.handle.net/10019.1/18597.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Thesis (MScAgric)--University of Stellenbosch, 2007.
ENGLISH ABSTRACT: Although kudu (Tragelaphus strepsiceros) and impala (Aepyceros melampus) are found in the same geographical area, there is variation in their diets as kudu are predominantly browsers, feeding on tree and shrub leaves, while impala are known as mixed feeders as they graze and browse. Therefore this poses the question whether the diet would influence their meat quality. The objective of this investigation was to evaluate the physical measurements and chemical composition of M. longissimus dorsi, M. biceps femoris, M. semimembranosus, M. semitendinosus and M. supraspinatus for kudu and impala, two southern African antelope species. The effects of age (adult and sub-adult) and gender (male and female) were also determined. The sensory characteristics of the M. longissimus dorsi muscle for sub-adult kudu and impala were investigated. Correlations between the various physical measurements and chemical composition of the meat were verified. Physical measurements and chemical composition of the M. longissimus dorsi muscle were tested for correlations with the sensory ratings of the meat. Dressing percentage of impala (59.88%) (n=28) was higher than that of kudu (57.60%) (n=35). The main effects (species, gender and age) showed no differences for drip loss and cooking loss. However, muscles differed in terms of cooking loss with impala M. semitendinosus having the highest (38.28%) value and kudu M. longissimus dorsi having the lowest value (30.77%). For impala, the highest Warner–Bratzler shear (WBS) values were measured for M. semimembranosus (5.90 kg/1.27cmø), followed by M. biceps femoris, M. longissimus dorsi, and M. semitendinosus with the lowest WBS values measured for M. supraspinatus (3.61 kg/1.27cmø). All impala muscles had lower L* values and appeared darker in colour than kudu muscles, except for M. supraspinatus. Adult animals also had lower L* values than the sub-adult group. Kudu had significantly higher a* and b* values (more red) than impala. Chroma values were higher for kudu, thus appearing brighter in colour. The respective muscles of kudu and impala investigated differed significantly in terms of physical characteristics. However, gender and age did not have an effect on the physical measurements. Moisture content was higher in kudu meat (76.46%) than in impala meat (75.28%). Muscles differed for both moisture and fat content. The highest fat was found in M. supraspinatus followed by M. biceps femoris, M. semitendinosus, M. semimembranosus and M. longissimus dorsi. Protein content did not differ between species (kudu: 21.66%; impala: 22.26%), gender (male: 21.98%; female: 21.95%) and age groups (adult: 21.74%; sub-adult: 22.18%). Kudu M. longissimus dorsi (1.62%) had lower fat content than impala M. longissimus dorsi (2.22%) and female animals had a higher fat content than male animals. Sub-adults (1.20 ± 0.02%) had higher ash content than adults (1.10 ± 0.03%). The M. supraspinatus had the lowest protein and also the highest fat content, with M. semimembranosus having the lowest fat content but the highest value for protein. Myoglobin content did not differ between species, although females had higher (6.58 ± 0.20 mg/g) myoglobin content than males (5.11 ± 0.25 mg/g). Glycolitic muscles had the lowest myoglobin content with the highest values found in M. supraspinatus, an oxidative muscle. An interaction was noted between species and muscle for myoglobin content. Myoglobin content in impala M. longissimus dorsi was higher than that in kudu M. longissimus dorsi; however for all other muscles the myoglobin content was lower in impala. Gender did not affect mineral content. Potassium levels were highest for kudu while phosphorus was more prevalent in impala meat. Adult and sub-adult groups differed in terms of potassium, calcium and zinc content. Potassium and calcium content were higher for subadult animals while zinc content was higher in adult animals. In impala meat, stearic acid (22.67%) was the major fatty acid, followed by palmitic acid (16.66%). In contrast, oleic acid (24.35%) was the most profuse fatty acid in kudu, followed by linoleic acid (22.95%). The SFA’s as a percentage of the total fatty acids differed between impala (51.12%) and kudu meat (34.87%). Kudu meat had a higher concentration of total PUFA (38.88%) than impala (34.06%) meat. The PUFA: SFA ratio for kudu meat (1.22) was more favourable than that for impala meat (0.73). The ratio of n-6 PUFA’s to n-3 PUFA’s for kudu and impala were determined as 2.22 and 3.76 respectively. From the current findings it is evident that kudu and impala meat have advantageous fatty acid profiles and can be a healthy substitute for other red meats. Kudu meat (72.62 ± 1.86 mg/100g) had higher cholesterol than impala meat (55.35 ± 1.84 mg/100g). It is recommended that further studies be done in order to confirm the cholesterol content of kudu meat. Within species, no gender differences for any of the sensory characteristics tested were noted. The impala meat had a more intense game aroma than the kudu meat, while kudu meat was found to be more juicy than impala meat. It can therefore be concluded that the marketing of game meat should be species-specific as there are distinct flavour and aroma differences between kudu and impala meat.
