Auswahl der wissenschaftlichen Literatur zum Thema „Klinisk apotekare“

Geben Sie eine Quelle nach APA, MLA, Chicago, Harvard und anderen Zitierweisen an

Wählen Sie eine Art der Quelle aus:

Machen Sie sich mit den Listen der aktuellen Artikel, Bücher, Dissertationen, Berichten und anderer wissenschaftlichen Quellen zum Thema "Klinisk apotekare" bekannt.

Neben jedem Werk im Literaturverzeichnis ist die Option "Zur Bibliographie hinzufügen" verfügbar. Nutzen Sie sie, wird Ihre bibliographische Angabe des gewählten Werkes nach der nötigen Zitierweise (APA, MLA, Harvard, Chicago, Vancouver usw.) automatisch gestaltet.

Sie können auch den vollen Text der wissenschaftlichen Publikation im PDF-Format herunterladen und eine Online-Annotation der Arbeit lesen, wenn die relevanten Parameter in den Metadaten verfügbar sind.

Zeitschriftenartikel zum Thema "Klinisk apotekare"

1

Islamiyah, Alfi Nurul. „Telaah Potensi Interaksi Obat Resep Polifarmasi Klinik Jantung pada Salah Satu Rumah Sakit di Bandung“. Kartika : Jurnal Ilmiah Farmasi 8, Nr. 1 (03.04.2021): 25. http://dx.doi.org/10.26874/kjif.v8i1.283.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROM) adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Sekitar sepertiga kasus ROM yang dapat dicegah merupakan interaksi obat. Obat kardiovaskular yang diresepkan secara tidak tepat bertanggung jawab atas hampir 25% dari semua ROM yang dapat dicegah, Saat ini, polifarmasi adalah hal biasa dijumpai dalam praktik kefarmasian. Studi observasional retrospektif dilakukan pada pasien rawat jalan klinik jantung salah satu rumah sakit di Bandung. DIlakukan identifikasi potensi interaksi obat pada resep dengan tujuh atau lebih obat (polifarmasi), untuk memberikan gambaran terkait frekuensi interaksi obat, obat yang terlibat dalam interaksi, dan tingkat keparahan interaksi obat. Terdapat 41 potensi interaksi obat dengan keparahan berat yang penting secara klinis, yang teridentifikasi pada 30 (22,06%) resep polifarmasi di klinik jantung. Sebanyak 8 (26,67%) resep diantaranya memiliki 2 potensi interaksi obat yang penting secara klinis, dan 1 (3,33%) resep memiliki 4 potensi interaksi obat yang penting secara klinis. Selain itu teridentifikasi pula 8 (19,51%) interaksi obat dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin [5 (12,19%)] dan digoksin [3 (7,32%)]. Apoteker di rumah sakit harus berperan aktif dalam mengidentifikasi interaksi obat dan memberikan informasi terkait interaksi obat beserta rekomendasi manajemen terapi yang terbukti secara klinis.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Susyanty, Andi Leny, Yuyun Yuniar, Max J. Herman und Nita Prihartini. „Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas“. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 30, Nr. 1 (31.05.2020): 65–74. http://dx.doi.org/10.22435/mpk.v30i1.2062.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Abstract Pharmaceutical services have been gradually applied in primary health services both in terms of pharmaceutical management and clinical pharmacy services. In order to support the implementation, the standard has been amended several times, resulting Permenkes Number 74 of 2016 Concerning the Pharmaceutical Services Standard in Public Health Centre (puskesmas) as the most updated one. This study aimed to determine the suitability of the implementation of pharmaceutical service standards in the management of medicine and clinical pharmacy at the puskesmas. The cross-sectional research design was conducted in February-November 2017. The selection of provincial locations was carried out purposively. Data collection tools were questionnaires and a list of standard pharmacy services at the puskesmas. Data were analyzed descriptively. The results showed that 54.5% of the puskesmas did not have pharmacists as the responsible person and only 18.2% of the puskesmas had sufficient pharmacist and pharmaceutical technical staff for both drug management activities and clinical pharmacy services. Comprehensive drug management activities in accordance with pharmaceutical service standards at the puskesmas have been implemented in 96.7% of puskesmas with pharmacists. Comprehensive clinical pharmacy service activities according to pharmacy service standards at puskesmas are only applied in 23.3% of puskesmas with pharmacists. The availability and ability of pharmacists in providing clinical pharmacy services in puskesmas need to be a concern. Abstrak Pelayanan kefarmasian secara bertahap telah mulai diterapkan di pelayanan kesehatan dasar, baik dalam kewajiban pengelolaan farmasi maupun pelayanan farmasi klinis. Untuk mendukung hal tersebut, standar pelayanan kefarmasian di puskesmas telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir diperbaharui dengan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di puskesmas. Studi ini bertujuan mengetahui kesesuaian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian dalam pengelolaan obat dan farmasi klinik di puskesmas. Desain penelitian potong lintang dilakukan pada bulan Februari-November 2017. Pemilihan lokasi provinsi dilakukan secara purposif. Alat pengumpul data berupa kuesioner dan daftar tilik standar pelayanan kefarmasian di puskesmas. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 54,5% puskesmas belum mempunyai tenaga apoteker sebagai penanggung jawabnya dan hanya 18,2% puskesmas yang jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasiannya mencukupi untuk kegiatan pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan pengelolaan obat yang komprehensif sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas sudah diterapkan di 96,7% puskesmas yang memiliki apoteker. Kegiatan pelayanan farmasi klinis yang komprehensif sesuai standar pelayanan kefarmasian di puskesmas hanya diterapkan di 23,3% puskesmas yang memiliki apoteker. Ketersediaan dan kemampuan apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi klinik di puskesmas perlu menjadi perhatian.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
3

Herawati, Fauna, Ni Nyoman Yuni Astrini und I. Made Agus Gelgel Wirasuta. „Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat antara Dokter dan Apoteker di Apotek“. MPI (Media Pharmaceutica Indonesiana) 1, Nr. 2 (11.04.2017): 85–91. http://dx.doi.org/10.24123/mpi.v1i2.190.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Kolaborasi antar tenaga kesehatan diperlukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatankepada pasien. Kolaborasi antar tenaga kesehatan didefinisikan sebagai profesional tenaga kesehatandengan peran yang saling melengkapi dan kooperatif bekerja sama, berbagi tanggung jawab untukpemecahan masalah dan pengambilan keputusan untuk merumuskan dan melaksanakan rencanaperawatan pasien; demikian pula dalam kolaborasi dokter dan apoteker, diperlukan kesepahamantentang masalah terkait obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kesepahaman dokter-apoteker di klinik pada periode September-Oktober 2013. Penelitian ini menggunakan metodedeskriptif observasional dan dilakukan di salah satu apotek di Bali yang bekerja sama dengan dokterspesialis penyakit dalam. Sampel penelitian adalah resep dokter spesialis penyakit dalam untukpasien diabetes mellitus (DM) dan pengambilan resep dilakukan secara consecutive sampling. Jumlahsampel yang berhasil diperoleh berjumlah 102 lembar resep pasien diabetes melitus rawat jalanyang akan dianalisis melalui 3 tahap dengan menggunakan elemen medication therapy management(MTM), daftar periksa the Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) versi 6.2, dan kappa agreement.Hasil analisis menunjukkan tingkat kesepahaman (κ) sebesar 0,84. Kesepahaman antara dokterdan apoteker tentang masalah terkait obat sangat baik (95% sepaham); ketidaksepahaman terutamaterkait pertimbangan klinis penggunaan obat dan kepatuhan pasien, oleh karena itu apotekerperlu meningkatkan pengetahuan agar dapat berkontribusi dalam kolaborasi tersebut. Apotekerdalam kolaborasi interprofesional dapat berperan dalam pengaturan dosis, identifikasi efek samping,rekonsiliasi pengobatan, dan memberikan rekomendasi terapi berbasis bukti.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
4