AFRIKAANSE OPSOMMING: Alhoewel koedoes (Tragelaphus strepsiceros) en rooibokke (Aepyceros melampus) in dieselfde geografiese area voorkom, is daar variasie in hulle diëte. Koedoes is hoofsaaklik blaarvreters, terwyl rooibokke bekend staan as gemengde vreters aangesien hulle grassowel as blaarvreters is. Die vraag ontstaan dus of die verskil in diëet die kwaliteit van hulle vleis sal beϊnvloed. Die doel van hierdie ondersoek was dus om die fisiese metings en chemiese samestelling van die M. longissimus dorsi, M. biceps femoris, M. semimembranosus, M. semitendinosus en M. supraspinatus vir koedoes en rooibokke te bepaal. Die invloed van ouderdom (volwasse en onvolwasse) en geslag (manlik en vroulik) op hierdie eienskappe is ook geëvalueer. Die sensoriese eienskappe van die M. longissimus dorsi van onvolwasse koedoes en rooibokke is ook ondersoek. Korrelasies tussen die fisiese metings en chemiese samestelling van die vleis is ondersoek. Die fisiese metings en chemiese samestelling van die M. longissimus dorsi is getoets vir korrelasies met die resultate van die sintuiglike evaluering van die vleis. Die gemiddelde uitslagpersentasie van rooibokke (59.88%) (n=28) was hoër as die van koedoes (57.60%) (n=35). Daar was geen verskille in drupverlies en kookverlies vir die hoofeffekte (spesie, geslag en ouderdom) nie. Spiere het wel verskil in terme van kookverlies, met die hoogste waarde gemeet vir rooibok M. semitendinosus (38.28%) en die laagste waarde vir koedoe M. longissimus dorsi (30.77%). In rooibokke was die hoogste Warner- Bratzler skeurkrag waardes gemeet vir M. semimembranosus (5.76 kg/1.27cmø), gevolg deur M. biceps femoris, M. longissimus dorsi, en M. semitendinosus met die laagste Warner- Bratzler skeurkrag waardes gemeet vir M. supraspinatus (3.78 kg/1.27cmø). Alle rooibokspiere het laer L* waardes gehad en was donkerder van kleur as koedoespiere, behalwe vir M. supraspinatus. Laer L* waardes is ook verkry vir volwasse diere in vergelyking met onvolwasse diere. Die a* en b* waardes was hoër in koedoe- as in rooibokvleis, m.a.w. koedoevleis het rooier vertoon. Die onderskeie koedoe- en rooibokspiere het betekenisvol verskil in terme van fisiese eienskappe, terwyl geslag en ouderdom geen effek op die fisiese eienskappe gehad het nie. Voginhoud was hoër in koedoe- (75.52%) as in rooibokvleis (74.52%). Verkille tussen spiere is opgemerk vir beide vog- en vetinhoud. M. supraspinatus het die hoogste vetinhoud gehad, gevolg deur M. biceps femoris, M. semitendinosus, M. semimembranosus en M. longissimus dorsi. Geen verskille is opgemerk tussen spesies (koedoe: 21.66%; rooibok: 22.26%), geslagte (manlik: 21.98%; vroulik: 21.95%) en ouderdomme (volwasse: 21.74%; onvolwasse: 22.18%) in terme van proteϊeninhoud nie. Die vetinhoud van koedoe M. longissimus dorsi (1.62%) was laer as dié van rooibok M. longissimus dorsi (2.22%) en die vetinhoud van vroulike diere was hoër as dié van manlike diere. Onvolwasse diere (1.20 ± 0.02%) het ‘n hoër asinhoud as dié van volwasse diere (1.10 ± 0.03%) getoon. In terme van die onderskeie spiere het M. supraspinatus die laagste proteϊen- en die hoogste vetinhoud gehad, terwyl M. semimembranosus die laagste vet- en die hoogste proteϊeninhoud gehad het. Die mioglobieninhoud was nie beϊnvloed deur spesie nie, terwyl vroulike diere ‘n hoër (6.58 ± 0.20 mg/g) mioglobieninhoud as manlike diere (5.11 ± 0.25 mg/g) gehad het. Die M. supraspinatus, ‘n oksidatiewe spier het die hoogste mioglobieninhoud gehad, terwyl glikolitiese spiere die laagste mioglobieninhoud gehad het. ’n Interaksie tussen spesie en spier was opgemerk vir mioglobieninhoud. Rooibok M. longissimus dorsi het ‘n hoër mioglobieninhoud as koedoe M. longissimus dorsi gehad, terwyl die mioglobieninhoud vir al die ander spiere laer was in rooibokke. Mineraalinhoud was nie deur geslag beϊnvloed nie. Kaliumvlakke was hoër in koedoevleis, terwyl fosforvlakke hoër was in rooibokvleis. Kalium- en kalsiuminhoud was hoër in onvolwasse diere terwyl die sinkinhoud hoër was in volwasse diere. Steariensuur (22.67%), gevolg deur palmitiensuur (16.66%) was die mees algemene vetsure in rooibokvleis. In teenstelling hiermee was oleϊensuur (24.35%), gevolg deur linoleϊensuur (22.95%) die mees algemene vetsure in koedoevleis. Die totale versadigde vetsure was laer in koedoevleis (34.87%) in vergelyking met rooibokvleis (51.12%), terwyl die totale polionversadigde vetsure in koedoevleis (38.88%) hoër was as dié van rooibokvleis (34.06%). Die verhouding van n-6 tot n-3 poli-onversadigde vetsure vir koedoe en rooibok was 2.22 en 3.76 onderskeidelik. Hierdie resultate bevestig dat koedoe- en rooibokvleis oor ‘n vetsuurprofiel beskik wat ’n gesonde alternatief bied tot ander rooivleise. Die cholesterolinhoud van koedoevleis (72.62 ± 1.86 mg/100g) was hoër as dié van rooibokvleis (55.35 ± 1.84 mg/100g). Dit word egter aanbeveel dat verdere studies gedoen word om die cholesterolinhoud van koedoevleis te bevestig. Binne spesies was daar geen geslagsverkille vir enige van die sensoriese eienskappe nie. Rooibokvleis het ‘n meer intense wildsvleis aroma as koedoevleis gehad, terwyl koedoevleis meer sappig was as rooibokvleis. Hierdie resultate dui daarop dat die bemarking van wildsvleis spesie-spesifiiek moet wees aangesien daar defnitiewe geur en aroma verskille tussen koedoe- en rooibokvleis is.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
10