Djamaluddin, Furqan, Amir Imbaruddin und Muttaqin Muttaqin. „KEPATUHAN PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO“. Jurnal Administrasi Negara 25, Nr. 3 (07.02.2020): 176–93. http://dx.doi.org/10.33509/jan.v25i3.923.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Pelayanan farmasi klinik merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien sehingga perlu dilakukan kesesuaian standar pelayanan farmasi klinik untuk menciptakan pelayanan yang bermutu dan berkualitas. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kepatuhan Pelayanan Farmasi Klinik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo sesuai dengan sebelas indikator pelayanan farmasi klinis berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016. Metode penelitian menggunakan pendekatakan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan Teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Informan penelitian adalah Kepala Instalasi Farmasi, penanggung jawab Pelayanan Informasi Obat, penanggung jawab Depo, apoteker, dan pasien. Hasil penelitian menemukan bahwa sebelas indikator pelayanan farmasi klinik yaitu pengkajian dan pelayanan Resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril; dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) sudah dilaksanakan dengan baik walaupun masih ada indikator yang belum optimal. Hanya satu indikator yang belum terlaksana yaitu pemantauan kadar obat dalam darah karena terkendala dengan pembiayaan sarana dan prasarana yang cukup mahal. Kepatuhan Pelayanan Farmasi Klinik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar sudah dilakukan cukup baik tetapi masih terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi oleh pihak rumah sakit, diantaranya perlu peningkatan SDM, penjadwalan visite yang lebih intens, penganggaran yang memadai untuk pengadaan alat kesehatan dan produk media edukasi.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
5

Agung Pradana, Luthfi, und Dwi Krisbiantoro. „Implementasi Rest Untuk Membangun Aplikasi Pemeriksaan Pasien Pada Klinik Koent Berbasis Website“. Jurnal Pendidikan dan Teknologi Indonesia 1, Nr. 3 (06.03.2021): 111–20. http://dx.doi.org/10.52436/1.jpti.16.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Kesehatan merupakan kebutuhan primer bagi umat manusia dan layanan kesehatan merupakan suatu aspek penting dalam kehidupan. Efisiensi dan efektivitas suatu layanan kesehatan sangat penting bagi masyarakat. Klinik Koent merupakan suatu badan layanan kesehatan. Layanan utamanya berupa rekam medis, rekam medis ini masih dilakukan secara manual menggunakan kertas, sehingga kurang optimal dalam proses layanan kesehatan selain itu para pasien harus menunggu 5 sampai 10 menit sampai obat disiapkan oleh apoteker, karena apoteker harus menunggu datangnya resep dari dokter belum lagi mengintegrasikan data pasien dengan data di bagian apotek untuk riwayat pengobatan masih diinput lagi oleh apoteker tentunya hal ini akan membuat kurang efektif dan mengalami penginputan berulang ulang oleh tiap petugas. Dalam penelitian ini penulis mengimplementasikan Rest untuk membangun aplikasi pemeriksaan pasien pada klinik koent berbasis website menggunakan metode waterfall. Penelitian ini menghasilkan sebuah perangkat lunak yang terintegrasi dengan beberapa bagian diantaranya pendaftaran, apoteker dan dokter, dengan adanya implementasi Rest pada aplikasi pemeriksaan pasien pada klinik koent berbasis website lebih mudah,cepat dan akurat dalam proses pelayanan kesehatan.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
6

Robiyanto, Robiyanto, Krianus Aspian und Nurmainah Nurmainah. „Keberadaan Tenaga Apoteker dan Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Wilayah Kota Pontianak“. Jurnal Sains Farmasi & Klinis 6, Nr. 2 (29.08.2019): 121. http://dx.doi.org/10.25077/jsfk.6.2.121-128.2019.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 74 Tahun 2016 Pasal 4 (empat) mewajibkan adanya tenaga Apoteker di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai (BMHP) serta pelayanan farmasi klinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah apoteker dan persentase pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kota Pontianak. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasional dengan rancangan penelitian adalah survei deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif melalui lembar kuesioner berisi standar pelayanan kefarmasian yang sudah divalidasi. Responden penelitian yang dilibatkan mewakili 22 Puskesmas meliputi 6 Apoteker, 13 Tenaga Teknis Kefarmasian dan 3 Asisten Tenaga Kefarmasian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 6 dari 22 Puskesmas yang memiliki Apoteker. Jumlah total Apoteker sebanyak 7 orang, di mana ada 1 Puskesmas memiliki 2 Apoteker. Pelaksanaan standar pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP sebesar 94,16% dan pelayanan farmasi klinis sebesar 56,12%. Kesimpulan penelitian ini adalah belum semua Puskesmas di wilayah Kota Pontianak memiliki Apoteker dan keberadaan Apoteker di Puskesmas dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Puskesmas tersebut.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
7

Pratiwi, Erniza. „Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Apoteker di Klinik-Klinik Pratama Kota Pekanbaru“. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 9, Nr. 2 (12.01.2021): 46–50. http://dx.doi.org/10.51887/jpfi.v9i2.805.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Setiap karyawan dalam suatu perusahaan perlu mendapatkan kepuasan dalam bekerja yang juga dapat berdampak pada peningkatan kinerja karyawan. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan suatu sikap berupa refleksi dari perasaan karyawan terhadap keseluruhan pekerjaan yang terdiri dari bermacam-macam aspek. Seseorang yang puas dalam pekerjaannya akan memiliki motivasi, komitmen pada organisasi dan partisipasi kerja yang tinggi sehingga akan terus memperbaiki kinerja mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kepuasan kerja apoteker di klinik-klinik pratama Kota Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional dengan menggunakan kuesioner kepuasan kerja. Sampel dalam penelitian ini adalah apoteker yang bekerja diklinik-klinik pratama yang berjumlah 55 orang yang diambil dengan teknik simple random sampling. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi kepuasan kerja apoteker diklinik-klinik pratama kota pekanbaru adalah keamanan kerja (78,91%), perlakuan adil (78,84%), hubungan antara rekan kerja (78,04%), gaji dan promosi (77,30%), kondisi kerja (77,16%) dan hubungan dengan pimpinan (76,00%).
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
8

Muhammad Iqbal Firdaus. „APLIKASI REKAM MEDIS DI KLINIK UNISKA MAB BANJARMASIN“. Jurnal Teknologi Informasi Universitas Lambung Mangkurat (JTIULM) 4, Nr. 2 (31.10.2019): 49–58. http://dx.doi.org/10.20527/jtiulm.v4i2.38.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Untuk meminimalkan medication error (kesalahan pembacaan resep dan dosis) yang dilakukan oleh apoteker maupun asisten apoteker, maka dibuat aplikasi online e – prescribing, yaitu dokter entry secara langsung resep yang akan diberikan ke pasien, dan apoteker atau asisten apoteker langsung membaca di layar komputer dan langsung menerapkan resep yang sesuai dengan request dari dokter sehingga tidak terjadi kesalahan dan data menjadi akurat serta waktu yang diperlukan bisa lebih cepat. Dalam penelitian ini juga menerapkan barcode system peresepan yang memudahkan apoteker maupun asisten apoteker dalam menyesuaikan keakuratan data stok fisik obat, dengan menambahkan barcode sistem untuk masuk dan keluarnya obat akan terkontrol dan akurat sehingga meminimalisir kesalahan dalam pengentrian data pabrik dengan merek obat yang sama. Penelitian ini diimplementasikan di Rumah Sakit Pertamina Tanjung, Kalimantan Selatan. Development Tools yang digunakan adalah Power Builder V.12 dengan database sybase. Dari hasil uji kuesioner yang diberikan kepada pengguna aplikasi E-Prescribing dan barcode system, didapatkan hasil yang memuaskan yaitu: untuk performance sebanyak 81.82% , Durability 84,24%, Confermence to Specification untuk hak akses apotek sebanyak 93% sedangkan untuk hak akses poli/dokter yaitu 86,6%, untuk Feature 84,24%, realibity 83,64% dan estetika 79,4%.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
9