Exler, S., und Susann Skalda. „Anbauhacker im Praxiseinsatz, wirtschaftliche Ernte von KUP“. Saechsische Landesbibliothek- Staats- und Universitaetsbibliothek Dresden, 2016. http://nbn-resolving.de/urn:nbn:de:bsz:14-qucosa-202415.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen

Bücher zum Thema "Kupu"

1

Jessica, Agnes. Jejak kupu-kupu. Jakarta: Vania Books, 2013.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Gong, Gola. Kupu-kupu pelangi. Bandung: DAR! Mizan, 2003.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
3

N, Riantiarno. Tiga dewa & kupu-kupu. [Jakarta]: Teater Koma, 1991.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
4

Sindhunata. Aburing kupu-kupu kuning. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
5

Munif, Ahmad. Kupu-kupu malam: Sebuah novel. Yogyakarta: Media Pressindo, 2003.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
6

A, Puthut E. Kupu-kupu bersayap gelap: Kumpulan cerpen. Sleman, Yogyakarta, Indonesia: Insist Press, 2006.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
7

Božić, Dragan. Uz Kupu. Zagreb: SDK Prosvjeta, 2007.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
8

Wijaya, Deny. Kupu-kupu kertas: Perjuangan meraih cinta & cita. Surabaya: Regina Media, 2013.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
9

Salmah, Siti. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional Kerinci Seblat. [Sungai Penuh, Jambi]: Taman Nasional Kerinci Seblat, 2002.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
10

Indonesia. Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Langkolee, si kupu-kupu: Antologi cerita rakyat Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Departemen Pendidikan Nasional, 2006.