Kumalasari, Intan. „Pengaruh Implementasi Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Medication Error di RSUD Pariaman“. SCIENTIA : Jurnal Farmasi dan Kesehatan 11, Nr. 1 (19.02.2021): 71. http://dx.doi.org/10.36434/scientia.v11i1.372.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Insiden medication error biasanya tidak diketahui secara langsung karena sering diibaratkan dengan fenomena gunung es. Dengan adanya pelayanan farmasi klinis diharapkan medication error bisa diketahui sebelum mencapai pasien. Kebanyakan kasus medication error yang diakibatkan oleh penggunaan obat, medication error baru dilaporkan setelah terjadinya efek yang tidak diharapkan dari pemakaian obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi pelaksanaan dan peran pelayanan farmasi klinis dalam mencegah dan memonitoring medication error di RSUD Pariaman. Metode penelitian dilakukan secara kualitatif dengan melakukan observasi dan wawancara mengenai pelayanan farmasi klinis yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien rawat inap di RSUD Pariaman. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penerapan pelayanan farmasi klinis di RSUD Pariaman belum optimal sehingga belum mempunyai pengaruh yang significan dalam mengatasi medication error. Disarankan agar RSUD Pariaman melengkapi sarana dan prasaranan termasuk regulasi dan dokumen yang dibutuhkan dalam menunjang kegiatan pelayanan farmasi klinis. Serta diharapkan adanya monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan farmasi klinis secara berkala sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup pasien, peran apoteker, dan mutu rumah sakit.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
10

Putri, Virginia Johanes, Adji Prayitno Setiadi, Abdul Rahem, Cecilia Brata, Yosi Irawati Wibowo, Eko Setiawan und Steven Victoria Halim. „Diare Akibat Penggunaan Antibiotik pada Anak: Apa Saran yang Diberikan oleh Apoteker Komunitas?“ Jurnal Sains Farmasi & Klinis 7, Nr. 3 (28.12.2020): 218. http://dx.doi.org/10.25077/jsfk.7.3.218-228.2020.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Diare akibat penggunaan antibiotik (antibiotic-associated diarrhea; AAD) merupakan salah satu gangguan klinis yang seringkali terjadi pada anak dan perlu mendapat intervensi dari dokter untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan mempertimbangkan bahwa swamedikasi seringkali menjadi pilihan masyarakat ketika menghadapi kasus diare, apoteker di komunitas memiliki peran penting dalam mengarahkan masyarakat ke dokter untuk mengatasi masalah terkait AAD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan ketepatan rekomendasi apoteker dalam menanggapi permintaan swamedikasi terkait kasus AAD pada anak. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di wilayah Timur kota Surabaya. Sebuah kuesioner yang berisi pertanyaan terkait karakteristik peserta dan sebuah kasus digunakan pada proses pengambilan data. Validasi isi dari kasus serta penentuan kunci jawaban dilakukan melalui diskusi yang melibatkan pakar farmasi klinis, farmasi praktis, dan kesehatan masyarakat. Total terdapat 84 apoteker terlibat dalam penelitian ini; response rate 38,71%. Pemberian rekomendasi produk obat baik dengan maupun tanpa rujukan ke dokter atau saran non-farmakologi diberikan oleh 75 (89,29%) partisipan dan jenis obat yang paling sering direkomendasikan adalah probiotik, kaolin-pektin, domperidon, attapulgit. Sebanyak 26 apoteker (30,95%) memberikan rekomendasi yang tepat, yaitu: rujuk dokter segera dengan atau tanpa disertai rekomendasi lain. Hasil penelitian ini mengindikasikan perlunya intervensi untuk mengoptimalkan pemberian rekomendasi apoteker komunitas pada kasus AAD anak.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen

Dissertationen zum Thema "Klinisk apotekare"