Den vollen Inhalt der Quelle finden
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen

Buchteile zum Thema "Kupu"

1

Cotta Ramusino, Paola. „A proposito di quantificatori indefiniti di massa in polacco“. In Le lingue slave tra struttura e uso, 79–92. Florence: Firenze University Press, 2016. http://dx.doi.org/10.36253/978-88-6453-328-5.05.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
The present paper examines substandard Polish constructions in which the quantifiers kupa ‘a lot’, masa ‘mass’ and połowa ‘a half’ in Subject function occur in the Accusative case (plus the referential noun in the Genitive) and take neuter singular verb agreement: Kupę ludzi zebrało się na placu, ‘a lot of people gathered in the square’. Drawing on a large amount of occurrences taken from two corpora a qualitative analysis of the construction is carried out, in order to highlight how the indefinite quantifier semantic characteristics predispose it to the thematic role of Patient.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Diamond, Bruce J., und Julia Kolak. „Kuru“. In Encyclopedia of Clinical Neuropsychology, 1940–43. Cham: Springer International Publishing, 2018. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-57111-9_562.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
3

McLean, Catriona Ann. „Kuru“. In Neurodegeneration: The Molecular Pathology of Dementia and Movement Disorders, 378–80. Oxford, UK: Wiley-Blackwell, 2011. http://dx.doi.org/10.1002/9781444341256.ch38.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
4

Diamond, Bruce J., Amy C. Moors und Amanda Faulhaber. „Kuru“. In Encyclopedia of Clinical Neuropsychology, 1416–18. New York, NY: Springer New York, 2011. http://dx.doi.org/10.1007/978-0-387-79948-3_562.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
5

Diamond, Bruce J., und Julia Kolak. „Kuru“. In Encyclopedia of Clinical Neuropsychology, 1–3. Cham: Springer International Publishing, 2017. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-56782-2_562-4.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
6

Stöcklin, Werner H. „Kuru-Zauber“. In Toktok, 47–52. Basel: Birkhäuser Basel, 1985. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-0348-6276-9_10.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
7

Stöcklin, Werner H. „Kuru-Gericht“. In Toktok, 55–58. Basel: Birkhäuser Basel, 1985. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-0348-6276-9_12.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
8

Goodfield, June. „The Kuru Mystery“. In Quest for the Killers, 1–49. Boston, MA: Birkhäuser Boston, 1985. http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4684-6743-7_1.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
9

Quinto, Butch. „Introduction to Kudu“. In Next-Generation Big Data, 7–56. Berkeley, CA: Apress, 2018. http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4842-3147-0_2.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
10

White, Philip J., Michael J. Bell, Ivica Djalovic, Philippe Hinsinger und Zed Rengel. „Potassium Use Efficiency of Plants“. In Improving Potassium Recommendations for Agricultural Crops, 119–45. Cham: Springer International Publishing, 2020. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-030-59197-7_5.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
AbstractThere are many terms used to define aspects of potassium (K) use efficiency of plants. The terms used most frequently in an agricultural context are (1) agronomic K use efficiency (KUE), which is defined as yield per unit K available to a crop and is numerically equal to the product of (2) the K uptake efficiency (KUpE) of the crop, which is defined as crop K content per unit K available and (3) its K utilization efficiency (KUtE), which is defined as yield per unit crop K content. There is considerable genetic variation between and within plant species in KUE, KUpE, and KUtE. Root systems of genotypes with greatest KUpE often have an ability (1) to exploit the soil volume effectively, (2) to manipulate the rhizosphere to release nonexchangeable K from soil, and (3) to take up K at low rhizosphere K concentrations. Genotypes with greatest KUtE have the ability (1) to redistribute K from older to younger tissues to maintain growth and photosynthesis and (2) to reduce vacuolar K concentration, while maintaining an appropriate K concentration in metabolically active subcellular compartments, either by anatomical adaptation or by greater substitution of K with other solutes in the vacuole. Genetic variation in traits related to KUpE and KUtE might be exploited in breeding crop genotypes that require less K fertilizer. This could reduce fertilizer costs, protect the environment, and slow the exhaustion of nonrenewable resources.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen

Konferenzberichte zum Thema "Kupu"

1

SANTOSA, YANTO. „Perbandingan keanekaragaman kupu-kupu antara tipe tutupan lahan hutan dengan kebun sawit“. In Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2017. http://dx.doi.org/10.13057/psnmbi/m030118.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

FAUZIYAH, SHIFA. „Keanekaragaman kupu-kupu di kawasan konservasi Petungsewu Wildlife Education Center, Malang, Jawa Timur“. In Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2017. http://dx.doi.org/10.13057/psnmbi/m030216.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
3

HERMAWANTO, RUDI. „Kupu-kupu (Papilionoidea) di Pantai Utara Manokwari, Papua Barat: Jenis, keanekaragaman dan pola distribusi“. In Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2015. http://dx.doi.org/10.13057/psnmbi/m010614.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
4

SEPTIANELLA, GE. „Keanekaragaman kupu-kupu (Lepidoptera) di kawasan Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat“. In Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2015. http://dx.doi.org/10.13057/psnmbi/m010811.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
5

LESTARI, DEBY FAJAR. „Keanekaragaman kupu-kupu (Insekta: Lepidoptera) di Wana Wisata Alas Bromo, BKPH Lawu Utara, Karanganyar, Jawa Tengah“. In Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2015. http://dx.doi.org/10.13057/psnmbi/m010604.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
6

SANTOSA, YANTO. „Keanekaragaman kupu-kupu di berbagai tipe tutupan lahan perkebunan kelapa sawit PTPN V Tamora, Kampar, Riau“. In Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2017. http://dx.doi.org/10.13057/psnmbi/m030119.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
7

Matsumoto, Hiroshi. „Kuru kuru“. In ACM SIGGRAPH 97 Visual Proceedings: The art and interdisciplinary programs of SIGGRAPH '97. New York, New York, USA: ACM Press, 1997. http://dx.doi.org/10.1145/259081.259404.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
8

Harlianingtyas, Irma, und Ramadhan Taufika. „Peramalan Serangan Hama Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum) pada Fase Vegetatif di PT. Tarutama Nusantara Jember“. In Seminar Nasional Semanis Tani Polije 2020. Politeknik Negeri Jember, 2020. http://dx.doi.org/10.25047/agropross.2020.48.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Tembakau adalah produk pertanian semusim yang bukan termasuk dalam komoditas perkebunan. Produk ini dikonsumsi bukan untuk makanan tetapi sebagai pengisi waktu luang yaitu sebagai bahan baku rokok dan cerutu. Tembakau juga dapat dikunyah. Kandungan metabolit sekunder yang kaya juga membuatnya bermanfaat sebagai pestisida dan bahan baku obat. Salah satu tantangan dalam budidaya tembakau adalah adanya organisme pengganggu tanaman. Serangan hama dan penyakit dapat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas hasil panen tembakau. Serangan hama dan penyakit yang paling banyak terjadi adalah pada saat fase vegetatif, karena pada vase ini semua bagian tanaman menjadi sasaran makanan bagi organisme pengganggu tanaman. Organisme pengganggu tanaman yang dianggap sebagai hama pada vase vegetattif tanaman tembakau adalah ualt tanah, ulat daun, belalang, kupu, gayas/jangkrik. Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Tarutama Nusantara Jember, data yang digunakan adalah data serangan hama yang terjadi pada seluruh kebun milik TTN dari tahun 2013 hingga 2019. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengtahui prediksi serangan hama yang akan terjadi guna mempermudah perusahaan dalam menentukan strategi dan kebijakan guna meningkatkan produksi tembakau khususnya sebagai pelapis cerutu dekblad/wrapper. Metode penelitian yang digunakan untuk memprediksi serangan hama yang terjadi adalah metode regresi linier. Hasil penelitian menunjukkan prediksi serangan hama ulat tanah (Agrotis iplison) tahun 2021 sebesar 15,6%, ulat grayak (Spodoptera litura) sebesar 19,08%, serangan hama belalang sebesar 15,77%, dan serangan hama ketep (Setomorpha rutella) sebesar 15,23%, serta serangan hama jangkrik (Gryllidae) pada tahun 2021 adalah sebesar 8,20%.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
9

Boelaert, Julien. „Kudu herd optimization“. In 2012 6th IEEE International Conference Intelligent Systems (IS). IEEE, 2012. http://dx.doi.org/10.1109/is.2012.6335199.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
10

Jacquet, Christophe, Yacine Bellik und Yolaine Bourda. „KUP“. In the 19th International Conference of the Association Francophone d'Interaction Homme-Machine. New York, New York, USA: ACM Press, 2007. http://dx.doi.org/10.1145/1541436.1541445.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen

Berichte der Organisationen zum Thema "Kupu"

1

Erol, Ece D., und İbrahim Erol. Sanayi Ülkelerindeki Küresel Döviz Kuru Savaşlarının Gelişme Yolundaki Ülkelere Etkisi. EconWorld Workıng Papers, 2015. http://dx.doi.org/10.22440/econworld.wp.2015.001.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Organ, İbrahim, und Erdal Berk. Kısa Vadeli Sermaye Hareketlerinin Döviz Kuru İlişkisi ve Türkiye için Tobin Vergisi Tartışması. EconWorld Workıng Papers, 2016. http://dx.doi.org/10.22440/econworld.wp.2016.005.

Der volle Inhalt der Quelle
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
Wir bieten Rabatte auf alle Premium-Pläne für Autoren, deren Werke in thematische Literatursammlungen aufgenommen wurden. Kontaktieren Sie uns, um einen einzigartigen Promo-Code zu erhalten!

Zur Bibliographie