1

Sertkaya, Gizem. „Krossning/delning av tabletter till patienter medsväljsvårigheter : -Olika professioners syn“. Thesis, Uppsala universitet, Institutionen för farmaci, 2021. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:uu:diva-446940.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
I samband med att den äldre populationen blir en större andel av jordens befolkning ökar även sväljningsproblematiken i befolkningen. Dysfagi är ett tillstånd som försvårar både födo- och vätskeintaget, följden av detta är att administreringen av fasta orala läkemedel (tabletter/kapslar) försvåras. Genom läkemedelsmanipulering, det vill säga krossning och delning av tabletter/kapslar kan läkemedelsadministreringen underlättas till dessa patienter. Riskerna med att krossa/dela fasta orala läkemedel kan bland annat ge upphov till irritation i magslemhinnan, obehaglig smak och i värsta fall förstärkt eller utebliven effekt. Syftet med detta fördjupningsprojekt är att få kunskap om olika professioners (läkare, logoped, klinisk farmakolog och klinisk apotekare) erfarenheter kring sväljbedömning, förskrivning och uppföljning av peroral läkemedelsbehandling till patienter med sväljsvårigheter. Denna kvalitativa intervjustudie utformades år 2021 och analyserades med en manifest innehållsanalys, där åtta studiedeltagare rekryterades.   Resultatet visar att bedömning av sväljförmågan kan utföras av läkare och annan inblandad personal men att logopeden anses ha den centrala rollen. Vid förskrivning ser läkarna över läkemedelslistan med avseende på sväljsvårigheter och möjlighet till krossa/dela om det framkommer att patienten har sväljproblematik. För att inhämta information kring krossning/delning och alternativa beredningsformer utgår läkarna från ungefär samma källor och som stöd finns kliniska farmakologer och apotekare. Samtliga nämner att det kan finnas risker med krossa/dela som exempelvis ökad risk för biverkan.  Det framkom även att uppföljningen av läkemedelsbehandlingen till patienter med dysfagi är bristande. Slutsatsen som kan dras är att det finns förbättringspotential kring sväljbedömning, förskrivning och uppföljning av peroral läkemedelsbehandling till patienter med sväljsvårigheter, detta genom exempelvis tillämpning av rutiner, utbildningsinsatser och ett tydligare teamsamarbete.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
2

Nygren, Jonas. „Patienters läkemedelsanvändning vid inskrivning inför elektiv urologisk kirurgi“. Thesis, Uppsala universitet, Institutionen för farmaceutisk biovetenskap, 2020. http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:uu:diva-418916.

Der volle Inhalt der Quelle
Annotation:
Abstract Elective urological patients’ medication usage at the time of admission Author: Nygren. J. Supervisor: Gillespie. U. Examiner: Nielsen. E. Department of Pharmaceutical Biosciences, division of pharmacokinetics and drug therapy. Faculty of pharmacy. Uppsala University, Sweden.   Background and Objective: Information about the patient’s current medication treatment before elective urologic surgery has been based upon a prefilled self-reported health declaration or a patient provided medication list. A new work procedure has recently been adopted where a pharmacist performs a medication reconciliation in order to increase the patient safety, receive deeper insight into the patients ongoing treatment and to reduce the physician’s workload. The objective of the study was to map out how well the patients could account for their medication usage at the time of admission and to identify discrepancies between the health declaration/patient’s medication list and the medication list after medication reconciliation. Design: The study population consisted of adult men and women scheduled for elective urological surgery.  A clinical pharmacist performed a medication reconciliation and stored appurtenant patient data and medication lists in anonymised forma. Data was then analysed by a student undertaking his degree project (MSc Clinical pharmacy). The population and discrepancies were divided into sub-groups and a t-test was performed to identify any statistical difference between selected sub-groups of the population. Setting: Urology department, Uppsala University Hospital Main outcome measures: The proportion of patients having at least one discrepancy were studied. Distribution of discrepancies per patient was compared between sub-groups; number of medications, age and county of residence. Results: At least one discrepancy (range 1-7) was observed in 51 (66%) out of the 77 patients included in the study. Patients using >5 medications at the time of admission had more discrepancies per patient than those using 0-5 medications (3.2 vs 1.0; p=5.6x10-6) and there was a trend towards Uppsala patients having more discrepancies per patient than those residing outside the region (2.4 vs 1.5; p=0.057). There was no significant difference observed between the age groups. Conclusion: The health declaration/medication list presented at the time of admission did not provide enough information to determine the patient’s complete medication usage.
APA, Harvard, Vancouver, ISO und andere Zitierweisen
Wir bieten Rabatte auf alle Premium-Pläne für Autoren, deren Werke in thematische Literatursammlungen aufgenommen wurden. Kontaktieren Sie uns, um einen einzigartigen Promo-Code zu erhalten!

Zur Bibliographie